KETERANGAN DALAM PRASASTI CUPUMANIK SHINKOT

Pada bagian ini, akan diakukan pengkajian terhadap kandungan Prasasti Cupumanik Shinkot (Shinkot casket), yang dapat dilihat melalui dokumentasi N.P. Chakravarti (Chakravarti, N. P. 1937. Epigraphia Indica Vol.24. pp. 1-10) sebagaimana berikut:

“Minedrasa maharajasa kaṭiasa divasa -4 4 4 1 1- praṇasameda śarira bagavato Śakamunisa pratithavi ta praṇasameda śarira bhagavato Śakamunisa,

Vijayamitreṇa pate pradithavide, ime śarira palughabhutao na sakareati tasa śariati kalade na śadhro na piṃḍoya ke yi pitri griṇayati tasa ye patre vapomua,Viyakamitra Apracarajasa,

Vaṣaye paṃcamaye -4 1- veśakhasa masasa divasa paṃcaviśaye iyo, pratithavite Vijayamitrena Apracarajena bhagavatu Śakimuṇisa samasabudhasa śarira,

Viśpilena aṇaṃkayeṇa likhite”.

(Menandros the great king, on the month Kārttika’s 14th day, relics of the Lord, the Śākya sage, were established; relics of the Lord, the Śākya sage, that are endowed with life.

By Vijayamitra, this bowl is established. These relics, having become broken, are not treated with respect. After some time. Nobody provides the funerary ritual nor food nor water to the ancestors.

The bowl that belongs to it is barely covered, of Vijayamitra, king of Apraca,

In the fifth -5- year, on the 25th day of the month Vaiśākha, is established by Vijayamitra, king of Apraca, this relic of the Śākya sage, the completely enlightened one.

Written by Viśpilena.)

Dalam bahasa Indonesia, terjemahan dari Prasasti Cupumanik Shinkot (Shinkot casket), yang menggunakan bahasa Prakerta dan aksara Karosti tersebut memiliki makna sebagaimana berikut:

“Pada hari ke-14 bulan Kartika, untuk memperingati masa hidup tokoh suci Sakamuni, maka telah didirikan candi untuk memperingati masa hidup tokoh suci Sakamuni tersebut, oleh Maharaja Minedra.

Telah dipersembahkan oleh Vijayamitra, melalui cupumanik dalam candi, yang telah mengalami kerusakan, yang tidak diperlakukan dengan rasa hormat. Dapat diamati, bahwa sudah lama tidak ada yang melakukan persembahan, baik berupa makanan maupun air, untuk memperingati arwah leluhur yang telah meninggal. Persembahan ini, dilakukan oleh Viyakamitra, raja Apraca, melalui medium cupumanik dalam candi, yang hampir tidak memiliki penutupnya.

Pada hari ke-25 bulan Vaisakha tahun ke-5, yang dipersembahkan oleh Vijayamitra, untuk memperingati tokoh suci Sakamuni, orang yang sepenuhnya meraih pencerahan.

Dituliskan oleh Vispilena.)

Menurut keterangan N.P. Cakravarti, Prasasti Cupumanik Shinkot (Shinkot casket) tersebut, sebenarnya mengandung dua periode tulisan yang berbeda. Adapun pada bagian yang pertama ditulis oleh Maharaja Minedra dengan menggunakan bahasa Prakerta dan aksara Karosti dari tipologi aksara Karosti pada masa kekuasaan Ashoka dari Maurya pada abad ke-3 SM, dengan torehannya bersifat tebal dan dalam. Sementara pada bagian yang kedua ditulis oleh Vijayamitra (ditulis juga sebagai Viyakamitra) yang merupakan raja Apraca dengan menggunakan bahasa Prakerta dan aksara Karosti dari tipologi aksara Karosti pada masa kekuasaan Indo-Saka, terutama serupa dengan prasasti-prasasti yang dibuat oleh kerajaan Satrap Utara (Northern Satraps) di kawasan Taxila dan Matura pada abad ke-1 SM. Melalui penjelasan N.P. Cakravarti tersebut, dapat dikonfirmasi bahwa Prasasti Cupumanik Shinkot (Shinkot casket), sebenarnya memuat dua buah prasasti yang dibuat oleh dua raja yang berbeda dan dari periode waktu yang berbeda. Adapun Maharaja Minedra, dalam sumber keterangan berbahasa Yunani biasa disebut dengan nama Menander (Menander I Soter) dan Milinda dalam sumber keterangan bahasa Pali. Tokoh yang bernama Menander I Soter tersebut, dapat diketahui merupakan raja dari kalangan suku Yunani yang pernah berkuasa di kerajaan Yavana (Indo-Greek Kingdom/Graeco-Indian Kingdom), antara tahun 165 SM hingga tahun 130 SM (Bopearachchi, Osmund. 1991. Monnaies gréco-bactriennes et indo-grecques: catalogue raisonné. Paris: Bibliothèque nationale). Pembuatan Prasasti Cupumanik Shinkot oleh Menander I Soter dengan demikian berada pada rentang waktu antara tahun 165-130 SM, yakni kurang-lebih berada pada kisaran abad ke-2 SM (secara generik berada pada selisih lebih dari 100 tahun sebelum kemunculan Vijayamitra).

Sementara Vijayamitra, sebagaimana yang dikemukakan dalam prasasti-prasasti yang dibuatnya sendiri merupakan raja Apraca pada abad ke-1 SM. Lebih tepatnya lagi, dengan merujuk pada keterangan sebelumnya dapat diketahui bahwa Vijayamitra untuk pertamakalinya diangkat menjadi raja Apraca pada tahun 28 SM. Adapun pada saat membuat Prasasti Guci Bajaur, yakni ketika Vijayamitra berkuasa pada tahun ke-27 kekuasaanya, maka bertepatan pada tahun 1 SM. Sementara melalui keterangan pada Prasasti Cupumanik Shinkot, dapat diketahui bahwa pembuatan prasasti tersebut, diperkirakan dibuat pada tahun ke-5 dari masa kekuasaannya. Sehingga dengan demikian pembuatan Prasasti Cupumanik Shinkot dilaksanakan pada tahun 23 SM. Namun demikian sebagai perbandingan, angka perkiraan masa berkuasanya Vijayamitra d Apraca dengan meminjam pendapat Rika Gyselen, berlangsung antara tahun 12 SM hingga tahun 20 M (Des Indo-Grecs aux Sassanides: données pour l’histoire et la géographie historique, Rika Gyselen. Peeters Publishers, 2007). Adapun spekulasi mengenai adanya hubungan melalui aspek garis silsilah (genealogi) antara Vijayamitra yang berasal dari rumpun bangsa Indo-Saka (Indo-Scythian) dengan Minander I Soter yang berasal dari rumpun bangsa Indo-Yunani (Indo-Greek), meskipun tidak bersifat mustahil namun demikian masih memerlukan analisa pembuktian yang cukup rumit dan panjang. Sehingga satu-satunya kepastian yang bisa menghubungkan antara Minedra dengan Vijayamitra melalui pembacaan terhadap prasasti-prasasti yang ada tersebut, bersama dengan bentuk-bentuk peninggalan yang dilakukan dalam kegiatan persembahan keagamaannya seperti pranasameda (peringatan terhadap arwah leluhur) dan pratithavite/pradithavide (candi), dapat terlihat bahwa di antara kedua raja yang berbeda zaman dan kelompok kesukuan tersebut, masih dapat dipersatukan oleh adanya semangat sistem keyakinannya yang sama, yakni agama Budha (Budha Dharma).

Tokoh suci yang ditulis dalam Prasasti Cupumanik Shinkot baik oleh Minedra maupun Vijayamitra dalam bahasa Prakerta dan aksara Karosti sebagai Sakamuni, jelas merupakan salah-satu nama dari berbagai variasi lainnya seperti Siddhartha Gautama (Sanskerta), Siddhattha Gotama (Pali), Gautama Buddha, Sakyamuni, Buddha, Gotama Buddha, dan Samana Gotama (Donald Lopez Jr., The Scientific Buddha: His Short and Happy Life, Yale University Press). Sakyamuni dalam bahasa Sanskerta dan Sakamuni dalam bahasa Prakerta, secara kebahasaan sebenarnya dapat dipahami sebagai orang suci dari suku Sakya, atau Saka. Hubungan antara Sakamuni dengan suku Saka tersebut, menurut Michael Witzel dan Christopher I Beckwith, menunjukan bahwa Sakamuni merupakan bagian dari suku Saka yang sama yang juga dikenal dalam keterangan-keterangan literatur bahasa Yunani, Persia, dan India, yang secara akademik dikenal melalui bahasa Inggris sebagai Scythian (Beckwith, Christopher I. (2015). Greek Buddha: Pyrrho’s Encounter with Early Buddhism in Central Asia. Princeton, New Jersey, United States: Princeton University Press). Baik Vijayamitra asal Apracaraja yang merupakan bagian dari suku Saka dan Menander I Soter yang berasal dari suku Yunani, dengan demikian sama-sama penganut Budha dan menghormati tokoh central agamanya, yakni Sakamuni.

Selain itu, perlu dilihat juga bagaimana kemungkinan hubungan antara para penguasa Apracaraja dengan para penguasa kerajaan Ksatrap Utara, sebagaimana yang sudah dikemukakan isyaratnya oleh N.P. Chakravarti. Melalui pembacaan terhadap prasasti-prasasti internal mereka sendiri yang ditulis dalam bahasa Prakerta dan aksara Brahmi, dapat diketahui bahwa nama kerajaan Satrap Utara sebenarnya disebut dengan nama kerajaan Mahaksatrapa. Namun demikian, secara akademik literatur ilmiah kemudian menamai kerajan mereka dengan istilah kerajaan Satrap Utara (Northern Satraps), kerajaan Satrap Mathura (Satraps of Mathura) (Naskar, Satyendra Nath. 1996. Foreign Impact on Indian Life and Culture (C. 326 B.C. to C. 300 A.D. Abhinav Publications), dan kerajaan Saka Utara (Northern Sakas). Penggunaan istilah kerajaan Satrap Utara tersebut, digunakan oleh para ahli sejarah untuk membedakannya dengan kerajaan serupa yang berdasarkan prasasti-prasasti internal mereka sendiri, yang ditulis dalam bahasa Prakerta dan aksara Brahmi, juga mengkaim sebagai para penguasa kerajaan Mahaksatrapa. Apabila kerajaan Satrap Utara berdiri sejak abad ke-1 SM hingga abad ke-2 M dan berpusat di kawasan Punjab dan Mathura, maka kerajaan Mahaksatrapa yang satunya lagi yang berdiri sejak abad ke-1 SM hingga abad ke-5 SM dan berpusat di Sind, Gujarat, dan Malwa, yang selanjutnya disebut oleh para ahli sejarah dengan nama kerajaan Satrap Barat (Western Satraps) (Schwartzberg, Joseph E. 1978. A Historical Atlas of South Asia. Chicago. University of Chicago Press).

Baik kerajaan Satrap Utara, maupun kerajaan Satrap Barat, seluruhnya dibangun oleh masyarakat Saka. Berdasarkan keterangan uang logam yang mengandung bahasa Prakerta dan aksara Brahmi, dapat diketahui bahwa raja pertama Satrap Utara bernama Hagamasa, yang diperkirakan pernah berkuasa pada tahun 60 SM. Setelah Hagamasa, kerajaan Satrap Utara kemudian dilanjutkan oleh Hagana yang juga dapat dibuktikan dengan keberadaan uang logam yang mengandung bahasa Prakerta dan aksara Brahmi (Allan, John (1936). Catalogue of the Coins of Ancient India. London: British Museum). Selanjutnya setelah masa berkuasa Hagana, pada kisaran waktu tahun 10-20 M muncul raja Satrap Utara selanjutnya, yang dikenal dengan nama Razu dalam bahasa Yunani dan aksara Yunani. Sementara dalam bahasa Prakerta dan aksara Brahmi dan juga bahasa Prakerta dan aksara Karosti, namanya dikenal dengan Rajuvula, Rajavula, dan Rajula. Sumber keterangan mengenai Rajuvula terdapat baik dalam prasasti uang logam maupun dalam Prasasti Ibukota Singa Matura (inscription of the Mathura Lion Capital) (Konow, Sten (1929). Kharoshṭhī Inscriptions: with the Exception of Those of Aśoka. Kolkata: Government of India Central Publication Branch).

Apabila Hagamasa diperkirakan berkuasa pada kisaran tahun 60 SM, sementara Rajuvula berkuasa pada kisaran tahun 10 M, maka Hagana dapat diperkirakan berdasarkan interval rerata masa berkuasa pada tahun 25 SM. Masa berkuasanya Hagana asal Satrap Utara dengan demikian dapat diperkirakan sezaman dengan masa berkuasanya Vijayamitra asal Apracaraja. Apabila prasasti Apracaraja dianggap memiliki karakteristik yang sama dengan prasasti Satrap Utara, maka pengaruh tersebut didasarkan pada pengaruh penggunaan bahasa Prakerta dan aksara Karosti. Namun demikian selain menggunakan bahasa Prakerta dan aksara Karosti, Satrap Utara juga menggunakan bahasa Prakerta dan aksara Brahmi. Baik aksara Brahmi maupun aksara Karosti pada dasarnya sama-sama digunakan secara bersamaan dan berasal dari induk aksara yang sama, yakni aksara Aram. Apabila aksara Brahmi cenderung digunakan di kawasan selatan India Kuno maka Karosti cenderung digunakan di kawasan utara India Kuno (Salomon, Richard (1998). Indian Epigraphy: A Guide to the Study of Inscriptions in Sanskrit, Prakrit, and the other Indo-Aryan Languages. Oxford University Press).

Pada umumnya, bahasa Prakerta dianggap lahir lebih kemudian, variasi bahasa rakyat yang tidak baku, atau bahkan dianggap diturunkan dari bahasa Sanskerta. Namun demikian, menurut Richard Solomon, pernyataan tersebut sebenarnya merupakan paradok kebahasaan yang besar mengeni rumusan bahasa yang digunakan di India Kuno. Karena pada faktanya, kemunculan bahasa Prakerta berdasarkan bukti tertulis jauh lebih dahulu muncul dibandingkan bahasa Sanskerta itu sendiri. Bahasa Prakerta tersebut sudah digunakan sejak tahun 250 SM dalam prasasti-prasasti yang dibuat oleh Ashoka (Edicts of Ashoka). Sementara bahasa Sanskerta pada faktanya baru muncul untuk pertamakalinya pada abad ke-1 SM, oleh masyarakat Saka sebagai promotor dan pionir penggunaannya, yakni Satrap Utara dan kemudian diikuti oleh Satrap Barat masih pada abad yang sama. Prasasti yang dianggap paling tua dengan menggunakan bahasa Sanskerta adalah Prasasti Vasu Doorjamb (Vasu Doorjamb inscription), yang dikeluarkan oleh raja Satrap Utara bernama Sodasa (putra Rajuvula) dalam aksara Brahmi, yang diperkirakan dibuat pada tahun 15 SM (Image Problems: The Origin and Development of the Buddha’s Image in Early South Asia. Robert Daniel DeCaroli, University of Washington Press)

Melalui pembacaan terhadap Prasasti Cupumanik Shinkot (Shinkot casket), dapat diketahui bahwa Vijayamitra merupakan penganut agama Budha. Kesamaan agama antara Vijayamitra dari suku Saka dan Minander I Soter dari suku Yunani tidak membuat adanya hambatan, yang membuat perkembangan budaya dan keagamaan di kerajaan Apracaraja pada abad ke-1 SM memiliki kesamaan dengan perkembangan budaya dan agama di kerajaan Yavana pada abad ke-2 SM. Selain itu, tahap perkembangan Apracaraja sebagai salah-satu kerajaan yang dibangun oleh masyarakat Saka, juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kerajaan Saka lainnya, yang dalam konteks prasasti yang dibuat oleh Vijayamitra dianggap memberikan indikasi bahwa tahap perkembangan kebudayaan di Apracaraja juga dipengaruhi oleh tahap kebudayaan di Satrap Utara. Selain memiliki kesamaan dalam konteks kesukuan antara Apracaraja dan Satrap Utara juga sama-sama dipersatukan oleh sistem keyakinan yang sama sebagai penganut agama Budha. Sistem keyakinan agama Budha oleh kerajaan Satrap Utara dengan sangat jelas dapat dilihat misalnya melalui keterangan Prasasti Ibukota Singa Matura (inscription of the Mathura Lion Capital) yang juga mendirikan bangunan candi yang menghormati tokoh Sakamuni (Harmatta, János (1999). “Languages and scripts in Graeco-Bactria and the Saka Kingdoms”. In Harmatta, János; Puri, B. N.; Etemadi, G. F. (eds.). History of civilizations of Central Asia. Vol. 2. Delhi: Motilal Banarsidass Publishing House).

Keterangan poto: Shinkot relic casket dalam Epigraphia Indica Vol. 24 keluaran Archaeological Society of India tahun 1937 (N.P. Chakravarti)

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".