
SEJARAH PERKEMBANGAN TARUM DI TATAR SUNDA: CATATAN KERJA DALAM RANGKA MEMBANGKITKAN KEMBALI BUDAYA MEWARNAI DENGAN MENGGUNAKAN PEWARNA BIRU ALAMI DARI BAHAN TARUM (BENTANG KERJA TAHUN 2011-2022)
(Risalah disampaikan dalam kegiatan Seminar dan Workshop: Tarum Areuy dan Cara Pengolahannya, pada Sabtu 08 Oktober 2022, jam 11 s.d. selesai, di Pondok Pesantren Muara, Kampung Muara, Desa Bantarkalong, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya)
Oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana/Ketua Yayasan Buana Varman Semesta
PENDAHULUAN
Sejarah perkembangan penggalian dan pembangkitan ulang (revitalisasi) budaya tarum di Tatar Sunda untuk pertamakalinya berpijak pada tulisan-tulisan yang dibuat oleh Titi Bachtiar (Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung). Tulisan yang pertama berjudul “Pada Tahun 1914 Penguasa Batik Protes Ingin Pewarna Buatan” (Rabu, 21 April 2010/arsip Cita-Citarum) dan tulisan yang kedua berjudul “Ci Tarum, Kawasan Penghasil Pewarna Alami” (Jum,at 14 Oktober 2011/arsip Cita-Citarum).
Pada tulisan yang pertama diceritakan bahwa pada tahun 1914, pemerintah kolonial India-Belanda sempat menghentikan impor zat pewarna buatan (sintetik) berwarna biru (catatan penulis: pewarna biru sintetik mulai ditemukan Baeyer dan Drewson tahun 1882, Karl Heumann 1897, dan Johannes Pfleger 1901). Keputusan tersebut memicu aksi protes dari pengusaha batik yang telah termanjakan oleh trend pewarna biru sintetik yang sudah berlangsung sejak masa sebelumnya. Adapun dampak dari lahirnya trend kebergantungan pada zat pewarna biru sintetik tersebut, maka secara bertahap namun pasti membuat tradisi pembuatan zat pewarna alam biru dari bahan tarum di India-Belanda ditinggalkan. Bahkan ironinya, di kawasan Tatar Sunda yang sebelumnya merupakan kawasan eks Tarumanagara, yang dengan demikian merupakan kawasan Pataruman, yang berarti pusat penghasil dan pembuat zat pewarna biru alami dari tarum menjadi musnah dan bahkan sudah tidak dikenali lagi oleh masyarakatnya pada masa kini.
Sementara pada tulisan yang kedua diceritakan kembali bahwa kawasan Tatar Sunda pernah menjadi kawasan penghasil zat pewarna alami biru dari bahan tarum yang secara kebahasaan memiliki keterkaitan dengan aspek penamaan tempat-tempat seperti Ci Tarum, Pataruman (istilah lainnya Cacaban), dan termasuk Tarumanagara. Pada tulisan tersebut dikenalkan juga aspek penyebutan tarum pada khazanah bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia dan jenis-jenis tumbuhan tarum yang pernah dibudidayakan di India-Belanda seperti tarum biji (Indigofera tinctoria Linn.), tarum kembang (Indigofera suffruticosa Mill.), tarum daun alus (Indigofera arrecta Hochst. ex. A. Rich.), dan tarum akar (Marsdenia tinctoria R.Br.). Apabila jenis-jenis tarum seperti tarum biji, tarum kembang, dan tarum daun alus diceritakan sebagai tumbuhan yang pernah di datangkan oleh pemerintah kolonial India-Belanda dari kawasan-kawasan tropis luar negeri. Maka tarum akar yang di dalam bahasa Sunda disebut dengan tarum areuy mendapatkan penekanan sebagai tumbuhan tarum yang lebih bersifat asli dari Indonesia (membentang sejak sebelum memasuki era kolonialisme India-Belanda).
Berdasarkan pada tulisan-tulisan yang telah dibuat oleh Titi Bachtiar tersebut dan melalui penjelasan yang dilakukan berdasarkan pertemuan secara langsung dengan Diella Dachlan yang pada waktu itu bekerja sebagai communication consultant pada projek Cita-Citarum, Diella Dachlan kemudian mendapatkan gagasan (inspirasi) untuk mendatangkan tarum yang telah lama menghilang, terutama dari jenis tarum areuy kembali menuju ke kawasan asalnya di kawasan sekitar aliran sungai Citarum. Sehingga dengan alasan tersebut, maka sejak tahun 2010 Diella Dachlan kemudian melakukan berbagai ikhtiar dalam rangka menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai tumbuhan tarum, melacak keberadaan tumbuhan tarum yang masih tersisa, dan berbagai kemungkinan untuk bisa mendatangkan dan menanam kembali tarum di kawasan sekitar aliran sungai Citarum.
Setelah melalui banyak ikhtiar, pada tanggal 8 Juni 2011, Diella Dachlan pada tahap selanjutnya menemukan sebuah tulisan yang berjudul “Tanaman Indigo (Indigofera tinctoria) Sebagai Pewarna Alami” yang ditulis oleh Anita Hafsari asal Bogor pada tanggal 31 Maret 2011 di halaman website/blog pribadinya yang berjudul Sosioecoforestry. Anita Hafsari yang pada waktu itu bekerja sebagai Asisten Peneliti di Puspijak Kementrian Kehutanan (pada saat ini merupakan dosen dan peneliti di Fakultas Kehutanan IPB), dikarenakan baru membuat tulisan tersebut sebatas proses kajian teoretik (pustaka) dan sebenarnya belum sempat memiliki persentuhan secara langsung dengan tumbuhan tarum sebagai objek nyatanya, maka melalui hasil korespondensi dengan Diella Dachlan maka Anita Hafsari kemudian merekomendasikan untuk menghubungi Shinta Pertiwi (yang beliau peroleh melalui studi di internet) yang pada saat itu sedang meneliti tarum untuk kepentingan studi pascasarjana (S2) Teknik Kimia di UGM.
Kemudian setelah melakukan komunikasi jarak jauh antara Diella Dachlan yang berada di Bandung dengan Shinta Pertiwi yang berada di Jogjakarta dan dengan sangat baik, maka pada tahap selanjutnya saya (penulis: Gelar Taufiq Kusumawardhana) dan Ayu Kuke Wulandari (dosen ITHB dan komunitas MATABUMI) menyatakan kesediaannya kepada Diella Dachlan sebagai sukarelawan untuk melaksanakan tugas penjemputan tarum ke Jogjakarta. Di Jogjakarta saya dan Ayu Kuke Wulandari berhasil mendapatkan hadiah beberapa bibit tarum dari Shinta Pertiwi untuk dibawa sebagai oleh-oleh menuju ke Bandung pada tanggal 23 Desember 2011. Berhubung padatnya agenda kegiatan yang dimiliki oleh Diella Dachlan, tarum pemberian dari Jogjakarta baru sempat diserah-terimakan oleh saya dan Ayu Kuke Wulandari pada tanggal 5 Maret 2012 kepada Diella Dachlan di Bandung. Oleh Diella Dachlan bersama Bale Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, bibit Tarum tersebut selanjutnya ditanam secara seremonial di kawasan hulu sungai Citarum pada tanggal 12 April 2012. Dua bibit ditanam di kawasan Desa Cibeureum dan satu bibit ditanam di kawasan Situ Cisanti (Kampung Pejaten Desa Tarumajaya) yang diyakini masyarakat modern sebagai titik 0 kilometer aliran sungai Ci Tarum.
Kemudian hari setelah pulang dari Jogjakarta, di dalam pikiran saya persoalan mengenai tarum tersebut masih terus berinkubasi bersama dengan bertanyaan-bertanyaan selanjutnya yang mendorong saya untuk terus melakukan studi tambahan. Setelah membaca ulang tulisan Titi Bachtiar dan membandingkan dengan beberapa sumber bacaan tambahan berupa kamus-kamus sebagai informasi paling dasar, seperti kamus bahasa Sunda (istilah tarum dan nila), kamus bahasa Indonesia (istilah tarum dan nila), dan kamus bahasa Inggris (istilah indigo) dapat diketahui bahwa tarum, nila, dan indigo bersifat sinonim dan bahwa istilah tarum, nila, dan indigo tersebut memiliki makna yang bersifat generik/general (umum) dan bukan bersifat spesifik/spesial (khusus). Sehingga dengan demikian seperti yang telah dikatakan oleh Titi Bachtiar bahwa tarum sebenarnya merujuk pada beberapa jenis tarum baik yang telah didatangkan dari negeri-negeri tropis lainnya pada masa kolonial India-Belanda maupun yang bersifat setempat (lokal) dan telah berada jauh sebelum masa kolonial India-Belanda berkuasa di Tanah Air.
Dalam pemikiran saya, terdapat dua jenis tarum yang telah ada jauh sebelum kolonial India-Belanda berkuasa di Tanah Air. Yang pertama adalah tarum biji (Indigofera tinctoria Linn.) dan yang kedua adalah tarum akar (Marsdenia tinctoria R.Br.). Memang benar bahwa tarum biji telah didatangkan kembali secara lebih masif oleh pemerintah kolonial India-Belanda dari kawasan India-Inggris untuk kepentingan budidaya yang lebih masal. Namun demikian, besar kemungkinan bahwa kawasan Nusantara telah memperoleh, mengenal, dan memanfaatkan tarum biji sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Nusantara. Namun demikian, apabila kita menginginkan jenis tumbuhan tarum yang bercitarasa lebih setempat/daerah (lokal) maka tarum akar merupakan jawabannya. Tarum akar tersebut kemungkinan sudah dikenal oleh masyarakat Nusantara, terutama masyarakat Nusantara dari kawasan sebelah Barat (Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Bali) sejak masa pra Hindu-Budha. Suatu basis kebudayaan paling dasar yang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat Austronesia (rumpun Melayu) sebelum kemudian bersentuhan dengan basis kebudayaan diatasnya yang berasal dari masyarakat migran Arya (rumpun Saka) yang kemudian melakukan proses asimilasi secara sempurna dengan kebudayaan sebelumnya.
Dalam pengertian yang longgar, maka usaha mengembalikan tarum ke kawasan aliran sungai Citarum dapat dijawab dengan menghadirkan dua jenis tarum yang memiliki dasar historis, yang pertama adalah tarum biji dan yang kedua adalah tarum akar. Sehingga dengan demikian, dengan menghadirkan kedua jenis tarum tersebut ke kawasan aliran sungai Citarum secara lebih khusus dan ke kawasan Tatar Sunda secara lebih umum adalah bersifat valid. Namun demikian, dikarenakan tarum dari jenis tarum biji dikarenakan telah mengalami proses pendatangan-ulang dari kawasan India-Inggris pada masa kolonial India-Belanda, maka jejak keberadaan tarum dari jenis tersebut pada kenyataanya cenderung masih bisa ditemukan kembali secara lebih mudah (terutama masih terkonservasi di kawasan Jawa Tengah dan Jogjakarta). Namun demikian, lain halnya dengan keberadaan tarum akar. Maka ikhtiar untuk melacak keberadaannya dan kemudian untuk mendapatkannya kembali telah melalui proses yang jauh lebih panjang lagi. Hal demikian dikarenakan jenis tarum akar nyaris hilang dari khazanah pengetahuan masyarakat dan jumlah masyarakat yang masih peduli dan memeliharanya juga bersifat terbatas. Dan beruntungnya, tanaman tarum akar di Tatar Sunda yang diharap-harapkan untuk bisa kembali menghiasi kawasan di sekitar sungai Citarum pada akhirnya dapat ditemukan kembali melalui suatu ikhtiar dan kerja keras yang tidak sedikit (sebagai perbandingan, berkebalikan dengan jenis-jenis tarum dari marga Indigofera, maka tumbuhan dari jenis tarum akar di kawasan Jawa Tengah dan Jogjakarta sejauh ini belum terberitakan menjadi bagian dari tumbuhan konservasi, koleksi, dan diusahakan dalam bentuk perkebunan; kecuali setelah bersentuhan kembali dengan temuan dari Tatar Sunda).
CATATAN MENGENAI TARUM AKAR
Dengan bertambahnya khazanah pengetahuan mengenai jenis-jenis tarum secara lebih khusus, maka nalar analitik saya mulai bertanya-tanya: Apabila pada masa silam sungai Citarum diduga berhubungan dengan tumbuhan tarum (dalam maknanya yang bersifat umum), maka dari jenis tumbuhan tarum yang manakah yang kemungkinan memiliki kecenderungan yang lebih identik sebagai identitas sungai Citarum tersebut pada masa lalu?
Kemudian dengan mempertimbangkan bahwa sebagian besar jenis-jenis tarum tersebut merupakan hasil introdusir (didatangkan) dari kawasan-kawasan negeri tropis lainnya seperti dari Benua Afrika, Benua Amerika, dan anak Benua India seperti tarum daun alus (Indigofera arrecta Hochst. ex. A. Rich.), tarum hutan (Indigofera galegoides DC), tarum kembang (Indigofera suffruticosa MILL), dan tarum biji (Indigofera tinctoria Linn.) maka wajar tumbuh pertanyaan: dari jenis tumbuhan tarum yang manakah yang bersifat lebih lama (endemik) hadir di kawasan sungai Citarum pada masa sebelum jenis-jenis tarum tersebut didatangkan oleh pemerintah kolonial India-Belanda di Nusantara (khususnya Tatar Sunda)?
Adapun mengenai tarum biji memang pada masa pemerintahan kolonial India-Belanda pernah diintrodusir secara massif dari kawasan India-Inggris (kawasan India Selatan) ke India-Belanda (kawasan Indonesia khususnya Pulau Jawa), namun demikian sangat kuat kemungkinannya bahwa tarum biji pada kenyataannya sudah ada dan menjadi bagian dari khazanah tumbuhan di Nusantara setidaknya sejak memasuki periode Hindu-Budha di Tanah Air. Kenyataan ini dapat didukung dengan bukti Epigrafis (catatan dalam prasasti batu dan atau logam), yang mana kata tarum yang di dalam bahasa Sanskrit disebut dengan kata nila sudah dikenal dan terdokumentasikan dalam salah-satu dari kelompok Prasasti Sukawana/Kintamani di Bali yang bertarikh tahun 883 M. Kata nila di dalam bahasa Sanskrit tersebut telah mengalami tahap perkembangan fonetik yang bersifat lebih lokal (Kawi/Jawa Kuno) dengan kata mangnila sebagai sumber pewarna biru alami (selain diantaranya dengan menyebut kata mangkudu sebagai sumber pewarna merah/kecoklatan alami).
Tarum biji inilah yang secara internasional dikenal dan disepakati dengan sebutan the truely indigo (tarum yang sesungguhnya). Hal ini dikarenakan tarum biji memiliki catatan yang sangat tua dan merupakan komoditas yang biasa diperdagangkan dari kawasan India menuju ke kawasan Romawi (pra Bizantium), yang telah tercatat di dalam bukti Filologi (catatan dalam naskah) abad ke-1 M dengan judul Periplous tes Erythras Thalasses (ditulis dalam bahasa Yunani dan aksara Koine Yunani). Tulisan tersebut bersifat anonim namun demikian diperkirakan ditulis pada masa kekuasaan Romawi oleh masyarakat Yunani di kota pelabuhan Aleksandria (Mesir) yang merupakan salah-satu pusat dari koloni masyarakat Yunani pada masa tersebut. Tarum asal India di dalam naskah tersebut, disebut dengan nama indikon yang secara harfiah berarti come from India (yang datang dari India). Variasi lainnya yang digunakan di dalam naskah tersebut adalah indikon melan (yang datang dari India berwarna hitam), indikon chroma (yang datang dari India sebagai pewarna), dan indikon pharmakon (yang datang dari India sebagai obat). Kata Yunani indikon itulah yang kemudian akan sampai ke dalam bahasa Inggris modern menjadi kata indigo. Sementara masyarakat India itu sendiri tentu saja menamainya dengan sebutan nila (di dalam bahasa Sunda disebut dengan kata tarum dan kata nila yang bersifat sinonim).
Adapun tarum biji yang diperoleh dari Jogyakarta secara teoretik sebenarnya sudah tepat bahwa selain pada masa pemerintahan kolonial India-Belanda telah menjadi bagian penting dari komoditas tarum yang dikebunkan secara massal dan massif di Nusantara untuk kepentingan ekspor dalam mensuplai kebutuhan Dunia (yang mana kawasan India-Belanda sempat menjadi eksportir terbesar di dunia), juga sejak memasuki periode Hindu-Budha secara historis sudah menjadi bagian dari khazanah pengetahuan dan praktik di Nusantara setidaknya berdasarkan bukti Epigrafi di Bali pada abad ke-9 M. Tumbuhan tarum biji tersebut sudah ada dan sudah dikembangkan dalam skala pengebunan, pengolahan, dan pemenuhan kebutuhan yang bersifat tertentu yang mana bukti-bukti ikatan kebahasaan dan fonetiknya mendasari aspek penamaan tempat-tempat tertentu seperti halnya dengan kata manila di Manila (Philipina) yang juga dalam perspektif kuno masih menajdi bagian dari kawasan Nusantara (India Kepulauan).
Namun demikian, apabila kita menginginkan varietas tarum yang lebih arkaik dalam pengertian yang telah lama ada dan menjadi bagian dari khazanah tumbuhan di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa, Tatar Sunda, dan di kawasan sekitar aliran sungai Citarum sebelum memasuki periode Hindu-Budha di Nusantara, maka jawabannya hanya tersisa dan merujuk pada keberadaan tarum dari jenis tarum akar (Marsdenia tinctoria R.Br.). Sehingga, tumbuhan tarum yang dapat menjadi kandidat tumbuhan tarum yang bersifat lebih setempat/lokal untuk mengisi ruang imajinasi teoretik pengembalian tarum ke kawasan aliran sungai Citarum yang dengan demikian adalah tarum biji dan tarum akar dalam batasan yang lebih longgar, dan tarum akar dalam batasan yang bersifat lebih setempat dan bersifat prioritas untuk ditemukan kembali, dikonservasi, dan dikembalikan ke kawasan sekitar aliran sungai Citarum sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya.
Asumsi bahwa tarum akar merupakan tumbuhan tarum dari jenis yang katakanlan bersifat lebih pribumi (native/indigenous) dapat dibuktikan melalui catatan modern paling awal yang mana laporannya ditulis oleh William Marsden dalam buku The History of Sumatra yang diterbitkan pada tahun 1783. Tempat pelaporan yang disampaikan pada kasus masa tersebut adalah kawasan Bengkulu yang merupakan bagian dari koloni Inggris. Di dalam buku tersebut, dikatakan oleh William Marsden yang merupakan tokoh kajian timur (orientalis), bahasa (linguis), pembaca prasasti dalam medium uang logam (numismatis), perintis studi ilmiah mengenai Indonesia, dan pejabat kolonial Inggris di Bengkulu (kemudian menjadi Sekretaris Angkatan Laut Britania), bahwa masyarakat setempat sudah terbiasa menggunakan tarum akar dan tarum biji secara bersama-sama dan tanpa membedakan atau mengutamakan salah-satu dari yang lainnya dalam setiap kegiatan membuat zat pewarna biru alami dari bahan tarum.
Adapun pada masa William Marsden mencatatkan mengenai informasi tarum akar pada masa kunjungannya di Bengkulu tersebut, tarum akar belum ada yang melakukan penelitian secara ilmiah sehingga belum ditemukan catatan mengenai aspek identifikasi dan taksonomi tumbuhannya yang biasanya dilakukan oleh ahli Botani. Proses identifikasi, klasifikasi, dan taksonomi kemudian baru berhasil dilakukan oleh Robert Brown untuk menindak-lanjuti laporan dari William Marsden yang disertai dengan mengirimkan spesimennya ke Herbarium Bank di Inggris (Britania). Alasan mengapa William Marsden merekomendasikan pentingnya penelitian terhadap tarum akar tersebut adalah adanya asumsi yang dimiliki oleh dia, bahwa kandungan pigmen biru (indigotin) yang terkandung di dalam tumbuhan tarum akar diperkirakan jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh tarum biji. Hal itu dimungkinkan karena seluruh bagian tubuh dari tarum akar mampu diekstrak sebagai sedimen dibadingkan dengan tarum biji yang hanya mengandalkan ekstraksi dari dedaunannya saja yang berukuran kecil-kecil (sementara batang dan rantingnya bersifat perdu dan keras).
Robert Brown yang merupakan ahli Botani Inggris di beritakan di dalam buku tersebut, kemudian berhasil untuk memberikan nama tumbuhan tarum akar dengan nama Marsdenia tinctoria R.Br. Adapun nama depan Marsdenia (nama genus) diambil dari nama belakang William Marsden sebagai bentuk adab penghormatan ilmiah kepada penemunya. Sementara tinctoria digunakan untuk menyatakan fungsi umumnya sebagai zat pewarna biru alami. Dan R.Br. merupakan singkatan dari nama lengkap Robert Brown itu sendiri sebagai orang yang berhasil untuk pertama kalinya mengindentifika tumbuhan tarum akar tersebut. Laporan mengenai proses identifikasi terhadap tarum akar itu sendiri telah ditulis oleh Robert Browen di dalam bukunya yang berjudul The Miscellaneous Botanical Works yang berhasil dipublikasikan pada tahun 1811 M.
Catatan mengenai tarum akar selanjutnya dilakukan oleh Dr. Pieter van Romburgh (yang diarsipkan oleh Prof. A.P.N. Franchimont) di dalam jurnal Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen Proceedings Series B Physical Sciences, Vol. 2, yang dipublikasikan pada tahun 1899 dengan judul On the Formation of Indigo from Indigofera’s and from Marsdenia tinctoria. Catatan Dr. Pieter van Romburgh tersebut menceritakan adanya hasil pembicaraan yang mendatangkan informasi baru berdasarkan keterangan dari Prof. Beyerinck yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara tarum dari marga (genus) Indigofera dan jenis (spesies) Marsdenia tinctoria R.Br. Pernyataan tersebut kemudian mendorong Dr. Pieter van Romburgh untuk melakukan ujicoba laboratorium yang fasilitasnya dimiliki oleh indigo experimental station at Klaten di bawah pengelolaan direkturnya yang bernama Mr. Hazewinkel. Adapun hasil ujicoba dan keterangan yang diberikan oleh Mr. Hazewinkel tersebut kemudian dilaporkan oleh Dr. Pieter van Romburgh di dalam Verslagen van’s Lands Plantentuim pada tahun 1910.
Sebelum penelitian yang dilakukan oleh Dr. Pieter van Romburgh, sebenarnya telah ada penelitian-penelitian sebelumnya yang dijadikan pijakan awal, yakni penelitian pada bidang Kimia yang telah dilakukan oleh Mr. van Lookeren Campagne yang mana laporannya telah diterbitkan di dalam Jaarverslag van’s Lands Plantentuin pada tahun 1893 M. Laporan tersebut kemudian diperbaharui oleh Mr. van Lookeren Campagne bersama dengan van Der Venn pada tahun 1895. Mr. Selain bersama van Der Venn pada tahun 1895, Mr. van Lookeren Campagne juga memperbaharui laporannya bersama dengan Dr. Pieter van Romburgh pada laporan tahun 1897 dan laporan tahun 1898. Melalui hasil penelitian pada bidang Kimia bersama dengan Mr. van Lookeren Campagne inilah, Dr. Pieter van Romburgh kemudian bergerak lebih jauh lagi dengan melakukan penelitian dan publikasi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada tahun 1899 dan pada tahun 1910.
Pada tahap selanjutnya, terdapat juga laporan yang dilakukan oleh I. H. Burkill dengan judul A Note Upon Plants Grown for Blue Dyes in the Malay Peninsula, yang dipublikasikan di dalam jurnal The Gardens’ Bulletin Straits Settlements Vol. II (Singapura) pada tahun 1921. Catatan yang ditulis oleh I. H. Burkill tersebut, selain memberitakan adanya rekomendasi yang telah dilakukan untuk memasuki langkah pengebunan masal tarum akar di kawasan Kalkuta di koloni India-Inggris melalui badan East India Company’s Garden secara intensif, masif, dan masal sebagaimana yang telah digagas untuk pertamakalinya oleh William Marsden atas dasar bahwa kandungan pigmen biru alami (indigotin) yang dimiliki oleh tarum akar pada kenyataannnya memang lebih besar jika dibandingkan dengan jenis-jenis tarum lainnya pada marga Indigofera dikarenakan seluruh postur tumbuhannya dapat digunakan di dalam proses ekstraksi dan fermentasi pada saat pembuatan zat pewarna biru alami sebagaimana yang diharapkan sebelumnya (namun demikian rencana tersebut karena suatu sebab belum sempat dilaksanakan oleh pemerintahan kolonial India-Inggris di Kalkuta.
MELACAK KEBERADAAN TARUM AKAR DI TATAR SUNDA
Setelah sebelumnya bertanya-tanya kepada banyak pihak yang dianggap dapat memberikan petunjuk kepada keberadaan tarum akar semenjak pulang dari Jogyakarta, saya dan Ayu Kuke Wulandari kemudian mendapatkan tarum akar untuk pertamakalinya dari Rony Noviansyah yang merupakan alumni Pendidikan Geografi FPIPS UPI (S1) dan Paska Sarjana Pendidikan (S2) Geografi UPI, anggota Jantera Perhimpunan Pecinta Alam Geografi FPIPS UPI, Ketua komunitas jelajah Geotrek Matabumi, dan seorang Guru pada tanggal 6 April 2012 M di tempat kediaman orang tuanya di Majalaya (Kabupaten Bandung). Tarum akar yang diperoleh Rony Noviansyah tersebut dapat diperoleh berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh Lili Somantri Adireja yang merupakan Ketua Program Studi Sains Informasi Geografi pada Departemen Geografi FPIPS UPI dan anggota Jantera Pecinta Alam Pendidikan Geografi FPIPS UPI untuk mendapatkannya melalui kenalannya/kerabatnya yang bertempat tinggal di Kecamatan Ibun (Kabupaten Bandung).
Kemudian pada tanggal 8 Maret 2013, saya dan Yuda Kalimullah yang merupakan alumni Pendidikan Seni Rupa FPBS UPI, anggota Paser Pecinta Alam Seni Rupa FPBS UPI, dan fasilitator Matabumi mendapatkan spesimen tarum akar tambahan yang diperoleh dari Setia Pratama Putra yang merupakan alumni Pendidikan Seni Rupa FPBS UPI dan mantan Ketua Adat Paser Pecinta Alam Seni Rupa FPBS UPI dari tempat kediaman orang tuanya di Majalaya (Kabupaten Bandung). Adapun spesimen yang didapatkan oleh Setia Pratama Putra itu sendiri pada gilirannya berasal dari Kecamatan Paseh (Kabupaten Bandung) yang diperoleh melalui pelacakan ayahnya yang merupakan seorang seniman dan Guru yang mana sekolahnya berada di Kecamatan Paseh (Kabupaten Bandung).
Dari dua buah spesimen yang diperoleh dari Kecamatan Majalaya (via Kecamatan Ibun dan Kecamatan Paseh), pada tanggal 23 Juli 2013 saya kemudian memutuskan untuk menemui Eman Abdurachman yang bertempat tinggal di Kelurahan Ledeng (Kecamatan Cidadap di Kota Bandung) yang merupakan Ahli Botani UPI dan merupakan alumni pertama Jurusan Biologi UPI (pada saat formatnya masih dalam bentuk PTPG yang didirikan sejak tahun 1954). Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka mendapatkan second opinion yang bersifat otoritatif dalam upaya melakukan validasi dan verifikasi agar lebih yakin: Apakah dua spesimen yang sudah kami dapatkan dari Kecamatan Majalaya (melalui Kecamatan Ibun dan Kecamatan Paseh) tersebut sudah benar merupakan tumbuhan tarum akar?
Dari pertemuan tersebut, Eman Abdurachman kemudian membenarkan fakta ilmiah tersebut setelah menanyakan nama lokal (vernacular name) dan nama ilmiahnya (scientific name) terlebih dahulu kepada saya. Dan yang lebih mengejutkan, Eman Abdurachman bukan saja memberikan pernyataan mengenai validitasnya yang telah bersifat absyah, namun demikian Eman Abdurachman bahkan menunjukkan dan memberikan spesimen tarum akar tambahan yang merupakan koleksi pribadinya dari pekarangan rumahnya yang sudah ditanam sejak tahun 2010 (pada saat berkunjung saya tidak membawa contoh spesimen tarum akar). Spesimen yang dimiliki Eman Abdurachman itu sendiri berasal dari indukan yang ditanam olehnya di kampus Universitas Siliwangi (Unsil) di Kota Tasikmalaya pada tahun 2003. Sementara indukan yang ditanam di Unsil (yang pada saat ini sudah tidak ada) itu sendiri diperoleh Eman Abdurachman dari kawasan Kecamatan Cipedes di Kota Tasikmalaya pada tahun 2003.
Selain tarum akar yang diperoleh dari Rony Noviansyah (Kecamatan Majalaya via Kecamatan Ibun), Setia Pratama Putra (Kecamatan Majalaya via Kecamatan Paseh), dan Eman Abdurachman (Kecamatan Ledeng via Kecamatan Cidadap di Kota Tsikmalaya); dikabarkan juga oleh Yadi Supriadi yang merupakan koordinator komunitas TARAP (Tarum Areuy Product) dan anggota Jantera Perhimpunan Pecinta Alam Pendidikan Geografi FPIPS UPI yang bertempat tinggal di Kota Banjar, bahwa telah diperoleh juga spesimen tarum akar oleh dirinya dari masyarakat yang berada di kawasan Desa Karangkamiri di Kecamatan Langkapancar (Kabupaten Pangandaran) pada tanggal 15 Juli 2016.
Setelah itu, melalui Dedi Abdulah (Ketua Lingkung Adat Bantarkalong), yang merupakan pensiunan dari jabatan trakhirnya sebagai Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya, dan merupakan bagian dari keluarga, pemilik, dan pengelola Yayasan Pesantren Muara di Kampung Muara, Dusun Jibal, Desa Bantarkalong, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya telah menemukan tarum akar yang tumbuh liar di habitatnya yang berada di kawasan Kampung Citarumareuy (Gedogan), Dusun Jibal, Desa Bantarkalong, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya pada tanggal 11 Juli 2020.
Di kawasan Kampung Citarumareuy (Gedogan), tumbuhan tarum akar bukan sekedar ada dan dipelihara oleh orang perorang yang peduli, melainkan masih tumbun secara berlimpah dan liar di alam bebas (namun demikian masyarakat sekitar sudah tidak mengetahui tumbuhan tersebut sebagai tumbuhan tarum akar). Dengan demikian, pada contoh kasus di Kampung Citarumareuy pengetahuan masyarakat terhadap tarum akar (yang di dalam bahasa Sunda disebut tarum areuy) telah terputus dan tidak mengetahui lagi jenis tanaman tarum akar meskipun tanaman tersebut hadir dan ada dalam landskap kehidupan keseharian mereka. Padahal aspek penamaan (toponimi) Kampung Citarumareuy itu sendiri tentu saja secara kebahasaan memiliki ikatan dengan memori kolektif masyarakatnya pada masa silam terhadap tarum akar (Sunda: tarum areuy).
MENGHADIRKAN TARUM AKAR MELALUI KERJA SENI DAN KEBUDAYAAN
Upaya untuk medekatkan imajinasi teoretik tumbuhan tarum akar sebagai bagian dari misi konservasi Citarum kemudian dilakukan melalui pendekatan seni dan kebudayaan dengan pertimbangan untuk memudahkan dan menyederhanakan pencercapan wacana melalui permainan simbologi visual dalam kegiatan-kegiatan performance art untuk menyasar pada wilayah afektif (psikologi). Hal demikian dikarenakan wujud tumbuhan, nama tumbuhan, fungsi tumbuhan pada masa lalu, dan berbagai informasi lainnya seputar tarum akar masih dirasakan asing (kembali menjadi asing) oleh komunitas-komunitas dan masyarakat Sunda kontemporer pada umumnya pada saat itu. Namun demikian melalui kerja seni dan kebudayaan secara intensif dan berkelanjutan tersebut, tarum akar secara bertahap mendapatkan tanggapan balik dan apresiasi yang positif sebagai suatu suguhan informasi yang bersifat baru (seakan-akan menjadi bersifat baru) dan terkadang dikesani sebagai sesuatu yang memiliki asosiasi dengan masa lalu yang bersifat mistis dan sakral.
Kegiatan pertama dilakukan melalui pendekatan performance art (di dalamnya dipadukan bersama kegiatan ceramah dan melukis) bersama Koloni Hitam (Agung Jack, Entri Somantri, dan Deni Ramdani) di Babakan Siliwangi pada tanggal 7 Juni 2013 dengan tema: Mengabarkan Tarum.
Kegiatan kedua dilakukan melalui pendekatan pameran yang berunsurkan kerupaan sebagai buah karya Entri Somantri (Koloni Hitam) di Bale Pare Kota Baru Parahyangan dengan tema Hiden Perspective dengan menggunakan material tarum, fiber, papirus, dan kayu dengan torehan aksara-aksara kuno yang dibantu oleh Ara Sinatria (Komara) dan Gelar Taufiq Kusumawardhana pada tanggal 6 Februari 2014.
Kegiatan ketiga dilakukan dengan pendekatan diskusi sederhana mengenai tarum akar di TPST Cibodas Kelurahan Pataruman di Kecamatan Pataruman (Kota Banjar) dengan menghadirkan pembicara Gelar Taufiq Kusumawardhana yang dikoordinasi oleh Yadi Supriadi (TARAP) dan penanggung jawab dan penyedia fasilitas Nono sebagai pengelola TPST Cibodas yang sudah memberikan ruang bagi upaya pembibitan tarum akar. Diskusi tersebut berlangsung pada tanggal 14 Mei 2014 dan dihadiri oleh tokoh Lingkungan Hidup, Karang Taruna, Pemuda Tani, dan komunitas penggerak peduli sampah setempat.
Kegiatan keempat dilakukan oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana bersama Koloni Hitam dalam bentuk pameran, presentasi, dan membagikan tulisan pendek dalam bentuk selebaran informasi tarum akar pada kegiatan Pameran Seni Dago tanggal 2 Juni 2014 M di Jalan Dago Pojok dengan penanggung jawab kegiatan Rahmat Jabaril.
Kegiatan kelima dilakukan dengan cara bercerita mengenai tarum akar dalam kegiatan trauma healing kepada anak-anak paska banjir bandang Cimanuk pada tanggal 15 Oktober 2016 di lapangan depan gedung Islamic Center Kota Garut. Dilakukan oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana atas undangan Jaka Hendra Purnama (WANADRI dan REPAGA – Remaja Pecinta Alam Garut).
Kegiatan keenam dilakukan dengan cara memenuhi undangan berkebun tarum akar yang dilakukan oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana bersama siswa-siswi Sekolah Alam Bandung atas undangan Iden Wildensyah dan Ade Ramdani yang merupakan guru di sekolah tersebut pada tanggal 27 September 2016 sampai dengan 1 November 2016 di kawasan kebun sekolah di Dago (Kota Bandung).
Kegiatan ketujuh dilakukan dengan cara mendemonstrasikan secara insidental pembuatan zat pewarna alam biru dari tarum akar oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana atas permintaan Mufid yang merupakan musisi, seniman, pelestari pohon saeh untuk bahan kertas daluang kepada anak-anak setempat pada tanggal 20 November 2016 di kawasan sekitar Sekolah Alam Dago.
Kegiatan kedelapan dilakukan dengan cara pameran dengan tema Artosfer pada tanggal 12-14 Oktober 2017. Dilakukan oleh Deni Ramdani dan Niko Wiratma. Sementara Gelar Taufiq Kusumawardhana membatu dalam tahap inkubasi gagasan melalui diskusi-diskusi bersama Niko Wiratma dan Deni Ramdani. Di dalam kegiatan tersebut diinstalasi tarum akar pada sebuah ruangan untuk menciptakan kesan yang baik dan inspiratif. Kegiatan tersebut disambut baik dan dihadiri oleh Titi Bachtiar (Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung) dan Iman Soleh (Seniman dan pengelola CCL).
Kegiatan kesembilan dilakukan dengan cara performence art. Dilakukan oleh Entri Somantri, Gelar Taufiq Kusumawardhana, Deni Ramdani, Hegar Krisna Cambara, Teddy Prihastowo, dan Agung Jack atas nama Koloni Hitam pada pembukaan kegiatan Bandung Art Month 2019 pada tanggal 15 Agustus 2019 dengan topik Semiotika Tangis Babi di kawasan Babakan Siliwangi.
Kegiatan kesepuluh dilakukan dengan cara pameran lukis yang menampilkan gambar anatomi tarum akar yang dibuat oleh Deni Ramdani yang diselenggarakan oleh Persatuan Guru Pelukis Bandung (PGPB) dengan topik Guru Ngariksa #9 pada tanggal 15 Agustus-20 September 2019 di Selasar SMPN 7 Bandung.
Kegiatan kesebelas dilakukan dengan cara action painting artists di Ciwalk (kawasan Jalan Cihampelas) pada kegiatan launching ARTI Cihampelas Walk Bandung pada tanggal 5 Oktober 2019 oleh Deni Ramdani.
Kegiatan keduabelas berupa presentasi (public lecture) yang dilakukan oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana di PT Garuda Mas Semesta, Leuwigajah, Cimahi Selatan, Kota Cimahi atas undangan Zaenudin dan Komang bersama kepada kepala berbagai divisi pada tanggal 9 Juli 2020. Kegiatan tersebut merupakan upaya penjajakan yang dilakukan oleh industri tekstil denim dalam rangka membuat kain denim dengan pewarna biru alami dari bahan tarum. Pada tahap persiapan dibantu oleh Refi Syaeful Firmansyah, Ardi Jo, Deni Ramdani, dan Lalitya Dwi Rachmani. Selain itu terdapat konsultasi yang dilakukan oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana kepada Fatah Saefur R. Ipung (pengusaha tarum di Temanggung) dan Hanif Sofyan (seniman batik di Jogyakarta).
Kegiatan ketigabelas memenuhi undangan Djuandi Gandi yang merupakan pakar Botani ITB dalam bentuk kegiatan ceramah dan menanam pohon di Teras Cikapundung di kawasan Babakan Siliwangi bersama dengan komunitas Harmoni Purnabakti ITB. Di hadirkan di dalam kegiatan tersebut tarum akar untuk disosialisasikan dan ditanam.
PEMBIBITAN TARUM AKAR DI BEBERAPA WILAYAH TATAR SUNDA
Tarum Akar memiliki nama ilmiah Marsdenia tinctoria R.Br., memiliki nama daerah dalam bahasa Sunda tarum areuy, dan memiliki nama dalam pergaulan internasional dengan bahasa Inggris diantaranya climbing indigo (tarum memanjat), broad-leaved indigo (tarum berdaun lebar), dan java indigo (tarum Jawa). Di dalam bahasa Melayu (Sumatra) dan Dayak (Kalimantan) tarum akar tersebut, dikenal dengan nama tarum akar (istilahn yang kemudian diambil-alih menjadi bahasa Indonesia).
Namun demikian, tarum akar sebenarnya tidak hanya tumbuh di kawasan Indonesia bagian Barat saja seperti di Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Bali pada masa lalu. Melainkan tumbuh juga di kawasan Singapura, Semenanjung Malaya, Kepulauan Philipina, Indo-Cina, Cina Selatan, Taiwan, Kepulaunan Rykyu (Jepang), kawasan Timur-Laut India (kawasan Assam), dan Banglades pada masa lalu.
Sejauh penelusuran data yang ada, jenis tarum akar ini belum pernah menjadi komoditas bisnis yang bersifat massal dan massif (skala industri), namun demikian pernah menjadi wacana dan direkomendasikan oleh para pakar dari masa kolonial India-Belanda di Nusantara, kolonial Inggris di India-Belanda, dan kolonial Inggris di India-Inggris. Namun demikian karena suatu sebab yang belum diketahui dengan pasti datanya, kegiatan industrialisasi tarum akar tersebut belum sempat terwujud. Kendala apa yang membuat proses industrialisasi tersebut mengalami kegagalan tentu saja memerlukan suatu investigasi tersendiri.
Hanya saja sebagai suatu hipotesa, kegagalan tersebut kemungkinan karena tidak lama berselang sejak masa tersebut di Eropa mulai dikembangkan zat pewarna biru sintetik yang kemudian akan berbenturan dengan bisnis zat pewarna biru alam yang berkembang di koloni-koloni Eropa di Asia, Afrika, dan Amerika. Namun demikian, pada kantung-kantung masyarakat tradisional di kawasan-kawasan Geografis tertentu, penggunaan tarum akar masih terus aktif dan hidup dalam budaya keseharian mereka hingga saat ini (meskipun dalam skala rumah tangga), seperti di kawasan Assam (India), di kawasan Serawak di Kalimantan (Malaysia), dan di Tatar Sunda yang tengah diikhtiarkan untuk bangkit kembali (revitalisasi).
Adapun melalui tahap penemuan kembali tarum akar di Tatar Sunda sejak tanggal 6 April 2012, mulai timbul keinginan untuk melakukan proses konservasi tumbuhan tarum akar tersebut melalui perbanyakan bibit, yang pada gilirannya juga memicu harapan bahwa tumbuhan tarum akar tersebut bukan saja memiliki nilai historis, psikologis, dan konservasi semata-mata, melainkan dapat dihadirkan kembali juga nilai ekonomisnya. Yang mana dengan tumbuhnya nilai ekonomis, maka diharapkan akan berhubungan juga dengan daya pengaruhnya yang mampu memperkuat nilai konservasinya itu sendiri. Karena apabila tumbuhan tarum akar tersebut dianggap memiliki nilai fungsional dan pragmatiknya dalam kehidupan masyarakat pelakunya, maka tumbuhan tersebut secara otomatis akan dikonservasi dan dibudidayakan kembali.
Sehingga sejak tahun 2012 tersebut, maka seiring dengan dilakukannya proses sosialisasi melalui pendekatan seni, budaya, dan keilmuan, kegiatan pembibitan tarum akar secara bertahap terus ditingkatkan. Demikian juga tingkat distribusi dan tingkat partisipasi para pecinta tarum akar, sejak saat itu secara bertahap juga mulai mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik lagi dan jangkauannya yang semakin meluas. Yang apabila dipetakan, kawasan-kawasan yang secara bertahap menjadi pusat pengembangan tarum akar tersebut antara lain:
Pertama di Kampung Ciharalang di Desa Mekarsaluyu (Kecamatan Cimenyan di Kabupaten Bandung) di bawah pengelolaan Deni Ramdani (BVS).
Kedua di Kampung Cibodas di Desa Pangauban (Kecamatan Batujajar di Kabupaten Bandung Barat) di bawah pengelolaan Gelar Taufiq Kusumawardhana (BVS).
Ketiga di kawasan Bekasi (data administrasi belum dilakukan) di bawah pengelolaan Deni Ramdani (BVS).
Keempat bertempat di TPST Cibodas di Kelurahan Pataruman (Kecamatan Pataruman di Kota Banjar) di bawah pengelolaan Yadi Supriadi (komunitas TARAP).
Kelima di kawasan Kampung Citarumareuy (Gedogan) di Dusun Jibal (Desa Bantarkalong, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya) di bawah pengelolaan Dedi Abdulah (BVS).
Keenam di kawasan Pesantren Muara, Kampung Muara, Dusun Jibal, Desa Bantarkalong, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya di bawah pengelolaan Dedi Abdulah (BVS).
Ketujuh di kawasan Kecamatan Nagrak Selatan (Kabupaten Sukabumi) di bawah pengelolaan Chye Retty Isnendes (BVS).
Kedelapan di kawasan Saruni, Kecamatan Majasari, Kabupaten Pandeglang di bawah pengelolaan Khairul Hakim (BVS).
Kesembilan di kawasan Kecamatan Majalaya (data administrasi belum dilakukan) di bawah pengelolaan Asep Jatnika (komunitas TARAP).
Dan kesepuluh di beberapa tempat lainnya sebatas basis koleksi dan konservasi kecil seperti di Garut (di bawah pengelolaan Bron, alumni Seni Rupa UPI angkatan 1997), di Depok (di bawah pengelolaan Kurt Peterson dan Ella dari Galeri Rumah Tangga), di kawasan Sagaranten Sukabumi (data administrasi belum dilakukan) di bawah pengelolaan Oka Sumarlin, dan beberapa tempat lainnya termasuk mulai memasuki kawasan Jawa Tengah (Temanggung di bawah pengelolaan Fatah Saefur R. Ipung) dan di Jogjakarta (Bantul di bawah pengelolaan Hanif Sofyan).
INDIGO EXPERIMENTAL STATION DAN GRAND DESIGN PENGEMBANGAN
Di Jawa Tengah (Temanggung) dan Jogyakarta (Bantul), kegiatan revitalisasi budaya mewarnai dengan zat pewarna biru alami dari bahan tarum sudah dilakukan sejak tahun 1990 (berdasarkan keterangan Hanif Sofyan, Seniman Batik dari Jogyakarta kepada penulis dalam suatu perbincangan). Adapun sumber utama tumbuhan tarum yang dikembangkan pada mulanya dari marga (genus) Indigofera, terutama dari jenis tarum biji sebagai sisa-sisa tumbuhan hasil kejayaan industri pewarna biru alami pada masa kolonial India-Belanda yang masih dapat ditemukan.
Sejak kegiatan revitalisasi itu dilaksanakan di kawasan Jawa Tengah dan Jogyakarta, maka pada saat ini pencapaian mengenai konservasi, upaya pengebunan, pembuatan cat, dan mata rantai kegiatan ekonomi kreatif yang didasarkan pada cat tarum tersebut sudah bisa dikatakan telah memasuki tahap kemapanannya melalui sokongan komunitas, pengusaha, pecinta batik, dan pihak pemerintah daerah. Bahkan selain untuk kebutuhan domestik, zat pewarna biru alami yang dihasilkannya dalam skala kecil sudah mulai dieksport ke luar negeri seperti ke Amerika Serikat dan kawasan negara-negara Asia Timur.
Dengan membandingkan data revitalisasi di kawasan Jogyakarta dan Jawa Tengah tersebut yang dimulai sejak tahun 1990, maka kawasan Tatar Sunda (terutama Jawa Barat dan Banten) terpaut selisih waktu sekitar 10 tahun lebih lambat dalam melakukan pekerjaannya. Sehingga bisa dikatakan cukup wajar apabila pada tahap perkembangan tarum di Tatar Sunda dengan tahap perkembangan tarum di Tanah Jawa belum berjalan dalam tingkatan yang setara. Sehingga, target yang cukup realistis yang bisa dilakukan adalah bahwa aspek pengembangan tarum di Tatar Sunda sebisa mungkin harus melakukan upaya percepatan yang terukur dan terencana untuk bisa meraih tahap perkembangan yang sejajar dengan kawasan di Jogyakarta dan Jawa Tengah tersebut.
Namun demikian tentu saja bukan dalam suasana yang berkompetisi, melainkan bahwa tahap perkembangan tersebut hanya bisa diraih apabila melibatkan sokongan dari komunitas-komunitas yang sudah berkembang di Jawa Tengah dan Jogyakarta tersebut dalam rangka kegiatan yang dapat mendorong lahirnya proses transfer pengetahuan, skill, pola pengorganisasian, skema bisnis, pengelolaan basis komunitas, dan matarantai lainnya melalui pola kerjasama dan pembimbingan (mentoring). Karena meskipun memiliki perbedaan pada jenis garapan tumbuhan tarumnya, namun demikian pada prinsipnya baik marga (genus) Marsdenia maupun marga (genus) Indigofera dan termasuk marga (genus) Strobilanthes cusia (khas kawasan Timur-Laut India, Cina Selatan, Jepang, dan Indo-Cina yang dikembangkan di kawasan Temanggung Jawa Tengah) pada prinsipnya bersifat sama (yakni sama-sama mengandung pigmen indigotin yang dapat diekstrak/difermentasi dengan pola pengolahan yang relatif sama).
Sambil memaksimalkan proses teknis pengebunan dan tahap-tahap perkembangan yang lebih tinggi, maka pembuatan risalah tarum akar dalam bentuk artikel, buku, website/blog, dan berbagai publikasi di sosial media harus mulai dilakukan dalam rangka mempercepat kesetaraan informasi. Termasuk dalam rangka menyelenggarakan kegiatan semacam lokakarya, seminar, dan diskusi untuk menyamakan persepsi kerja jaringan. Demikian juga kegiatan berupa workshop yang berbasiskan pada praktik (basic skill), misalnya proses kegiatan ekstraksi/fermentasi zat pewarna biru alami dari bahan tarum akar dapat dilakukan melalui pelajaran yang dapat diberikan oleh para ahli yang bisa diundang dari kawasan Jawa Tengah dan Jogyakarta. Dan kegiatan yang berhubungan dengan usaha berkoordinasi dengan jaringan kerja birokrasi pemerintahan setempat. Setidaknya melalui koordinasi kepada pemerintahan tingkat paling dasar, seperti desa/kelurahan dan kecamatan untuk mendapatkan perhatian yang sewajarnya dalam rangka mewujudkan revitalisasi pataruman (hal-ihwal kegiatan tarum) tersebut.
Dengan adanya langkah-langkah tersebut, maka diharapkan kerja konservasi yang selama ini telah dilakukan dapat mendorong tahapan selanjutnya, yakni hadirnya kegiatan ekonomi kemandirian dan kerakyatan yang mana langkah konservasi dan langkah ekonomi dapat berjalan secara beriringan dan harmonis. Dan bahkan bukan semata-mata bermakna revitalisasi pertanian tarum akar, melainkan dapat menjadi simbol revitalisasi kegiatan pertanian secara lebih mendasar dan umum di seluruh kawasan Tatar Sunda. Dan terakhir yang tidak boleh dilupakan karena hal tersebut menjadi titik berangkat dari semua pencapaian yang dikerjakan selama ini: bahwa aspek pengembangan tarum akar harus mampu mendorong kegiatan rehabilitasi, revitalisasi, dan konservasi terhadap aliran sungai Citarum sebagai simbol, semangat, dan urat-nadi peradaban yang bukan saja bernilai historis dan psikologis untuk kawasan Tatar Sunda semata melainkan juga untuk Indonesia.
Dengan meminjam gagasan adanya Indigo Experimental Station yang berpusat di Klaten pada masa kolonial India-Belanda, maka titik-titik persebaran dan penyebaran tarum akar yang ada di kawasan Tatar Sunda dapat difungsikan menjadi stasion-stasion yang mana secara bertahap melalui pembangunan jaringan-jaringan kerjasama (networking) yang efektif dan efisien dapat segera mewujudkan cita-cita sebagaimana yang telah diharapkan secara lebih sistematik dan sinergis. (Batujajar, 7 Oktober 2022/Risalah direvisi dari “Risalah Perkembangan Tarum di Jawa Barat (dari tahun 2011 sampai tahun 2021)” oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana tanggal 15 Juli 2021 di website Varman Institute)

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.