HUBUNGAN KONSEPTUAL ANTARA TRI TANTU DI BUMI DALAM NASKAH SANGHIYANG SIKSA KANDANG KARESIAN ABAD 16 M DAN TRI MURTI DALAM NASKAH VISHNU PURANA ABAD 11 M

OLEH GELAR TAUFIQ KUSUMAWARDHANA

Tri Tantu dalam Naskah-naskah Sunda Kuno

Semenjak keberadaan naskah-naskah Sunda Kuno mendapatkan perhatian dalam penelitian filologi, baik yang dilakukan oleh peneliti luar negeri (asing) maupun oleh peneliti dalam negeri (Sunda). Minat masyarakat Sunda dalam melakukan kajian terhadap apa yang terkandung dalam naskah-naskah Sunda Kuno pada gilirannya semakin besar. Kajian-kajian terhadap apa yang terkandung dalam naskah-naskah Sunda Kuno tersebut, dilakukan baik oleh kalangan akademisi maupun oleh kalangan masyarakat umum.

Adapun beberapa contoh naskah Sunda Kuno yang telah mendapatkan perhatian dalam penelitian filologi antara lain: (1) Amanat Galunggung; (2) Bujangga Manik; (3) Carita Purnawijaya; (4) Carita Parahiyangan; (5) Carita Ratu Pakuan; (6) Carita Waruga Guru; (7) Fragmen Carita Parahiyangan; (8) Kawih Pangeuyeukan; (9) Kawih Paningkes; (10) Putra-putra Rama dan Rahwana; (11) Sanghiyang Hayu; (12) Sanghiyang Sasana Maha Guru; (13) Sanghiyang Siksa Kandang Karesian; (14) Sanghiyang Raga Dewata; (15) Sanghiyang Tatwa Ajyana; (16) Sanghiyang Swawar Cinta; (17) Sewaka Darma (Kawih Panyaraman); (18) Sri Ajnyana; (19) Tutur Buwana; (20) Waruga Lemah; dan lain sebagainya.

Dari sejumlah naskah Sunda Kuno yang telah mendapatkan perhatian dalam penelitian filologi tersebut, terdapat beberapa naskah Sunda Kuno yang secara khusus mengandung konsep Tri Tantu di Bumi antara lain: (1) Amanat Galunggung; (2) Carita Parahiyangan; (3) Fragmen Carita Parahiyangan; (4) Sanghiyang Sasana Waruga Guru;(5) Sanghiyang Hayu; dan lain sebagainya.

Konsep Tri Tantu di Bumi dalam naskah-naskah Sunda Kuno tersebut, dapat dikenali melalui pernyataan-pernyataan baik dalam bentuk kata benda mauoun dalam bentuk kata keterangan. Apabila seluruhnya dirubah dalam bentuk kata benda, maka nama-nama yang ditawarkan oleh naskah itu sendiri antara lain: Tri Tantu, Tri Tantu di Bumi, Tri Tantu di Buana, Tri Tantu di Jagat, Tri Tantu di nu reya, dan lain sebagainya. Dari sekian banyak variasi nama yang dianjurkan oleh naskah-naskah Sunda Kuno, dalam tulisan ini kemudian dipergunakan kata baku Tri Tantu di Bumi. Dengan alasan bahwa melalui kata benda Tri Tantu di Bumi itulah satu-satunya kalimat yang lugas dan jelas dilakukan. Yakni melalui keterangan dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M sebagaimana berikut:

“Ini ujar sang sadu basana mahayu drebyana. Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pina[h]ka prebu, sabda kita pina[h]ka rama, h(e)dap kita pina[h]ka resi. Ja tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na”. (Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Darsa. “Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung”. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung, 1987 M. Pada bagian “Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI”, halaman 90).

Adapun terjemahan bahasa Sunda Kuno ke dalam bahasa Indonesia dapat dilampirkan sebagaimana berikut:

“Ini ujar sang budiman waktu menyentosakan pribadinya. Inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia”. (Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Darsa. “Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung”. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung, 1987 M. Pada bagian “Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.2. Terjemahan, XXVI”, halaman 114-115).

Untuk sementara pernyataan tersebut akan dibiarkan tanpa melakukan penafsiran terlebih dahulu karena bukan merupakan fokus utama dalam tulisan kali ini. Satu-satunya alasan untuk melampirkan pernyataan dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian tersebut, adalah bahwa aspek penamaan konsep Tri Tantu di Bumi yang digunakan secara baku dalam tulisan kali ini dan tulisan-tulisan yang akan dibuat kemudian pada dasarnya merujuk pada pernyataan tersebut.

Dengan adanya konsep Tri Tantu di Bumi yang terkandung dalam naskah-naskah Sunda Kuno tersebut, pada gilirannya memicu para ahli dalam melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut. Baik dalam bentuk penelitian teoretik/konseptual (pure research) maupun dalam bentuk penelitian analitik/terapan (applied research).

Adapun beberapa contoh penelitian yang menjadikan konsep Tri Tantu di Buana sebagai topik penelitiannya dapat disebutkan antara lain: (1) Tri Tangtu on Sunda Wiwitan Doctrine in the XIV-XVII Century oleh Etty Saringendyati, Nina Herlina Lubis, dan Mumuh Muhsin Zakaria (Tawarikh, Vol. 10. No. 1. Oktober 2018); (2) Tinjauan Filologis terhadap Fragmen Carita Parahyangan: Naskah Sunda Kuno Abad XVI tentang Gambaran Sistem Pemerintahan Masyarakat Sunda oleh Undang Ahmad Darsa, K. Sofianto, dan Elis Suryani NS (Sosiohumaniora, Vol. 2, No. 3, tahun 2000); (3) Tri Tantu di Bumi di Kampung Naga: Melacak Artefak Sistem Pemerintahan (Sunda) oleh Agus Heryana (Patanjala Vol. 2, No. 3, tahun 2010); (4) Regenerative-Relational Tritangtu: Sundanese Triadic Transformation Model oleh Wanda Listiani, Heddy Shri Ahimsa-Putra, G.R. Lono Lastoro Simatupang, dan Yasraf Amir Piliang (Panggung: Jurnal Seni Budaya, Vol. 23, No. 2, tahun 2013); (5) Makna Tri Tangtu di Buana yang Mengandung Aspek Komunikasi Politik dalam Fragmen Carita Parahyangan oleh Rangga Saptya Mohamad Permana (Jurnal Kajian Komunikasi, Vol. 3 No. 2, tahun 2015); (6) Rekontruksi Nilai-Nilai Konsep Tritangtu Sunda sebagai Metode Penciptaan Teater ke dalam Bentuk Teater Kontemporer oleh Tatang Rusmana (Mudra Vol. 33, No. 1, tahun 2018); (7) Perbandingan Konsep-Konsep Triumvirate Sunda dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik oleh Rangga Saptya Mohamad Permana dan Jimi Narotama Mahameruaji (Nyimak: Journal of Communication, Vol. 4, No. 1, tahun 2020); (8) Struktur Tritangtu pada Siger Aksesoris Pengantin Sunda Priangan oleh Fadly Fathul Ulum, Endang Caturwati, Heri Herdini (Pantun: Jurnal Ilmiah Seni Budaya, Vo. 7 No. 2, tahun 2022); (9) Konsepsi Pemisahan Kekuasaan dalam Ajaran Tritangtu Sunda dan Implikasinya terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia oleh Rizky Saeful Hayat (Tesis Master, UIN SGD Bandung, tahun 2022); (10) Sistem Pembagian Kekuasaan dan Kepemimpinan dalam Naskah Sunda Kuno dan Komunitas Adat Kampung Naga oleh Elis Suryani Nani Sumarlina, Rangga Saptya Mohamad Permana dan Ike Rostikawati Husen (Jurnal Kabuyutan, Vol. 1, No. 1, tahun 2022); (11) Filsafah Kehidupan Tritangtu Sunda dalam Film Eksperimental Adat “Game Over Drama” oleh Wiki Riandi (Jurnal Adat dan Budaya Indonesia, Vol. 5 No. 1, tahun 2023); (12) Strategies for Revitalizing Tri Tangtu Local Wisdom Among College Students oleh Runik Machfiroh, Ida Rohayani, Dicky Hidayat dan Kaede Shirakane (Al-Ishlah: Jurnal Pendidikan, Vol. 16 No. 1, tahun 2024); dan lain sebagainya.

Dari 12 contoh penelitian, terdapat 6 tulisan yang dapat dianggap sebagai bentuk penelitian dasar (pure research) terhadap konsep Tri Tantu di Bumi, yakni: (1) Tri Tangtu on Sunda Wiwitan Doctrine in the XIV-XVII Century oleh Etty Saringendyati, Nina Herlina, dan Mumuh Muhsin Zakaria (2018); (2) Tinjauan Filologis Terhadap Fragmen Carita Parahyangan: Naskah Sunda Kuno Abad XVI Tentang Gambaran Sistem Pemerintahan Masyarakat Sunda oleh U. Darsa, K. Sofianto, Elis Suryani NS (2000); (3) Makna Tri Tangtu di Buana yang Mengandung Aspek Komunikasi Politik dalam Fragmen Carita Parahyangan oleh Rangga Saptya Mohamad Permana (2015); (4) Perbandingan Konsep-Konsep Triumvirate Sunda dengan Trias Politica dalam Perspektif Komunikasi Politik oleh Rangga Saptya Mohamad Permana, Jimi Narotama Mahameruaji (2020); (5) Konsepsi Pemisahan Kekuasaan Dalam Ajaran Tritangtu Sunda dan Implikasinya Terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia oleh Rizky Saeful Hayat (2022); dan (6) Sistem Pembagian Kekuasaan dan Kepemimpinan dalam Naskah Sunda Kuno dan Komunitas Adat Kampung Naga oleh Elis Suryani Nani Sumarlina, Rangga Saptya Mohamad Permana dan Ike Rostikawati Husen (2022).

Adapun 6 contoh penelitian lainnya dapat dianggap sebagai bentuk penelitian terapan (applied research) terhadap konsep Tri Tantu di Bumi. Dengan pengertian bahwa penelitian-penelitian tersebut, berusaha untuk menerapkan konsep Tri Tantu di Bumi sebagai grand theory dalam melakukan penelitian praktis lainnya. Contoh-contoh penelitian terapan (applied reseach) tersebut yakni: (1) Tri Tantu di Bumi di Kampung Naga: Melacak Artefak Sistem Pemerintahan (Sunda) oleh Agus Heryana (Patanjala Vol. 2, No. 3, tahun 2010); (2) Regenerative-Relational Tritangtu: Sundanese Triadic Transformation Model oleh Wanda Listiani, Heddy Shri Ahimsa-Putra, G.R. Lono Lastoro Simatupang, dan Yasraf Amir Piliang (Panggung: Jurnal Seni Budaya, Vol. 23, No. 2, tahun 2013); (3) Rekontruksi Nilai-Nilai Konsep Tritangtu Sunda sebagai Metode Penciptaan Teater ke dalam Bentuk Teater Kontemporer oleh Tatang Rusmana (Mudra Vol. 33, No. 1, tahun 2018); (4) Struktur Tritangtu pada Siger Aksesoris Pengantin Sunda Priangan oleh Fadly Fathul Ulum, Endang Caturwati, Heri Herdini (Pantun: Jurnal Ilmiah Seni Budaya, Vo. 7 No. 2, tahun 2022); (5) Konsepsi Pemisahan Kekuasaan dalam Ajaran Tritangtu Sunda dan Implikasinya terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia oleh Rizky Saeful Hayat (Tesis Master, UIN SGD Bandung, tahun 2022); (6) Filsafah Kehidupan Tritangtu Sunda dalam Film Eksperimental Adat “Game Over Drama” oleh Wiki Riandi (Jurnal Adat dan Budaya Indonesia, Vol. 5 No. 1, tahun 2023); (12) Strategies for Revitalizing Tri Tangtu Local Wisdom Among College Students oleh Runik Machfiroh, Ida Rohayani, Dicky Hidayat dan Kaede Shirakane (Al-Ishlah: Jurnal Pendidikan, Vol. 16 No. 1, tahun 2024).

Melalui pembacaan terhadap penelitian-penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa konsep Tri Tantu di Bumi pada dasarnya belum sepenuhnya dapat dipahami presisi dan akurasi konseptualnya melalui kegiatan rekonstruksi teoretik yang memadai. Sehingga dengan dibuatnya kesimpulan yang terlalu dini terhadap konsep Tri Tantu di Bumi tanpa melalui sokongan data konseptual yang memadai akan membawa dampak pada kegiatan-kegiatan komparasi konseptual yang kurang begitu sebanding (apple to apple). Misalnya dengan melakukan perbandingan konseptual antara Tri Tantu di Bumi dengan Trium-virate dan Trias Politica. Pasalnya dalam kebudayaan Eropa masih terdapat satu konsep ketatanegaraan utama lainnya yang pernah diterapkan sepanjang abad pertengahan yakni Three Estates yang perlu dipertimbangkan juga sebagai dasar kegiatan komparasi konseptual.

Melalui kurasi terhadap penelitian dasar (pure research) yang dilakukan di atas, dapat diketahui bahwa masih ada pekerjaan rumah dalam melakukan kegiatan rekonstruksi konseptual terhadap konsep Tri Tantu di Bumi secara lebih kritis dan komprehensif dengan menggunakan pendekatan penafsiran (hermeunetics) melalui kajian kesejarahan (historical criticism). Sehingga apabila konsep Tri Tantu di Bumi dapat dipahami ulang secara otentik melalui kegiatan rekonstruksi teoretik, maka langkah-langkah penelitian terapan (applied research) pada gilirannya akan mendapatkan pijakan teoretiknya yang bersifat absyah dan kokoh dengan sendirinya.

Penafsiran terhadap Konsep Tri Tantu dalam Naskah-naskah Sunda Kuno

Penafsiran terhadap konsep Tri Tantu di Bumi yang terdapat dalam naskah-naskah Sunda Kuno pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara yang sama dengan melakukan penafsiran terhadap naskah-naskah yang berasal dari rumpun “kitab-kitab yang disucikan, naskah-naskah yang mengandung nilai-nilai filosofis, dan naskah-naskah yang mengandung pengajaran filsafat” (Reese, William L. (1980). Dictionary of Philosophy and Religion. Sussex: Harvester Press.). Alasannya jelas, karena naskah-naskah Sunda Kuno yang memuat konsep Tri Tantu di Bumi pada dasarnya termasuk ke dalam kelompok “naskah-naskah yang mengandung nilai-nilai filosofis”. Dalam hal ini adalah bahwa naskah-naskah Sunda Kuno tersebut, mengandung nilai-nilai filosofis Kasundaan.

Adapun nilai-nilai filosofis Kasundaan itu sendiri diperoleh melalui pemahaman terhadap nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh masyarakat Sunda pada masa silam. Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa konsep Tri Tantu di Bumi yang terkandung dalam naskah-naskah Sunda Kuno, pada dasarnya diturunkan nilai-nilai keyakinan terhadap agama Hindu yang dianutnya. Yakni tahap perkembangan Hindu, yang secara akademik disebut dengan agama setelah Weda (post-Vedic religion). Yakni sistem keyakinan agama Hindu yang diformulasikan melalui naskah-naskah keagamaan Hindu lainnya yang dihasilkan setelah naskah-naskah Weda.

Lebih jauh lagi, sistem keyakinan masyarakat Sunda Kuno tersebut, bahkan diduga para ahli tidak saja dipengaruhi oleh struktur keyakinan agama Hindu, atau secara akademik disebut juga dengan nama Sanata Dharma, Vedanta, Vaidika Dharma, dan Brahmanisme. Melainkan telah dipengaruhi juga dengan sistem keyakinan agama Budha (Budha Dharma). Perpaduan antara sistem keyakinan Hindu dan sistem keyakinan Budha tersebut, kemudian menghasilkan sistem keyakinan agama baru yang oleh para ahli disebut dengan sistem keyakinan agama Siwa-Budha. Yakni sistem keagamaan Hindu dengan corak aliran Siwaisme yang mendapatkan pengaruh dari elemen-elemen keagamaan Budha. Adapun sistem keagamaan Siwa-Budha tersebut, merupakan trend umum yang sedang berkembang di seluruh Pulau Jawa. Baik dianut oleh masyarakat Sunda di wilayah kerajaan Sunda (Pajajaran) maupun dianut oleh masyarakat kerajaan Wilwatikta (Majapahit).

Dalam melakukan penafsiran (hermeunetics) terhadap naskah-naskah, terdapat kajian-kajian yang secara umum biasa digunakan oleh para ahli antara lain: “(1) kritik teks; (2) kritik sejarah; (3) kritik bahasa; (4) kritik sastra; (5) kritik bentuk; (6) kritik tradisi; (7) kritik redaksi; (8) kritik struktur; (9) kritik kanonik” (John H. Hayes & Carl R. Holladay. Biblical Exegesis, Atlanta: John Knox Press, 1982.) dan lain sebagainya. Adapun dalam kepentingan melakukan penafsiran terhadap konsep Tri Tantu di Bumi, maka kajian kesejarahan merupakan kajian yang diaggap memiliki relevansi paling tepat. Karena melalui kajian kesejarahan itulah konsep Tri Tantu di Buana yang terdapat dalam naskah-naskah Sunda Kuno, “dapat dipahami setepat mungkin maksudnya dan sekaligus dapat menghindari sebisa mungkin terhadap adanya resiko kekeliruan dalam menafsirkannya” (E. Sumaryono. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.). Melalui kajian kesejarahan (historical criticism), atau dikenal juga dengan istilah kajian tinggi (higher criticism) itulah, penelitian terhadap naskah-naskah, atau konteks-konteks yang terkandung dalam naskah dapat dipahami sebagai ihtiar dalam mengungkap “dunia di balik naskah” (Soulen, Richard N.; Soulen, R. Kendall (2001). Handbook of biblical criticism (3rd ed., rev. and expanded. ed.). Louisville, Ky.: Westminster John Knox Press.).

Adapun rambu-rambu yang harus dilakukan dalam melakukan kegiatan penafsiran, yang dalam hal ini dilakukan melalui kajian kesejarahan adalah “menunda penilaian apapun terhadap isi naskah-naskah keagamaan dan relevansinya hingga mampu menyelesaikan penafsiran yang dilakukannya” (Sinai, Nicolai (2017). The Qur’an: a historical-critical introduction. The new Edinburgh Islamic surveys. Edinburgh: Edinburgh University Press.). Prinsip penafsiran melalui kajian kesejarahan dengan demikian bersifat eksploratif dan induktif, yakni memberikan ruang secara terbuka terhadap pengamatan teks apa adanya dan membebaskan diri dari pertimbangan-pertimbangan mengenai berbagai relevansinya. Sehingga makna yang sesungguhnya dari naskah-naskah kuno yang dikaji dapat terungkap secara lebih akurat dan otentik sesuai dengan konteks, ruang dan waktunya. Sementara apabila dianggap telah mampu menangkap kandungan maknanya secara akurat dan otentik melalui bentuk penelitian dasar (pure research), maka pertimbangan soal konsekuensi, implikasi, dan relevansi kajian tersebut dalam berbagai bentuk penilaian teoretik dan penerapan-penerapan konsep Tri Tantu di Buana dalam bentuk penelitian terapan (applied research) tertentu dapat dilakukan. Melalui kajian dasar (pure research) itulah, kajian-kajian terapan (applied research) pada gilirannya dapat berjalan dalam konteks-konteksnya yang bersifat relevan.

Hubungan antara Konsep Tri Tantu di Bumi dan Konsep Tri Warga di Lamba

Dengan mempertimbangkan bahwa konsep Tri Tantu di Bumi yang tersebar luas dalam naskah-naskah Sunda Kuno antara lain: (1) Amanat Galunggung; (2) Carita Parahiyangan; (3) Fragmen Carita Parahiyangan; (4) Sanghiyang Sasana Waruga Guru; (5) Sanghiyang Hayu; dan lain sebagainya. Maka diperlukan grand design penafsiran yang bersifat holistik dengan cara memeriksa seluruh konteks-konteks dalam fragmen-fragmen yang memuat konsep Tri Tantu di Bumi dalam naskah-naskah Sunda Kuno tersebut.

Selanjutnya dalam rangka memaknai penelitian yang bersifat holistik itulah, pada kesempatan kali ini secara spekulatif akan dilakukan bentuk penafsiran terhadap 1 buah pernyataan yang terkandung dalam salah-satu naskah Sunda Kuno tersebut, yakni naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M. Dengan harapan beberapa pernyataan penting yang terkait dengan konsep Tri Tantu di Bumi dalam naskah-naskah Sunda Kuno secara bertahap dapat diperiksa seluruhnya hingga mencapai titik pemahaman yang bersifat holistik dan komprehensif.

Adapun salah-satu pernyataan yang mengandung konsep Tri Tantu di Bumi dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M yang akan ditafsirkan pada kesempatan kali ini adalah sebagaimana berikut:

“Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tritan(g)tu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat. Ya sinangguh tritan(g)tu di nu reya ngaranya”. (Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Darsa. “Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung”. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung, 1987 M. Pada bagian “Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI”, halaman 90).

Melalui pembacaan terhadap pernyataan tersebut, sepintas dapat terlihat adanya petunjuk penting yang diberikan oleh penulis naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian, yakni: (1) perihal asal-usul pembentukan konsep Tri Tantu di Bumi; dan (2) perihal tujuan dibentuknya konsep Tri Tantu di Bumi.

Kalimat dalam bahasa Sunda Kuno di atas, diperoleh melalui transkripsi yang dikerjakan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Darsa dalam bukunya yang berjudul: “Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung”, pada “Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI”, halaman 90 (Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung, 1987 M).

Traskripsi dalam bahasa Sunda Kuno di atas, selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Darsa, pada “Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.2. Terjemahan, XXVI”, halaman 114-115, sebagaimana berikut:

“Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Ya disebut tritangtu pada orang banyak namanya”. 

Melalui transkripsi dan terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Darsa, dapat dibuat transkripsi alternatif untuk memperjelas konteks kalimat sebagaimana berikut:

“Ini Tri Warga di Lamba: Wisnu kangken Prabu, Brahma kangken Rama, Isora kangken Resi. Nya mana Tri Tantu pineguh ning Bwana, Tri Warga hurip ning Jagat. Ya sinangguh Tri Tantu di nu reya ngaranya”. 

Dengan dibuatnya transkripsi alternatif di atas, dapat dibuat juga terjemahan alternatif untuk memperjelas konteks maknanya dalam bahasa Indonesia sebagaimana berikut:

“Ini Tri Warga di Lamba: Wisnu sebagai Prabu, Brahma sebagai Rama, Isora sebagai Resi. Dengan itulah Tri Tantu diwujudkan dalam Bwana, Tri Warga hidup dalam Jagat. Itulah yang dimaksud dengan perwujudan Tri Tantu terhadap masyarakat umum”. 

Berdasarkan transkripsi dan terjemahan alternatif yang dihasilkan, pola penalaran yang terkadung dalam bahasa Sunda Kuno di atas menjadi lebih mudah untuk dipahami, yakni sebagaimana berikut: (1) bahwa terdapat perbedaan antara konsep lamba yang merupakan alam dewa-dewa dengan konsep buana, jagad, atau tempat tinggal  manusia pada umumnya (di nu reya); (2) bahwa terdapat tiga sosok dewa utama yang berkuasa di lamba secara sederajat dan bersama-sama yang dinamai dengan konsep Tri Warga di Lamba; (3) bahwa keanggotaan dari konsep Tri Warga di Lamba terdiri dari Wisnu, Brahma, dan Isora; (4) bahwa masing-masing anggota dalam konsep Tri Warga di Lamba menjalankan tugas masing-masing secara berbeda, yakni Wisnu menjalankan tugas sebagai Prabu, Brahma menjalankan tugas sebagai Rama, dan Isora menjalankan tugas sebagai Resi; (5) bahwa konsep Tri Warga di Lamba itulah yang dijadikan dasar pembentukan konsep Tri Tantu di Bumi; (6) bahwa tujuan dari pembentukan konsep Tri Tantu di Bumi adalah penerapan tata kelola masyarakat umum (‘di nu reya’); (7) bahwa unsur-unsur yang diterapkan dalam konsep Tri Tantu di Bumi adalah penerapan aspek peranan masing-masing yang dijalakan oleh Wisnu sebagai Prabu, Brahma sebagai Rama, dan Isora sebagai Resi; (8) bahwa konsep Tri Tantu di Bumi merupakan pengejawantahan konsep peranan yang dijalankan oleh Wisnu, Brahma, dan Isora yang mana masing-masing menjalankan peranannya sebagai Prabu, Rama, dan Resi dalam rangka penerapan tata kelola masyarakat umum yang berada di buana, atau jagat dengan meminjam role mode tata kelola di lamba.

Dengan meminjam analisa hukum penalaran (logika), apa yang disampaikan dalam transkripsi bahasa Sunda Kuno di atas, dengan demikian merupakan perwujudan susunan argumentasi yang bersifat deduktif dalam bentuk silogisme sebagaimana berikut: (1) yakni dengan menempatkan kalimat “Ini Tri Warga di Lamba: Wisnu kangken Prabu, Brahma kangken Rama, Isora kangken Resi” (Ini Tri Warga di Lamba: Wisnu sebagai Prabu, Brahma sebagai Rama, Isora sebagai Resi) sebagai preposisi pertama yang menjalankan fungsinya sebagai premis mayor (landasan apriori yang dijadikan pijakan teoretik); (2) yakni dengan menempatkan kalimat “Nya mana Tri Tantu pineguh ning Bwana, Tri Warga hurip ning Jagat” (Dengan itulah Tri Tantu diwujudkan dalam Bwana, Tri Warga hidup dalam Jagat) sebagai preposisi kedua yang menjalankan fungsinya sebagai premis minor (penerapan aspek teori terhadap kasus yang bersifat khusus); (3) yakni dengan menempatkan kalimat “Ya sinangguh Tri Tantu di nu reya ngaranya” (Itulah yang dimaksud dengan perwujudan Tri Tantu terhadap masyarakat umum) sebagai kongkulusi yang menjalankan fungsinya sebagai pengetahuan baru yang dihasilkan secara absyah melalui prosedur penalaran deduktif/silogime (kesimpulan yang bersifat formulatif).

Melalui analisa tersebut, dapat diketahui bahwa konsep Tri Tantu di Bumi merupakan konsep yang diturunkan (derivat) melalui kerangka berpikir yang bersifat silogisme. Sementara aspek pembentukan konsep Tri Warga di Lamba itu sendiri, secara hipotetik pada gilirannya dapat diduga diturunkan juga dari konsep Tri Murti yang terdapat dalam sistem keyakinan Hindu. Dugaan tersebut diperoleh melalui adanya petanda-petanda yang pada dasarnya merujuk pada keberadaan Wisnu dan Brahma yang sudah umum diketahui sebagai bagian dari keanggotaan konsep Tri Murti. Adapun Isora untuk sementara dapat diambil hipotesa sebagai nama lain dari Siwa yang juga merupakan bagian integral dari keanggotaan konsep Tri Murti.

Hubungan antara Konsep Tri Tantu di Bumi dan Konsep Tri Murti

Hubungan konseptual antara Tri Warga di Lamba dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M dengan konsep Tri Murti dalam sistem keyakinan Hindu, pada kenyataannya memang dapat dikonfirmasi melalui salah-satu naskah kuno keagamaan Hindu, yakni naskah Vishnu Purana yang menurut analisa Horace Hayman Wilson (tahun 1864 M) secara realistis berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang ada dapat diduga berasal dari abad ke-11 M (Rocher, Ludo (1986). The Puranas. Otto Harrassowitz Verlag.). Adapun konsep Tri Murti yang terkandung dalam naskah Vishnu Purana itu sendiri menurut analisa R.C. Majumdar, merupakan sistem keyakinan Hindu yang didasarkan pada naskah-naskah setelah zaman Weda (“post-Vedic religion”).

Dalam naskah Vishnu Purana (1.2.66) yang diperoleh melalui keterangan R.C. Majumdar (“Evolution of Religio-Philosophic Culture in India”, Radhakrishnan, 1956) tersebut, dengan jelas terkandung formulasi konsep Tri Murti melalui kalimat dalam bahasa Sanskerta sebagaimana berikut:

“Rupani trini tatraiva murtibheda-vibhagatah. Ajamyekamsam atmanam siva-rupena tishthati. Jagatah sthiti-samdhanam samharanti yuge yuge. Trayam brahma-maha-visnu-mahesvara-iti smrtam”.

(In this way, the one supreme entity divides itself into three forms—Brahma, Vishnu, and Mahesh (Shiva)—taking on different aspects. It creates, preserves, and destroys the universe in various ages.)

Melalui terjemahan dalam bahasa Inggris yang dilakukan oleh R.C. Majumdar, selanjutnya dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagaimana berikut:

“Dalam hal ini, Zat Tertinggi Yang Maha Tunggal membagi dirinya sendiri ke dalam tiga perwujudan—yakni Brahma, Vishnu, dan Mahes (Shiva)—dengan mengambil peranan-peranan berbeda. Sebagai Pencipta, sebagai Pemelihara, dan Penghacur semesta dalam zaman-zaman berbeda”.

Menurut keterangan R.C. Majumdar, dalam sistem keyakinan Hindu yang didasarkan pada naskah-naskah setelah Weda (post-Vedic religion), tidak ditemukan lagi sistem keyakinan yang bersifat seragam. Adapun sistem keyainan Hindu yang didasarkan pada naskah-naskah setelah Weda tersebut, menurut R.C. Majumdar terbagi ke dalam keyakinan-keyakinan yang bersifat khas berdasarkan preferensi aliran keagamaan yang utama, yakni Brahmanisme yang pada dasarnya merupakan sisa-sisa pemahaman terhadap sistem keyakinan Hindu lama yang merujuk langsung pada Weda (older Vedic faith traditions), Siwaisme yang merupakan kelompok pemuja Siwa, Wisnuisme yang merupakan kelompok pemuja Wisnu, dan Saktisme yang merupakan kelompok pemuja isteri-isteri dewa, terutama pemujaan terhadap isteri-isteri dewa dalam keanggotaan konsep Tri Murti.

Adapun konsep Tri Murti yang didasarkan pada naskah-naskah setelah Weda (post-Vedic religion) itu sendiri, menurut keterangan R.C. Majumdar adalah sebagaimana berikut:

“Its most notable expression is to be found in the theological conception of the Trimurti, i.e., the manifestation of the supreme God in three forms of Brahma, Visnu, and Siva… But the attempt cannot be regarded as a great success, for Brahma never gained an ascendancy comparable to that of Siva or Visnu, and the different sects often conceived the Trimurti as really the three manifestations of their own sectarian god, whom they regarded as Brahman or Absolute”.

(Pemujaan paling menonjol ditemukan dalam konsep teologi Tri Murti, yakni pengejawantahan Tuhan Yang Maha Esa dalam tiga perwujudan sebagai Brahma, Visnu, dan Siva… Hanya saja usaha tersebut tidak bisa dianggap sebagai keberhasilan besar, karena Brahma tidak pernah mendapatkan kedudukan yang sebanding dengan Siva atau Visnu, sementara aliran-aliran yang berbeda sering kali memaknai Tri Murti sebagai pengejawantahan sesungguhnya dari dewa-dewa pada aliran-aliran mereka masing-masing, yang mereka dudukan sebagai Brahman atau Tuhan Yang Maha Mutlak.)

Melalui penjelasan R.C. Majumdar tersebut, dapat diketahui bahwa konsep Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu lama (older Vedic faith traditions) sebenarnya diduduki oleh Brahman. Hanya saja, konsep Brahman sebagai Tuhan Yang Maha Esa pada gilirannya mengalami degradasi ke dalam pengejawantahan konsep Tri Murti, yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai representasinya.  Menurut R.C. Majumdar, sistem keyakinan teologis dari konsep Tri Murti, bisa jadi sebagai akibat dari bentuk kompromi dan akomodasi dari berkembangnya aliran-aliran baru dalam Hindu (post-Vedic religion), yang mana pada dasarnya menempatkan masing-masing dewa pemujaannya dalam kedudukan yang tertinggi.

Sayangnya, menurut R.C. Majumdar, peranan Brahma dalam konsep Tri Murti tersebut, tidak pernah mendapatkan kedudukan yang setara dengan Wisnu dan Siwa. Pada aliran Wisnu dan Siwa, sosok Wisnu dan Siwa tentu saja menduduki peranannya sebagai dewa tertinggi masing-masing. Bahkan sosok Wisnu dan Siwa pada aliran-aliran tersebut, ditempatkan secara lebih jauh lagi menjadi hakikat dari Brahman itu sendiri. Itulah kenapa menurut R.C. Majumdar, dalam konsep Tri Murti tersebut, Brahma tidak pernah mendapatkan kedudukan yang sama tingginya dengan Wisnu dan Siwa.

Sementara itu, terlepas dari wacana pemaknaan terhadap konsep Tri Murti pada tahap perkembangan setelah era Weda (post Vedic religion), saya ingin mengatakan bahwa: (1) bahwa konsep Tri Warga di Lamba dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari konsep Tri Murti dalam teologi Hindu yang berpijak pada naskah Vishnu Purana abad ke-11 M, sebagai bagian integral dari sisetm keyakinan setelah era Weda (post Vedic religion); (2) bahwa konsep Tri Warga di Lamba merupakan bagian dari penerapan konsep Tri Murti yang dijadikan landasan teoritik dalam melakukan tata kelola terhadap masyarakat; (3) bahwa formulasi Tri Warga di Lamba yang terdiri dari Wisnu, Brahma, dan Isora dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M, pada prinsipnya masih sama dengan formulasi Tri Murti yang terdiri dari Brahma, Maha Vishnu, dan Mahesvara (Maha+Isvara) dalam naskah Vishnu Purana abad ke-11 M; (4) bahwa nama Mahesvara (maha+isvara) dalam naskah Vishnu Purana abad ke-11 M, merupakan nama lain dari Shiva (Siwa). Adapun nama Isora dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M, dengan demikian dapat diketahui merupakan tahap perkembangan bahasa Sunda untuk menamai Isvara (atau Mahesvara) dalam bahasa Sanskerta, yang juga merupakan nama lain dari Siwa (Shiva); (5) bahwa konsep peranan Wisnu, Brahma, dan Isora dalam formulasi Prabu, Rama, dan Resi pada naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M, pada hakikatnya masih menginduk pada konsep peranan Brahma, Maha Vishnu, dan Mahesvara dalam formulasi Utpati, Sthiti, dan Pralina dalam tradisi purana-purana, termasuk dalam tradisi naskah Vishnu Purana abad ke-11 M.

Kata Utpati dalam bahasa Sanskerta tersebut, secara etimologis sebenarnya berarti kelahiran. Sementara Sthiti berarti kehidupan dan Pralina berarti kematian. Dari kata Utpati itulah, kemudian muncul pengembangan konsep penciptaan yang dijalankan oleh Brahma. Sementara dari kata Sthiti, muncul pengembangan konsep pemeliharaan yang dijalankan oleh Maha Vishnu. Dan dari kata Pralina, muncul pengembangan konsep penghancuran yang dijalankan oleh Mahesvara. Melalui alur berpikir filosofis itulah, kemudian konsep Tri Murti identik dengan konsep peranannya masing-masing yang dalam bahasa Sanskerta disebut dengan Tri Kona, yakni formulasi Brahma sebagai Pencipta (Utpati), Maha Vishnu sebagai Pemelihara (Sthiti), dan Mahesvara sebagai Perusak (Pralina).

Penempatan konsep Tri Murti sebagai grand teori dalam tradisi post-vedic religion yang berpijak pada naskah Vishnu Purana abad ke-11 M tersebut, terlihat masih memiliki kesinambungan pada pembentukan teologi Hindu di Tatar Sunda sebagaimana yang terwakili dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M. Adapun corak keagamaan Hindu yang dianut oleh masyarakat Sunda Kuno tersebut, secara lebih khusus lagi menurut keterangan para ahli sejarah mengambil corak Siwaisme. Bahkan lebih jauh lagi, yakni corak Siwaisme yang telah bercampur-baur dengan sistem teologi Budha. Sehingga menghasilkan formulasi baru keagamaan yang disebut dengan Siwa-Budha yang pada waktu itu telah menajdi trend yang merata di Pulau Jawa. Baik dianut oleh masyarakat di kerajaan Sunda (Sastra: Pajajaran) maupun oleh masyarakat di kerajaan Wilwatikta (Sastra: Majapahit). Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa corak keagamamaan Hindu di Tatar Sunda tersebut, kemudian sedikit-banyaknya memiliki pembentukan karakteristiknya yang bersifat khas dan lokal. Namun demikian, tidak berarti bahwa kreatifitas teologis Hindu di Tatar Sunda tersebut sama sekali bersfat liar dan tercerabut dari akar teologis induknya sebagai dasar pengembangan.

Sementara itu, mengenai penggandengan kata Brahma dan Rama sebagai sesuatu yang bersifat asosiatif misalnya, kita bisa merujuk pada jejak analisa Paul Heinrich Dietrich Baron von Holbach (1723-1789 M) dalam tulisannya “Ram ou Brama” dalam topik “Histoire moderne, Mythologie” yang termuat dalam “Encyclopedie ou Dictionnaire raisonne des sciences, des arts et des metiers”(Vol. 13, Paris, 1765). Judul “Ram ou Brama” dalam terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Olivia Singer (Michigan Publishing, University of Michigan Library, 2016) kemudian diberi judul “Rama or Brahma”. Adapun sebagian kutipannya terkait hal tersebut, dapat dilampirkan sebagaimana berikut:

“Rama or Brahma is the name that the idolaters of the Indian subcontinent give to the principle of the three gods of the first order, who are the object of their cult; the other two are Vishnu and Shiva”.

(Rama atau Brahma merupakan nama sesembahan yang berada di anak benua India yang diberikan kepada dewa pertama dari konsep tiga dewa, yang dijadikan objek pemujaan mereka; dua dewa lainnya adalah Vishnu dan Shiva.)

Dengan demikian, Paul Heinrich Dietrich Baron von Holbach yang merupakan penulis dan filosof Peracis-Jerman yang menjadi salah-satu figur utama dalam pergerakan Abad Pencerahan di Perancis (French Enlightenment) menganggap bahwa Rama merupakan nama lain dari Brahma. Apabila kita merujuk pada Rama dan Brahma sebagai dua sosok yang berbeda dalam khazanah konvensional Hindu tentu saja memberikan kesan yang membingungkan. Namun demikian, hasil investigasi dari Paul Heinrich Dietrich Baron von Holbach itu sendiri, cukup menarik dan perlu untuk dipertimbangkan. Mengingat seluk-beluk aliran dalam Hindu pada kenyataanya bersifat majemuk dan kompleks. Sehingga, bisa jadi terdapat rujukan yang berbeda yang kemudian sampai pada Paul Heinrich Dietrich Baron von Holbach sebagai dasar pembuatan argumentasi tersebut. Namun demikian, untuk sementara cukup dikatakan bahwa hubungan antara konsep Brahma dan konsep Rama yang digunakan oleh masyarakat Sunda abad ke-16 M dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian, dapat diduga masih memiliki runutan asosiasi yang dapat dilacak alur logikanya.

Sebagai dasar perbandingan, bahwa asosiasi antara konsep Brahma dan Rama dalam naskah-naskah Sunda Kuno tersebut dipergunakan secara konsisten. Dapat dilihat dalam pernyataan lain yang masih sama-sama terkandung dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XVII, halaman 84) sebagimana berikut:

“Sa(r)wa lwir[a] ning teuteupaan ma telu ganggaman palain. Ganggaman di sang prebu ma: pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa pina[h]ka dewanya, ja paranti maehan sagala. Ganggaman sang wong tani ma: kujang, baliung, patik, kored, sadap. Detya pina[h]ka dewanya, ja paranti ngala kikicapeun iinumeun. Ganggaman sang pandita ma: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina[h]ka dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala. Nya mana teluna ganggaman palain deui di sang prebu, di sang wong tani, di sang pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di sarean(ana), eta ma panday tanya”.

Adapun terjemahannya dapat ditemukan dalam bagian “Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.2. Terjemahan, XVII”, halaman 107-108, sebagaimana berikut:

“Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu. Itulah jenis senjata yang berbeda pada sang prebu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi”.

Pada kalimat di atas dapat diketahui bahwa formulasi konseptual Prabu, Rama, dan Resi yang diturunkan dari Wisnu, Brahma, dan Isora yang ditemukan pada bagian sebelumnya, kemudian dapat berubah dalam formulasi konseptual Sang Prabu, Sang Wong Tani, dan Sang Pandita yang secara logika masih diturunkan dari Wisnu, Brahma, dan Isora. Sehingga tidak sulit untuk melihat bahwa perbedaan formulasi konseptual antara Prabu, Rama, dan Resi dengan Sang Prabu, Sang Wong Tani, dan Sang Pandita pada dasarnya masih berada dalam ruang-lingkup kesebandingan konseptual yang sama.

Sebagai penguat bahwa kedua formulasi tersebut pada dasarnya masih bersifat koheren dalam konstruksi konseptual Tri Tantu di Bumi yang sama, dapat disajikan secara utuh adanya variasi-variasi formula yang mana seluruhnya secara hipotetik dapat diduga merupakan aspek derivasi dari formula Wisnu, Brahma, dan Isora yang termuat dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian sebagaimaa berikut: (1) terdapat formulasi Prabu, Rama, dan Resi (Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.2. Terjemahan, XXVI, halaman 114-115); (2) terdapat formulasi Sang Prabu, Sang Wong Tani, dan Sang Pandita (Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XVII, halaman 84); (3) terdapat formulasi Ratu, Wong Tani, dan Guru (Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, II, halaman 74); (4) terdapat formulasi Prabu, Rama, dan Resi (Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, II, halaman 75); (5) terdapat formulasi Sang Prabu, Sang Rama, dan Sang Resi (Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXIII-XXIV, halaman 88); (6) terdapat formulasi Prabu, Rama, dan Resi (Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI, halaman 90); (7) terdapat formulasi Prabu, Rama, dan Resi (“Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI”, halaman 90), dan (8) terdapat formulasi Sang Prabu, Sang Wong Tani, dan Sang Pandita (“Bab III  Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI dan XXVII”, halaman 90).

Melalui inventarisasi tersebut, dapat terlihat bahwa formulasi Prabu, Rama, dan Resi secara statistik mengalami perulangan sebanyak 4 kali. Formulasi tersebut kemudian mengalami pengulangan dalam variasi yang lebih megah dengan formulasi Sang Prabu, Sang Rama, dan Sang Resi sebanyak 1 kali. Sementara formulasi Sang Prabu, Sang Wong Tani, dan Sang Pandita secara statistik mengalami pengulangan sebanyak 2 kali. Dan formulasi tersebut mengalami pengulangan dalam variasi biasa dengan formulasi Ratu, Wong Tani, dan Guru sebanyak 1 kali.

Melalui perbandingan tersebut dapat diketahui bahwa Prabu, Sang Prabu, dan Ratu pada prinsipnya bersifat sinonim (ekivalen), atau dalam cakupan konseptual yang sama (permainan derajat umum dan khusus). Adapun Rama, Sang Rama, Wong Tani, dan Sang Wong Tani juga bersifat sinonim (ekivalen), atau dalam cakupan konseptual yang sama. Sementara Resi, Sang Resi, Sang Pandita, dan Guru juga pada prinsipnya bersifat sinonim (ekivalen), atau dalam cakupan konseptual yang sama.

Kata Rama, Sang Rama, yang diasosiasikan dengan Wong Tani dan Sang Wong Tani dengan demikian dapat memperkuat basis pemahaman terhadap peranan Brahma yang pada hakikatnya memang bersifat melahirkan, menciptakan, mewujudkan, membuat, mengadakan, atau mengadirkan alam semesta. Sementara kata Rama, Sang Rama, Wong Tani, dan Sang Wong Tani pada hakikatnya meneladani peranan Brahma dalam hal melahirkan, menciptakan, mewujudkan, membuat, mengadakan, atau mengadirkan berbagai kebutuhan masyarakat melalui kegiatan pertanian, atau kegiatan produksi dalam sektor-sektor lainnya. Rama, Sang Rama, Wong Tani, dan Sang Wong Tani dengan demikian menjadi ujung tombak dalam meraih kemakmuran dan kesejahteraan melalui pengelolaan segala potensi yang terkandung tanah dan air.

Selain itu, hubungan konseptual antara Brahma dan Rama dapat dilacak juga melalui tahap perkembangan kebahasaan. Misalnya saja, melalui keberadaan prasasti-prasasti yang berkembang di Jawa dan di Pulau Bali. Kata Rama dalam prasasti-prasasti tersebut, pada dasarnya dapat diartikan juga sebagai kepala pemukiman dalam unit administrasi paling kecil ataupun dalam unit administrasi kecil. Dalam konteks Rama sebagai kepala pemukiman tersebut, maka wilayah yang dipimpin oleh seorang Rama kemudian disebut dengan kata Karaman (‘Karamaan’). Selain merujuk pada wilayah yang dipimpin oleh Rama, Karaman juga pada gilirannya merujuk juga pada artinya sebagai penduduk yang mendiami suatu wilayah yang dipimpin oleh Rama.

Dalam variasi lainnya, kata Rama bersifat sinonim (ekivalen) juga dengan kata Tuha Wanua. Tuha dengan demikian dapat diduga berasosiasi dengan variasikata lainnya seperti Tuhan atau Tuan dalam bahasa Melayu atau Tohaan dan Taan dalam bahasa Sunda Kuno yang berarti penguasa. Tapi pada gilirannya dapat diduga bahwa kata Tuha, Tuan, Tuhan, Tohaan, Taan tersebut pada gilirannya mempengaruhi pembentukan makna dari kata Tua. Sehingga Tua (Sunda: Kolot/Olot) dalam konteks ini sebenarnya berarti pemimpin, atau orang yang dituakan karena kedudukannya sebagai pemimpin dalam kemasyarakatan (bandingkan dengan kata Senatus/Senex dalam bahasa Latin yang berarti Oldman dalam bahasa Inggris juga maksudnya adalah pemimpin).

Apabila Rama sinonim (ekivalen) dengan kata Tuha (Wanua). Maka Karaman dengan demikian sinonim (ekivalen) dengan Wanua, atau terdapat juga istilah Anaking Wanua, Duwan, Thani, dan Anaking Thani. Keterangan mengenai Anaking Wanua misalnya dapat dilihat dalam Prasasti Poh (829 Saka/907 Masehi), Duwan dalam Prasasti Baru (952 Saka/1030 M), dan Thani dalam Prasasti Kawambang Wulan (913 Saka/991 M). Melalui penjelasan tersebut dapat terlihat, bahwa kata Rama juga pada gilirannya terasosiasi juga dengan kata Thani yang semula berarti wilayah dan kemudian berasosasi juga dengan kata Tani dalam terminologi modern.

Keterhubungan kata Rama, Sang Rama dengan Wong Tani dan Sang Wong Tani dalam naskah Sanghiyang Siksa Kangdang Karesian abad ke-16 M dengan demikian memiliki dasar dalam perkembangan asosasiasi kebahasaan yang berkembang di Pulau Jawa dan Pulau Bali yang membentang pada era sebelumnya. Adapun kegiatan pertanian dengan demikian masih berada dalam ruang-lingkup tugas Rama, yakni sebagai orang yang bertanggung jawab dalam rangka melahirkan, menciptakan, mewujudkan, membuat, mengadakan, atau mengadirkan kemakmuran dan kesejahteraan, yang pada hakikatnya berakar dari keteladanan peranan yang dilaksanaka oleh Brahma.

Dalam prasasti-prasasti yang terdapat di Bali, kata Rama juga dikenal melalui variasi lainnya sebagai kata Rama Kabayan. Bahkan kata kata Rama sebagai penguasa Karaman (‘Karamaan’) dapat diganti dengan istilah subjek lainnya, yakni sebagai “Paduka Sri Maharaja” sebagaimana yang terlihat dalam anak kalimat sebagaimana berikut: “Paduka Sri Maharaja Karaman i Cintamani” (Prasasti Sukawana B, II.a, bait 6). Rama dengan demikian jelas merupakan penguasa atau raja (Paduka Sri Maharaja), hanya saja terbatas kekuasaannya pada wilayah sangat kecil, kecil, atau kerajaan daerah sebagaimana dapat dilihat pada anak kalimat selanjutnya yakni “Karaman i Cintamani” (berkuasa di wilayah Kintamani).

Rama dengan demikian jelas merupaka pemimpin, dituakan, dan bertanggung jawab penuh terhadap kegiatan kemakmuran dan kesejahteraan wilayah-wilayah daerah. Seluruh asosiasi tersebut dengan demikian dapat dipahami dalam konsep umum sebagai Rama yang mengejawantahkan peranan Brahma. Sebagai pembanding tambahan, melalui uraian sebelumnya selanjutnya akan dipahami makna dari peribahasa dalam bahasa Jawa sebagaimana berikut: “Guru, Ratu, Wong Atua; [karo?]; wajib sinembah” (Guru, Ratu, dan Orang Tua, semuanya wajib dihormati). Orang tua dalam konteks tersebut dengan demikian maksudnya adalah orang yang dituakan, yang dengan demikian dapat dilacak kembali asal-usulnya kepada formulasi kuno, yakni Resi, Ratu, dan Rama.

Adapun kata Sthiti, yang berarti hidup, atau kehidupan dan yang kemudian berasosiasi dengan sikap memelihara, menjaga, mengelola, melestarikan, dan lain sebagainya pada gilirannya akan berasosiasi terhadap peranan pemimpin yang disebut dengan Prabu, Ratu, Raja, Dewa Raja, Maharaja, Mahaprabu, dan lain sebagainya. Peranan itulah yang secara asosiatif dinisbatkan kepada Wisnu, yang dalam konteks naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M disebut dengan variasi Prabu dan juga Ratu. Mengenai permasalahan tersebut, sudah cukup jelas peta konstelasinya.

Sementara kata Pralina yang berarti mati, atau kematian pada gilirannya dapat membentuk kata penghancur, perusak, penghukum, dan lain sebagainya. Namun demikian, perlu diketahui bahwa dari asosiasi penghancur, perusak, atau penghukum tersebut, pada dasarnya masih terhubung juga dengan asosiasi lainnya yakni sebagai pengajar, atau pendidik. Itulah kenapa figur Shiva dalam konteks Pralina dapat merujuk pada peranannya sebagai Guru, Pandita, Resi, Yogi, dan lain sebagainya. Adapun asosiasi Siwa sebagai Resi, Guru, Pandita, dan lain sebagainya dalam sistem teologi Hindu, sebenarnya berkaitan dengan peranannya dalam menghancurkan kebodohan umat manusia sebagai “Daksina Murti”.

Melalui penjelasan itulah, kenapa sosok Isora yang merupakan nama lain Siwa dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M, memiliki asosiasi dengan Resi, Sang Resi, Sang Pandita, dan Guru. Bahkan apabila ditelaah lebih jauh lagi, sosok Siwa, atau Isora tersebut dalam tradisi Sunda dan Jawa klasik mengejawantah dalam sosok dewa tertinggi yang dikenal dengan sebutan Batara Guru. Suatu jejak yang menunjukan bahwa Siwaisme pernah menjadi corak keagamaan yang bersifat dominan dalam struktur kebudayaan masyarakat di Pulau Jawa dan Pulau Bali pada masa lalu, termasuk pada masyarakat Sunda.

Kesimpulan

Melalui kajian tersebut dapat diketahui bahwa konsep Tri Tantu di Bumi pada prinsipnya diturunkan dari konsep Tri Warga di Lamba. Adapun konsep Tri Warga di Lamba diturunkan dari konsep Tri Murti yang terdapat dalam konstuksi keyakinan Hindu tingkat lanjut (post-Vedic religion). Kajian tentang kasundaan dalam konteks sistem keyakinan pra-Islam dengan demikian tidak dapat dipisahkan keterhubungannya dengan kajian Indologi sebagai induknya.

Studi kasus terhadap 1 pernyataan dari 1 naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M yang mengandung konsep Tri Tantu di Bumi tersebut, sebenarnya dapat membawa konsekuensi ilmiah lainnya. Pertama, bahwa tingkat koherensi konsep Tri Tantu di Bumi sebenarnya dapat diusahakan secara holistik dengan melakukan kajian terhadap pernyataan-pernyataan lainnya, baik yang terkandung dalam seluruh naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian maupun yang terkandung dalam naskah-naskah Sunda Kuno lainnya seperti Amanat Galunggung, Carita Parahiyangan, Fragmen Carita Parahiyangan, Sanghiyang Sasana Waruga Guru, Sanghiyang Hayu, dan lain sebagainya. Sehingga pada gilirannya konsep Tri Tantu di Bumi dapat dipahami secara utuh sebagai sebuah konsep, atau teori tata keloa kemasyarakatan Sunda pada masa silam.

Kedua bahwa konsep Tri Tantu di Buana pada gilirannya dapat dikomparasikan dengan konsep yang memiliki kesejajaran dalam konstruksi kebudayaan Barat misalnya. Hanya saja dalam melakukan kegiatan komparasi, diperlukan juga penguasaan terhadap khazanah kebudayaan barat itu sendiri secara lebih komprehensif. Membandingkan konsep Tri Tantu di Bumi dengan Trias Politica dari Eropa dan Amerika modern abad ke-17/18 M, atau dengan Trium Virat dari Republik Romawi abad  60-53 SM dan 43-33 SM merupakan lompatan yang terlalu jauh. Setidaknya masih terdapat model lain yang dimiliki Eropa Abad Pertengahan abad 5-17/18 M, yakni Three Estates yang berkembang sepanjang Abad Pertengahan di Perancis misalnya, sebelum digantikan dengan Trias Politica melalui Revolusi Perancis di Eropa.

Formulasi Three Estates di Perancis itu sendiri, yang dikembangkan dari konsep Latin Oratores (cleric), Belatores (knight), dan Laboratores (worker class/Commone people). Dalam penerapan di negara-negara Skandinavia dapat berubah menjadi formula Four Estates (serupa Catur Varna dalam Hindu). Sementara di Britania Raya dapat berubah menadi a Two Estates (penggabungan masing-masing dua kelas ke dalam satu kelas). Adapun orientasi dari keseluruhan formula estates/states tersebut, pada hakikatnya digunakan dalam menentukan perwakilan golongan-golongan masyarakat dalam wujud kongres, majelis, syuro, parlemen, dewan, atau consultative assembly pada era kerajaan (Ancient Regim).

Sementara ketiga, bahwa konsep Tri Tantu di Buana juga secara teoretik dapat dianalisa persentuhannya dengan era islamisasi kerajaan Hindu/Budha di Tatar Sunda menjadi era kesultanan Islam. Apakah pola Tri Tantu di Bumi tersebut masih diadaptasi ataukah tidak, sebagaimana misalnya dengan apa yang terjadi di kesultanan Pagaruyung yang menjelma sebagai Rajo Tigo Selo: Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat.

Adapun seluruh seluruh implikasi teoretik tersebut, hanya dapat dilakukan dengan sempurna apabila pengetahuan teoretik terhadap konsep Tri Tantu di Bumi itu sendiri telah diperoleh melalui upaya pengkajian yang serius dan komprehensif. (Diperiksa ulang dan disatukan berdasarkan tulisan yang sama dalam media online Majmus-Sunda sebanyak 6 edisi.)

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".