KONSEP TRI TANGTU BERDASARKAN NASKAH AMANAT GALUNGGUNG
1. Rama dan Resi
“Asing iya nu meunangkeun kabuyutan na galunggung, iya sakti tapa, iya jaya prang, iya heubeul nyewana, iya bagya na drabya sakatiwatiwana, iya ta supagi katinggalan rama resi.” (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987; Bab IV Amanat Galunggung, 4.1. Penyajian Teks, halaman 120)
‘Siapa pun yang yang dapat menguasai kabuyutan di galunggung, iya akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul perang, ia akan lama berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun-temurun, yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama dan para resi’. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987; Bab IV Amanat Galunggung, 4.2. Terjemahan, halaman 125)
Penjelasan:
Perlu diketahui lebih awal bahwa naskah Amanat Galunggung berisi nasihat dan pengajaran yang dilakukan oleh Rakeyan Darmasiksa kepada anaknya yang bernama Sang Lumahing Taman. Nasihat dan pengajaran Rakeyan Darmasiksa kepada Sang Lumahing Taman itu dinarasikan oleh bujangga yang penulis naskah Amat Galunggung (anonim) melalui perkataan putra dari Sang Lumahing Taman yang bernama Sang Raja Purana. Adapun garis silsilah dari Rakeyan Darmasiksa itu sendiri di dalam naskah dikatakan sebagai putra Sang Lumahing Ujung Kembang putra Sang Lumahing Tasikpanjang putra Sang Lumahing Winduraja putra Sang Lumahing Rana putra Prabu Sanghyang putra Baduga Sanghyang putra Maharaja Dewata putra Rahyang Banga yang memiliki nama lain sebagai Rahyangta Wuwus. Narasi pengajaran dari Sang Raja Purana tersebut terwariskan secara turun-temurun kepada generasi anak-cucu keturunan dari Rakeyan Darmasiksa. Lebih tepatnya hingga mencapai generasi Wit Wekas yang berarti generasi kesembilan (ke-9), yang bisa jadi mewakili kesadaran zaman dari bujangganya itu sendiri yang hidup pada masa generasi ke-9 dari Rakeyan Darmasiksa.
Rakeyan Darmasiksa menasihati putranya Sang Lumahing Taman agar jangan melupakan kabuyutan Galunggung yang mana menyimpan rahasia kejayaan. Karena terdapatnya rahasia kejayaan itulah maka kabuyutan Galunggung harus dijaga dan dipertahankan agar jangan sampai jatuh kepada pihak-pihak lain yang menjadi musuh atau bukan merupakan bagian dari internal keluarga atau entitas unit administrasi geopolitik lainnya dan termasuk harus dijaga dan dipertahankan dari kalangan para pedagang (yakni orang Sunda, Jawa, Lampung, Baluk, Cina, dan yang lainnya).
Apabila dikomparasi dengan naskah-naskah Sunda kuno lainnya, hal itu beralasan karena Rakeyan Darmasiksa itu sendiri sebelum menjadi raja Sunda sebenarnya berasal dari kabuyutan Galunggung (sebagai bagian dari unit administrasi geopolitik Galuh). Dan apabila dikomparasi dengan naskah-naskah Sunda kuno lainnya, istilah lainnya dari kabuyutan adalah mandala. Adapun kabuyutan atau mandala adalah wilayah semi otonom yang berada di bawah perlindungan dan pembiayaan kerajaan pusat sebagai pusat pendidikan dan keagamaan bagi para bangsawan kerajaan.
Meskipun memiliki kekuasaan atas wilayah yang telah diwakafkan oleh kerajaan dan terbebas dari pungutan pajak pembangunan, kabuyutan atau mandala apabila dapat diilustrasikan secara lebih mudah berarti sebenarny sebuah perguruan tinggi. Katakanlah semacam universitas dalam citarasa modern dan pesantren dalam citarasa periode Islam.
Karena salah-satu basis terpenting yang dimiliki oleh kabuyutan atau mandala sebagaimana yang bisa dilacak di dalam keterangan naskah Bujangga Manik sebenarnya adalah ketersediaan atas sumber-sumber kepustakaan negara. Kepustakaan itulah rahasia suatu kejayaan yang dimiliki oleh Rakeyan Darmasiksa yang berasal dari pewaris tradisi intelektual kabuyutan Galunggung.
Rakeyan Darmasiksa merupakan Resi yang kemudian diangkat menjadi Ratu. Rakeyan Darmasiksa merupakan tipologi Raja-Resi, yakni Raja yang bercitarasa sebagai Resi. Atau Raja yang pada hakikatnya adalah Resi. Rakeyan Darmasiksa merupakan mantan pejabat Rektor atau Kiai dalam citarasa Universits dan Pesantren apabila meminjam skema modern dan periode Islam tersebut.
Sehingga anak-cucunya kemudian diingatkan agar jangan pernah melupakan akarnya yang berasal dari tradisi kabuyutan atau mandala, yang pada hakikatnya berasal dari akar tradisi Resi. Maka apabila kasarnya atau pahitnya, suatu hari anak-cucu keturunannya yang mewarisi tradisi Raja-Raja (Ratu) sampai ditinggalkan oleh Rama (rakyat pada umumnya atau lebih tepatnya dalam hal ini para tetua masyarakat) dan Resi kerajaan, hal itu bukan menjadi suatu masalah yang besar bagi mereka. Dengan syarat bisa tetap menjaga amanat kelestarian kabuyutan atau mandala Galunggung dapat dilakukan dengan baik.
Amanat penjagaan atas kabuyutan Galunggung tersebut, logika narasinya telah diberikan oleh Rakeyan Darmasiksa yang di dalam naskah Sunda kuno lainnya disebut dengan Prabu Sanghyang Wisnu kepada anaknya tersebut yakni Sang Lumahing Taman yang di dalam naskah Sunda kuno lainnya dikenal juga dengan nama Prabu Ragasuci setelah naik tahta untuk menggantikan ayahnya sebagai raja Sunda (Sunda-Galuh bersatu) juga.
Sang Lumahing Taman di dalam naskah tersebut ditekankan oleh ayahnya, bahwa apabila gagal dalam menjaga kabuyutan Galunggung terjadi. Maka kedudukannya sebagai Rajaputra (‘raja anak’, ‘raja kecil’, pangeran) tidak akan lebih baik daripada nilai sebuah kulit lasun (garangan, semacam musang) di tempat sampah (jarian).
Melalui penjelasan tersebut, jelas sudah bahwa konsep Rama dan Resi tidak dapat dipisahkan dari konsep Ratu sebagai bagian dari wacana konsep Tri Tangtu.
2. Sang Pandita
“Jaga rang a(ng)eus dihelwan, munuh tanpa dwasa, ngajwal tanpa dwasa, nguniweh tanpa bakti di sang pandita di puhun di maneh, na carita beunang ku sakalih ngaranya” (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987; Bab IV Amanat Galunggung, 4.1. Penyajian Teks, halaman 120)
‘Ikutilah terus (pantangan-pantangan) yang telah ditaati, (yaitu) membunuh (yang) tak berdosa, memarahi (yang) tak bersalah, demikian pula tidak berbakti kepada pendeta dan leluhur kita sendiri, dalam peristiwa dapat direbutnya kabuyutan oleh orang lain’. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987; Bab IV Amanat Galunggung, 4.2. Terjemahan, halaman 126)
Penjelasan:
Sebagaimana telah dibahas pada bagian tulisan sebelumnya (Konsep Tri Tangtu Berdasarkan Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian), maka konsep Sang Pandita pada sumber kutipan di atas akan berarti ekivalen, sinonim, sebangun, atau memiliki asosiasi yang terhubung dan identik dengan konsep Resi. Di sini Rakeyan Darmasiksa menekankan kepada putranya Sang Lumahing Taman agar mampu untuk selalu berbakti kepada Sang Pandita sebagai salah-satu dasar yang kuat yang dapat mengakibatkan terjaganya kedudukan kabuyutan Galunggung dari pihak-pihak lain yang tidak diharapkan.
Dasar-dasar penguat lainnya adalah berbakti kepada leluhurnya sendiri yang berasal dari tradisi Raja-Resi dan juga mampu untuk selalu menjalankan pantangan-pantangan agama yang diyakininya. Sang Pandita dalam narasi ini menjadi subjek yang berlawanan dengan Rakeyan Darmasiksa yang sedang memberikan pengajaran yang berkedudukan sebagai Ratu dan putranya Sang Lumahing Taman yang merupakan Rajaputra (calon raja) yang suatu hari akan menggantikan kedudukannya sebagai Ratu (meskipun keduanya berasal dari tradisi Resi atau Pandita itu sendiri).
Melalui analisa ini, Sang Pandita yang berarti sinonim dengan Resi menjadi bagian integral dari konsep Tri Tangtu.
3. Tani dan Raja
“Upadina pa(n)day beusi panday omas, memen paraguna, hamba lawak, tani gusti, lanang wadon,nguniweh na raja puta” (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987; Bab IV Amanat Galunggung, 4.1. Penyajian Teks, halaman 120)
‘Bandingannya: pandai besi dengan pandai emas, dalang dengan penabuh gamelan, hamba dengan majikan, petani dengan pemilik tanah, laki-laki dengan perempuan, demikian pula raja dengan upeti (persembahan)’. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987; Bab IV Amanat Galunggung, 4.2. Terjemahan, halaman 126)
Penjelasan:
Perbandingan dalam naskah tersebut sebenarnya bukan perbandingan dalam pengertiam makna yang berlawanan atau bertentangan (antonim atau kontradiksi), melainkan perbandingan dalam bentuk kesebangunan atau kesepaketan atau dalam suatu kategori umum yang sama atau serupa atau gagasan yang terhubung hanya saja dianggap memiliki tingkatan yang berbeda dalam kualitas nilai tinggi dan rendahnya. Maka emas (omas) berbanding besi (beusi), dalang (memen) berbanding nayaga (paraguna), abdi (hamba) berbanding lawak (tuan), petani (tani) berbanding wado (gusti), laki-laki (lanang) berbanding perempuan (wadon), dan raja (raja) berbanding putra (puta).
Dengan demikian, saya memilih untuk menerjemahkan kata puta bukan menjadi upeti sebagaimana yang terdapat dalam sumber terssbut melainkan putra. Putra yang merupakan bahasa Sunda Kuno yang berasal dari bahasa Kawi yang pada gilirannya berasal bahasa Sanskerta, dalam bahasa Prakertanya adalah Putta. Dari bahasa Prakerta Putta turun kepada bahasa Pali dan Marati kuno menjadi Puta. Di dalam bahasa Hindi (India) dan Urdu (Pakistan) modern kini kata tersebut diucapkan dengan Put. Sementara di dalam bahasa Sinhala modern disebut Puta.
Raja dan Puta (Prakerta) atau Putra (Sanskerta) yang dalam bahasa Sanskerta lainnya sama dengan istilah Sunu (Inggris, Son) yang juga berarti anak. Sehingga perbandingan tersebut sebenarnya secara umum menekankan adanya titik perbedaan dalam soal derajat dan nilainnya saja, yang mana antara yang satu dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya.
Di sini dengan suatu kejelian analisa dapat diketahui bahwa Raja dan Puta berada pada kategori umum yang sama yakni sama-sama membicarakan mengenai konsep Raja yang dalam konsep lainnya disebut dengan Ratu. Adapun konsep Tani dan Gusti yang mana dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian disebut dengan Wado dengan demikian berada pada kategori umum yang sama-sama membicarakan mengenai Tani yang dalam konsep lainnya disebut dengan Rama.
Melalui analisa ini kita bisa mengasumsikan bahwa seperti halnya konsep Ratu atau Raja yang memiliki kompleksitas dalam wilayah teknis operasionalnya berdasarkan gradasi nilainya. Maka demikian juga kita bisa mengasumsikan bahwa konsep Tani atau Rama juga memiliki kompleksitas dalam wilayah teknis operasionalnya yang didasarkan atas adanya gradasi nilainya.
Tani atau Rama dengan demikian tidak hanya berasosiasi dengan buruh tani melainkan juga berarti dengan tuan tanah (gusti) yang dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesia n disebut dengan wado (barangkali pengawas pertanian). Yant apabila meminjam khazanah pengetahuan mengenai aristokrasi barat, maka gusti dan wado bisa jadi setara dengan gagasan-gagasan seperti baron, lord, duke dan lain sebagainya yang merupakan penguasa dan sekaligus tuan tanah pada wilayah-wilayah administrasi pedesaan dan daerah. Itulah kemungkinan interpretasi gagasan Rama dalam tingkatan kompleksitasnya.
Tani dan Raja dalam konsepsi umumnya maka setara dengan gagasan Rama dan Ratu dalam konteks konsep Tri Tangtu.
4. Sang Prabu dan Sang Rama
“Jaga diturutan ku na urang reya, marapan atis ikang desa, sang prabu enak alungguh, sang rama enak amangan, sang disi jaya prang, jaga isos di carek nu kwalwat, ngalalwakeun agama nu nyusuk na galunggung, marapan jaya prang jadyan tahun, heubeul nyewana, jaga makeyana patikrama, paninggalna sya seda”. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987; Bab IV Amanat Galunggung, 4.1. Penyajian Teks, halaman 121)
‘Peliharalah (agar tetap) ditaati oleh orang banyak, agar aman tentram seluruh negeri; raja tentram bertahta, sang rama tentram menghimpun bahan makanan, sang disi unggul perangnya. Tetaplah mengikuti ucap orang tua, melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya (panjang umur), sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama, warisan dari para suwargi’. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987; Bab IV Amanat Galunggung, 4.2. Terjemahan, halaman 127)
Penjelasan:
Apa yang dijaga dan dipelihara adalah nasihat dan pengajaran dari Rakeyan Darmasiksa kepada Sang Lumahing Taman yang kemudian sampai dan diamini oleh cucunya Sang Raja Purana. Dengan cara itu maka mereka yang merupakan anak-cucu Rakeyan Darmasiksa dalam hal ini Sang Lumahing Taman dan Sang Raja Purana dapat diikuti dan dihormati masyarakat luas dan negaranya pun akan aman sentosa karena berpijak pada nilai-nilai pengajaran dan agama yang baik. Dengan menerapkan nasihat dan pengajaran yang diberikan oleh Rakeyan Darmasiksa tersebut maka Sang Prabu dijamin akan nyaman bertahta (enak alungguh), Sang Rama nyaman makan (enak amangan), dan Sang Disi menang bertempur (jaya prang).
Sang Prabu dengan demikian ekivalen dengan Ratu dan Sang Rama ekivalen dengan Rama. Sementara Sang Disi yang dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian disebut Disi semakin terjelaskan bahwa kedudukannya merupakan sebagai Panglima Perang kerajaan. Sang Disi bersama dengan Sang Prabu dan Sang Rama dengan demikian masuk pada kategori dari pengejawantahan Panca Byapara dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian.
Selanjutnya ditekankan kembali bahwa agar unggul dalam perang, agar tanaman dan pepohonan tumbuh dengan subur, agar usia kekuasaan panjang, maka ikutilah nasihat orang tua. Maka ikutilah juga agama dari orang yang mengukuhkan (nyusuk) kedudukan kabuyutan Galunggung. Ikutilah juga tata cara, etika, sopan-santun gaya kepempimpinan (patikrama) dari sang seda tersebut.
Nyusuk tidak harus berarti menyodet atau membuat parit. Nyusuk bisa diartikan mendirikan, mengukuhkan, membangun, dan menegakan kabuyutan Galunggung. Lalu siapakah yang dirujuk dalam nyusuk, dalam landasan patikrama, yang harus diikuti segala nasihat dan pengajarannya tersebut? Apabila hanya merujuk pada konteks naskah tentu saja adalah Rakeyan Darmasiksa itu sendiri. Lalu bagaimana dengan adanya keterangan yang terdapat di dalam Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di Leuwisari, Galunggung, Tasikmalaya yang mengatakan bahwa yang nyusuk di kawasan ‘Galunggung’ tersebut bernama Batari Hyang dengan tarikh 1033 Saka (sekitar 1111 M)?
Maka menurut hemat penulis, angka tahun tersebut tidak berselisih dengan perkiraan angka tahun hidup dan masa berkuasanya Rakeyan Darmasiksa yang merupakan raja ke-25 dalam daftar penguasa kerajaan Sunda. Dengan kata lain, penulis mengajukan hipotesa bahwa Batari Hyang tidak lain adalah Rakeyan Darmasiksa dalam tradisi narasi prosa sejarah naskah Amanat Galunggung sebagai orang yang nyusuk kabuyutan atau mandala Galunggung.
Sang Prabu dan Sang Rama dengan demikian merupakan ekivalen dari Ratu dan Rama dalam konsep Tri Tangtu.
5. Sang Rama, Sang Resi, dan Sang Prabu
“Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu, haywa paalaala palungguhan, haywa paalaala pameunang, haywa paalaala demakan, apan pada pawitanya, pada mulianya, maka pada mulia, ku ulah, ku sabda, (ku) ambek.” (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987; Bab IV Amanat Galunggung, 4.1. Penyajian Teks, halaman 121)
‘Dunia kemakmuran tanggung jawab sang rama, dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan tanggung jawab sang prabu. Jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah, karena sama asal-usulnya, sama mulianya. Oleh karena itu bersama-samalah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, dengan ucapan, dengan itikad.’ (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987; Bab IV Amanat Galunggung, 4.2. Terjemahan, halaman 127)
Penjelasan:
Ini merupakan pernyataan yang ditunggu-tunggu yang pada akhirnya keluar juga. Bahwa di dalam naskah Amanat Galunggung, sebagaimana yang juga terdapat di dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, terdapat kesadaran mengenai konstruk politik dan tata negara yang sama-sama dibangun di atas dasar konsepsi Tri Tangtu. Sang Rama, Sang Resi, dan Sang Prabu dengan demikian ekivalen dengan istilah lainnya sebagai Rama, Resi, dan Ratu.
Apabila merujuk pada bahasa Sanskrit Daran bisa diartikan sebagai pohon. Istilah lainnya adalah Vriksa, Taru, Daru, Druma, dan Vriksa. Kata Daran juga kemudian terhubung dengan kekayaan. Sehingga menterjemahkan dunia kemakmuran menjadi tanggung jawab Sang Rama (jagat daranan di sang rama) sudah tepat, dalam pengertian pencapaian material.
Sementara kreta kemungkinan dari bahasa Sanskerta Kratu yang berarti kecerdasan, pemahaman, pencerahan, rencana, gagasan, kekuatan, keagungan, dan kemampuan. Kata kratu tersebut yang juga akan terserap ke dalam bahasa Sunda menjadi Ratu, Karatuan, Kadatuan, Kadaton, dan seterusnya. Dalam bahasa Yunani terhubung dengan kata Kratos yang berarti keagungan, kekuatan, kekuatan, dan kekuasaan yang kemudian membentuk kata modern seperto Demokrasi.
Apabila diterjemahkan sebagai dunia kesejahteraan tanggung jawab Sang Resi (jagat kreta di sang resi) maka kesejahteraan tersebut dalam pengertian kesejahteraan dan ketenangan batin, keamanan dan kesentosaan yang didasarkan atas tegaknya pengajaran dan peraturan agama yang membawa pada nilai-nilai kebajikan.
Adapun pengertian palangka sudah cukup jelas dalam terminologi masyakarat Sunda terhubung dengan batu pipih persegi tempat dilaksanakannya penobatan raja-raja Sunda. Sehingga dunia pemerintahan tanggung jawab Sang Ratu (jagat palangka di sang prabu) sudah tepat. Pemerintahan dan kekuasaan merupakan domain dari seorang raja.
Sang Prabu, Sang Rama, dan Sang Resi tidak boleh berebut kedudukan, penghasilan, dan hadiah karena memiliki peran, fungsi, dan ganjarannya tersendiri baik secara material maupun non material yang sama dan setara. Dan lagi dikatakan dalam naskah tersebut, pada dasarnya ketiganya berasal dari sumber atau asal-usul yang sama-sama mulianya. Asal-usul tersebut bisa merujuk pada asal-usul kemuliaan manusia secara umum atau bisa jadi pemangku jatan dan peran berbeda tersebut pada mulanya merupakan satu wangsa (dinasti) dari aristokrasi yang sama.
Sang Rama, Sang Resi, dan Sang Prabu jelas merupakan ekivalen dari Rama, Resi, dan Ratu dalam konsep Tri Tangtu.
6. Rama
“Urang menak maka rampes agama, haat heman dina janma, mana urang ka(n)del kulina, mana urang dipajarkeun mena(k) ku na rama”. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987; Bab IV Amanat Galunggung, 4.1. Penyajian Teks, halaman 121)
‘Kita merasa senang, maka sempurna agama, kasih sayang kepada sesama manusia, maka kita dianggap bangsawan, maka kita dikatakan mulia oleh sang rama’. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987; Bab IV Amanat Galunggung, 4.2. Terjemahan, halaman 128)
Penjelasan:
Dengan menjaga nasihat dan pengajaran yang diberikan Rakeyan Darmasiksa maka diharapkan mereka akan mencapai rasa enak, kesenangan, atau kebahagiaan (menak). Sehingga dengan begitu diharapkan penegakan peraturan dan pelaksanaan agama menjadi sempurna terlaksana (rampes agama). Kemudian apabila mampu bersikap kasih sayang (haat heman) kepada sesama manusia (dina janma) maka akan dianggap tebal pekerjaanya atau tebal penghasilannya (kandel kulina), dan dianggap enak, senang, dan bahagia kedudukannya oleh Rama (rakyat). Terjemahan kandel kulina tersebut interpretasi penulis pribadi karena di dalam sumber terjemahan tersebut tidak dilakukan penerjemahan secara memadai (bahkan dilewati).
Anak-cucu Rakeyan Darmasiksa tersebut tentu saja pewaris tradisi Ratu meskipun berakar dari tradisi Resi (dan kemudian menjadi Raja-Resi). Sehingga yang diharapkan menjadi ‘Menak’ dengan demikian adalah Ratu. Sementara yang berhak memberikan penilaian dan bahkan penisbatan yang hakiki terhadap kedudukan dan kemuliaan sebagai ‘Menak’ atau Ratu tersebut pada hakikatnya bukan oleh dirinya sendiri. Melainkan oleh Rama atas dasar sikap dan perbuatannya yang memang membuat kesan baik kepada Rama (masyarakat).
Adapun pengajaran dan nasihat Rakeyan Darmasiksa tersebut bukan agama. Karena jelas dikatakan di dalam naskah kedudukannya merupakan perbuatan untuk mendidik atau mengajar (ngawarah) dan nasihat atau ucapan pengingat (carek)kepada anak-cucunya. Sementara agama dari Rakeyan Darmasiksa itu sendiri tergambarkan bahwa sikap kebajikan itu akan membawa pada Surga (swarga) yang mampu membawa pada hadirat Siwa (tkating kahyangan Batara Guru).
Sementara sikap buruk akan membawa pada nasib bergelimpangan di dalam penderitaan (katang-katang di kalisa) di dalam kawah yang dikuasai Sang Yamadipati (di kawah ma ku Sang Yamadipati). Dengan demikian cukup jelas bahwa pokok agama dari Rakeyan Darmasiksa adalah Hindu (Sanata Darma) dengan lebih tepatnya beraliran Siwa (Batara Guru). Demikian juga kedudukan naskah yang cukup jelas dibuka dengan kalimat Awignam Astu (semoga berada dalam limpahan keberkahan).
Rama merupakan bagian dari konsep Tri Tangtu, demikian juga Ratu yang diisyaratkan dari tersitirnya wacana Menak (manak) baik sebagai kata sifat maupun kata benda.
Temuan:
1. Meskipun tidak seperti keterangan di dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian yang menunjukkan koherensi yang banyak antara satu keterangan dengan keterangan lainnya yang dapat menunjukan adanya satu kesatuan wacana Tri Tangtu. Namun demikian, terdapat satu kejelasan yang membuat keterangan-keterangan yang kurang terkorespondensikan antara satu keterangan dengan keterangan lainnya di dalam naskah Amanat Galunggung menjadi sangat bermakna. Bahwa terdapat suatu konstruksi kesadaran yang sama yang mana gagasan soal politik dan tata negara di dalam naskah Amanat Galunggung juga dibangun berdasarkan gagasan Tri Tangtu (meskipun tidak di dapati peristilahan khusus Tri Tangtu di dalamnya).
2. Yakni melalui keterangan “Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu” (dunia kemakmuran bagian Sang Rama, dunia kesejahteraan bagian Sang Resi, dunia kekuasaan bagian Sang Prabu).
3. Dan dalam derajat yang cukup meyakinkan selanjutnya karena terhubung dengan sebagian konsep pengejawantahan Panca Byapara di dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian “sang prabu enak alungguh, sang rama enak amangan, sang disi jaya prang” (Sang Prabu nyaman bertahta, Sang Rama nyaman bertani, Sang Disi menang berperang).
4. Sehingga dengan kedua kutipan tersebut dapat membuat konsep-konsep yang terpencar lainnya dari konsep Tri Tangtu dan variasi konsep lainnya di dalam naskah Amanat Galunggung tersebut menajadi sangat bermakna dan meyakinkan sebagai bagian dari adanya kesadaran konsep Tri Tangtu.
5. Adapun sisi keunggulan naskah Amanat Galunggung dibandingkan dengan naskah Sanghyang Siksakandang Karesian dalam konteks penelusuran Tri Tangtu ini (dibalik kekurangannya yang minim koherensi dan korespondensi), adalah kejelasan yang diberikan melalui narasi yang dibangun oleh bujangga naskah tersebut, bahwa gagasan mengenai Tri Tangtu merupakan bagian dari pengajaran (warah) dan nasihat (carek) Rakeyan Darmasiksa kepada anak-cucunya. Sehingga dengan kata lain gagasan mengenai Tri Tangtu secara tidak langsung merupakan gagasan yang dinisbatkan pada buah pikir hasil pengajaran Rakeyan Darmasiksa.
Batujajar, 3 Juli 2022 M
Gelar Taufiq Kusumawardhana
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.