Oleh, Gelar Taufiq Kusumawardhana/V.I.

Arsiparis: Karguna Purnama Harya/V.I.

“Ngalalar ka bukit Pala.
Sadatang ka kabuyutan,
meu(n)tas di Cisaunggalah,
leu(m)pang aing ka-baratkeun,
datang ka bukit Pategeng,”
(BM, 1335-1339)

“Sakakala Sang Kuriang,
masa dek nyitu Citarum,
burung te(m)bey kasiangan.
Ku ngaing geus kaleu(m)pangan,
meu(n)tas aing di Cihea,”
(BM, 1340-1344)

(II) Konstruksi Legenda Sangkuriang Dalam Naskah Bujangga Manik

(E) Narasi Sakakala Silih Wangi Dalam Naskah Bujangga Manik

Di dalam naskah Bujangga Manik, terdapat lima buah kata Sakakala yang tercatat seluruhnya. Pertama, “Sakakala na Batara” di Gunung Karungrungan. Kedua, “Sakakala Darmadewa” di Bukit Marapi. Ketiga, “Sakakala Patanjala” di Bukit Bulistir. Keempat, “Sakakala Silih Wangi” di Jalatunda. Dan kelima, “Sakakala Sang Kuriang” di Bukit Pategeng.

Untuk Sakakala na Batara di Gunung Karungrungan (saat ini Gunung Raung) dan Sakakala Darma Dewa di Bukit Marapi (saat ini Gunung Merapi) yang pada masa Bujangga Manik masuk ke dalam wilayah Majapahit tidak akan menjadi titik fokus kajian. Namun demikian untuk Sakakala Patanjala di Bukit Bulistir (saat ini Gunung Padang), Sakakala Silih Wangi di Jalatunda (saat ini Malahayu), dan Sakakala Sang Kuriang di Bukit Pategeng (saat ini Gunung Patenggeng) yang pada masa Bujangga Manik masuk ke dalam wilayah Pajajaran akan diulas sepintas sebelum masuk kepada titik tekan dan fokus utama Sakakala Sang Kuriang.

Menurut keterangan tokoh prosa sajak Bujangga Manik, seluruh wilayah Pakuan Pajajaran telah berkembang pesat angka pertumbuhan pemukimannya dan tata administrasi kewilayahannya sejak didorong oleh Nusia Larang. Sebagaimana diketahui bahwa Nusia Larang berdasarkan naskah Carita Parahyangan (dinisbatkan kepada catatan Prabu Geusan Ulun berdasarkan keterangan dari Panembangan Wangsakerta) dan Prasasti Batu Tulis (hipotesa pribadi dikeluarkan oleh Sri Baduga Maharaja bukan oleh Prabu Surawisesa) ternyata bukan sekedar tokoh prosa sajak belaka, melainkan sosok Historis dengan nama Niskala Wastukancana.

Kembali kepada catatan Bujangga Manik, bahwa dia dengan cara menelusuri pegunungan dan kawasan pemukiman di bagian Selatan Pulau Jawa, Bujangga Manik pada akhirnya tiba kembali di kawasan Jawa bagian Barat (Sunda). Kemudian setiba di Panenjoan, yakni kawasan puncak dari Gunung Papandayan yang pada saat ini berada di wilayah perbatasan Bandung-Garut dengan nama yang masih sama. Di sana Bujangga Manik mempresentasikan penguasaannya (Arts of States atau Body of Knowledge) terhadap wawasan Geografi dan wawasan Geografi-Politik dengan cara memerinci seluruh kawasan-kawasan baik yang secara visual dapat teramati secara langsung maupun yang secara mental-intelektual mampu terpetakan berdasarkan penalaran teoretik.

Di dalam naskah Bujangga Manik dikatakan bahwa:

“datang ka Mandala Puntang.
Sana(n)jak ka Papa(n)dayan,
ngaran(n)a na Pane(n)joan,
ti inya aing ne(n)jo gunung,
dereja dangka ri kabeh,”

[datang ke Mandala Puntang. Senanjak ke Papandayan,
namanya Panenjoan,
tersingkap Dangka di semuanya,] (BM, 1175-1179)

“para manuh para dangka,
pani(ng)gal Nusia Larang.
Aing milang-melanginya,
ti kidul na alas Danuh,
ti wetan na Karang Papak,”

[setiap Manuh setiap Dangka,
peninggalan Nusia Larang.
Aku membilang-menerawangnya,
dari Selatan nya Alas Danuh,
dari Timur nya Karang Papak,](BM, 1180-1183)

Hingga setelah sekian banyak diperinci wilayah-wilayah yang ada dengan gunung sebagai pasaknya, kemudian Bujangga Manik merinici pada bagian akhirnya.

“Langkabo deung nusa Solot,
nusa Parayaman.
Beuteung bogoh ku sakitu,
saa(ng)geusing milang gunung,
saleu(m)pang ti Pane(n)joan,”

[Langkabo dan Nusa Solot,
Nusa Parayaman.
Perut suka oleh semuanya,
setelahnya membilang gunung,
seberjalan dari Panenjoan,] (BM, 1275-1279)

Manuh di dalam bahasa Sanskrit adalah nenek moyang atau yang akan menjadi pokok berkembangnya Manusya. Sehingga kata Manuh di dalam bahasa Sanskrit memiliki kesejajaran dengan Noah dalam bahasa Ivrit dan Nuh dalam bahasa Arab, dimana dalam bahasa Sundanya Enoh.

Sementara Manusya di dalam bahasa Sanskrit, yang merupakan anak-cucu keturunan Manuh akan menjadi kata Manusia di dalam bahasa Melayu dan kata Manusa di dalam bahasa Sunda. Melalui penalaran pelacakan asal-usul bahasa (etymology), kita akan mampu memahami pergerakan dalam pembentukkan pemahamam baru (terminology) kata Manuh tersebut sebagai hal-ihwal yang berkaitan dengan mukiman masyarakat, dengan kata lain maksudnya adalah Penduduk yang dalam bahasa Sanskritnya adalah Varga (Sunda:Warga).

Di dalam bahasa Sanskrit yang masih terhubung dengan kata Manuh dan Manusya, terdapat juga kata Manah yang berarti Pikiran (kadang juga Perasaan), yang di dalam bahasa Sunda berarti Perasaan (atau juga berarti Pikiran). Dan berkembang juga kata Maneuh di dalam bahasa Sunda, yang berarti Menetap; sebagai konsekuensi akibat perasaan nyaman atau betah. Atau terdapat ungkapan harus oleh “Manuk na”, barangkali maksudnya adalah oleh Ahlinya, oleh yang Menguasainya, atau oleh yang Mengertinya. Manuh, dengan kata lain Penduduk atau Penguasa atau bisa jadi Pemukiman.

Sementara Dangka, kemungkingan diambil dari bahasa Sanskri Dana dengan akhiran Ka. Dana artinya Kekayaan, Harta-Benda, atau juga berarti Pemberian (Inggris:Donation). Akhiran Ka akan membuat kata benda menjadi kata sifat. Kata Kekayaan akan menjadi Yang Memiliki Kekayaan atau Harta-Benda (Hartawan), dan Yang Memberi, atau Menerima, atau Mengelola Kekayaan atau Harta-Benda; selain disebut dengan Danka, dalam bahasa Sanskrit disebut juga dengan istilah Daka.

Di dalam bahasa Sunda, Dangka berarti Wakil; orang lain yang merepresentasikan seseorang yang sesungguhnya yang memiliki tugas. Dangka dengan kata lain adalah Pelaksana atau Petugas. Di dalam bahasa Sunda khas wilayah Banten, khususnya di kawasan Baduy; kata Dangka masih digunakan untuk menyatakan Pimpinan dari masyarakat atau pemukiman Baduy Luar (Baduy Dangka). Posisi Dangka ini memang tunduk dan berada di bawah posisi Puun (Pimpinan Baduy Dalam [Baduy Tangtu]).

Sepertinya, sebelum masyarakat Sunda menggunakan pilihan kata Wakil yang berasal dari bahasa Arab; maka bahasa sebelumnya adalah menggunakan kata Dangka tersebut. Istilah lain dari Dangka di dalam bahasa Sunda adalah Tempo atau Kesempatan yang berkaitan dengan Waktu yang Berbatas. Wakil itu Penguasa resmi yang diangkat, dia mungkin akan berbatas waktunya. Kata Penguasa itu nanti akan terasosiasi dengan Wilayah atau Kawasan yang dikuasainya. Dangka dengan demikian akan berkembang juga maknanya sebagai Penguasa, Pemukiman, dan Penduduk.

Di dalam bahasa Melayu, kata Dangka akan berarti Mendarat (menuju ke darat); setelah melalui perlayaran di atas Laut (terombang-ambing). Hal demikian membuktikan bahwa kata Dangka di dalam terminologi bahasa Sunda dan Melayu telah berkembang ke tingkat pengertiannya yang berhubungan dengan pengelolaan suatu wilayah atau kawasan atau tanah.

Terkait nama Nusia Larang yang terdspat di dalam naskah Bujangga Manik, ternyata terkorespondensi dengan keterangan dari Prasasti Batu Tulis yang menyatakan bahwa Nusa Larang (istilah Bujangga Manik Nusia Larang), memang memiliki keterhubungannya dengan nama Niskala Wastukancana. Demikian juga keterhubungan Nusa Larang (Prasasti Batu Tulis dan naskah Carita Parahyangan) dengan Niskala Wastukancana juga terekam dalam naskah Carita Parahyangan.

Di dalam Prasasti Batu Tulis dikatakan bahwa:”… diya anak rahyang dewaniskala sa(ng) sida mokta di guna tiga i(ny)cu rahyang niskala wastuka(n)cana sa(ng) sida mokta ka nusa larang …” (… dia anak Rahyang Dewa Niskala yang sudah dikebumikan di Gunatiga, cucu Rahyang Niskala Wastukancana yang sudah dikebumikan di Nusa Larang …) [Prasasti Batu Tulis]

Sementara di dalam naskah Carita Parahyangan dikatakan bahwa:”… aya deui putra prebu, kasohor ngaranna, nya eta prebu Niskala Wastu Kancana, nu tilem di nusa larang gunung wanakusuma …” (ada lagi putra Prebu, terkenal namanya, yaitu Prebu Niskala Wastu Kancana, yang dikebumikan di Nusa Larang Gunung Wanakusuma …) [Naskah Carita Parahyangan]

Bisa jadi, Bujangga Manik itu sendiri yang merupakan tokoh prosa sajak; sesungguhnya memang sedang dibuat sebagai alat cerita dari sosok Historis yang juga nyata. Dengan mengingat gaya penceritaan yang bersifat prosa sajak Autobiografi dan dengan memegingat tarikh waktu Historisnya tidak boleh lebih muda dari Sri Baduga Maharaja (dengan demikian juga di bawah generasi Ningrat Kancana atau Dewa Niskala dan Susuk Tunggal atau Prabu Dewatmaka atau Prabu Haliwungan), tapi telah terang jauh lebih muda dari Niskala Wastukancana; dan dengan mengingat nama Silih Wangi (dapat diidentifikasi Sri Baduga Maharaja atau Prabu Jayadewata) dan Banyak Catra (bisa diidentifikasi saudara satu ayah Sri Baduga yang berkuasa di Pasir Luhur) sebagai sosok Pantun yang paling muda dalam narasi prosa sajak, maka tidak ada ruang lain untuk merujuk pada Pangeran atau Putra Mahkota atau Raja Muda dari Pakuan Pajajajaran pada masa tersebut selain dari Jayadewata yang akan dikenal dalam prasasti Batutulis dengan nama Prebu Ratu Purane, atau Prebu Guru Dewataprana, atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata; dan dalam Prasasti Kabantenan bernama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang Ratu Dewata (gelar sama dengan yang tertulis pada Prasasti Batu Tulis hanya tanpa kata Pakuan).

Naskah tersebut konsekuensinya akan ditulis pada masa Sri Baduga Maharaja masih berkuasa. Mungkin ditulis dalam bentuk verbal dictation secara langsung (didiktekan), mungkin diperintahkan kepada juru tulis (tukang Pantun) dengan rambu-rambu pesanan (ghost writer), atau bahkan sangat mungkin telah ditulis sendiri (mengingat dalam catatan Panembahan Wangsakerta bahwa Prabu Geusan Ulun dari Sumedang Larang telah mewariskan catatan dan begitu juga Panembangan Ratu I dari Cirebon telah mewariskan catatan). Tradisi menulis pada kenyataannya memang telah menjadi bagian penting aktifitas intelektual penguasa kerajaan di Tatar Sunda (bahkan sejak masa Darmasiksa jika melihat keterangan-keterangan di dalam catatan-catatan naskah Sunda Kuno lainnya).

Sakakala Silih Wangi
“Kuningan Darma Pakuan,
pahi a(ng)geus kaleu(m)pangan.
Sacu(n)duk ka Luhur Agung,
meu(n)tasing di Cisinggarung.
Sadatang ka tungtung Su(n)da,” (BM, 725-729)

(Kuningan Darma Pakuan,
telah selesai terjelajahi.
Setiba ke Luhur Agung,
meunyeberangi di Cisanggarung,
Sedatang ke ujung Sunda,)

“nepi ka Arega Jati,
sacu(n)duk ka Jalatunda,
sakakala Silih Wangi.
Samu(ng)kur aing ti inya,
meu(n)tasing di Cipamali,” (BM, 730-734)

(sampai ke Arega Jati,
setiba ke Jalatunda,
sakakala Silih Wangi.
Setelah aku melalui dari sana,
menyeberangi di Cipamali)

Saya sepakat dan memahami bahwa nama Silih Wangi adalah nama yang sifatnya prosa atau sajak atau nama yang biasa digunakan dalam tradisi Pantun, Babad, dan dongeng. Silih Wangi dengan demikian bukanlah nama yang sifatnya Historis dalam suatu berkas dokumen atau arsip Sejarah dan juga prasasti-prasasti resmi kerajaan. Namun demikian, saya menilai dan menganalisa bahwa nama Silih Wangi adalah nama yang mewakili suatu sosok yang nyata bersifat Historis. Kekusutan yang terjadi di dalam dongeng, babad, pantun, dan tradisi yang berkembang kemudian adalah suatu proses distorsi yang terjadi sebagai konsekuensi dikembangkannya tradisi Pantun yang bersifat lebih valid; yang kemudian kreatifitas liar tanpa disiplin dapat mendatangkan kesimpang-siuran.

Masalah Silih Wangi memang telah memikat wacana banyak ahli dan intelektual bersama polemik ilmiahnya seperti Ten Dam (1957), Friederich (1853), Hageman (1867), Holle (1967; 1969) Noorduyn (1959; 1962), Pleyte (1911; 1914; 1915), Poerbatjaraka (1921), Sutaarga (1965), Atja (1968; 1970; 1972), dan Saleh Danasasmita (1975; 1983; 2003; 2006; 2006), Ajip Rosidi (2011), dan Undang Darsa (2011). Namun demikian, masalah tersebut bukan suatu masalah yang sifatnya tidak akan mencapai titik akhir dan kesimpulan yang objektif; hanya saja membutuhkan suatu kerangka kerja yang lebih disiplin. Lebih disiplin dalam menilai apa yang dalam metodologi Folklore itu sendiri dikenal dengan upayanya yang berusaha untuk mengidentifikasi yang mana Fakelore dan yang mana Folklore. Karena seliar-liarnya tradisi lisan, tetap masih diperlukan ukuran-ukurannya soal otentisitas.

Sebagaimana penggunaan nama Pajajaran dalam tradisi lisan yang seharusnya adalah Sunda dalam dokumen dapat diterima, karena istilah lain dokumen adalah Pakuan Pajajaran untuk menyatakan pusat ibukotanya. Maka demikian juga pernyataan Silih Wangi sebagai Raja Pajajaran tentu saja ada dasarnya. Nama Silih Wangi mestilah bersifat Tunggal (khusus) dan Personal (proper name), bukan Plural (generik) dan Impersonal (bukan nama sifat atau jabatan). Keumuman makna yang kemudian dibuat, adalah akibat adanya kekeliruan-keliruan identifikasi yang terjadi dikemudian hari. Tidak ada yang menyangkal sama sekali dalam aspek pengetahuan, keyakinan, dan identifikasi yang sesungguhnya jika Prabu Silih Wangi tidak lain dan tidak bukan adalah Sri Baduga Maharaja itu sendiri. Silih Wangi hanya merujuk pada Sri Baduga Maharaja saja.

Uga Wangsit Silih Wangi diyakini masyarakat Sunda adalah Uga yang dikeluarkan hanya oleh Prabu Silih Wangi. Adapun pada kenyataanya bahwa seting waktu Runtagnya Pajajaran pada kenyataannya bukan terjadi pada masa Sri Baduga Maharaja (melainkan pada masa Nilakendra dan atau Suryakencana) itu adalah kekeliruan yang tidak begitu diperhatikan.

Ketika masyarakat Banyumasan mengatakan bahwa Banyak Catra yang berkuasa di Pasir Luhur dan Banyak Ngampar (nama lainnya Silih Warni) yang berkuasa di Pasir Luhur adalah putra-putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran, sesungguhnya itu adalah tradisi lisan yang kemudian mengalami kekeliruan. Pada kenyataannya, melalui komparasi pada berbagai sumber tulisan; Banyak Catra dan Banyak Ngampara adalah putra-putra Ningrat Kancana atau Dewa Niskala. Masyarakat Banyumasan ketika menyebut Prabu Silih Wangi dari Pajajaran, memang dimaksudkannya adalah Sri Baduga Maharaja bukannya Ningrat Kancana atau Dewa Niskala. Hanya saja pada kenyataanya, telah terjadi kekeliruan. Karena Sri Baduga Maharaja (maksudnya Silih Wangi dalam tradisi Banyumasan) sebenarnya bukan Ayah dari Banyak Catra (penguasa Pasir Luhur) dan Banyak Ngampar atau Silih Warni (penguasa Dayeuh Luhur), melainkan adik dari Banyak Catra dan Banyak Ngampar (beda ibu). Saudara satu Ayah dan satu Ibu dari Silih Wangi (Jayadewata) itu sendiri adalah Ningrat Wangi (penguasa Galuh); sementara itu masih terdapat saudara satu Ayah lainnya (beda ibu) yaitu Banyak Blabur atau Kusumalaya atau disebut juga Ajar Kutamangu (penguasa Talaga Manggung). Sementara itu, pusat ibukota Ningrat Kancana atau Dewa Niskala adalah di Surosowan (Galuh; istilah lain dalam prasasti mungkin Jayagiri) bukan di Pakuan Pajajaran (Sunda).

Simpang-siur seperti ini, pada dasarnya sudah terjadi dan terdokumentasikan pada naskah Panembangan Wangsakerta. Dikatakan di sana (Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2)
bahwa:

“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”.

(… Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya …)

Atau dikatakan juga oleh Panembahan Wangsakerta bahwa:

“… Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda …”)

Sepertinya, Panembahan Wangsakerta tidak sedang menyatakan bahwa nama Prabu Silih Wangi banyak. Panembahan Wangsakerta hanya mengatakan bahwa nama Silih Wangi bukan nama pribadi, melainkan nama julukan. Atau jika dibandingkan dengan kerangka sebelumnya adalah nama Pantun, Babad, dan tuturan lisan lainnya. Kemudian, Panembahan Wangsakerta tampaknya melakukan suatu pemeriksaan; dimana sumbernya menurut dia karena wibawa dan kemasyhuran dari sifat heroik Prabu Maharaja Linggabuana yang gugur di Perang Bubat. Barulah keturunannya disebut Silih Wangi.

Namun demikian, tidak ada orang Sunda yang betapapun besarnya wibawa dan kebesaran Niskala Wastukancana; yang merupakan putra dari Prabu Maharaja Linggabuana, kemudian menyebutnya Silih Wangi. Sebagaimana di dalam naskah Bujangga Manik dan naskah Carita Parahyangan dan termasuk Prasasti Batu Tulis dan Prasasti Kawali, julukannya justru adalah Nusia Larang atau Nusa Larang dan Prabu Wastu. Juga terdapat nama lain yang masyhur yang juga setara dengan Pantun atau Babad, yakni Wangi Sutah. Namun demikian, sama sekali Prabu Maharaja Niskala Wastukancana tidak disebutkan dengan nama Silih Wangi. Sehingga, nama Silih Wangi meskipun bersifat Pantun atau Babad, dia bukan nama yang sifatnya umum melainkan khusus merujuk pada Sri Baduga Maharaja itu seorang.

Nama Silih Wangi meskipun bukan nama dokumen atau arsip resmi, namun demikian tetap termasyhur di dalam corong komunikasi non formal; termasuk terabadikan dalam dokumen tertulis non Historiografi lainnya seperti Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Carita Parahiyangan, Carita Purwaka Caruban Nagari. Adalah hal yang menarik dimana naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian itu sendiri berangka tahun 1440 Saka (1518 M). Hal ini membuktikan bahwa reproduksi Pantun dan Babad tentang Silih Wangi (termasuk Banyak Catra, dan Langgalarang [Ningrat Kancana atau Dewa Niskala]) memang telah resmi dan didorong narasi awalnya yang otentik pada masa Sri Baduga Maharaja itu sendiri masih berkuasa. Maka bukan hal yang juga paradoks, jika naskah Bujangga Manik juga telah direproduksi dan didorong juga pada masa Sri Baduga Maharaja itu sendiri masih hidup.

Di sini, atas nama sosok Bujangga Manik;sosok Silih Wangi yang lebih bersifat official diberitakan juga. Bahwa Silih Wangi pernah membuat suatu Sakakala (Peninggalan atau Karya Monumental) bernama Jalatunda. Dimana keletakkan relatifnya? Yakni setelah melalui Kuningan Darma Pakuan (kawasan Kuningan-Cirebon modern), lalu ke Luhur Agung (Lur Agung kawasan Tenggara Kuningan),
lalu ke Cisanggarung (namanya masih sama berhulu di Waduk Darma Kuningan, mengalir melintasi wilayah Kuningan, Cirebon, dan Brebes ke Laut Jawa), lalu tibalah di kawasan ujung kerajaan Sunda.

Di ujung kawasan Sunda tersebut, sebelum memasuki kawasan Majapahit atau alas Jawa dengan cara menyeberangi Cipamali (sekarang Kali Pemali); dikatakan Bujangga Manik, masih terdapat kawasan hunian lainnya yang disebut Arega Jati. Secara harafiah artinya Gunung Jati, suatu kawasan dimana terdapat gunung dengan penciri khusus berupa hamparan hutan Jati. Setelah melalui Arega Jati di Barat dan sebelum menyeberangi Cipamali di dekat Brebes itulah, Sakakala Silih Wangi berada. Apakah Sakakala Silih Wangi itu? Dia adalah suatu tata kelola beruapa kolam mata air atau dano atau situ yang diberinama Jalatunda.

Informasi in tentu saja sangat spektakuler dan luar biasa, suatu wawasan yang membuka cakrawala baru. Pertama bahwa pada awal abad ke-15 M, gagasan Gunung Jati belum bergerak ke Utara di kawasan Cirebon yang sebelumnya disebut Muara Jati dalam naskah-naskah Cirebonan. Blok Cirebon dengan demikian berada satu paket sejak dari pedalaman di sekitar Kuningan, Cirebon, Cilacap, dan Brebes hingga ke pesisir di Kuningan, Cirebon, dan Brebes. Meskipun di zona pegunungan tengah, kawasan tersebut penting dan strategis sebagai rute dari Sunda dan Jawa tempat dimana Jalatunda telah dibuat oleh Silih Wangi yang jika dikomparasi secara Historis akan membuatnya menjadi suatu tinggalan yang didirikan oleh Sri Baduga Maharaja itu sendiri. Yang secara oral punya banyak nama, yakni: Kekembian Rajasunu, Pamanah Rasa, dan Jayadewata. Sakakala, dengan demikian bukanlah dongeng;melainkan monumen atau petilasan Historis dimana Jalatunda dalam analisa keletakkannya pada saat ini adalah yang merupakan Danau Malahayu di Brebes (dibangun ulang masa kolonial Belanda). Jalatunda itu sendiri dalam bahasa Sanskrit berasal dari kata Jala yang berarti air atau jaring dan Tunda yang berarti mulut atau wajah. Sehingga Jalatunda maksudnya adalah Hulu Sungai, Mulut Sungai, Mataair atau Kolam, Dano, atau Situ (Penampungan Air). Dimana berdasarkan studi keletakannya, kedudukan dari Jalatunda itu sendiri yang dekat dengan Arega Jati merupakan Danau yang berada di kawasan hulu sungai atau mataair. (Poto: Waduk atau Danau Malahayu dari internet/maaf kalau ada copyright)

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".