NELEM, MENCELUP KAIN SUPAYA MENJADI BIRU DENGAN NILA
OLEH GELAR TAUFIQ KUSUMAWARDHANA/THE VARMAN INSTITUTE
“A[m]buing kaso[n]dong ngeyek, buat nu di tepas bumi, eker ngeyek eker meber, eker nula[ng]ge mihane, nelem nuar nangkuduan, ngara[n]cet ka[n]teh panulu, ngela sepang ngangen hayam” (f.4r.158-164)
(My mother was found weaving, doing that on the veranda of the house, making ready and tying up threads for dyeing, netting and rolling the thread on the pihane, dyeing black, yellow, and red, pressing the the flossy yarn, boiling brazilwood, stewing hayam (wood?)) (f.4r.158-164)
“Sugan s[i]ya hamo naho, tohaan gelis warangan, ra[m]pes rua ra[m]pes tuah, teher gelis u[n]dahagi, hapitan karaweleya, cuuk ragi hideng telem, ceta hamo diajaran (f.11r.540-545)
(Perhaps you don’t know. (She’s) a beautiful nubile lady, (with) good looks and a good character, beautiful and skilled too, (with a) tough grip (on the loom), (her) fingers and body understand dyeing, expert without having been taught) (f.11r.540-545)
Dalam naskah Bujangga Manik abad ke-15 M, terdapat kata “nelem” yang didasarkan pada hasil transkripsi A.J. West (yang menganggap pada konstruk aksara kuno tidak ditemukan penanda khusus vokal “eu”), atau “neuleum” yang didasarkan pada hasil transkripsi J. Noorduyn dan A. Teeuw (yang menambahkan interpretasi pembunyian dengan penanda khusus vokal “eu”).
Pada hasil transliterasinya tersebut, A.J. West mengartikan kata “nelem” dengan “dyeing black” (mencelup supaya menjadi berwarna hitam). Namun demikian, A.J. West secara terbuka memberikan makna alternatif lainnya yang dirujuk pada bagian catatan kakinya (“Bujangga Manik: or, Java in the fifteenth century: an edition and study of Oxford, Bodleian Library, MS. Jav. b. 3 (R)”, Ph.D. Thessis, Leiden University, 2021).
Yakni, bahwa J. Noorduyn memilih untuk mengartikan kata “neuleum” dengan mencelup supaya menjadi berwarna “blue” (biru). Adapun Aditia Gunawan memilih untuk mengartikan kata “neuleum” dengan mencelup supaya menjadi berwarna “black” (hitam).
Terjemahan kata “neuleum” yang berasosiasi dengan warna “blue” (biru), yang dilakukan oleh J. Noorduyn dan A. Teeuw tersebut, dimuat dalam bukunya yang berjudul “Three Old Sundanese poems” (KITLV, Leiden, 2006 M), yang mana salah-satu isinya merupakan hasil kegiatan transkripsi dan transliterasi terhadap naskah Bujangga Manik.
Adapun Aditia Gunawan menerjemahkan kata “neuleum” yang berasosiasi dengan warna “black” (hitam) tersebut, dalam artikelnya yang berjudul “Textiles in Old-Sundanese Texts” (jurnal Archipel Études Interdisciplinaires sur le Monde Insulindien 98, 2019).
Di dalam artikelnya yang membicarakan hal-ihwal tekstil dalam sumber naskah-naskah Sunda Kuno dan tradisi pantun-pantun yang sudah ditranskripsi tersebut, Aditia Gunawan merujuk pada makna leksikal yang terkandung dalam “Kamus Basa Sunda” yang disusun oleh R.A. Danadibrata (Kiblat Buku Utama dan Universitas Padjadjaran, 2006).
Bahwa “neuleum” artinya ‘dyeing cloth in mud, resulting a black colour’ (mencelup pakaian ke dalam lumpur, sehingga menghasilkan warna hitam). Sementara kata “neuleum” itu sendiri semula secara umum berarti “to submerge so, to dye” (merendam, dengan demikian juga termasuk mencelup dengan pewarna). Adapun kata “neuleum”, semula dibentuk dari kata “teuleum”, yang berarti tenggelam.
Berbeda dengan Aditia Gunawan yang didasarkan pada makna kamus bahasa Sunda (R. A. Danadibrata), J. Noorduyn dan A. Teeuw, dalam bukunya yang berjudul “Three Old Sundanese poems” (diakses melalui hasil terjemahan “Tiga Pesona Sunda Kuno” oleh Hawe Setiawan, Tien Wartini, dan Undang Ahmad Darsa (PT. Dunia Pustaka Jaya, 2009)), mengartikan kata “teuleum” dengan makna “hitam kebiruan”. Sementara kata “neuleum” diartikan dengan makna “mencelup sehingga berwarna biru”.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kata “teuleum” memang berarti “tenggelam” dan kata “neuleum” berarti “menenggelamkan” dalam sudut pandang bahasa Sunda modern. Namun demikian, asosiasinya yang secara khusus merujuk pada warna hitam dan/atau biru sebenarnya menunjukan jejak asal-usul katanya yang tidak bisa dipungkiri akan mengarahkan pada bukti bahwa asal-usul kata tersebut sebenarnya dari bahasa Sanskerta “nila”.
Apabila disederhanakan, kata “nila” dalam bahasa Sanskerta tersebut, pada dasarnya merujuk pada 4 hal yang saling terhubung (bisa dilihat dalam entri kata “nila” pada “A Sanskrit-English Dictionary” susunan Monier Monier-Wiliams, 1899).
Pertama, “nila” merujuk pada pengertiannya sebagai berbagai jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan zat pewarna biru alamiah.
Kedua “nila” merujuk pada pengertiannya sebagai zat penghasil warna biru alamiah untuk mewarnai.
Ketiga “nila” merujuk pada warna yang dihasilkan dari zat penghasil warna biru alamiah.
Keempat “nila” merujuk pada hal-hal lainnya yang dikenai sifat memiliki warna biru.
Bait oktosilabi “nelem, nuar, nangkuduan” pada naskah Bujangga Manik abad ke-15 M, sebenarnya masih bisa dibandingkan dengan Prasasti Sukawana A I (No. 001) bagian II A (Bait 1) dari tahun 804 Saka (882 M), yang memuat beberapa istilah teknis dalam dunia tekstil Kuno dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, yakni “… mangiket, mangnila, mangkudu, marundan…” (dibaca pertamakalinya oleh Roelof Goris tahun 1951, pembacaan komprehensif seluruh Prasasti Sukawana dilakukan oleh Balai Arkeologi Bali pada tahun 2012 oleh kerja tim yang terdiri atas I Gusti Made Suarbhawa, I Nyoman Sunarya, I Wayan Sumerata, dan Luh Suwita Utami).
Dalam fragmen Prasasti Sukawana A I (No. 001) bagian II A bait 1, mengandung kata “mangnila” yang dapat diartikan mencelup dengan menggunakan nila supaya berwarna biru. Adapun “mangkudu” dapat diartikan mencelup dengan menggunakan cangkudu supaya berwarna merah.
Nelem dengan damikian istilah teknis yang masuk ke dalam bahasa Sunda Kuno, dari bahasa Sanskerta, kemungkinan melalui transisi bahasa Kawi yang berarti mencelup dengan menggunakan zat pewarna alam biru dari tumbuhan nila, atau tarum. Demikian juga “nangkuduan” (A.J. West), atau “nyangkuduan” (J. Noorduyn dan A. Teeuw), artinya mewarnai dengan zat pewarna alam merah dari tumbuhan cangkudu.
Sehingga kata nila tersebut, membentuk kata nelem/neuleum (Melayu nilam) dan variasi fonetik lainnya seperti kata telem/teuleum, barangkali juga tilem dan seterusnya. Yang semula berkaitan dengan kegiatan pencelupan dari zat pewarna alam nila, yang pada mulanya berwarna hitam pekat dalam bentuk larutan. Namun setelah melalui reaksi kimia tertentu membuat kain menjadi berwarna biru.
“Karena nila setitik rusak susu sebelanga” (peribahasa Melayu) memperlihatkan betapa kegiatan pencelupan dengan nila dapat membawa inspirasi dan analogi pada tahap perkembangan bahasa selanjutnya. Termasuk dalam hal ini dari dalam tahap perkembangan bahasa Sanskerta, Kawi, Sunda Kuno, dan Sunda modern.
Adapun nelem/neuleum dengan demikian menjadi jelas, artinya kegiatan pencelupan, atau pewarnaan yang pada umumnya terhadap kain, supaya menjadi berwarna biru. Dari apa? Dari tumbuhan nilai itu sendiri, yang dalam bahasa Sunda disebut juga dengan tarum. (Garut, 3 Agustus 2024)
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.