Awignam Astu adalah kalimat pembuka yang digunakan dalam naskah Amanat Galunggung. Jika direkonstruksi ke dalam kalimat bahasa Sanskrit akan berbunyi Avighnam Astu.
Avighnam artinya terbebas dari rintangan, atau hambatan, atau gangguan. Astu yang merupakan kata tunggal dari Asti artinya biarkanlah, atau terjadilah, atau baikkanlah, atau adakanlah.
Sehingga Avighnam Astu artinya semoga dibebaskan dari hambatan dan apa yang tengah dikerjakan dapat terwujud dengan baik. Avighnam Astu adalah doa pengharapan yang dipanjatkan setiap orang sebelum melaksanakan suatu pekerjaan tertentu.
Bait doa tersebut dapat ditemukan dalam seluruh tradisi agama Darma. Baik di dalam tradisi agama Sanata Darma (Hindu), Buda Darma (Buda), maupun Jana Darma (Jana).
Baik dalam tradisi agama Darma yang berkembang di kawasan anak benua India maupun dalam tradisi agama Darma yang berkembang di kawasan kepulauan Nusantara.
Dan bait doa tersebut secara umum didapati juga dalam pembuka naskah-naskah kuno, baik yang ditemukan di Pulau Jawa maupun yang ditemukan di Pulau Bali pada masa silam.
Pada umumnya, bait doa tersebut tidak memiliki redaksi kalimat yang baku. Namun demikian, seluruh tradisi keagamaan tersebut menyepakati bahwa Avighnam Astu adalah suatu doa yang biasa dipanjatkan seseorang sebelum memulai suatu pekerjaan di dalam tradisi Darma.
Kepada siapa doa tersebut dipanjatkan akan sangat bergantung pada tradisi keagamaan mana doa tersebut diucapkan dan dari aliran keagamaan mana doa tersebut diucapkan.
Misalnya saja seorang pemuja Siwa akan menghadirkan pengharapannya kepada Siwa: namah Siwayah (atas nama Siwa). Pada komunitas Sanata Darma (Hindu) di Bali redaksi kalimat yang masih terabadikan dalam tradisinya adalah: Om Awignam Astu Namah Siddham.
Selepas masa perkembangan Hindu yang berbasis Weda dengan pusat peribadatan yang dilakukan dengan melakukan pendekatan upacara Yajna (Majusi: Yasna) yakni suatu upacara persembahan kurban dengan medium pembakaran api suci.
Maka Hindu yang berbasis tradisi Post Vedic melakukannya dengan pendekatan upacara Puja yakni suatu persembahan yang dilakukan melalui perantara Dewa-Dewa pilihan yang didekatinya sebagai perantara. Dan pada tahap ini, fungsi api suci menjadi sangat minimal; atau bahkan nyaris hilang sama sekali.
Istilah Agama sendiri adalah istilah yang berkembang pada masa Post Vedic yang berbasis pada tradisi Smerti (Ingatan) dan bukannya yang berasal dari tradisi Sruti (Wahyu).
Gama artinya pergi atau bergerak menuju sesuatu. Kata pengantar (a) sebenarnya bukan berarti kalimat penolakan tidak, melainkan suatu bentuk penegasan. Agama dengan demikian menjadi berarti menuju. Apa yang dituju adalah tradisi Sruti (Weda) itu sendiri yang telah berlalu pada zaman yang sangat tua melalui pendekatan Smerti (sekelompok literatur Post Vedic).
Tradisi Smerti yang masih bersifat akademik tersebut, kemudian diturunkan khusus di dalam tradisi Hindu dengan merujuk pada tiga kelompok tradisi literatur yang utama yang akan dijadikan pegangan adat istiadat dan praktik peribadatan (Agama), yakni kelompok Saiwa, kelompok Waisnawa, dan kelompok Sakta (Tantra).
Saiwa adalah kelompok pemuja Siwa. Waisnawa adalah kelompok pemuja Wisnu. Dan Sakta adalah kelompok pemuja Sakti, yakni kekuatan dari Dewi-Dewi yang menjadi pasangan Dewa-Dewa.
Umumnya Dewi-Dewi yang dijadikan rujukan adalah Saraswati sebagai Pasangan Brahma, Laksmi sebagai pasangan Wisnu (Sunda: Sri), dan Parwati (Sunda: Uma/Durga) sebagai pasangan Siwa.
Di dalam data yang dilakukan oleh Klaus Klostermaier dengan judul A Survey of Hinduism (Third Edition, State University of New York Press 2007) khusus pada apa yang berkembang di anak benua India, dapat diperoleh inventarisasi kitab-kitab rujukan dengan apa yang disebut sebagai kelompok teks Agama dengan jumlah; yakni, 28 untuk Saiwa, 77 untuk Sakta, dan 108 untuk Waisnawa (biasa disebut Pancaratra Samhita dan Upa Agama).
Di dalam naskah Amanat Galunggung diceritakan adanya penggalan kalimat dialogis dan pokok-pokok nasihat yang diberikan oleh Rakeyan Darmasiksa yang ditujukan untuk anak cucu keturunannya kedepan.
Namun demikian nasihat tersebut tentu saja dapat diduga baru dituliskan atau direkonstruksi secara tekstual pada masa yang terjadi dikemudian hari oleh suatu generasi selanjutnya (bisa jadi oleh keturunannya).
Beberapa istilah yang didapati dalam konteks naskah Amanat Galunggung adalah “ngawarah” (pengajaran). Misalnya pada kalimat “Darmasiksa siya ngawarah anak oncu umpi….” (Darmasiksa dia mengajari anak cucuk buyut…).
Atau pada kalimat lainnya yang didapati, misalnya “Ujar Rakeyan Darmasiksa, ngawarah urang sakabeh…” (Berkata Rakeyan Darmasiksa mengajari kita semuanya…).
Jadi Amanat Galunggung adalah sebentuk warahan (pengajaran) dari orang tua atau leluhur yang bersifat monumental didaktik (bersifat pengajaran) barangkali karena reputasi (prestasi) dan kewibawaannya (otoritas) yang besar dia kemudian menjadi abadi untuk dikenang oleh generasi selanjutnya. Dia (maksudnya naskah Amanat Galunggung) dengan demikian tentunya bukan berupa teks pengajaran Agama (Smerti) apalagi teks pengajaran Weda (Sruti).
Ketika Rakeyan Darmasiksa berbicara tentang Agama, maka dia misalnya akan berkata “Jaga rampesna agama, hana kahuripana urang sakabeh” (Peliharalah kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua…).
Kemudian pada kalimat yang lainnya, misalnya “Urang menak maka rampes agama, haat heman dina janma, mana urang kandel kulina, mana urang dipajarkon menak ku na rama…” Maksudnya adalah jika segala perbuatan baik dan larangan-larangan telah dilaksanakan maka (Kita akan bahagia [Menak] karena agama telah dilaksanakan dengan sempurna, dan kasih sayang kepada sesama manusia telah ditunaikan, juga karena kita kuat dalam melaksanakan perbuatan baiknya, maka dengan demikian kita akan dianggap sebagai orang yang bahagia [Menak] oleh masyarakat [Rama]).
Dan satu contoh lainnya misalnya, “Sang Prabu enak alungguh, sang rama enak emangan, sang disi jaya perang, jaga isos di carek nu kwalyat, ngalalawkon agama nu nyusuk na Galunggung…” (Sang Prabu nyaman duduk, Sang Rama nyaman makan, Sang Disi menang perang, peliharalah apa yang dikatakan oleh yang telah berlalu [maksudnya Rakeyan Darmasiksa], dalam hal melakukan agama yang menyodet di Galunggung…).
Agama dalam konteks tersebut bisa berupa paket keyakinan dan peribadatan yang merujuk pada teks Agama sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya. Bisa juga diartikan sebagai suatu bentuk perbuatan baik yang dilakukan (Agama) sebagai ekspresi dari sistem keyakinan dan tata peribadatan yang baik (teks Agama). Dalam hal ini makna agama masih terlihat ajeg dan tanpa ada perbedaan yang signifikan.
Dalam hal ini maka kita akan tahu, bahwa Agama dan Nasihat (Ngawarah) atau Perkataan (Carek) Leluhur dalam konteks naskah tersebut jelas konsisten untuk bisa dibedakan.
Sehingga apa pun yang dikeluarkan sebagai nasihat atau perkataan dalam naskah maka dia berupa suatu tradisi tertulis yang berdapat di bawah tingkatan tulisan-tulisan keagamaan.
Dia hanya berlaku sebagai teks yang bersifat moral dan didaktik, yang jika pun mau dimaknai lebih; hanya akan diangkat sebagai suatu konvensi (kesepakatan) sumber nilai perilaku dan perbuatan yang baik dan imperatif (memaksa) yang dalam konteks hari ini mendekati apa yang bisa disebut sebagai Konstitusi (Undang-Undang Dasar). Dan Konstitusi (Undang-Undang Dasar), tentu saja dia bukanlah berlaku sebagai sumber otoritatif dan tertulis dalam bidang pengejawantahan tradisi keagamaan (Agama).
Lalu bagaimana dengan kedudukan agamanya? Di dalam naskah Amanat Galunggung beberapa teks sendiri telah memberikan indikasi sebagai sumber gagasan dan pembacaan yang cukup jernih dan jelas, misalnya saja pada kalimat “Maluy Swarga tka ting kahyangan Batara Guru…” (Masuk Surga ke dalam Kahyangan Batara Guru).
Surga (Sanskrit: Svarga) itu dalam tradisi Hindu banyak adanya. Ada Surga milik Indra, ada Surga milik Brahma, ada Surga milik Wisnu, ada Surga milik Siwa, dan seterusnya. Dan jika diperhubungkan dengan surga terbaik dalam formulasi Tri Warga di Lamba jelas akan merujuk pada surga dalam kepemilikan Brahma, Wisnu, dan Isora (Siwa).
Sementara itu, kita juga telah mengetahui bahwa identifikasi Batara Guru di dalam kebudayaan masyarakat Sunda sesungguhnya adalah pengejawantahan dari sosok Siwa atau Isora itu sendiri. Dimana isterinya dikenal dengan nama Dewi Uma (atau terkadang dikatakan juga sebagai Dewi Durga).
Adapun jika seseorang berbuat tidak baik maka seseorang tersebut akan mendapatkan hukuman “Katang-katang di kalesa di kawah ma ku Sang Yamadipati…” (Mayat-mayat dimasukkan ke dalam kawah oleh Sang Yamadipati…). Jika tempat yang membawa kebahagiaan disebut dengan nama Surga (Sanskrit: Svarga), maka tempat yang membawa pada siksaan dinamai Naraka. Istilah tersebut kemudian dipinjam oleh masyarakat Islam kemudian untuk menyepadankan dengan kata Arab Jannah (Surga) dan Nar (Naraka).
Naskah Amanat Galunggung dengan sangat jernih dan jelas menununjukkan tanpa keraguan sama sekali jika preferensi aliran keagamaannya yang dimilikinya adalah Sanata Darma (Hindu) dengan corak aliran Agama Saiwa (Pemuja Siwa).
Sekarang kita kembali pada pembahasan mengenai apa yang di dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesian disebut dengan gagasan Tri Tangtu di Bumi sebagai konsep Kekuasaan (Politik) dan Tata Kelola Pemerintahan dan Kewilayahan (Tata Negara) dalam masyarakat Sunda.
Maka di dalam naskah Amanat Galunggung meskipun tidak disebutkan namanya sebagai Tri Tangtu di Bumi sebagaimana yang terdapat dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesian, gagasan yang mengidentifikasi peranan dari pemangku jabatan atau ketentuan (Tangtu) yang berjumlah tiga memang ada dan sejajar.
Jika pada naskah Amanat Galunggung gagasan Tri Tangtu di Bumi tersebut jelas disandarkan sumber pengajarannya kepada sosok Rakeyan Darmasiksa, maka pada naskah Siksa Kanda Ng Karesian inspirasi gagasan Tri Tangtu di Bumi tersebut hanya disebutkan diperoleh oleh Sang Sadu sebagai suatu proses renungan mendalam (Drebyana).
Namun demikian baik penulis naskah Amanat Galunggung maupun penulis naskah Siksa Kanda Ng Karesian, keduanya sama-sama anonim, yakni tidak memberikan identitas yang jelas mengenai siapakah sesungguhnya sosok penulisnya.
Jika kedua naskah tersebut bersifat konsisten, maka penisbatan kepada Rakeyan Darmasiksa akan menjadi sumber awal mula narasi pencipta pokok pengajaran Tri Tangtu di Bumi. Sementara penulis yang kemudian hari hanyalah mencoba untuk mengingat, menceritakan, dan menggali kembali narasi dari pokok pengajaran yang telah lama sekali dicetuskan oleh Rakeyan Darmasiksa.
Di dalam naskah Amanat Galunggung didapati beberapa rangkaian kata yang melibatkan apa yang dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesian disebut rangkaian kata Resi, Prabu, dan Rama. Ada yang berupa rangkaian beberapa formasinya dan ada yang berupa rangkaian sempurna dari ketiga formasinya dalam satu kesatuan kalimat.
Beberapa contoh kutipan kalimat tersebut antara lain, misalnya “Iya bagya na drabya sakatiwatiwana, iya ta supagi katinggalan rama resi…” (Dia akan memperoleh kebahagiaan kekuatan keberanian kekuasaan, Dia itu jika suatu hari ditinggalkan Rama Resi…).
Konteks kalimat tersebut dibangun oleh nasihat Rakeyan Darmasiksa agar anak cucu buyut keturunannya ke depan mau menjaga Kabuyutan Galunggung. Dengan adanya kemauan untuk menjaga Kabuyutan Galunggung dan adanya kemauan untuk menghindarkan Kabuyutan Galunggung dari penguasaan orang lain maka mereka akan memiliki kejayaan.
Bahkan jika Kabuyutan Galunggung itu suatu hari akan ditinggalkan oleh Rama dan Resi karena suatu sebab. Atau bisa juga dimaknai bahkan jika mereka (anak cucu buyut dan keturunan Rakeyan Darmasiksa) karena suatu sebab ditinggalkan oleh Rama dan Resi, maka pemeliharaan dan penjagaan terhadap Kabuyutan Galunggung harus tertap dilakukan. Karena Kabuyutan Galunggung menyimpan sesuatu yang sangat berharga bagi mereka.
Jika diperhubungkan dengan ulasan yang bersifat Historiografi, nasihat Rakeyan Darmasiksa terhadap anak cucu buyut keturunannya tersebut cukup beralasan. Hal itu dikarenakan Rakeyan Darmasiksa atau dikenal juga dengan nama Prabu Darmasiksa atau Sanghyang Wisnu adalah raja Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh Bersatu) antara tahun 1175-1297 M yang berasal dari penguasa kerajaan Mandala atau Kabuyutan Galunggung itu sendiri. Dengan menjaga Kabuyutan Galunggung adalah upaya untuk menjaga kedudukan dan martabat mereka lewat narasi asal-usul mereka itu sendiri.
Darmasiksa dengan demikian adalah seseorang yang diangkat menjadi Prabu yang sesungguhnya berakar dari tradisi Resi. Darmasiksa adalah Raja Resi, dimana Resi itu sendiri selain dekat dengan lingkaran kekuasaan yang menghormatinya juga sangat dekat persentuhanyya dengan akar tradisi kerakyatan itu sendiri, Rama.
Jika suatu hari, atau seandainya saja suatu hari keturunan mereka ditinggalkan oleh tradisi Resi dan Rama; mereka tidak boleh gamang dan kehilangan pegangan dalam pengelolaan kekuasaan karena sesungguhnya mereka sendiri sesungguhnya berakar dari tradisi Resi dan Rama. Maka dengan mengingat akar kelahiran mereka sendiri mereka akan tetap terjaga dalam kesadaran dan sudut pandang yang ideal sebagai perwujudan Resi dan Rama meskipun mereka telah menggunakan baju Prabu.
Dalam naskah Amanat Galunggung juga didapati kalimat sebagamana berikut “Jaga diturutan ku na urang reya, marapan atis ikang desa, sang prabu enak alungguh, sang rama enak emangan, sang disi jaya prang, jaga isos di carek nu kalyat, ngalwakon agama nu nyusuk na Galunggung…” (Pelihara agar diikuti oleh orang banyak, tentram damai kepada negeri, Sang Prabu nyaman duduk, Sang Rama nyaman makan, Sang Disi menang perang, pelihara apa yang dikatakan oleh yang telah berlalu [Darmasiksa], menceritakan perbuatan [Agama] yang menyodet di Galunggung… )
Desa dalam konteks pengeritian bahasa Sanskrit lebih bersifat umum daripada yang berkembang pada bahasa saat ini. Desa dalam pengertian bahasa Sanskrit meliputi spektrum yang luas berupa tempat, wilayah, kota, atau negeri. Dan Rakeyan Darmasiksa dalam hal ini menekankan pentingnya pencapaian kesejahteraan negeri (Desa).
Dimana apabila Desa dapat tercapai dalam keadaan tenteram dan damai, maka Sang Prabu akan enak alungguh (nyaman berkuasa). Kemudian Sang Rama enak emangan (Rakyat nyaman karena makmur sejahtera). Dan Sang Disi jaya prang (menang dalam setiap pertempuran).
Jika dicarikan akar kata Disi ke dalam bahasa Sanskrit maka artinya merujuk pada suatu jurusan arah; atau merujuk pada suatu jurusan tempat, daerah, wilayah, kota, atau negeri. Dengan demikian kita tahu bahwa akar kata Desa dan Disi hanya merupakan bentuk perubahan kata dimana artinya masih sebangun dan saling menjelaskan.
Sang Disi dengan kata lain adalah penguasa Desa. Sementara penguasa Desa adalah Raja, atau Prabu, atau Ratu itu sendiri dimana konteksnya tergantung pada sejauhmana tingkat hirarki dari kekuasaannya itu sendiri. Sehingga dengan kata lain, ungkapan pemerincian Sang Disi dalam hal ini sekedar untuk mempertegas kembali pada konteks kalimat Sang Prabu itu sendiri. Kehadiran sosok Resi secara tidak langsung pada hakikatnya berada pada yang pusat kesadaran yang melakukan percakapan atau nasihat itu sendiri, yakni Rakeyan Darmasiksa.
Jika pada kalimat yang pertama hanya dirinci Rama dan Resi. Maka pada kalimat kedua hanya dirinci Sang Prabu dan Sang Rama. Dengan adanya kata Sang Disi pada kalimat kedua tersebut, penulis mengangapnya hanya sebagai bentuk penegasan dari peran Sang Prabu itu sendiri, dimana salah-satunya adalah menyatakan perang dan damai untuk melindungi wibawa pemerintahan, negara, dan rakyatnya.
Pada keseluruhan naskah Amanat Galunggung, ketiga rangkaian Rama, Resi, Prabu secara utuh sebagaimana pada naskah Siksa Kanda Ng Karesian hanya disitir satu kali saja, yakni pada kalimat sebagaimana berikut “Jagat daranan di sang rama, jangat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu, haywa paalaala palungguhan, haywa paalaala pamonang, haywa paalaala demakan, apan pada pawitanya, pada mulianya, maka pada mulianya, ku ulah ku sabda, ku ambek…”
Dalam bahasa Jawa Daran diartikan mengira, atau menyangka. Daranan dapat diartikan perkiraan, atau sangkaan. Sementara di dalam bahasa Sunda terdapat kata Darana yang diartikan dengan sabar. Jika diperhubungkan dengan kata sabar dalam bahasa Sunda maka makna dari bahasa Jawa dapat dimaknai pengharapan. Sementara jika menengok bahasa Sanskrit, maka akar kata Darana berhubungan dengan hal ihwal kata kerjaan membuka, membelah, merobek, mengoyak dimana terhubung juga dengan maknanya sebagai buah pohon pinang (Sunda: Jambe).
Jagat Daranan dengan demikian dapat diartikan semesta atau dunia pekerjaan, yang membuat mereka memiliki harapan dan kesabaran. Maka jika Jagad Daranan diartikan sebagai Dunia Kemakmuran sebagaimana umumnya dalam menerjemahkan naskah tersebut, menurut penulis sudah tepat.
Sementara Kreta jika dikembalikan kepada bahasa Sanskrit artinya sempurna, tidak ada suatu kekurangan apapun. Jika Daranan bersifat material, maka Kreta bersifat imaterial, spiritual, atau ideal.
Dan Palangka sebagaimana masih diketahui pengertiannya hingga hari ini adalah batu pipih tempat dinobatkannya, atau didudukannya, atau tempat duduknya Raja, atau Prabu, atau Ratu. Tentu saja, batu tersebut akan dilapisi berbagai kain dan ornamen yang membuatnya tampak indah dan nyaman.
Maka jika kita artikan kalimat bahasa Sunda Kuno dalam naskah Amanat Galunggung tersebut akan berarti (Semesta Pekerjaan pada Sang Rama, Semesta Kesempurnaan pada Sang Resi, Semesta Kekuasaan pada Sang Prabu, janganlah saling mengambil kedudukan, janganlah saling mengambil perolehan, janganlah saling mengambil pemberian, bukankah pada sama asalnya, pada mulianya, maka pada mulianya, maka jangan sampai mengutarakan kemarahan….)
Kata Rama yang biasanya memiliki konteks ayah sebagai pamong, atau sebagai representasi atau identifikasi rakyat jelata; maka kata Sang Rama dalam konteks akhir ini menjadi semacam kelas atau kedudukan atau jabatan atau institusi yang menjalankan suatu sistem kerja kemakmuran. Mengolah kekayaan alam dan mengelola masyarakat dalam pembinaan dan pengasuhannya.
Sementara Sang Resi menjadi kelas atau institusi yang mengerjakan suatu tatanan masyarakat yang ideal, yang spiritual, yang sempurna melalui sistem pendidikan, pengajaran, pelatihan dan pembinaan lahir dan batin dengan sumber pegangan nilai-nilai ketuhanan, keagamaan, kemasyarakatan, dan juga hal yang bersifat pengetahuan praktis keduniawian.
Sementara Sang Prabu yang bisa dikatakan juga Sang Raja atau Sang Ratu mengerjakan hal ihwal yang berkaitan dengan kekuasaan, tata kelola pemerintahan, tata kelola kewilayahan, dan perlindungan dan keamanan lahir batin terhadap sistem kenegaraan dan kemasyarakatan berdasaekan amanat dan cita-cita luhur para pendahulu.
Tri Tangtu di Bumi yang terdapat dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesian dan naskah Amanat Galunggung memiliki korelasi yang sama dan tidak berkontradiksi dalam struktur narasinya. Demikian juga perlu untuk diketengahkan gagasan Tri Tangtu di Bumi pada satu buah naskah terakhir untuk kedepannya dapat ditampilkan, yakni dari naskah Carita Parahyangan. Setelah itu, kita dapat menjawab pertanyaan yang lebih mendasar: Bagaimana sistem kerja institusi Sang Resi, Sang Rama, dan Sang Prabu dapat berjalan dalam konteks naskah-naskah yang menganjurkan vitalitas yang sejajar dan tanpa saling melumatkan kerja dan wibawa institusi satu sama lainnya?!
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.