ASAL-USUL GUNUNG TANGKOEBAN PRAHOE
Pada zaman dahulu di Galoeh (ibukota kerajaan Pakoean Padjadjaran, yang terletak di tempat yang mana pasar Bogor sekarang berada di daerah Buitenzorg) terdapat seorang raja, yang memiliki seorang putri yang sangat cantik yang bernama Daiang-Soembi. Dia sangat mungil dan bertubuh ramping, lembut, penyayang, dan sangat saleh. Setelah dia mencapai usia yang cukup untuk menikah, dia kemudian menikah dan melahirkan seorang putra untuk suaminya, yang dia panggil dengan nama Sang-Koeriang.
Ketika putranya ini telah menjadi remaja, Daiang-Soembi masih secantik ketika dia masih gadis, wajahnya bahkan menjadi semakin cantik dan orang-orang yang menulis telah menghubungkannya dengan suatu kekuatan dan karunia yang luar biasa.
Karunia luar biasa, yang dimiliki ibunya tersebut, dia turunkan juga kepada putranya, sehingga pada usia yang hampir tidak muda lagi, ia sudah mulai berburu, yang mana banyak harimau yang berhasil ia robohkan dengan tangannya sendiri dan bahkan ia tidak mengalami akibat luka sama sekali. Suatu keberanian yang terkadang lebih menyerupai suatu hasrat kegilaan dan dengan tatapan matanya yang sedih ibunya yang lembut dan penyayang itu memandangi putranya yang tampak bengis.
pada suatu tempat dan pada suatu waktu tertentu, dia kemudian menegurnya, dia memintanya untuk bisa mengendalikan keberaniannya dan hasratnya, karena dia sangat mengkhawatirkan putranya, perbuatan seperti itu bisa saja dapat menyebabkan pada kematiannya, tapi Sang-Koeriang tidak mau mendengarkan ibunya; dia bahkan pernah berselisih lagi dengannya pada suatu waktu yang lain ketika putranya itu melakukan hasrat yang serupa demikian, ibunya yang sebenarnya lembut itu kemudian mulai mempersenjatai dirinya dengan sebuah tjentong (sendok kayu untuk mengambil nasi) dan memukul kepala putranya, sehingga menyebabkannya terluka parah.
Sang-Koeriang yang merasa takut kepada ibunya karena kekuatannya dan karunianya yang luar biasa, dan karena ia takut dapat mengakibatkan terjadinya perselisihan yang jauh lebih besar lagi, maka ia kemudian memutuskan untuk pergi mengembara dan untuk bisa menemukan calon istri yang cocok untuknya. Dia tidak saja memberikan izin untuk melakukannya, tetapi juga membekalinya dengan cincinnya, dengan perintah untuk tidak mengambil wanita yang lain untuk dinikahinya, kecuali hanya kepada wanita, yang jari ketiganya cocok dengan cincinnya.
Sang-Koeriang kemudian pergi untuk mengembara dan menjelajah di seluruh Poeloe Jawi, dengan mengandalkan hidup dari hasil perburuan, tapi ia tidak juga berhasil untuk menemukan isteri yang cocok, yang mana jari ketiganya dapat masuk ke dalam cincinnya.
Karena keberaniannya dan kekuatannya yang besar itulah ia kemudian perlahan-lahan berhasil mendapatkan banyak pengikutnya. Setelah melakukan banyak pengembaraan ia pada akhirnya tiba bersama dengan para pengikutnya ke suatu kerajaan, di mana terdapat seorang raja yang kemudian hari meninggal tanpa memiliki keturunan, karena kekuatannya dan keberaniannya yang besar itulah ia kemudian ditawari suatu kekuasaan, yang kemudian dengan senang hati ia terima, setelah itu Sang-Koeriang segera diumumkan menjadi seorang raja.
Sedangkan ibunya Daiang-Soembi yang telah menjadi seorang janda dan pindah ke suatu desa yang kemudian bernama Panganten, yang terletak di Goenoeng Panganten, suatu gunung yang kemudian mendapatkan nama yang sama, tempat yang mana dia ingin menghabiskan masa hidupnya dengan tenang dan damai. Meskipun sudah berusia lanjut, keadaan dia belum berubah sama sekali dan semua orang yang ada memuji keindahannya dan keanggunannya tersebut.
Sang-Koeriang kini merasa membutuhkan seorang permaisuri, yang mana ketika ia menjadi seorang raja, dorongannya menjadi lebih besar dari sebelumnya dan sesudah mengatur segala sesuatu di kerajaannya, ia melanjutkan perjalanannya dengan pasukannya yang besar dan lengkap, dengan menyediakan perbekalan makanan untuk jangka waktu yang panjang, suatu perjalanan untuk menemukan seorang permaisuri.
Ketika mendekati Goenoeng Penganten, dia mengetahui, bahwa ada seorang wanita yang cantik, seorang janda muda dari keturunan raja. Sehingga ia memerintahkan pasukannya, untuk berkemah di kaki Goenoeng Penganten, setelah itu dia pergi ke desa, untuk bertemu dengan janda cantik itu.
Setelah ia melihatnya, ia langsung jatuh cinta kepadanya dan cincin itu, yang pernah diberikan oleh ibunya, dikeluarkan dari ikat pinggangnya, ia ingin segera memasangkannya pada jari ketiga dari janda cantik tersebut, tapi begitu Daiang-Soembi melihat cincin itu, dia menjadi kaget, bahwa ada cincinnya yang diakui oleh orang lain, yang telah lama dia berikan kepada putranya, tapi karena takut pada kekuatan raja, dia tetap mengendalikan dirinya sendiri dan dengan terpaksa membiarkan cincinnya itu dipasangkan di jarinya.
Raja Sang-Koeriang sangat berbahagia, karena cincinnya itu telah cocok, sehingga ia kemudian memintanya untuk menikah, sementara itu ia tidak mengetahui, bahwa janda cantik itu sebenarnya adalah ibunya sendiri. Daiang-Soembi merasa takut, bahwa jika dia menolaknya dia akan diculik oleh raja dan dia masih menyimpan bayangan, bahwa putranya bisa jadi telah memberikan cincin itu kepada raja tersebut, maka dia segera menyatakan setuju, untuk menjadi istrinya. Dia selanjutnya memberi tahu raja, bahwa setelah membersihkan kepala raja, menurut suatu kebiasaan lama, maka dia akan membuat suatu permintaan sebagai persyaratan yang seharusnya, yang setimpal dengan apa yang menjadi harapan raja, yang mana didasarkan pada suatu kebiasaan yang dimaksudkan, maka wajib untuk bisa dipatuhi, sebelum pernikahan kemudian dapat segera dilaksanakan.
Hari yang ditentukan untuk kegiatan pembersihan utama tersebut, telah tiba dan Daiang-Soembi ingin segera memulainya, tapi raja hampir tidak pernah mau untuk memperlihatkan kepalanya, sehingga kemudian dia merasa terkejut lagi. Yang mana didapatinya bekas luka di kepala raja yang mengingatkannya pada luka itu, yang telah dia lakukan kepada putranya sendiri dengan sebuah tjentong, sehingga dia sekarang menjadi semakin yakin, bahwa raja itu sebenarnya adalah putranya sendiri, sehingga mengakibatkan bayangannya sebelumnya, bahwa putranya itu telah memberikan cincin itu kepada raja tersebut, kini telah menjadi sirna.
Dia kemudian mempertimbangkan, bahwa dia tidak boleh sampai menjadi istri dari putranya sendiri dan bahwa dia harus mencegah sebisa mungkin agar pernikahan tersebut tidak akan terjadi. Tapi karena mengetahui sifat bengis putranya dan karena mengetahui bahwa ia tidak akan mempercayai dirinya, maka dia menjadi enggan untuk mengatakan hal ini dengan terus terang kepadanya. Dia kemudian tetap berhasil untuk mengendalikan dirinya sendiri dan setelah kegiatan pembersihan utama selesai dilakukan dia kemudian mulai mengungkapkan persyaratannya, yang menurut ukuran manusia yang ada sebenarnya tidak akan bisa untuk dipenuhi. Yaitu yang mana dia meminta suatu persyaratan, bahwa dalam satu malam dari sejak matahari terbenam sampai matahari terbit harus sudah dapat dibangunkan bendungan pada aliran sungai Tjitaroem, yang mana melalui air sungai ini selanjutnya dapat masuk ke dalam danau, yang kemudian akan dinamai Bandoeng, yang akan tergenang dan itu akan membuatnya menjadi bisa untuk dilayari dan bahwa pada pagi harinya raja dengan menggunakan prahoe yang besar, yang cukup untuk menggelar pasukannya di atasnya dan dengan prahoe yang mana telah dibuat dalam satu malam itu, kemudian akan menjemputnya. Pesta jamuan pernikahan kemudian harus disiapkan dan diatur juga di atasnya.
Mereka yang hadir telah dikejutkan oleh persyaratan ini dan melihatnya dalam hal ini tidak lebih hanyalah sebagai wujud dari penolakannya tersebut terhadap raja yang perkasa, namun demikian tentu saja tidak ada yang mustahil untuk raja Sang-Koeriang. Ia lantas menyanggupinya, bahwa ia akan memulainya setelah matahari terbenam, untuk bisa mewujudkan seluruh persyaratannya dan bahwa ia kemudian akan datang menjemputnya menuju ke Goenoeng Panganten pada besok paginya ketika matahari telah terbit.
Raja Sang-Koeriang segera mengambil langkah-langkah persiapan, untuk segera bisa memulainya setelah matahari terbenam, sehingga dapat mewujudkan seluruh persyaratan dari calon pengantin wanitanya. Ia mengumpulkan sebagian besar pasukannya di tepi sungai Tjitaroem, pada suatu tempat yang paling sempit, yang dengan menggunakan suatu beban akan bisa membendungnya setelah matahari terbenam dan dengan sebegitu banyaknya, air diharapkan akan dapat menggenangi ke danau Bandoeng dan dengan itu akan menjadi bisa untuk dilayari dan akan terwujud pada waktu sebelum tengah malam terjadi. Ia kemudian mengumpulkan sebagian yang lainnya dari pasukannya di dekat sebuah hutan lambitang, untuk memulai segera setelah matahari terbenam dengan tugas, untuk menebang pohon, membelah kayunya dan membawakannya ke tempat terdekat, yang mana prahoe akan dibangunnya. Sementara itu ia juga memerintahkan ke sebagian yang lainnya dari pasukannya untuk membangun prahoe. Dan ia juga memerintahkan kepada istri-isteri dari pasukannya, untuk membeli semua kebutuhan, yang akan digunakan dalam penyelenggaraan pesta jamuan pernikahan, serta persiapan untuk pesta jamuan pernikahan ini, akan dimulai, diselenggarakan, segera setelah pengerjaan bagian bawah dari prahoe selesai diletakkan. Di bawah ancaman hukuman yang berat seluruh bagian-bagian dari pasukannya diwajibkan untuk bisa menangani, bahwa segala sesuatunya akan dapat diselesaikan pada tengah malam, sehinga setelah ini pelayaran akan segera dapat dilakukan.
Tidak lama setelah matahari terbenam, Daiang-Soembi mendengar suara dengan gemuruh yang besar, yang diakibatkan oleh kegiatan pembendungan sungai Tjitarum, penebangan pohon dan pembuatan prahoe dan yang mana pada waktu hampir tengah malam, danau Bandoeng telah menjadi tergenang dengan air yang sudah akan bisa untuk dilayari, yang mana prahoe besar sudah berada dengan mengapung di atasnya, tinggal menunggu dimulainya waktu pelayaran oleh pasukannya dan juga raja bersama dengan rombongan yang akan mengiringinya.
Betapa takutnya perasaan Daiang-Soembi sehingga membuat jantungnya kini berdegup dengan kencang, ketika dia melihat bahwa persyaratan yang diajukannya akan tetap terwujudkan, tapi masih ada tersisa beberapa jam lagi yang harus dilakukan, sebelum sesuatu yang besar, yakni prahoe yang sangat berat itu bisa sandar di kaki Goenoeng Penganten. Dia kemudian segera pergi menuju ke sesuatu tempat yang dia ketahui, untuk mensucikan pohon Soerjadjaja dan memanjatkan doa kepada dewa Sanghiang Tikoro, yang tinggal di sana, agar berkenan untuk membantunya. Kemudian setelah membuat permohonan, dia mendapatkan suatu ilham, yang mana dia harus melemparkan tiga helai daun dari pohon suci itu ke dalam aliran sungai Tjitarum yang berada dekat dengan bagian bendungan. Dia kemudian melaksanakan petunjuk itu. Karena bendungan itu terbuat dari batu-batu dan sedikit-banyak air masih dapat masuk dengan menembusnya melalui celah-celahnya di antara batu-batu itu, maka ketiga helai daun itu pada akhirnya juga dapat melewati lubang-lubang kecil itu dan dengan segera dapat membuat lubang menjadi bertambah besar, di sana pada celah batu-batu itu, yang telah disentuh oleh daun-daun yang melewatinya, dengan bantuan daun-daun ini, kemudian batu-batu dapat didorong sehingga keluar dari bendungan dan kemudian disebarkan ke bagian belakang dari bendungan menuju kepada bagian dasar dari sungai, yang segera menyebabkan air menjadi mengalir melalui lubang dengan kekuatan yang sangat dahsyat dan semua batu-batu yang ada kemudian menjadi berserakan seperti yang telah dihempaskan oleh angin (iloet).
Daun-daun itu kini telah membuat lubang terhadap bagian dari bendungan menjadi seperti gua. Gua yang dihasilkan tersebut kemudian akan mengalir menuju kepada orang suci, yang telah memberikan bantunya dalam upaya ini, yang bernama Sanghiang Tikoro, sedangkan pada bagian belakang dari gua, di mana airnya telah dipaksa keluar dari gua, yang kemudian telah dihempaskan di atas batu-batu yang besar kepada bagian dasar sungai telah membentuk menjadi air terjun yang besar, yang bernama Sanghiang Ilut.
Ketika perahu besar dari raja Sang-Koeriang tiba di tempat, yang mana sekarang gunung Tangkuban Prahoe berada, airnya sudah sedemikian banyaknya surut, sehingga prahoe menjadi miring kemudian pada bagian bawahnya menajadi terbalik ke bagian atas dan seluruh awak kapal yang ada di dalamnya telah terperangkap, sehingga membuat mereka semua mengalami kebinasaan.
Pada generasi selanjutnya kemudian mereka menambahkan yang berikut ini ke dalam legenda yang ada.
Prahoe raja Sang-Koering yang terbalik kemudian dirubah oleh dewa Sanghiang Tikoro menjadi gunung, yang bernama Tangkoeban Prahoe (prahoe terbalik); dari tiang prahoe, yang mengalami patah pada saat terbalik, ia membuat Toenggoel; dari parang besar Sang-Koeriang ia membuat Koedjang-Koedjangan; dari ranting-ranting yang bercabang dan sisa-sisa kayu yang ada, yang digunakan untuk membuat prahoe, ia melahirkan Boerangrang; sementara papan dudukan, yang mana prahoe telah dibangun di atasnya ia rubah menjadi Boekit-Tjagak; dari hidangan yang besar, yang semula dimaksudkan untuk pesta jamuan pengantin, ia membuat Goenung-Wangi; dari keranjang, yang mana nasi untuk pasukan telah dikukus, ia rubah menjadi Goenoeng Koekoesan; dari teko, yang akan digunakan untuk pesta jamuan pengantin ia melahirkan Tjinta-Teih; dari api, yang digunakan untuk menyiapkan pesta jamuan pernikahan ia membuat kawah di gunung Tangkoeban Prahoe; ia kemudian menunjuk Sang-Koeriang sebagai penunggu kawahnya; sementara pasukannya berubah menjadi raksasa, yang sesekali dapat membuat kawah itu menjadi bergemuruh dan bergetar.
Daiang-Soembi kemudian merasa menyesal telah mengorbankan putranya sendiri dan telah begitu banyak nyawa manusia yang meninggal akibatnya; maka dia memutuskan untuk melompat juga ke kawah Tangkoeban Prahoe dan kemudian dipersatukan dengan putranya sendiri Sang-Koeriang. Sehingga sejak saat itu kawah penyesalan ini sesekali meletus, itulah sebabnya bernama Kawa-Ratoe.
Danau yang kemudian menjadi dalam, yang semula sebenarnya tidak seperti itu, yang karena aliran sungai Tjitaroem pernah berhasil dibendung, sehingga menjadi bisa untuk dilayari, kemudian diberi nama Bandoeng (bendungan). Goenoeng Penganten menjadi (sebagaimana yang telah disebutkan) tetap dinamai sebagaimana sebelumnya, karena dari gunung inilah pengantin perempuan Daiang-Soembi semula rencananya akan dijemput. Tiga helai daun dari pohon Soerjadjaja yang disucikan yang telah membuat lubang bukaan terhadap bagian bendungan, kemudian berubah menjadi dewa, yang bernama Sanghiang Ileot, sementara gua, yang mana dengan orang suci itu kemudian dinamai Sanghiang Tikoro, tetap terus menjaganya.
Ada banyak bacaan tentang legenda ini; di mana salah satunya mengatakan bahwa ayah Sang-Koeriang adalah seekor anjing; mungkin karena itu pada bacaan di atas nama ayahnya tidak disebutkan. Selanjutnya menurut kepercayaan Oerang Kalang (penyembah berhala) dengan meninggalnya ayahnya yang merupakan seekor anjing, janda itu telah menjadi istri putranya, suatu alasan kenapa Daiang-Soembi telah menjadi istri Sang-Koeriang, dapat diperhatikan dari mana pergaulan Oerang Prijangan (kemudian terlihat rusak di Preanger) telah berasal. (Lihat uraian tentang kepercayaan pada Oerang Kalang, pada halaman 111 dan 112 dari jilid pertama “De Javaansche Geestenwereld”).
Dalam bacaan lain dikatakan, bahwa Sang-Koeriang kemudian berhasil untuk mewujudkan persyaratan yang diberikan oleh calon pengantin wanita dan Daiang-Soembi telah merahasiakan, bahwa dia adalah ibunya, kemudian telah menjadi istri dari putranya, itu kenapa keturunan mereka–yakni penduduk dataran Bandoeng–akan menjadi terkutuk.
Dari ketiga keterangan ini saya telah memilih yang di atas, karena ia telah diberitahukan oleh seorang djoeroekoentji dari pasanggrahan yang dibangun di dekat pemandian air panas Tjisambang, yang terletak di district Radjamandala di Residentie
Preanger-Regentschappe, yang mana di sekitar pasanggrahan itulah gua Sanghiang Tikoro berada.” (Selesai diterjemahkan oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana di Batujajar pada 09 Mei 2021 dari judul asli “Het Ontstaan Van Den Berg Tangkoeban Prahoe” yang ditulis oleh H.A. van Hien tanpa ketengan nara sumber dalam buku “Eenige Weinig Bekende Javaansche Legenden” terbitan “Fortuna, Bandoeng, 1912”)
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.