Polemik Perihal Sketsa Kapitan Patimura
Pada tahun 1951 M dibentuk “Panitia Peringatan Hari Kapitan Pattimura”. Salah satu yang dihasilkannya adalah sketsa Kapitan Pattimura. Sketsa tersebut dibuat oleh –yang dalam publikasi-publikasi Harian Rakjat (koran berafiliasi pada PKI) ditulis dengan tidak seragam tapi sama, yaitu Curis Latuputty, Chris Latuputty, Christian Latuputty, Christ Latuputih, dan Chrismanuputty yang merupakan seniman dan pengurus LEKRA (Lembaga seni dan kebudayaan sebagai sayap kerja PKI) dengan cara melukis dirinya sendiri.
Pada tanggal 30 Mei 1986 M, Des Alwi Abubakar seorang sejarawan, diplomat, advokat, dan penulis asal Pulau Banda Neira yang merintis kehidupan sejak diangkat anak oleh Muhammad Hatta (mantan Wakil Presiden RI) dan Sutan Syahrir (tokoh Partai Sosialis Indonesia) ketika dibuang di Pulau Banda Neira mempublikasikan sketsa Kapitan Pattimura karya Q.M.R Verhuell di harian umum Sinar Harapan.
Sketsa Kapitan Pattimura tersebut ditemukan oleh Des Alwi Abubakar pada tahun 1985 M dalam publikasi majalah yang diterbitkan Vrye Universiteit van Amsterdam di Belanda pada tahun 1978 M sebagai buah karya Q.M.R Verhuell seorang kapten kapal perang Belanda pada saat pembuatan berita pemeriksan dan penangkapan yang dalam narasi-narasi kemudian dianggap sebagai penangkapan Kapitan Patimura di atas kapalnya tersebut pada bulan November tahun 1817 M.
Pada tanggal 21 Juli 1986 M yakni I.O. Nanulaita penulis buku “Kapitan Pattimura” (Dipublikasikan atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Biografi Pahlawan Nasional pada tahun 1976 M) yang sempat menjadi dosen sejarah di UNPAD menolak dengan keras temuan Des Alwi Abubakar dan membuat sikap dengan cara melayangkan surat kepada Menteri Pemuda dan Olah Raga Abdul Gafur atas nama “Para Pemuka di Jakarta” hanya mengakui sketsa Kapitan Pattimura yang sudah disahkan pemerintah yang pernah dibuat oleh Curis Lattuputy pada tahun 1951 M.
Polemik Perihal Nasab Kapitan Thomas Matulessy Yang Dianggap Sama Dengan Kapitan Pattimura
Pada tahun 1953 M, Kapten Matthijs Sapija asal Pulau Ambon yang pernah dicalonkan jadi anggota Konstituante pada pemilu 1955 M dari PKI (secara resmi menjadi anggota Konstituante dari Partai Republik Proklamasi) dan kemudian sempat ditangkap setelah meletusnya peristiwa Gestapu (G30S/PKI) tahun 1965 M, menulis buku dengan judul “Sejarah Perjuangan Kapitan Pattimura Pahlawan Indonesia”. Selain itu, Kapten Matthijs Sapija juga menulis “Sedjarah Perdjuangan Pattimura” pada tahun 1957 M dan “Kisah Perjuangan Pattimura” pada tahun 1984 M.
Dikatakan di sana bahwa Kapitan Pattimura adalah Thomas Matulessy yang berasal dari Nusa Ina (Pulau Seram). Adapun ayahnya bernama Antoni Matulessy putra Kasimilali Pattimura Matulessy putera Raja Sahulau (Pulau Seram).
Pada tahun 1959 M terjadi tragedi yang mengakibatkan “KRI Kapitan Pattimura” karam di perairan Maluku setelah mendapatkan tembakan meriam dalam menjalankan tugas bagian dari operasi Trikora (pembebasan Irian Barat). Selang waktu setelah peristiwa itu, Kapten Ma’wa dan Kapten F.L. Siahaininia mendapatkan tugas dari Kodam Pattimura untuk melakukan investigasi ke Pulau Saparua.
Di sela-sela waktu investigasi tenggelamnya KRI Kapitan Pattimura, kedua orang investigator tersebut malah memasuki perbincangan serius mengenai sosok sesungguhnya dari Kapitan Pattimura dengan orang-orang di Pulau Saparua. Orang-orang Pulau Saparua tersebut, kemudian menganjurkan agar kedua kapten tersebut mendapatkan keterangan yang lebih lengkap dari daerah Latu (Pulau Seram).
Kedua kapten tersebut kemudian mengambil inisiatif untuk menyurati Raja (Sultan) Negeri Latu yakni Raja Subuh Patty. Raja Subuh Patty memudian membalas surat tersebut dengan mengirimkan orang-orangnya dari Latu (Pulau Seram) ke Pulau Saparua diantaranya Haji Abdul Salam Parihua, Djen Patty, Abdul Latif Patty, dan Ahmad Patty bersama data-data sejarah yang diperlukan.
Di Pulau Saparua dan di Pulau Seram, kedua utusan dari Kodam Patimura tersebut lebih dikenal citranya sebagai “Tim Penggali Sejarah Kapitan Pattimura”. Sayangnya, hasil kerja investigatif dari “Tim Penggali Sejarah Kapitan Pattimura” asal Kodam Pattimura tersebut, tidak pernah ada kabar beritanya lagi mengenai kesimpulan resmi apa yang dihasilkannya melalui pertemuan dengan utusan-utusan Raja Negeri Latu (Pulau Seram) bersama data-data yang diperlihatkannya.
Pada tanggal 20 Mei 1960 M mulai beredar daftar silsilah Kapitan Pattimura melalui judul tulisan “Turun Temurun Kapitan Matulessy” dari Itawaka” yang kemudian ditandatangani oleh Kapten Wattimena dan Kapten F. L. Siahainenia (yang sempat menjadi anggota “Tim Penggali Sejarah Kapitan Pattimura”). Isinya menerangkan bahwa Kapitan Pattimura bernama Thomas Matulessy yang merupakan seorang Kapitan yang tidak menikah, putra Frans Matulessy, asal Itawaka (Pulau Saparua).
Daftar silsilah “Turun Temurun Kapitan Matulessy” yang sudah ditandatangani oleh Kapten Wattimena dan Kapten F. L. Siahainenia kemudian ditandatangani oleh wakil pemerintah Negeri Itawaka (Pulau Saparua) yakni A. Syaranamual pada tanggal 26 Mei 1967 M.
Pada tanggal 28 Mei 1967 M beredar kembali daftar silsilah Kapitan Pattimura yang diberi judul “Silsila Pattimura – Matulessy berasal dari Itawaka” yang ditandatangani oleh F. D. Manuhuttu atas nama Ketua Saniri Negeri Haria (Pulau Saparua). Adapun Isinya menerangkan Kapitan Pattimura bernama Thomas Matulessy putra Frans Pattimura, tidak menikah, asal Itawaka (Pulau Saprua).
Pada September 1976 M penyusun buku “Kapitan Pattimura” (yang dipublikasikan atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Biografi Pahlawan Nasional pada tahun 1976 M) yakni I.O. Nanulaita (sejarawan Unpad asal Ambon yang kemudian akan menolak temuan Des Alwi Abubakar asal Banda Naira mengenai sketsa Kapitan Pattimura pada tahun 1986 M) menulis juga silsilah Kapitan Pattimura dengan judul “Silsilah Pattimura versi Ulath” asal Ulath (Pulau Saparua). Isinya menerangkan Kapitan Pattimura bernama Thomas Matulessy yang tidak menikah, memiliki leluhur ke atasnya bernama Nusa Soleman Alam Syakti.
Pada tahun 1980 M yakni M. Nur Tawainella (pembuat semboyan pataka Kodam Pattimura berbunyi “Lawamena Haulala” yang merupakan ucapan Kapitan Telukbessy dari Negeri Morella (Pulau Ambon) dalam perang Kapahaha tahun 1637-1646 M) menulis artikel “Menjernihkan Sejarah Pattimura” yang mengatakan bahwa Matulessy berasal dari perubahan nama Ahmad Lusi kemudian menjadi Mat Lussy dan kemudian menjadi Matulessy.
Pada tanggal 18 Maret 1984 M koran nasional menampilkan hasil wawancara dengan ahli waris Thomas Matulessy berjudul “Sejarah Perjoangan Thomas Matulessy/Kapitan Pattimurah Yang Terpendam” yang menjelaskan Thomas Matulessy sudah diberi gelar Kapitan sejak akhir April 1817 M.
Pada tanggal 5 Oktober 1987 M daftar silsilah “Silsilah Kapitan Matulessy” versi Itawaka (Pulau Saparua) dan “Silsila Pattimura – Matulessy berasal dari Itawaka” versi Haria (Pulau Saparua) keduanya disahkan sekaligus di Jakarta dan ditandatangan oleh Frans Hitipeuw atas nama Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Pada tanggal 5-7 November 1993 M diadakan seminar oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala Depdikbud bertempat di Kodam XV Pattimura Ambon. Setelah melalui banyak perdebatan sengit di forum resmi, secara pribadi Frans Hitipeuw (yang pernah mewaliki Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tanggal 5 Oktober 1987) menyampaikan secara langsung kepada salah-satu peserta mantan Raja/Sultan Latu (Pulau Seram) yakni Haji Sabri Pattimura. Bahwa sosok Kapitan Pattimura sebenarnya Muslim, tapi “sekarang belum saatnya”.
Pada seminar yang sama Thomas Matulessy yang mengklaim keturun resmi dari Kapitan Thomas Matulessy yang di dalam versi Itawaka, Haria, Ulath (semuanya di Pulau Saparua) tidak ada karena tidak kawin (silsilah diteruskan keturunan saudara-saudara laki-lakinya) mengajukan daftar silsilah versi Hulaliu (Pulau Haruku). Thomas Matulessy menyesalkan tindakan Gubernur Johannes Latuharhary pada tahun 1951 M yang dianggap memberi masukan keliru tentang ahli waris Thomas Matulessy.
Pada umumnya versi Itawaka, Haria, Ulath, dan Hulaliu memberitakan pemberontakan Kapitan Thomas Matulessy terhadap Belanda yang sebelumnya merupakan seorang kapitan pada serdadu Inggris yang didemobilisasi.
***
Kapitan Pattimura dan Kapitan Thomas Matulessy Sebuah Diskursus Yang Belum Tuntas
Sejak orang-orang utusan dari Raja Subuh Patty dari Latu (Pulau Seram) pada tahun 1959 M hingga memasuki masa Raja Haji Sabri Pattimura dari Latu (Pulau Seram) pada tahun 1993 M, sudah ada niat baik dan penjelasan yang semestinya kepada pihak pemerintah, militer, akademisi, sejarawan, dan lain sebagainya.
Hanya saja, basis kekuatan orang-orang yang menerapkan filsafat bahwa membuat informasi tetap keruh atau menjadikan yang jernih itu menjadi keruh tetap harus dipertahankan demi meraih kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan memiliki pengaruh yang masih kuat dan permanen.
Semua keterangan yang paling baik dan relevan (lebih berhak memberikan keterangan) tampaknya yang berasal dari Latu di Pulau Seram, bukan keterangan yang simpang-siur apalagi berbeda-beda dari versi dari Haria, Ulath, dan Itawaka di Pulau Saparua dan versi Hulaliu di Pulau Haruku.
Persoalan apakah Kapitan Pattimura adalah orang yang sama dengan Kapitan Thomas Matulessy menjadi landasan dasar yang jauh lebih kritis dan krusial untuk dijawab. Jika sama maka konsekuensinya menjadi makin rumit, jika berbeda konsekuensinya cukup sederhana. Artinya ada suatu reposisi atau suatu penisbatan yang keliru atau dianggap keliru pada dua tokoh yang nyata eksis pada ruang waktu peristiwa yang mungkin sama atau mungkin berbeda dengan tindakan peran dan motif yang berbeda dicampuradukkan menjadi satu.
Masalah menjadi makin rumit dengan hadir keterangan-keterangan lainnya diluar rumah tangga sebuah keluarga (“matarumah”) yang ikut mencampuri urusan nasab seseorang dan kisah seseorang demi sedikit banyak tujuan dan motif membakar kesatuan jiwa Revolusioner dalam basis paradigma dan metodologi yang sepihak semacam LEKRA dan PKI yang demi menerapkan doktrin yang penting bisa membuat kekacauan (mengail di air keruh), maka fakta-fakta objektif historis menjadi tidak masalah untuk bisa disingkirkan dan dikorbankan.
Sketsa Kapten Kapal Belanda Q.M.R. Verhuel dan asistennya berinisial C.B.Z. yang perlu diverifikasi apakah berkaitan Kapitan Pattimura ataukah Kapitan Thomas Matulessy ataukah keduanya memang dianggap sama (pembacaan sepintas menunjukan aksara Latin “Thomas Matilesya”).
Narasi secara umum berpijak, dikembangkan, dan dikejar dari konstruk tulisan artikel Luthfy Pattimura. Luthfy Pattimura bersama dengan Kisman Latumakulita merupakan penulis buku “Ini Dia Aslinya Kapitan Pattimura (Berawal Dari Majelis Adat Waehata Telu Kepada Brigade Kakehan 12 Mei 1817 Sampai Penemuan Poto Asli di Belanda)”.
Gelar Taufiq Kusumawardhana
8 Juli 2022 M
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.