(1) Wacana Menuju Gagasan Pancakaki
Pada saat ini terdapat gejala sosial berupa semangat yang besar di dalam mengkaji akar sejarah dan kebudayaan Sunda di kalangan masyarakat Sunda. Secara sederhana, gejala tersebut bisa diamati dengan hadirnya begitu banyak paguyuban Sunda yang dibentuk dalam rangka melakukan pengkajian terhadap sejarah dan kebudayaan Sunda tersebut. Baik dalam bentuk perkumpulan yang nyata maupun dalam bentuk perkumpulan yang maya di jejaring sosial media.

Sayangnya usaha di dalam pengkajian terhadap aspek sejarah dan kebudayaan Sunda tersebut, belum sepenuhnya diimbangi dengan tampilnya sebentuk kesadaran yang baik dalam rangka menerapkan kaidah keilmuan dan kesejarahan yang memadai. Sehingga dampak yang muncul adalah masih diliputinya oleh bias yang tidak bisa dihindarkan di dalam pengambilan kesimpulan-kesimpulan dari suatu peristiwa-peristiwa kesejarahan. Ibarat asap yang masih menyelubungi bara dan api, rumor gosip desas-desus masih menjadi bagian yang lebih utama dibandingkan dengan singkapan data dan fakta yang bersifat keras dan nyata.

Salah-satu dampak kekeliruan di dalam upaya pengkajian aspek sejarah dan kebudayaan di Tatar Sunda yang dilakukan oleh masyarakat Sunda itu sendiri pada saat ini adalah yang berkaitan dengan kajian yang di dalam bahasa Sunda biasa disebut dengan pancakaki. Kajian pancakaki tersebut sebenarnya setara dengan istilah lainnya yang sudah berkembang di masyarakat Indonesia pada umumnya seperti istilah teureuh, trah, silsilah, nasab, dan syajarah dalam pengertiannya yang paling pokok sebagai gambaran pohon keluarga. Sementara di dalam studi modern, istilah-istilah tersebut lebih dikenal dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai kajian genealogy.

Pada saat ini muncul beberapa gagasan kebudayaan yang dalam bidang pancakaki yang menisbatkan garis silsilahnya secara langsung pada supremasi kekuasaan politik masa silam di Tatar Sunda yang ajaibnya begitu melompat dan serampangan hingga tiba pada pokok tokoh-tokoh dan entitas-entitas kekuasaan dari periode Hindu-Budha. Aspek penisbatan tersebut seakan-akan mampu dilegitimasi dalam bentuk berdirinya klaim-klaim berselubung komunitas adat yang bersifat baru dan artifisial. Utamanya setelah dikukuhkannya peraturan pemerintah mengenai kerja kebudayaan yang sayangnya juga tidak diimbangi dengan hadirnya sebentuk pengawalan dari kerja kepakaran yang bersifat memadai.

(2) Mendudukan Masalah Pancakaki Masyarakat Sunda
Permasalahannya apabila dilihat dari sudut pandang ilmiah dan akademik, maka aspek penalaran yang dilakukan atas pengambilan keputusan kesejarahan tersebut, sebenarnya tidak sepenuhnya berpijak pada hadirnya fakta-fakta dan data-data kesejarahan yang bersifat kritis dan kronologis. Sederhananya adalah bahwa tidak mungkin generasi masyarakat Sunda pada saat ini dengan serta-merta menghubungkan aspek keturunannya secara langsung dan berkelanjutan kepada periode sejarah Hindu-Budha (kerajaan), dengan tanpa melibatkan keberadaan periode sejarah Islam (kesultanan).

Karena kesadaran mengenai pancakaki atau garis silsilah tersebut, pada masa silam (baik periode Hindu-Budha mapupun periode Islam) hanya menjadi kebiasaan dari tradisi menak (aristokrasi) Sunda, maka aspek pengkajian mengenai kesadaran terhadap garis silsilah tersebut tentu saja tidak bisa dihindari memang merupakan dominasi dan domain dari hadirnya kesadaran silsilah yang bersifat berkelanjutan (linear) dan lurus (tanpa interupsi) yang dimiliki oleh masyarakat menak Sunda pada masa silam. Kesadaran tersebut terus-menerus dipelihara dalam bentuk catatan berbasis arsip-arsip tertulis maupun tuturan-tuturan lisan sebagai wujud adanya memori kolektif antar generasi.

Apabila dipetakan maka pembentukan identitas menak Sunda tersebut, secara runut tentu saja harus melalui transisinya kepada penguasa-penguasa kabupaten (bupati-bupati) dan kadipaten (adipati-adipati) yang sesungguhnya jelas telah masuk pada konstelasi jejaring kekuasaan dan dinasti periode Islam (bahkan hingga memasuki periode kolonial Eropa). Adapun penguasa dari kabupaten dan kadipaten tersebut, tentu saja berasal dari keturunan penguasa-penguasa kesultanan (sultan-sultan).

Dengan kata lain, bahwa secara logika maka penarikan garis silsilah dan klaim kesadaran sebagai ‘menak’ pada masyarakat Sunda masa kini, tidak mungkin bisa untuk menasabkan secara langsung terhadap penguasa kerajaan-kerajaan (raja-raja) dari periode Hindu-Budha di Tatar Sunda (sangat kecil kemungkinannya, tapi memiliki peluang untuk bisa dibuktikan apabila masih terdapat garis berkelanjutan dan langsung dari raja-raja Hindu-Budha di Tatar Sunda). Melainkan haruslah berasal dari kesadaran garis silsilah yang membentang secara berkelanjutan dan langsung terhadap sultan-sultan dan tokoh-tokoh penyebar Islam dari periode Islam di Tatar Sunda.

Asumsinya adalah bahwa pendirian kesultanan-kesultanan sebagai suatu kekuatan politik kekuasaan baru (struktural) di seluruh Indonesia secara umum dan termasuk di Tatar Sunda secara khusus, maka runutannya dibangun di atas proses islamisasi (da’wah) yang melibatkan kerja kebudayaan (kultural) yang melibatkan aktifitas perdagangan, transformasi keilmuan, tawaran alternatif kebudayaan dan peradaban, dan termasuk pernikahan (intermarriege) dengan wanita-wanita bangsawan pribumi yang memiliki andil paling signifikan dalam proses alih kekuasaan dari periode Hindu-Budha (kerajaan-kerajaan) terhadap periode Islam (kesultanan-kesultanan) secara damai, mulus, dan gilang-gemilang.

Buktinya adalah aspek preferensi keberagamaan masyarakat Sunda itu sendiri, yang pada faktanya sebelum kehadiran periode kolonial Eropa (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, dan seterusnya), bisa dikatakan seluruhnya telah menganut agama Islam. Kecuali basis kecil masyarakat adat yang sesungguhnya yang sejak masa kekuasaan Islam telah mendapatkan proteksi kekebasannya di atas dasar-dasar perjanjian yang adil.

Selain terjadi pengalihan secara damai trend kekuasaan dari corak Hindu-Budha menjadi Islam, maka dapat diasumsikan telah terjadi pula pergeseran trah atau dinasti yang semula berasal dari garis silsilah laki-laki yang berkelanjutan dan lurus terhadap raja-raja Hindu-Budha menjadi berasal dari garis silsilah laki-laki yang berkelanjutan dan lurus terhadap sultan-sultan dan para penyebar Islam di Indonesia pada umumnya dan di Tatar Sunda pada khususnya.

Sehingga dengan demikian, hanya melalui garis silsilah perempuan sajalah kesadaran pancakaki tersebut seharusnya membentang pada kesadaran atas leluhur raja-raja periode Hindu-Budha. Kesadaran dari garis ibu itulah yang memberikan andil kepemilikan dan komitmen yang tinggi atas rasa cinta terhadap tanah air (lemah cai) dan persaudaraan (kerabat) yang tulus sebagai satu kesatuan entitas masyarakat Sunda pada umumnya. Sementara kesadaran garis ayah memberikan landasan pada hadirnya sistem keyakinan-keyakinan (teologis) dan jiwa kebebasan (kemerdekaan).

Bisa saja bahwa terdapat garis silsilah yang bersifat berkelanjutan dan lurus yang bersifat tidak terintrupsi dan terasimilasi dengan trah kesultanan dan para penyebar Islam, dengan asumsi bahwa yang terjadi hanyalah proses konversi keagamaan saja yang semula leluhurnya menganut agama Hindu-Budha menjadi beragama Islam. Namun demikian, asumsi tersebut tentu saja harus dibuktikan melalui suatu studi kasus yang pasti di dalam bidang ilmu nasab (genealogy) berdasarkan data-data dan fakta-fakta historis yang terdokumentasikan dengan kuat dan absah.

Sehingga dengan demikian, sejauh ini saya masih berpegang pada dugaan (asumsi) dan pandangan mendasar (hipotesa), bahwa klaim kesadaran masyarakat Sunda pada masa kini, terutama kesadaran yang dibentuk oleh kerinduan atas hadirnya catatan nasab dan aspek kesadaran sejarahnya, apabila ingin bersifat absah dan valid, tentu saja harus mau menerima kemungkinan adanya kenyataan fakta dan data yang sesungguhnya harus terlebih dahulu transit melalui jeratan silsilah atau nasab dari skema periode kesultanan.

Dengan kata lain, para menak Sunda masa kini yang masih memiliki otentisitas catatan nasab dan keterangannya yang bersifat otoritatif, haruslah berpokok pada nasab leluhurnya yang membentang kepada para penguasa kabupaten, kadipaten, kesultanan, dan alim ulama penyebar Islam. Sementara khusus untuk para pemuka agama Islam perlu juga mendapatkan perhatian seara khusus karena pada umumnya biasa juga memelihara catatan nasab dan kesejarahan yang serupa dan terhubung di antara para anggota keluarganya (misalnya saja melalui jaringan para pemimpin pondok pesantren).

(3) Asas Pembuktian Pancakaki Masyarakat Sunda
Di hantarkan oleh adanya gagasan tersebut, saya mencoba untuk melakukan kajian secara induktif melalui studi kasus di lapangan terhadap responden-responden yang terkait dengan topik kesadaran nasab yang dimiliki oleh kaum bangsawan Sunda pada masa kini. Untuk mendukung terhadap sebuah kesimpulan yang bersifat umum tentu saja dibutuhkan suatu penalaran terhadap kasus-kasus dengan populasi dan sampel penelitian induksi yang memadai.

Salah-satu bentuk studi kasus yang paling memuaskan dan membahagiakan batin di dalam mengejawantahkan gagasan tersebut adalah dengan ditemukannya dokumen atau arsip tertulis milik keluarga besar Dr. Chye Retty Isnendes S.Pd., M.Hum. (Dosen Bahasa Sunda FPBS UPI dan Program Linguistik Pasca Sarjana UPI) mengenai leluhurnya yang berpangkal pada tokoh “Raden Kahfi Asmadiredja asal Dessa Nagrak District Cibadak Afdeeling Bogor” dengan tarikh tahun “1923 M” yang dibuat di kawasan “Djatinagara”.

Catatan nasab tersebut dapat menjadi studi permulaan yang mampu mengantarkan pada studi pancakaki sesungguhnya yang lebih sistematik dan mapan yang sekaligus dapat membuktikan dan merepresentasikan kesadaran nasab dari katakanlah sisa-sisa kaum bangsawan dari masyarakat Sunda pada umumnya.

Atas kemurahan hati dan bantuan yang diberikan oleh pihak keluarga, maka catatan nasab tersebut kemudian telah berhasil ditranskripsi (filologi) dan sekaligus mendapatkan informasi tambahan awal melalui hasil perbincangan (oral history) pada 10 Januari 2022 M, yang bertempat di kediaman orang tuanya Euis Sulastri (mantan Guru SMP Muhammadiyah 8 Nagrak), yakni oleh Dra. Lilis Erni Supantini M.Pd. (Guru SMPN 2 Cibadak) dan Dr. Chye Retty Isnendes S.Pd., M.Hum. yang bertempat di kediaman orang tuanya yang bernama Euis Sulastri (mantan Guru SMP Muhammadiyah 8 Nagrak) di Kecamatan Nagrak Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat.

Proses pembacaan terhadap naskah tersebut dipandu oleh Dra. Lilis Erni Supartini M.Pd. yang merupakan cucu dari Raden Kahfi Asmadiredja dari garis ayahnya (Raden Adang Muhammad) dan Dr. Chye Retty Isnendes S.Pd., M.Hum. yang merupakan buyutnya dari garis ibu (Euis Sulastri putra Raden Adang Muhammad) sehingga diperoleh data transkripsi sebagaimana berikut:

(4) Identitas Naskah
Judul : Surat Pernyataan Silsilah Raden Kahfi Asmadiredja
Aksara : Latin
Bahasa : Melayu (belum resmi ada Bahasa Indonesia)
Kertas : Fotokopi
Tahun : 24 Agustus 1923 M; 15 Oktober 1923 M; dan 16 Oktober 1923 M
Pemilik : Keluarga Dr. Chye Retty Isnendes, S.Pd., M.Hum.
Hal : Surat Pernyataan Silsilah Rd. Asmadiredja
Lokasi : Djatinegara
Ditranskripsi : 10 Januari 2022 M
Oleh : Gelar Taufiq Kusumawardhana, Lilis Erni Supantini, Chye Retty Isnendes

(5) Hasil Transkripsi
“Bahwa saja Raden Darsad Com
mandant pensioen Pendjaringan Bata
via tinggal di Djatinagara Meester Cornelis
menerangkan Raden Asmadiredja parti
koelir tinggal beroemah di dessa Nagrak
district Tjibadak afd Soekaboemi poe
tra dari Raden Raksapradja poetra Raden
Ismail Tjiheulang soedah wapat,
poetra Raden Achmad Idris Pangoeloe
tanah Baroe afd Bogor poetra Raden
Kanon demang hoeloe district Tjibi
nong afdeeling Bogor soedah wafat,
poetra Raden Kojong Djatinagara
Meester Cornelis Batavia soedah wapat,
poetra Raden Arip (Sarip Tadjoel
Aripin) Djatinagara. Sarip Tadjoel
Aripin poetra Pangeran Sageri Djati
nagara district dan Afdeeling Meester
Cornelis. Pangeran Sageri Poetra Sultan
Abdoel Fatah (Sarip Abdoel Fatahi Bantan)
semoeanya soedah wapat
Djatinagara, 15 October 1923
Cap & ttd (Raden Darsad)”

“Sebagaimana yang
Raden Tb Kasoenan
Toewan tanah
Baroe Bogor dan
Raden Darsad Com
mandant pensioen
pendjaringan soedah
kasih katerangan betoel
24/8/23 saja, ttd (Raden Darsad)”

“Betoel ini Raden Asmadiredja
saja punya pamili
Tanah Baroe 16 Octb 1923
Pangoeloe tanah Baroe
R. H. Hasan”

(6) Asas Pembuktian Nasab Melalui Dokumen Raden Kahfi Asmadiredja
Melalui pembacaan terhadap surat pernyataan silsilah Raden Kahfi Asmadiredja dapat diperoleh informasi bahwa pernah dibuat suatu surat yang memberikan keterangan mengenai silsilah Raden Kahfi Asmadiredja yang dibuat oleh pihak lain (pihak kedua dan ketiga), dalam hal ini dibuat oleh “Raden Darsad” yang merupakan pensiunan Komandan Pendjaringan di Batavia (“pensioen Pendjaringan Batavia”) dan bermukim di “Djatinagara Meester Cornelis” pada tanggal 15 Oktober 1923 M.

Keterangan utama tersebut dibuat setelah terlebih dahulu membuat konfirmasi (mengkonfrontir) data tambahan dan penegasannya kepada “Raden Taobagus Kasoenan” yang merupakan Tuan Tanah Baru di Bogor (“Toewan Tanah Baroe Bogor”) untuk pertamakalinya pada tanggal 24 Agustus 1923 M, yang juga dibuat oleh “Raden Darsad”.

Selain keterangan yang diberikan oleh “Raden Darsad” sebagai pihak kedua yang merupakan pensiunan komandan Pendjaringan yang juga melibatkan keterangan otoritatif dari pihak ketiga yakni “Raden Tubagus Kasoenan” yang merupakan Tuan Tanah Baru di Bogor (“Toewan Tanah Baroe Bogor”), keterangan tambahan mengenai silsilah Raden Kahfi Asmadiredja (pihak pertama) juga diberikan oleh keterangan pihak ketiga tambahan yakni Raden Haji Hasan yang merupakan Penghulu Tanah Baru di Bogor pada tanggal 16 Oktober 1923 M (dilakukan sebelum keterangan dari Raden Toebagoes Kasoenan).

Melalui surat keterangan silsilah Raden Kahfi Asmadiredja kita mengetahui bahwa hingga tahun 1923 M, keterangan mengenai garis silsilah seseorang terutama kaum bangsawan Sunda masih dianggap penting. Selain itu, kita juga menjadi tahu bahwa selain dianggap penting, maka kesadaran dan penguasaan terhadap pengetahuan mengenai garis silsilah masih diketahui dengan kuat oleh masyarakat menak Sunda. Dan pembuatan keterangan garis silsilah seseorang tidak bersifat sembarangan melainkan dijamin oleh sumber pemberi keterangan yang bukan merupakan dirinya yang bersangkuta (pihak pertama) melainkan melalui pihak kedua dan ketiga (otoritas jaringan keluarga dan otoritas pemangku kelembagaan) agar bersifat objektif dan kredibel.

Penjamin keterangan mengenai garis silsilah tersebut melibatkan lebih dari satu orang saksi, yang dalam hal ini tiga orang saksi yang telah dikonfrontir dan dikorespondensikan antara pemberi keterangan yang satu dengan pemberi keterangan lainnya untuk menghindari kekeliruan. Namun demikian, tidak diberikan penjelasan mengenai untuk kepentingan apa urgensi surat keterangan mengenai garis silsilah tersebut dibuat, yang bahkan melalui pihak-pihak yang dianggap otoritatif dalam memberikan objektifitas data yang diperlukan.

(7) Hasil Kompilasi Keterangan Arsip dan Wawancara
Melalui prosedur transkripsi terhadap arsip dan tambahan wawancara sederhana sebagai informasi awal, lebih tepatnya melalui suatu pendekatan perbincangan non formal (dengan kesadaran oral history sebagai metode kesejarahan) kemudian diperoleh data tambahan mengenai sosok-sosok yang dianggap sebagai leluhurnya tersebut dalam ingatan kolektif pengetahuan keluarga yang terwariskan secara tradisional sebagimana berikut:

“Raden Asmadiredja di dalam arsip menurut keterangan keluarga memiliki nama lengkap sebagai Raden Kahfi Asmadiredja yang bekerja sebagai Mandor Besar Perkebunan N.V. Onderneming Afdeeling Sinagar Cirohani Sukabumi di Desa Nagrak Distrik Cibadak Afdeeling Sukabumi; putra

Raden Raksapradja di dalam arsip menurut keterangan keluarga memiliki nama lengkap sebagai Raden Hamdan Raksapradja yang merupakan Mandor Besar perkebunan N.V. Orderneming Afdeling Sinagar-Cirohani Sukabumi yang sekaligus pembuka wilayah baru sebagai Desa Nagrak Distrik Cibadak Afdeeling Sukabumi; putra

Raden Ismail di dalam arsip menurut ketengan keluarga miliki nama lengkap Raden Ismail Kartadinata yang merupakan Mantri Gula di Desa Ciheulang Distrik Cibadak Afdeeling Sukabumi; putra

Raden Achmad Idris di dalam arsip hanya diketahui sesuai dengan data arsip sebagai Penghulu di Tanah Baru Afdeeling Bogor; putra

Raden Kanon di dalam arsip hanya diketahui sesuai dengan data arsip sebagai Demang Kepala di Distrik Cibinong Afdeeling Bogor; putra

Raden Kojong Djatinagara di dalam arsip hanya diketahui sesuai dengan data arsip sebagai orang yang tinggal di Jatinagara Meester Cornelis Batavia; putra

Raden Sarip Tajul Aripin yang memiliki nama lain sebagai Sarip Tajul Arifin Djatinagara di dalam arsip hanya diketahui sesuai dengan data arsip sebagai orang yang tinggal di Jatinegara; putra

Pangeran Sageri Jatinagara di dalam arsip hanya diketahui sesuai dengan data arsip sebagai seorang Pangeran yang tinggal di Djatinagara Distrik dan Afdeeling Meester Cornelis; putra

Sultan Abdoel Fatah yang memiliki nama lain sebagai Sultan Sarip Abdoel Patahi Bantan di dalam arsip hanya diketahui sesuai dengan data arsip”.

(8) Sultan-Sultan Berpangkal Pada Genealogi Para Penyebar Islam
Secara khusus perhatian dapat diberikan kepada sultan-sultan Banten yang eksistensinya dapat dibuktikan langsung melalui surat-surat diplomatik yang dibuat dan tersimpan diantaranya di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), The National Arhives London, British Library London (BL), Royal Library Copenhagen (RL), Nationale Archive Denhahaag (NA), dan Universiteits Bibliotheek Leiden (UB).

Sementara nama yang muncul dalam arsip “Surat Keterangan Silsilah Raden Kahfi Asmadiredja” sebagai “Sultan Abdoel Fatah” atau “Sultan Sarip Abdoel Patahi Bantan” yang menjadi pokok dari nasabnya sendiri, secara mutlak sebenarnya dapat dikonfirmasi keberadaannya secara ilmiah dan akademik kepada keterangan sejarah berupa arsip-arsip atau surat-surat yang dibuat oleh dirinya sendiri sebagai pihak pertama pada zamannya (sumber primer) dengan nama resmi sebagai “Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Bantan”, yang secara popular dalam kajian sejarah dan narasi sejarah baku disebut sebagai “Sultan Ageng Tirtayasa”.

Maka selanjutnya, keterangan tersebut dapat dijadikan basis di dalam melakukan validasi terhadap serangkaian keterangan dan ketokohan yang termaktub di dalam arsip keluarga tersebut. Demikian juga keterangan mengenai identitas Sultan Ageng Tirtayasa dan penetrasi keturunannya yang berdiaspora menuju ke Jatinegara kemudian ke Bogor dan kemudian lagi ke Sukabumi, sebenarnya menjadi cukup mudah dan terpetakan duduk persoalan persebarannya (khusus dalam aspek penyebaran dalam pokok silsilah Raden Kahfi Asmadiredja).

Kehadiran data yang dihasilkan di dalam analisa tersebut akan menjadi dasar yang baik dalam menggambarkan bagaimana pergeseran nasab dari penguasa periode Hindu-Budha menuju periode kesultanan Islam pada dasarnya memang berjalan melalui proses Islamisasi melalui pendekatan pernikahan silang (inter marriege) antara pendatang, yang dalam hal ini para penyebar Islam dengan para wanita bangsawan setempat, yang dalam hal ini merupakan para putri atau para wanita bangsawan Sunda asal periode penguasa kerajaan Hindu-Budha terakhir di Tatar Sunda (apabila kajian nasab diperluas hingga jangkauan pada sosok Sultan Syarif Maulana Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati asal Cirebon).

Rasanya dasar-dasar validasi data dari Raden Kahfi Asmadiredja hingga Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Bantan bukan merupakan suatu hal yang mustahil untuk bisa diverifikasi dengan hadirnya catatan yang baik dan memadai, demikian juga konfirmasi terhadap Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Bantan hingga Sultan Syarif Maulana Hidayatullah Cirebon juga bukan hal yang mustahil untuk diverifikasi melalui sejumlah arsip, dokumen, dan kitab-kitab klasik yang bersifat kredibel dan otoritatif sebagai produk kesadaran sejarah pada masa silam.

Adapun susunan pancakaki dari Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Bantan hingga Sultan Syarif Maulana Hidayatullah Cirebon secara tradisional dan konvensional sudah mutawatir dan mashur sebagaimana berikut Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah putra Sultan Abu Al Ma’ali Ahmad Banten putra Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir Banten putra Sultan Syarif Maulana Muhammad Banten putra Sultan Syarif Maulana Yusuf Banten putra Sultan Syarif Maulana Hasanudin Banten putra Sultan Syarif Maulana Hidayatullah Cirebon.

Sehingga susunan dari Raden Kahfi Asmadiredja seorang pekerja partikulir sebagai Mandor Besar Perkebunan N.V. Onderneming Afdeeling Sinagar Cirohani Sukabumi di Desa Nagrak Distrik Cibadak Afdeeling Sukabumi di hingga Sultan Syarif Maulana Hasanudin Banten putra Sultan Syarif Maulana Hidayatullah Cirebon dapat disusun secara hipotetik sebagaimana berikut (dengan ejaan baru yang diseragamkan) Raden Kahfi Asmadiredja putra Raden Raksapradja putra Raden Ismail putra Raden Achmad Idris putra Raden Kanon putra Raden Kojong putra Raden Sarip Tajul Aripin putra Pangeran Sageri putra Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah putra Sultan Abu Al Ma’ali Ahmad Banten putra Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir Banten putra Sultan Syarif Maulana Muhammad Banten putra Sultan Syarif Maulana Yusuf Banten putra Sultan Syarif Maulana Hasanudin Banten putra Sultan Syarif Maulana Hidayatullah Cirebon.

(9) Catatan Nasab dan Pangkal Komitmen Teologis
Dengan demikian, Raden Kahfi Asmadiredja merupakan generasi ke 15 dari sosok Sultan Syarif Maulana Hidayatullah Cirebon (Sunan Gunung Djati). Suatu zaman yang membentang dari abad ke-20 M hingga abad ke-16 M (4 abad/+- 400 tahun) belum sepenuhnya rusak dan dilupakan, melainkan masih terpelihara pada banyak pokok-pokok keluarga yang masih ada hingga hari ini.

Karena mulai longgarnya penerapan kaifiah dalam munakahat (dalam tradisi pernikahan menak), maka garis silsilah laki-laki yang berkelanjutan dan lurus pada pangkal keluarga tanpa adanya interupsi memang menjadi permasalahan dalam penerapan kaidah katakanlah pemargaan kelurga.

Namun demikian, selain masih dimilikinya kenangan dan kebanggaan yang ada terhadap garis silsilahnya meskipun berasal dari pokok garis perempuan; garis silsilah laki-laki yang berkelanjutan dan lurus pada pangkal keluarga yang secara tradisional masih tetap ada dan terpelihara hingga hari ini di Tatar Sunda.

Catatan nasab ini dibuat bukan dalam pengertian yang berkembang sebagai “agul ku payung butut” melainkan sebagai konsekuensi dan tanggapan yang rasional dan realistis atas gejala yang berkembang mengenai nasab dan sandara legitimasi kekuasaan masa silam. Hari ini adalah hari yang baru yang mana tatanan zaman telah lama berubah. Namun demikian, hal-hal yang bersifat tradisional dan konvensional tidak akan pernah bisa dicampakan atau dimusnahkan begitu saja, seperti membuang sebuah benda yang sudah jelek.

Catatan nasab dan kesadaran soal nasab merupakan suatu hal yang inheren dalam diri setiap manusia. Dia tidak saja berbicara secara dangkal dalam sudut pandang legitimasi atas supremasi kekuasaan (bangsawan), melainkan khusus dalam konteks ini merupakan akar dan bukti yang paling tidak bisa dibantah atas hadirnya proses sukses islamisasi di Tatar Sunda secara gilang gemilang.

Bukti tersebut bukan capaian semata pencapaian aspek kekuasaan (struktural) dan kebudayaan (kultural), melainkan pencapaian maqom spiritual dan teologis. Keislaman kita merupakan bukti yang paling eksak dan presisisi yang merupakan warisan terbesar dari hasil kinerja islamisasi di Tatar Sunda.

Batujajar, 14 Juli 2022 M

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".