Pura Bale Agung Desa Sukawana Kecamaan Kintamani Kabupaten Bangli Provinsi Bali (Pulau Bali) terdapat sekelompok prasasti (inscription) yang dinamai dengan Prasasti Sukawana (Sukawana inscriptioan) yang mana namanya diambil dari nama desa yang menjadi tempat keberadaannya.

Prasasti Sukawana tersebut, tidak dibuat dengan menggunakan media tulis yang berasal dari bahan batu (stone inscription) sebagaimana yang umumnya dengan apa yang biasanya dirujuk oleh prasasti, melainkan terbuat dari media lempeng logam berbahan dasar tembaga (copper plate inscription).

Adapun jumlah keseluruhan dari Prasasti Sukawana tersebut terdapat 21 buah prasasti yang kemudian dikelompokkan ke dalam 5 buah bagian.

Pertama bagian Prasasti Sukawana A I (No. 001) yang dibuat pada tahun 804 Saka (882 Masehi) tanpa disebutkan siapa nama raja yang membuatnya.

Kedua bagian Prasasti Sukawana A II (No. 404 b) yang dibuat pada tahun 976 Saka (1054 Masehi) oleh Raja Anak Wungsu.

Ketiga bagian Prasasti Sukawana B (No. 624) yang dibuat pada tahun 1181 Saka (1181 Masehi) oleh Raja Jayapangus (Paduka Sri Maharaja Aji Jayapangus Arkaja Cihna/Lancana).

Keempat bagian Prasasti Sukawana C (No. 637) yang dibuat tanpa tahun dan nama.

Kelima bagian Prasasti Sukawana D (No. 802 a) yang dibuat pada tahun 1222 Saka (1300 Masehi) oleh Raja Patih Kebo Parud.

Melalui pembacaan terhadap Prasasti Sukawana, utamanya pada bagian Prasasti Sukawana A I (No. 001), dapat diketahui bahwa di dalam bahasa Bali Kuno pada tahun 804 Saka (882 Masehi) sudah terdapat kata “mangnila” yang dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dapat membuat sesuatu benda menjadi memiliki warna biru (misalnya mewarnai kain melalui kegiatan pencelupan).

Di dalam Prasasti Sukawana A I (No. 001) bagian II A (Bait 1) dapat terlihat beberapa kata penting yang saling berkaitan “… mangiket, mangnila, mangkudu, marundan…”. Kegiatan pembacaan pertama terhadap Prasasti Sukawana A I (No. 001) itu sendiri untuk pertamakalinya dibaca oleh Roelof Goris pada tahun 1951. Sementara penuntasan seluruh pembacaan terhadap Prasasti Sukawana dilakukan oleh Balai Arkeologi Bali pada tahun 2012 oleh kerja tim yang terdiri atas I Gusti Made Suarbhawa, I Nyoman Sunarya, I Wayan Sumerata, dan Luh Suwita Utami.

Mangiket menurut hemat saya akan setara dengan bahasa Melayu mengikat. Sementara marundan akan setara dengan kata Melayu merenda. Sehingga baik kata mangiket maupun marundan pada bahasa Bali Kuno tersebut berkaitan dengan kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan kain.

Pada bahasa Sunda memang terdapat kata benda iket yang diartikan kain persegi tiga atau persegi empat yang dibuat persegi tiga untuk penutup kepala (head gear) sederhana. Iket tersebut digunakan dengan cara diiket atau ditalikan antara ujung kain dengan ujung kain lainnya agar menjadi kuat digunakan dikepala.

Sementara kata renda dan ngarenda juga terdapat di dalam bahasa Sunda. Kata tersebut setara dengan kata lainnya di dalam bahasa Melayu dengan kata rajut dan merajut. Artinya dengan demikian kain dan kegiatan membuat kain dengan teknik menggunakan jarum.

Apabila didekati dengan tahap perkembangan etimologi seperti ini dapat diduga apabila kata mangiket dan marunda maka keduanya berhubungan dengan kegiatan pembuatan kain dari bahan dasar benang dengan suatu teknik yang bersifat tertentu dan berbeda.

Adapun bagaimana sistem kerja mangiket dan marundan pada skema abad ke-9 M tersebut tentu saja membutuhkan suatu analisa teknis yang lebih khusus dan mendalam lagi. Hanya saja dapat diberikan batasan secara kronologi untuk menentukan aspek kalibrasi peristiwa-peristiwa secara tepat dalam tatanan waktu.

Bahwa tahap perkembangan teknik pembuatan benang (yarn/thread) dari serat (fiber), teknik pembuatan kain (textil) dari benang, dan termasuk teknik dan formula mewarnai (dyeing) benang dan kain dalam pengertian sebagaimana hari ini berpijak pada pada tahap penemuan di dunia Islam pada abad ke-11 M.

Sehingga sebelum temuan abad ke-11 M, maka kegiatan pemintalan benang dan kegiatan penenunan kain masih dilakukan secara terbatas dengan menggunakan tangan kosong dan alat bantu sederhana, dan bukan menggunakan alat kerja mesin.

Setelah memasuki tahap pengambil-alihan dan pemutakhiran (modernisasi) alat-alat kerja pada masa Revolusi Industri maka hasil kerja temuan dunia Islam abad pertengahan yang identik dengan kekhalifahan kain itu, kini dicitrai dengan sebutan alat kerja pintal dan tenun tradisional (sebagaimana juga citra pasar yang berakar dari kegiatan bazar).

Kembali pada soal mangiket dan marundan, maka kedua kegiatan dalam membuat kain pada periode Hindu-Budha di Nusantara tersebut haruslah menggunakan suatu teknik kunu yang digunakan sebelum masa penemun abad ke-11 M (abad pertengahan). Yang pada prinsipnya merujuk pada teknik-teknik manual dan sederhana dalam mengikat dan menganyam helai demi helai benang menjadi suatu karya seni kain yang berhasil.

Adapun kata mangnila dengan demikian maksudnya membuat sesuatu menjadi nila. Adapun nila itu sendiri adalah tumbuhan penghasil zat pewarna biru, zat pewarna biru yang dihasilkan dari nila, dan warna biru yang dihasilkan dari zat pewarna biru dari nila. Sementara yang dibuat menjadi nilai itu adalah kain. Mangnila dengan demikian artinya mewarnai kain dengan zat pewarna kain dari bahan nila agar menjadi berwarna biru.

Sementara kata mangkudu pada saat ini dikenal di dalam bahasa Melayu sebagai mengkudu, di dalam bahasa Sunda sebagai cangkudu, di dalam bahasa Jawa sebagai pace, kemudu, dan kudu. Maka melalui bahasa Jawa kita bisa lihat bahwa kata benda kuno yang sesungguhnya adalah kudu, karena mangkudu merupakan kata rakitan yang menyatakan kata kerja.

Pada saat ini, tumbuhan kudu atau mengkudu masih dikenal oleh masyarakat Indonesia. Dan bahkan termasuk mengetahui bahwa kulit akar dari tanaman mengkudu merupakan sumber penghasil zat pewarna alam merah atau merah kecoklatan. Dari sini kita memahami bahwa mangkudu dengan demikian artinya kegiatan mewarnai kain agar menjadi merah atau merah kecoklatan dengan menggunakan kudu atau mengkudu.

Apabila kata mengkudu bersifat spesifik, spesial, khusus, tertuju kepada tumbuhan mengkudu. Maka dengan menggunakan logika yang sama, bahwa mangnila haruslah juga merujuk pada tumbuhan yang bersifat spesifik, spesial, khusus, tertuju kepada tumbuhan nila.

Namun demikian dikarenakan pada saat ini istilah nila yang sinonim dengan kata tarum dalam bahasa Sunda dan bahasa-bahasa rumpun Melayu lainnya di kawasan Indonesia bagian barat telah bersifat generik, general umum, meluas kepada jenis-jenis tarum atau nila. Maka kita dapat menggunakan perspektif kuno mengenai peristilahan nila dan rujukannya.

Bahwa nila meskipun tidak secara spesifik dikatakan lugas merujuk pada Indigofera tinctoria Linn. pada sumber-sumber literatur seperti Weda, Purana, Itihasa, dan seterusnya. Namun demikian secara historis bukti analisa di lapangan menunjukkan bahwa nila secara khusus semula di India merujuk dan identik kepada sumber tumbuhan penghasil warna biru dari sumber Indigofera tinctoria Linn.

Indigofera tinctoria Linn. inilah yang disepakati secara internasional sebagai the truely indigo (tarum/nila yang sesungguhnya). Suatu komoditas dagang dari India kuno yang dikirim ke Romawi (pra Bizantium) dengan kode dagang popular indikon, indikon farmakon, indikon melan, dan indikon kroma. Indikon yang ke dalam bahasa Inggris menjadi indigo, secara lugas semua artinya come from india (datang dari India).

Dengan mengingat bahwa akar sejarah berdirinya kerajaan-kerajaan pada periode Hindu-Budha di Nusantara (India Kepulauan) berasal dari India (India Depan), bersama dengan aspek perkembangan teologi, budaya, dan bahasanya. Maka sangat mungkin bahwa nila dalam pengertian tumbuhan Indigofera tinctoria Linn. sudah dikenal dan didatangkan (introdusir) langsung dari India ke Indonesia, bukan pada masa kolonialisme Inggris dan Belanda. Melainkan langsung oleh migran India (Arya/Saka) yang kemudian berhasil berasimilasi ke dalam struktur keluarga penguasa pribumi (Austronesia) melalui kegiatan pernikahan.

Tarum biji (Indigofera tinctoria Linn.) melalui kajian ini dengan demikian nyata secara logika dan linguistik sudah ada, hadir, berkembang, dikenal, dan dijadikan anasir praktik kebudayaan sejak masa Hindu-Budha awal di Nusantara (termasuk di Bali dan Tatar Sunda), yang setidaknya sesuai dengan bukti tertulis pada Prasasti Sukawana sudah berlangsung sejak abad ke-9 M (1200 tahun yang lalu).

Batujajar, 14 Oktober 2022

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".