Dalam Dagh-register gehouden int Casteel Batavia vant vasserendr daer ter plaetse als over geheel Nederlandts anno 1624-1629 yang ditulis oleh Mr. J.E. Heeres terbitan 1896 di ‘s Gravenhage, kurang-lebih terdapat informasi yang mengatakan bahwa pada 31 Januari 1624, kapal Leyden, Tholen, dan Delf yang seluruhnya berada di bawah komandan Frederick de Houtman (adik Cornelis de Houtman), berhasil mengakut banyak komoditas perdagangan yang diperoleh dari beberapa pelabuhan penting dan produktif antara lain dari Manila, Malaka, Campa, Formosa, Makau, Jepang, Sumatra, dan Maluku.
Adapun khusus dalam kapal Delf, ditemukan salah-satu daftar komoditas perdagangan yang dimuat, yakni indigo sirchees sebanyak 41 packen. Data tersebut mampu menjawab keraguan selama ini bahwa indigo, atau nila, atau tarum memang pernah menjadi bagian dari komoditas perdagangan yang dimuat oleh kongsi-kongsi dagang Eropa, yang mana salah-satunya dalam hal ini oleh kongsi dagang VOC (di bawah saham penguasa 7 negara republik d kawasan Belanda). Keraguan tersebut sempat ditimbulkan karena data yang diberikan dalam Suma Oriental yang mencatat kegiatan pelayaran dan perdagangan era Portugis, daftar komoditas perdagangan berupa indigo tidak pernah tercatatkan sebagai salah-satu barang yang dimuat dari Tatar Sunda, ataupun Nusantara.
Dengan demikian, komoditas indigo, dapat disimpulkan bukan merupakan komoditas pertanian yang baru diintrodusir oleh VOC, atau pemerintahan kolonial Hindia-Belanda di kemudian hari, tapi setidaknya sudah dikembangkan dan diperjualbelikan sejak era kesultanan-kesultanan berjaya di kawasan Nusantara. Demikian juga konsekuensi tambahannya, bahwa bisa jadi pada gilirannya, temuan tersebut dapat menjadi bukti yang membentangkan riwayat indigo sebagai komoditas yang memang juga sudah diusahakan sejak era kerajaan Hindu-Budha di Nusantara.
Namun demikian tidak diketahui secara lebih jelas dan pasti mengenai dari kawasan Nusantara sebelah mana komoditas indigo tersebut diperoleh oleh VOC? Hanya saja, meskipun terdapat nama dagang Sirchees yang melekat pada indigo, yang kemungkinan memiliki asosiasi dengan kawasan Shirkaj di Gujarat, namun jelas pada kasus tersebut, dikatakan bahwa komoditas indigo tersebut tidak diperoleh melalui kawasan Sirkaj, melainkan dari kawasan antara Nusantara, Indo-Cina, dan Cina Selatan. Namun kuat kemungkinan indigo tersebut diperoleh dari kawasan Sumatra.
Meskipun tidak secara khusus bahwa indigo tersebut diperoleh dari kawasan Tatar Sunda, namun demikian bahwa indigo tersebut diperoleh dari kawasan Nusantara, atau mungkin Sumatra, dapat memutus rantai analisa bahwa indigo, terutama dari jenis Indigofera tinctoria Linn bukan baru diintrodusir dan diusahakan dalam bentuk pengebunan secara intensif di Nusantara sejak era VOC, atau oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Melainkan sudah sejak jauh hari sebelum masuk era kolonialisme Eropa, indigo sudah menjadi bagian dari komoditas penting dunia yang diperlukan masyarakat Eropa, baik diperoleh melalui kawasan India, Indo-Cina, maupun Nusantara.
Selain itu, meskipun terbata-bata dalam memahami keterangan di atas, tapi secara sementara dapat dikatakan bahwa kapal-kapal VOC tersebut, kemudian berhimpun di pangkalan dagang Batavia sebagai basis koordinasinya yang berada di bawah pengawasan Jan de Rycke. Adapun kawasan Batavia tersebut, jelas terlihat merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Banten. Penguas Banten yang disebut Dato, Ratu, atau Pangeran Ratu kemungkinan besar adalah Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir.
Sementara Pangeran Gede, yang kemungkinan biasa dikenal dengan Rangga Gede asal Sumedang, barangkali sebagai tokoh central yang diberikan tugas dan tanggung jawab semi otonom dalam mengoperasionalkan pelabuhan Jakarta (Sunda Kalapa). Selain itu terdapat juga nama Pangeran Gebang, asal Cirebon, dan Aria Papatih yang masih memerlukan identifikasi lebih baik lagi, yang juga memiliki peran penting dalam pengelolaan pelabuhan selain Pangeran Gede.
Keterangan tersebut menunjukan, bahwa pengelolaan kawasan Jakarta, yang dioperasikan dalam sistem Syah Bandar, melibatkan aliansi struktur kekuasaan baik Banten sebagai koordinator utamanya, maupun peran Cirebon, dan Sumedang yang selama ini hanya dianggap memiliki peran kecil di kawasan pedalaman Priangan saja.
Betapa pentingnya kegunaan arsip-arsip kolonial, terutama dari era VOC. Sumber sezaman dari pihak asing yang pernah memiliki perhubungan persahabatan dalam keadaan damai dan musuh dalam keadaan perang dan persengketaan, yang pada hakikatnya semuanya bermuara pada betapa pentingnya urat-nadi pengeloaan terhadap komoditas perdagangan dan sumber daya alam, yang dimiliki kawasan Nusantara, yang dibutuhkan oleh pasar dunia. Dan demikian juga, betapa pentingnya makna permintaan pasar dunia terhadap geliat perekonomian masyarakat Nusantara dalam kode etik perdagangan yang adil dan harmonis.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".