SASTRA BUKAN BAGIAN DARI SENI

Pada umumnya sastra dimasukan ke dalam bagian dari bahasa. Namun demikian ada juga pendapat kecil yang memasukan sastra ke dalam bagian dari seni. Dengan kata lain sastra adalah bagian dari seni. Apakah benar bahwa sastra merupakan bagian dari seni?

Untuk menjawab pertanyaan itu ada baiknya kita kembali terlebih dahulu kepada definisi dari sastra itu sendiri. Sastra yang digunakan dalam bahasa Melayu (Indonesia) sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta sastra yang berarti panduan, pedoman, peraturan, pengajaran, risalah, buku, atau mudahnya dengan meminjam bahasa Arab berarti ilmu (Indonesia: pengetahuan).

Awalnya kata sastra tersebut, sebelum berkembang secara terminologi menjadi pengetahuan atau ilmu, berakar dari aspek etimologi kata sasana yang berarti keputusan atau perintah. Kata sasana (atau sas) tersebut, ketika diberikan akhiran kata tra yang berarti alat atau sarana, maka berubah maknanya menjadi yang diperintahkan, atau yang diputuskan.

Kata sastra tersebut, pada tahap perkembangan selanjutnya secara umum biasa diterapkan dalam tata bahasa Sanskerta sebagai kata akhiran (suffix). Misalnya saja terdapat pada kata majemuk seperti ini:

Bhautikasastra (ilmu fisika), Rasasastra (ilmu kimia), Jivasastra (ilmu biologi), Vastusastra (ilmu bangunan), Silvasastra (ilmu seni rupa), Arthasastra (ilmu kemakmuran/politik dan ekonomi), Nitisastra (ilmu etika), Dharmasastra (ilmu agama), Nyayasastra (ilmu logika), Yogasastra (ilmu tarekat), Kamasastra (ilmu rumah tangga), Moksasastra (ilmu marifat), Alamkarasastra (ilmu pidato), Kaviasastra (ilmu puisi), Sangitasastra (ilmu musik), Natyasastra (ilmu performance arts: tari dan drama), dan lain sebagainya.

Sebagai tambahan kita akan sedikit melihat gambaran soal Dharmasastra dalam sudut pandang struktur bangun keilmuan Sanata Dharma, Brahmanism, Vedanta, atau apa yang kita sebut Hindu (Budha Dharma dan Jaina Dharma memiliki body of knowledge yang berbeda meskipun terhubung secara dialektis).

Dharmasastra akan dibagi ke dalam dua bagian. Pertama Sruti yang berarti apa yang didengar (wahyu) dan kedua Smirti apa yang diingat (tradisi). Sruti meliputi: Rigveda, Yajurveda, Samaveda, Atharvaveda, Samhita, Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Sementara Smirti meliputi: Vedanga, Upaveda, Dharmasutra, Purana, Agama, Arthasastra, Itihasa, Sutra, Kavia, Basa, Nitisastra, Nibhanda, Dharsana, dan lain sebagainya.

Pada prinsipnya pembagian sistematik pengetahuan Hindu (Dharmasastra) melalui pembagian umum Sruti dan Smerti dan yang masing-masing akan terbagi lagi ke dalam bagian-bagian yang semakin kecil dan khusus tersebut, akan menyapu seluruh sastra yang sempat dikemukakam di atas ke dalam bagian utuh dari body of knowledge Hindu.

Dengan cara ini kita akan menjadi tahu bahwa sastra dalam sudut pandang teologi dan kebudayaan Hindu adalah ilmu dalam pengertian scientific knowledge (pengetahuan ilmiah) bukan sekedar knowledge (pengetahuan) biasa. Sastra dengan demikian akan setara dengan konsep Yunani logos yang kemudian berkembang ke dalam bahasa Inggris sebagai logy (ilmu/science).

Sastra dalam pengertian asal seperti itu merupakan khazanah/khizanat (Arab) atau aset kekayaan intelektual atau gudang pengetahuan ilmiah dalam bentuk tertulis pada media-media tulis utamanya naskah-naskah. Dalam pengertian modern sastra adalah segala bentuk pengetahuan yang tersimpan dalam media buku-buku, yang mana koleksinya biasa disimpan dalam ruangan khusus sebagai yang kita kenal perpustakaan (tempat untuk keberadaan pustaka-pustaka).

Pengertian asal sastra itu tidak bertentangan dengan pengertian sastra dalam bahasa Inggris yang disebut literature, yang berarti segala bentuk himpunan dari keberadaan text atau letter. Artinya risalah-risalah dan buku-buku. Dengan demikian sama pengertian sastra dalam bahasa Indonesia melalui bahasa Sanskerta dan literature dalam bahasa Inggris melalui bahasa Latin.

Memang benar bahwa sebagaimana literature di dalam bahasa Inggris, kata sastra pun di dalam bahasa Indonesia pada tahap selanjutnya mengalami perkembangan baru. Sastra yang berarti segala bentuk tulisan dari pengetahuan manusia, kemudian memgalami penyempitan makna menjadi tulisan-tulisan khusus berupa puisi, naskah-naskah drama, cerita pendek (cerpen), dan cerita panjang (novel).

Puisi dan cerita tersebut masuk ke dalam tulisan-tulisan dalam kategori fiksi (rekaan) sebagai lawan dari non fiksi (nyata). Inilah makna sastra dan literature dalam arti yang sempit sekarang ini, meskipun seluruh pakar bersepakat bahwa sastra dan literature dalam maknanya yang luas tetap bersifat asal dan berlaku.

Dahulu, meskipun dalam naskah-naskah kuno terdapat materi-materi yang bersifat non realis, namun demikian dalam sudut pandang dahulu tidak dimaknai sebagai suatu rekaan melaikan sesuatu yang bersifat meta realitas (meneratasi yang nyata). Jadi terminologi fiksi dan non fiksi pada masa lalu tidak begitu tepat untuk dilakukan dalam penilaian kategori masa kini. Karena baik yang realis maupun meta realis semuanya dianggap berbicara dalam kerangka keyakinan suatu kebenaran dan keberadaan yang nyata.

Dalam sudut pandang modern, fiksi adalah suatu ikhtiar kreatifitas untuk melakukan abstraksi dari realitas. Mencabut ciri-cirinya yang khas dan spesifik, menjadi ciri-ciri yang bersifat abstrak dan umum. Ciri-ciri yang telah diabstraksi tersebut diberikan suatu kehidupan atau realitas baru dalam alam penciptaan benak pengarangnya. Sehingga cerita-cerita tersebut menjadi bersifat buatan (artifisial).

Sebagaimana puisi, cerita dalam alam modern lebih menekankan jiwa dan nilai cerita bukan lagi soal realitas dan fakta-fakta kebenaran yang nyata. Dunia modern mampu mengimbangi bentuk penciptaan baru yang artifisial tersebut dengan kesadaran penuh bahwa karya-karya tersebut pada dasarnya memang rekaan atau karangan belaka, meskipun pada prinsipnya pasti tidak akan pernah mampu terbebas atau dibebaskan dari pijakan dasar realitas sebagai sumber inspirasi dan genesisnya.

Pada paradigma sastra modern inilah muncul anggapan bahwa sastra merupakan seni dalam berbahasa. Sehingga ada anggapan pada tahap selanjutnya bahwa sastra dengan kata lain adalah bagian dari seni. Apakah benar bahwa sastra yang semula menginduk kepada kegiatan bahasa kemudian pada tahap selanjutnya menjadi bergeser sehingga menginduk kepada seni (art)?

Memang benar bahwa sastra dalam pengertian sempit modern mengindikasikan adanya kegiatan seni atau estetika dalam kegiatan olah bahasa dan maknanya. Pernyataan-pernyataan yang menghubungkan antara sastra dan kehadiran unsur estetika tersebut memang benar dikemukakan oleh banyak pakar. Sebut saja Saini K.M., Jakob Sumardjo, Aan Sugiantomas, Terry Eagleton, Atar Semi, J. Luxemburg, Saifur Rohman, Emzir, dan lain sebagainya.

Namun demikian melalui penyelidikan secara sederhana, bahwa pernyataan-pernyataan tersebut pada kenyataanya tidak dimaksudkan dalam kerangka teoretik pengklasifikasian dan pengkategorisasian bahwa sastra yang bersifat spesifik dengan demikian merupakan bagian dari seni yang bersifat generik. Demikian juga dalam pengertian bahasa Inggris semacam literary arts, maksudnya adalah kehadiran unsur creative writting yang mengindikasikan adanya kehadiran seni dalam proses daya ciptanya.

Sastra tidak dimaksudkan dalam ilustrasi sederhana merupakan program studi atau jurusan/departemen yang menginduk kepada jurusan/departemen atau fakultas seni. Sastra tidak dimaksudkan merupakan konsep khusus yang sama-sama bernaung seperti halnya musik, rupa, dan tari/teater dalam konsep umum seni.

Kegiatan pengklasifikasian dan pengkategorisasian sastra yang merupakan bagian dari bahasa sudah bersifat mapan dan jernih. Bahwa sastra adalah prodak kreatifitas berbahasa yang mengandung muatan logika dan pernyataan-pernyataan yang mengakibatkan munculnya pengetahuan manusia dalam bentuk tertulis. Bahasa dan sastra adalah rangkaian umum dan khusus yang diberikan penekanan lebih agar bersifat menonjol.

Adapun bahasa dan seni apabila digandengkan bukan berarti bahwa seni bagian dari sastra, ataupun sebaliknya sastra bagian dari seni. Namun demikian demi efektifitas dan efisiensi pembuatan struktur kelembagaan pendidikan modern, maka seni dan bahasa/sastra diasumsikan masih dapat dipersatukan dalam naungan konsep yang lebih generik yakni budaya (culture).

Karena pada umumnya pengetahuan modern manusia dibagi ke dalam tiga kelompok utama. Pertama ilmu-ilmu sosial (social studies/science), kedua ilmu-ilmu alam (natural science), dan ketiga ilmu-ilmu kemanusiaan/kebudayaan (humaniora). Maka yang paling mendekati adalah apabila seni disimpan bersama dengan sastra dalam satu kategori ilmu-ilmu kemanusiaan/kebudayaan dibandingkan harus disimpan pada kategori ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu alam. Meskipun pada akar sejarah dan falsafahnya, seni sebenarnya cenderung lahir dan bermula dari bentuk dan alasannya yang bersifat pragmatis, teknis, mekanis, dan teknologis.

Meskipun sastra kemudian mampu mendorong lahirnya kegiatan musik, teater, drama, lukis, filem, komik, tari, dan lain sebagainya, maka bukan berarti bahwa sastra telah jatuh kepada kategori seni, melainkan sastra baik dalam pengertiannya yang luas dan dalam pengertiannya yang sempit telah memberikan dampak inspiratif dan manfaat yang luas pada aspek kebudayaan dan hajat hidup manusia pada lapangan-lapangan kegiatan lainnya dan pada umumnya.

Jadi apakah sastra itu bagian dari seni? Sebenarnya, meskipun sastra pada faktanya melibatkan anasir seni yang berpijak pada kehalusan perasaan sebagai daya cipta kekaryaannya, namun demikian sastra bukan menjadi bagian, sub-sistem, atau sub-ordinat dari seni. Sastra baik secara teoretik/grand teori maupun secara praktik dalam bukti nyata pelembagaan-pelembagaan akademik tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa dibantah merupakan bagian dari bahasa/language/linguistik dan bukan merupakan bagian dari seni.

Pernyataan bahwa sastra bagian dari seni hanyalah suatu percakapan yang sifatnya non teoretik dan non akademik, yakni suatu percakapan yang lebih bersifat majasi dan hiperbolik bahwa sastra dan seni merupakan suatu kegiatan yang saling terhubung. Sementara seni telah menjadi esensi kerja yang meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia yang berbudaya tinggi. Termasuk dalam hal ini kehadiran aspek seni atau estetika (dalam maknanya sebagai kata sifat bukannya kata benda) dalam kegiatan kesusastraan.

Batujajar, 7 Desember 2022 M

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".