ORANG MATARAM DALAM SURAT DIPLOMATIK SULTAN ABIL MAFAKHIR MAHMUD ABDUL QADIR TAHUN 1629 M
Oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana/The Varman Institute
“Ini surat dimulai dhengan nama Allah subhanahu wata’ala yang mahatinggi dan mahabessar dan mengasihani hambanya dunia akhirat, adhapun kemudhian dhari itu, ini surat Raja Banten dhatang kepada Raja Inggris yang terbawa oleh Ratna Beg, mengatakan perri ihwal Raja Banten memberi khabar kepadha Raja Inggeris, hal orang Wolanda yang adha dhi Jayakarta dikeppung oleh orang Mataram, tatkala itulah gedhung Inggeris direbahkannya oleh orang Wolanda. Sebermula segala orang Inggeris yang adha dhi Jayakarta itu pun sekarang semuhanya adha dhi negeri Banten, terlalu sukacitta Raja Banten oleh segala saudagar Inggeris pulang sepertti dhahulu kala, sebermula dhahulu Raja Banten membawakan [surat dan] lada seribu timbang dan kerris dan tombak yang membawa dhia Kapitan Mernindari Halli, Raja Banten minta dhikirim beddil dan penglu dan ubat, jikalau Raja Inggeris suka Kapitan Mernindari Halli dhisuruhnya kiranya ke Banten segera-segera karena Raja Banten sangat harap akan datangnya Kapitan Mernindari Halli dhatang ke Banten. Ini kiriman Raja Banten khasa dua kayuh dan rambuti dua kayuh”.
Surat diplomatik yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu dan aksara Pegon tersebut, diduga kuat merupakan surat diplomatik yang dibuat pada tahun 1629 M oleh Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, sultan Banten ke-4 kepada King Charles I, raja Inggris (meliputi Inggris, Irlandia, dan Skotlandia). Pada isi surat tersebut, Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, menggunakan gelar sebagai Raja Banten. Sementara pada stempel surat diplomatik yang dikirimkannya, digunakan gelar sebagai Pangeran Ratu, dalam keterangan bahasa Jawa dan aksara Jawa, sebagaimana berikut: “Ngalamat Pangeran Ratu ingkang pandara ngadi Surosowan kang putra Pangeran Sedangrana kang putu Pangeran Pasareyan kang buyut Pangeran ing Sabakingking ing Surosowan” (Pangeran Ratu yang diketahui sebagai penguasa di Surosowan, putra Pangeran Sedangrana, cucu Pangeran Pasareyan, buyut Pangeran di Sabakingking di Surosowan).
Melalui garis silsilah dalam stempel tersebut, menjadi sangat mudah untuk diurutkan dari garis silsilah paling atas, yakni bahwa Pangeran Sabakingking dengan demikian Sultan Maulana Hasanuddin, Pangeran Pasareyan dengan demikian Sultan Maulana Yusuf, Pangeran Sedangrana dengan demikian Sultan Maulana Muhammad, dan Pangeran Ratu dengan demikian adalah Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir. Kedudukan Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir dalam stempel yang dibuatnya sendiri, juga dapat dikonfirmasi melalui stempel surat-surat diplomatik yang dibuat oleh cucunya, yakni Sultan Abul Fath Abdul Fatah dalam bahasa Arab dan aksara Arab sebagaimana berikut: “Al-wasiq billah as-Sulthan Abul Fath ibn as-Sultan Abul Ma’ali ibn as-Sulthan Abil Mafakhir ibn Muhammad ibn Yusuf ibn Hasanuddin” (Yang berkuasa atas nama Allah, Sultan Abul Fath, putra Sultan Abul Ma’ali, putra Sultan Abil Mafakhir, putra Muhammad, putra Yusuf, putra Hasanuddin).
Menjadi sangat jelas bahwa Raja Banten dan Pangeran Ratu dalam konteks surat diplomatik di atas adalah Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir. Sangat menarik juga untuk dianalisa bahwa penisbatan gelar sebagai sultan terhadap Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, baru dilakukan oleh cucunya, yakni Sultan Abul Fath Abdul Fatah. Demikian juga, Sultan Abul Fath Abdul Fatah, tidak menisbatkan gelar sultan terhadap Maulana Muhammad, Maulana Yusuf, dan Maulana Hasanuddin; kecuali dimulai sejak ayahnya Sultan Abul Ma’ali Ahmad dan kakeknya Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir.
Demikian juga gelar Raja Banten dan Pangeran Ratu yang diklaim oleh Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, mengindikasikan bahwa kedudukannya sebagai Raja Banten, tidak menjadikannya sebagai Ratu, melainkan hanya merupakan Pangeran Ratu. Artinya bahwa kedudukan Banten pada masa hidup Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, sebelum pada akhirnya berkuasa penuh sebagaimana yang diindikasikan melalui penisbatan gelar sultan oleh cucunya, pernah mengalami fase masih berada dibawah suatu otoritas ratu, atau sultan lainnya yang berkuasa penuh atas wilayahnya. Demikian juga dengan generasi Maulana Muhammad, Maulana Yusuf, dan Maulana Hasanuddin, masih bergelar sebagai pangeran, yang mengindikasikan masih tunduk pada otoritas raja lainnya yang lebih besar sebagai koordinatornya.
Melalui pembacaan terhadap surat tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 1629 M, di Jayakarta telah terjadi kisruh. Yakni bahwa gedung kongsi dagang Inggris, dihancurkan oleh kongsi dagang Belanda. Akibat penyerangan kongsi dagang Belanda terhadap kongsi dagang Inggris tersebut, maka orang-orang Inggris kemudian mendapatkan perlindungan di Banten. Sementara orang-orang Belanda, pada gilirannya mendapatkan serangan dari orang-orang Mataram akibat dari tindakan yang dilakukannya tersebut. Sementara orang-orang Mataram sedang melakukan pengepungan terhadap orang-orang Belanda, maka Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir segera meminta bantuan terhadap Raja Inggris melalui ‘Kapitan Manindari Halli’ agar segera dikirimkan bantuan berupa senapan, meriam, dan obat.
Sebelum King Charles I berkuasa atas tahta Inggris, Skotlandia, dan Irlandia, Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir sudah membangun hubungan diplomatik juga dengan raja Inggris, Skotlandia, dan Irlandia sebelumnya, yakni King James I, sebagaimana yang dapat dibuktikan dengan surat diplomatik yang dibuatnya pada tahun 1605 M. Surat tersebut sebagai surat balasan atas dikirimnya duta dagang Inggris, yakni ‘Janaral Milton’, yang memberitahukan diangkatnya raja Inggris, Skotlandia, dan Irlandia yang baru yakni King James I. Sehingga Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, dapat diperkirakan sudah berkuasa sejak masa kekacauan kekuasaan raja Inggris selepas King Edward VI (Inggris, Irlandia), yakni antara masa berkuasanya Queen Jane Gray (Inggris, Irlandia), Queen Mary (Inggris, Irlandia), dan Queen Elizabeth I (Inggris, Irlandia).
Pada tahun 1635 M, Pangeran Anom yang dapat diidentifikasi sebagai Sultan Abul Ma’ali Ahmad menulis surat kepada King Charles I, kemungkinan pada masa ayahnya Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir masih berkuasa penuh. Dikatakan di dalam surat tersebut, bahwa Raja Banten (Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir) sedang berperang dengan orang Belanda. Pertempuran tersebut dipicu oleh peristiwa penyerangan orang Belanda terhadap kapal dagang Banten yang memuat cengkeh dari Ambon, kemungkinan di kawasan Jayakarta. Penyerangan orang Belanda kemudian tidak saja dilakukan terhadap kongsi dagang Banten, termasuk juga kepada kongsi dagang Inggris yang sudah berkedudukan di Banten.
Dengan alasan tersebut, maka Sultan Abul Ma’ali (Pangeran Anom), meminta Raja Inggris terlibat dalam pertempuran melawan orang Belanda dengan mengirimkan pasukan perangnya, atau jika tidak berani, a maka Sultan Abul Ma’ali (Pangeran Anom), meminta untuk sekedar dikirimkan senapan, meriam, dan obat. Sehingga apabila mampu memenangkan pertempuran dengan kongsi dagang Belanda di Jayakarta, orang Inggris dipersilahkan untuk mengambil-alih kembali kedudukan kongsi dagang Inggris yang berkuasa di Jayakarta.
Melalui pembacaan terhadap surat-surat diplomatik yang dibuat oleh Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir (sultan Banten ke-4) dan Sultan Abul Ma’ali Ahmad (kemudian menjadi sultan Banten ke-5), dapat diketahui adanya eksistensi orang Mataram yang melakukan penyerangan tehadap kedudukan kongsi dagang Belanda di Jayakarta. Penyerangan orang Mataram terhadap orang Belanda dilakukan akibat pelanggaran orang Belanda yang melakukan penyerangan dan pengusiran terhadap orang Inggris. Sehingga dapat terlihat bahwa orang Mataram dan sultan Banten sebenarnya memiliki kepentingan yang sama, yakni melakukan penyerangan terhadap orang Belanda. Tidak terlihat adanya indikasi bahwa Mataram dan Banten saling berselisih paham, saling menyerang, dan saling berbeda dalam persekutuan dagang. Jayakarta merupakan wilayah kekuasaan Banten pada masa tersebut, konsesi terhadap pendirian pos dagang dilakukan oleh Banten baik terhadap orang Inggris maupun orang Belanda, hanya saja orang Belanda pada masa tersebut melakukan pelanggaran-pelanggaran kode etik perdagangan. Pelangaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang Belanda tersebut, memicu penentangan secara resmi oleh Sultan Banten, Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir dan putra mahkotanya, Abul Ma’ali Ahmad dan juga ‘orang Mataram’.
Sayangnya, tidak diperoleh narasi lebih banyak mengenai siapa hakikatnya orang Mataram tersebut? Dimana basis kekuasaan orang Mataram tersebut berada? Dan bagaimana hubungan antara kedudukan orang Mataram terhadap Kesultanan Banten pada masa tersebut? Demikian juga apa kepentingan Kesultanan Banten dan orang Mataram terhadap kedudukan bandar perdagangan Jayakarta? Tanpa menemukan catatan-catatan lainnya yang bersifat otentik dan valid, maka analisa-analisa spekulatif lainnya masih terlalu dini untuk bisa dilakukan. Hanya satu kepastian untuk sementara, bahwa eksistensi “orang Mataram” pada tahun 1629 M, sudah disebutkan secara lugas dan langsung oleh Sultan Abil Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, sultan Banten ke-4, yang berkuasa di Surosowan, dekat pelabuhan dagang Banten. (Bandung, 15 November 2023 M)
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.