Aspek kosmologi Sunda tidak bisa dilepaskan dari aspek kosmologi Jawa. Antara keduanya sesungguhnya lahir dari warisan teologi dan kebudayaan masa lalu yang sama. Misalnya saja bagaimana kisah mengenai Dewi Sri yang terdapat di dalam aspek kebudayaan Sunda sebenarnya terdapat juga dalam aspek kebudayaan Jawa.
Sosok Dewi Sri yang terdapat dalam naskah Sunda seperti Wawacan Sulanjana, terdapat juga dalam naskah Mengukuhan, Serat Manikmaya, Serat Pustakaraja Budhawaka, Serat Sejarah Ageng Nungsa Jewi, dan Serat Sejarah Wiwit Nabi Adam Lan Babu Kawa Tumurun Ing Ngarcapada.
Antara satu naskah dengan naskah yang lainnya pada kenyataannya memiliki pola umum yang sama, namun demikian memiliki presisi dan detail khusus yang berbeda antara satu cerita dengan cerita yang lainnya.
Dalam sudut pandang keilmuan modern, aspek pengetahuan kosmologis yang ada antara satu narasi dengan yang lainnya tidak hanya bersifat afirmatif dan berkorespondensi belaka, melainkan sekaligus ditemukan banyak hal di sana-sini informasi yang bersifat inkonsisten dan tidak kohern.
Sehingga dengan demikian sangat sukar untuk kita mampu menegakkan prinsip-prinsipnya yang menjadi bersifat selaras agar menjadi suatu bangunan pengetahuan dan sistem keyakinan yang bersifat utuh dan mapan. Kecuali menghilangkan seluruh aspek kontradiksi dan inkonsistensinya terlebih dahulu.
Namun demikian jalan yang terbaik untuk mendudukkan aspek khazanah pengetahuan konsmologi Sunda dan Jawa tersebut adalah dengan melacak secara lebih serius dan kritis dari mana latar belakang dan landasan folosofisnya dibentuk pada tahap sebelumnya.
***
Baik dalam aspek kebudayaan Sunda maupun aspek kebudayaan Jawa, central penguasa dunia atas sebenarnya sudah umum diketahui adalah Batara Guru yang memiliki isteri bernama Dewi Uma. Sosok central Batara Guru dalam tradisi Sunda dan Jawa untuk masyarakat Sunda dan Jawa yang menggemari pertunjukan Wayang tentu saja tidak akan memiliki kesukaran sama sekali.
Batara Guru dalam sistem konsmologi Sunda dan Jawa adalah sosok dewa yang bersifat ekivalen dengan batara. Dewa atau batara ini memang memiliki keajaiban-keajaiban yang bersifat adikodrati atau adimanusiawi. Namun demikian dewa/batara juga seperti umumnya manusia, terkena sifat lemah dan paradoks dalam menerapkan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan.
Dewa/batara dengan demikian juga terkadang atau bahkan seringkali terperosok pada jurang kekeliruan dan kesalahan. Bahkan watak lemah dan keliru tersebut, menimpa juga kepada sosok Batara Guru sebagai raja dari segala dunia. Raja bagi dewa-dewi di kahiyangan/marcapada (dunia atas), raja bagi para manusia di mayapada (dunia tengah), dan raja bagi para denawa dunia bawah.
***
Dewi Sri yang merupakan simbol dari komoditas padi dalam tradisi Jawa bermula dari skandal Batara Guru di kahiyangan. Batara Guru jatuh cinta kepada putri angkatnya Dewi Tiksnawati (Tisnawati). Dewi Tisknawati merupakan penjelmaan dari Retna Dumilah, pusaka sakti dikahiangan yang jatuh ke alam bawah.
Di alam bawah (underground), Retna Dumilah ditelan Hiyang Anantaboga dan diyuga menjelma bayi perempuan cantik yang kemudian sempat diangkat anak oleh angkat Batara Guru hingga tumbuh menjadi remaja putri yang cantik.
Hajat keinginan Batara Guru pada akhirnya dinyatakan kepada Dewi Tiksnawati. Dewi Tiksnawati yang tidak berkehendak kemudian memberi syarat sukar sebagai tanjakan agar usaha Batara Guru mengalami kegagalan. Syarat tersebut kemudian diikhtiarkan Batara Guru melalui Kala Gumarang putra Batara Kala.
Sayangnya ditengah pengembaraan, Kala Gumarang tidak fokus dan tergoda Dewi Sri yang sedang mandi di kolam pemandian di alam dunia tengah. Dewi Sri merupakan isteri Dewa Wisnu. Mengetahui gelagat buruk Kala Gumarang, maka Dewa Wisnu memanahnya dengan tujuan untuk menjerat langkahnya. Sementara Dewi Sri yang mengetahuinya, mengutuknya menjadi babi hutan.
Batara Guru yang tidak sabar menunggu misi Kala Gumarang hilang kesabaran dan meminta paksa Dewi Tiksnawati. Dewi Tiksnawati menolak dan menghindar, hingga tanpa sengaja Dewi Tiksnawati meninggal. Untuk menutup jejak skandal dan pembunuhan itu Batara Guru memerintahkan kepada mahapatihnya Hiyang Narada mengkebumikannya di alam mayapada.
Dari bagian tubuh Dewi Tiksnawati itulah segala macam komoditas tumbuhan yang dibutuhkan manusia hadir. Termasuk padi yang tumbuh dari bagian rambutnya. Dewi Sri yang sempat menitis kepada tubuh Dewi Damanastiti kemudian menitis pada padi. Sementara Dewa Wisnu yang menitis kepada suaminya Raja Mangukuhan di Medang Kamulan terus menjaganya.
Di tangan Dewa Wisnu, Kala Gumarang yang tidak habis penasaran terus mengejar Dewi Sri yang sudah menjelma padi. Sementara Kala Gumarang yang terbunuh oleh Dewa Wisnu, kemudian berubah menjadi segala macam hama tumbuhan yang terus membersamai perasaan cintanya pada Dewi Sri.
***
Sementara itu Dewi Sri yang menjadi simbol komoditas padi dalam tradisi Sunda juga bermula dari skandal Batara Guru. Semula Batara Guru memerintahkan para dewa/batara untuk bekerja bakti dalam membuat istana baru di kahiyangan. Barang siapa yang tidak mau bekerja bakti atau bersikap malas maka Batara Guru akan menghukumnya dengan cara memotong tangan dan kakinya.
Hiyang Anantaboga/Antaboga yang tidak memiliki kaki dan tangan karena merupakan sosok dewa ular merasa sedih lalu menangis. Pasalnya jika dia tidak punya tangan dan kaki, dia merasa takut apabila Batara Guru akan menghukumnya dengan cara lehernya yang dipotong. Keluh-kesah Hiyang Antaga tidak mendapkan solusi yang memuaskan dari Hiyang Narada.
Tetes air mata kesedihannya kemudian jatuh ke alam bawah menjelma tiga butir telur mustika. Atas saran Narada telur-telur itu direkomendasikan untuk dipersembahkan kepada Batara Guru sebagai simbol permakluman dan permohonan maaf. Hiyang Antaga menyetujui usul Hiyang Narada.
Di tengah jalan Antaboga mengulun ketiga telur itu hingga kemudian bertemu burung gagak yang menyapanya. Karena Antaboga tidak menjawabnya burung gagak menafsirkan Hiyang Antaga sombong dan lalu menyerangnya. Satu telur jatuh dan telur keduapun jatuh di tengah jalan. Kedua telur itu berubah menjadi babi hutan bernama Kala Buat dan Budug Basu yang dipelihara Sapi Kala Gumarang yang merupakan peranakan sapi betina dengan air kencing iblis Ajajil.
Telur yang berhasil dibawa kehadapan Batara Guru diterima dengan senang hati dan diperintahkan untuk dierami hingga menetas. Setelah menetas betapa bahagia Batara Guru melihat telur tersebut menghasilkan bayi yang cantik dan menggemaskan. Bayi tersebut kemudian diangkat anak dan dipelihara Batara Guru bersama isterinya Sunan Ambu. Bayi cantik itu diberi nama Nyi Pohaci Sanghiyang Sri.
Karena kecantikannya, kebaikannya, kepintarannya, kelembutan tutur dan budi-pekertinya, seluruh penghuni kahiyangan menyukainya. Bukan hanya para dewa dan batara, bahkan Batara Guru diam-diam mulai memiliki hasrat dan menginginkan untuk memilikinya.
Demi menjaga stabilitas dunia atas dan menutup kemungkinan terjerembabnya Batara Guru sebagai patron batara/dewa dan batari/dewi, seluruh dewa bersepakat untuk menyingkirkan Sanghiyang Sri. Singkat cerita, Sanghiyang Sri terbunuh setelah sebelumnya diracun melalui minumannya.
Para dewa yang merasa dihantui rasa bersalah dan untuk menghilangkan kejahatan segera menguburkan jasadnya di alam bumi yang sepi. Dari kuburannya tersebut keluar berbagai macam komoditas pertanian yang penting, termasuk padi dari tengah pusaranya.
Budug Basu dan Kalabuat bersatu bersama saudarinya dalam bentuk hama. Sementara Batara Guru memerintahkan putranya Sulanjana untuk bertempur melawan Kala Gumarang hingga kalah dan diberi tugas untuk memelihara padi sebagai hukuman dan menjaganya dari hama di tanah Pajajaran/Sunda.
***
Apabila kita membaca secara lebih seksama kita akan mengetahui bahwa kisah-kisah kosmologi tersebut sebenarnya kisah-kisah kosmologi Post Hindu-Budha bukan sebaliknya (Pra Hindu-Budha).
Berbagai tokoh yang ada pada gilirannya bisa dikembalikan kepada tempatnya yang berasal dari kosmologi Hindu. Dewi Sri dapat dikembalikan kepada Dewi Laksmi, sebagai sakti/isteri dari Dewa Wisnu. Batara Guru yang merupakan Dewa Resi atau Dewa Guru dapat dikembalikan kepada Dewa Siwa/Dewa Isora/Mahadewa. Sementara Sunan Ambu atau Dewi Uma dapat dikembalikan kepada Dewi Parwati yang memiliki nama lain Dewi Sati/Dewi Uma/Dewi Durga/Dewi Kali.
Dengan meminjam tahap perkembangan ilmu, aspek mitos dan mitologisasi yang dibangun di dalam kultur Sunda dan Jawa sebenarnya dibangun dari grand teori atau basis khazanah teologi dan kebudayaan Hindu-Budha itu sendiri pada tahap selanjutnya
Tahap kreatifitas tersebut merupakan aspek derivatif dari sistem keyakinan sebelumnya yang mulai bergerak lebih bebas dan liar, ditambah dengan ujicoba untuk mengkoherensikannya dengan sistem nilai dan riwayat-riwayat Islam.
Dalam wawacan Sulanjana kehadiran Adam, saudagar Dampu Awang, Siliwangi demikian juga di dalam kisah-kisah di Jawa dengan terlalu cepat kehadirannya dipaksakan agar bisa kohern dan kompatibel dalam mode sinkretik dan akulturasi.
Dengan analisa sederhana ini, kita juga akan mengetahui bahwa sosok Sunan Ambu yang dianggap mandiri pada aspek kosmologi Sunda. Dan seringkali dimaknai sebagai figur utama kemandirian wanita Sunda, secara konstelatif bisa ditemukan petanda-petanda lainnya dalam sumber-sumber yang berbeda.
Sunan Ambu meski terlihat mandiri, dia tidak sepenuhnya terpisah dari potret realitas lainnya sebagai isteri atau sakta dari Batara Guru. Hubungan Batara Guru dan Sunan Ambu itu sendiri dalam cuplikan-cuplikan lainnya bersifat manusiawi. Terkadang dihampiri persoalan-persoalan dan saling mengutuk pastu dalam keadaan-keadaan yang tidak terkontrol.
Batara Guru yang menawan menjadi bertaring, sementara Dewi Uma yang lembut menjadi Durga. Pemotretan wanita-wanita isteri dewa sebagai sakti dalam pemujaan masa silam sebenarnya ada mazhabnya (bahasa Hindunya agama) yang disebut dengan aliran Sakta. Suatu aliran khsusu yang menekankan peran perempuan isteri dewa diluar agama Wisnawa, Brahmana, dan Siwaya.
Namun demikian, betapa liarnya aspek kosmologi Hindu. Keajegan dan koherensi sudah dicapai. Hubungan yang establis antara Siwa dan isterinya dan Wisnu dan isterinya akan tetap berada dalam ruang lingkup pengetahuan yang bergerak secara lebih ketat dan disiplin yang bersifat definitif (berbatas).
Batujajar, 19 Desember 2022 M
GTK
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.