Pernahkah mendengar gagasan dimana pergerakan Islam ditempatkan sebagai fundamentalisme agama, yang dengan bahasa lainnya dikatakan sebagai ekstrim Kanan?
Istilah ekstrim Kanan yang disematkan ke dalam pergerakan Islam secara teoretik sebenarnya perlu dikritisi ulang secara tajam, jika kita mau mengembalikannya kepada akar mendasar kelahiran sejarah teoretik dan konseptualnya.
Kanan itu sebenarnya sayap Liberalis, Kapitalis, atau dengan kata lain Liberalisme-Kapitalisme. Dan kiri itu sebenarnya sayap Sosialisme, Komunisme, atau dengan kata lain Sosialisme-Komunisme.
Akar dari gagasan Liberalisme-Kapitalisme adalah gagasan soal Bourgeoisie (Borjuasi). Sementara akar dari Sosialisme-Komunisme adalah Proletarien (Proletariat).
Apakah Borjuasi itu? Borjuasi itu kelas atau kaum atau golongan Borjuis. Borjuis itu Pedagang, yang dalam bahasa Sanskrit setara dengan gagasan Waisya dalam sistem Catur Varna.
Sementara itu apakah Proletariat itu? Proletariat itu kelas atau kaum atau golongan Buruh atau Upahan, yang dalam bahasa Sanskrit setara dengan gagasan Sudra dalam sistem Varna (Golongan) atau Catur Varna (Empat Golongan).
Di dalam kebudayaan Eropa dari abad Pertengahan hingga Modern, sistem Catur Varna dalam kebudayaan Hindu itu dinamai Estates of the Realm (Golongan-Golongan Kerajaan) dalam kebudayaan Christendom (Kekristenan).
Di Eropa, golongan Borjuis yang merupakan golongan ekonomi menengah (middle class) dan Proletar golongan ekonomi rendah (lower class) ada yang membuatnya menjadi dua golongan terpisah (golongan ketiga dan golongan keempat) dan ada yang menjadikannya golongan yang sama (keduanya golongan ketiga), seperti halnya di Perancis.
Fungsi adanya seluk-beluk golongan tersebut sebenarnya untuk memudahkan dalam memberikan perwakilan atau representasi suara dan sikap politik dalam tubuh Etats Generaux, atau Estates General, atau States General yang merupakan Majelis Umum yang bertugas dalam bidang Legislasi dan Konsultasi pada tubuh Kerajaan.
Di Peranci, Borjuis dan Proletar adalah dua sayap yang menyatu sebagai Golongan Ketiga, yang biasa disebut juga dengan golongan Commone. Commone, artinya Umum, Biasa, Jelata, Cacah, Somah, atau Rakyat yang dalam bahasa Inggris disebut Common, atau Common People. Communist atau Commoner (Indonesia: Komunis) artinya Golongan Rakyat Jelata. Jadi baik Borjuis maupun Proletar di dalam sistem politik kebudayaan Kristen adalah sama-sama Rakyat Jelata, sebagaimana juga golongan Waisya dan golongan Sudra dalam sistem politik kebudayaan Hindu.
Kemudian golongan apa yang berada di atas golongan Borjuis dan Proletar (Komunis)? Yang ada di atas golongan Borjuis dan Proletar sebagai Commone People atau Commoner adalah Clerge sebagai golongan pertama dan Nobles sebagai golongan kedua. Clerge atau Prist di dalam bahasa Hindu adalah Pendeta atau Brahmana dan Nobles atau Aristocrate dalam bahasa Hindu adalah Ksatria atau Bangsawan (Vansa/Vamsa).
Dalam bahasa Latin, pada periode Bizantium tiga etat, estate, atau State itu disebut dengan istilah: Pertama, Oratores (Pendoa), Bellatores (Tentara), dan Laboratores (Pekerja: baik dengan Kapital maupun Skill).
Etat, Estate, State, itu akan sebangun dengan beberapa variasi kata Sanskrit dan turunannya misalnya Stana, Istana, Astana, Tata, Satata, dan seterusnya. Balltores itu dalam bahasa Sanskrit sama dengan kata Bala yang berarti kuatan atau pasukan atau tentara.
Dengan kata lain sistem politik dan konseptual Christendom dan Hindu jika kita paham seluk-beluk bahasa dan komparasinya dan juga sedikit asal-usul sumber bersamanya (Commone Heritage) akan membawa pada pengetahuan bahwa sistem dan model Monarkhi (Kerajaan) antara keduanya sama.
Namun sayangnya ketidakpahaman akan hal itu membuat kita terlalu terperangah sehingga membuat segala sesuatu yang datang dari Barat menjadi terlampau keren. Dan melupakan warisan pengalaman masa lalu dimana hal-hal semacam itu sebenarnya sudah matang dan pernah kita lalui berabad-abad lamanya dalam keseharian sejarah kita sendiri.
Golongan Ketiga itu, yakni kaum Borjuis dan kaum Proletar sebagai Kelas Komunis di Etats Generaux (Majlis atau Parlemen) kemudian bergolak dan mulai menghembuskan arus perubahan zaman yang radikal.
Tawaran jalan tengah agar sistem Monarki Absolut (Kerajaan Mutlak) bisa diganti dengan sistem Monarki Konstitusional (Kerajaan Berundang-undang) langsung ditolak mentah-mentah. Sehingga tuntutan untuk meruntuhkan Monarki dan menggantinya dengan sistem Demokrasi (Yunani) atau Republik (Latin) gaya Yunani telah menjadi harga mati Revolusi Prancis.
Tanpa mempertimbangkan pendapat pakar-pakar bahwa Demokrasi dan Republik dalam konseptual Yunani itu sendiri adalah sistem tata pemerintahan terburuk, dimana yang terbaik itu sendiri adalah Monarki (yang sedang ditolak) dan Aristokrasi (yang tidak diambil sebagai jawaban).
Keadaan deadlock pada tubuh Parlemen antara koalisi Golongan Clerge (Brahmana, Pendeta, atau Resi) dan golongan Nobles (Ksatria atau Bangsawan) melawan golongan Komunis (Waisya dan Sudra) yang tentu saja dibantu pembelot-pembelot dari golongan Clerge dan Nobles akhirnya dibawa kepada hukum massa jalanan, maka meletuslah Revolusi Perancis dan lahirlah sistem Pemerintahan Komunis Paris (hanya berumur 2 bulan, yakni 18 Mar 1871 M-28 Mei 1871 M) sebagai tandingan. Raja dan Kerajaan pada akhirnya berhasil diruntuhkan juga.
Pada suatu hari, wacana akan terus bergulir dimana pertentangan konseptual dan teoretik akan terjadi antara sesama golongannya sendiri, yakni kaum Borjuis dan kaum Proletar yang kemudian akan dikenal dengan arus kekuatan dan pertentangan antara kaum Liberalisme-Kapitalisme (yang kemudian berkuasa tanpa memberikan perbedaan dan perbaikan tatanan dari Monarki) melawan kaum Sosialisme-Komunisme (yang berdalih akan meruntuhkannya dan kemudian menyempurnakan tahap akhir revolusi).
Lalu muncullah wacana dan tesis untuk meruntuhkan Liberalisme-Kapitalisme melalui Revolusi Komunis atau Revolusi Bolsevik sebagai revolusi tahap akhir menuju tatanan akhir Komunisme melalui transit sebentar pada model Diktator Proletariat (yang pada kenyataannya permanen). Komunis kini menjadi hanya identik dengan Sayap Proletar saja yang pada masa Revolusi Perancis representasinya dikenal dengan golongan Sans Cullotes.
Jadi baik Liberalisme-Kapitalisme maupun Sosialisme-Komunisme adalah dua golongan yang sama-sama berteriak dengan lantang sebagai Kampium Demokrasi dan Kampium Republik dengan jargon yang sama: Liberte, Egalite, dan Fraternite.
Dengan mempelajari struktur Uni Soviet dan Federal USA, semula kita akan melihat bisa saja peralihan sistem Monarki menuju Demokrasi sangat kental dipengaruhi grand teori pembalikan sistem Melakhim menuju Sofatim dalam khazanah Judeo-Christian. Namun demikian, dengan meninjau banyak presisinya, apa yang dilakukan justru masih jauh dari tata aturan baku dan presisi konsepsi Sofatim yang sebenarnya secar sederhana berarti model Kepemimpinan Adat atau model Kepemimpinan Suku (Chieftain Leadership).
Konsep Majelis, bukan hanya ada pada konsep Kristen dan Hindu melainkan juga pada konsep Judaisme dimana kemungkinan besar baik pada konsep Melakhim (Kerajaan) maupun Sofatim (Adat) unsur yang baku sesungguhnya hanya ada dua perwakilan saja, yakni Kepala-Kepala Suku (Sofet) dan Kepala-Kepala Agama (Kohen). Dengan demikian Majelis dengan siatem Dua Kamar, yakni Senat dan Representasi Kepakaran (Cendekiawan).
Golongan Borjuis dan Proletar tidak masuk dalam struktur perwakilan Majelis Syuro karena konsep yang digunakan adalah sistem Pemilihan Perwakilan (Representative), bukan sistem Pemilihan Langsung (Direct).
Demokrasi dan Republik dengan kata lain bukan Sofatim, bukan Khilafah, dan bukan sistem kepemimpinan Adat dan Suku yang dalam bahasa Yunani disebut Aristokrasi [bandingkan konsep kritai, Kratos dengan Sanskrit: Krta, Krti, Karta, Kratu, Kratuan, Kedatuan], melainkan masih menerapkan pola pergeseran yang sama dengan Monarki hanya saja mengganti masa berlaku kekuasaan dan soal noble atau hereditasnya saja.
Sepintas dengan menggerakan basis massa rakyat kita akan melihat adanya Daulah Ummat terjadi, melainkan bukan; dengan memanfaatkan basis massa Kekuatan Rakyat itulah kekuasaan dapat dimanipuasi dan dikuasai oleh golongan atau kelas elit tak tersentuh sebagai pemegang permodalan dan orang-orang yang mau dibayar untuk menyokong dan melanggengkan kekuasaannya, yang bahkan bukan berbasis Nobility dan Clergy itu sendiri.
Dengan demikian apakah fundamentalisme Islam dalam sistem dan grand teori kepimpinan dan tata negara merupakan sayap kanan? Tentu saja bukan. Grand teori Sofatim, Khilafah, Adat dan Suku adalah sistem tawaran alternatif yang sesungguhnya dari kedua barang yang sesungguhnya bersifat substitutif, kompatible, dan komplementer berupa sepasang skrup kekuasaan Borjuasi dan Proletariat yang berada pada dua kutub ekstrim yang sesungguhnya, yakni di seberang kanan dan di seberang kiri namun dari basis pancaran spektrum cahaya yang sama juga. [Illumination from a medieval French manuscript representing the three states of society: from left to right, the clergy (oratores), the nobility (bellatores) and the commoners (laboratores).]
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.