Negara Ibu dan Anak Menilai Bangunan Sistem Negara Menangani dan Memitigasi Bencana Kemanusiaan Terhadap Perempuan Dan Anak

(1)
KASANG TUKANG
Kamis, 23 Desember 2021, telah berhasil dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Gerakan Pilihan Sunda (Gerpis) melalui Kelompok Kerja Perempuan (KKP) sebagai bagian dari bidang-bidang yang dimiliki Gerpis.

Penyelenggaraan FGD tersebut dalam rangka peringatan hari ibu dengan mengambil topik “Negara, Ibu, dan Anak: Menilai Bangunan Sistem Negara Menangani dan Memitigasi Bencana Kemanusiaan Terhadap Perempuan Dan Anak.”

KKP Gerpis diketuai oleh Dr. Nina Kurnia Hikmawati S.E., M.M. yang juga ketua panitia pelaksana kegiatan, sekaligus ketua Sawala Wanoja Sunda. Beliau adalah dosen, peneliti, dan akademisi di kampus Unikom.

Tim KKP dan Sawala Wanoja Sunda Gerpis, disokong oleh Andri Perkasa Kantaprawira yang merupakan ketua umum Gerpis sekaligus penanggung jawab. FGD atas nama Gerpis tersebut melibatkan bantuan dan kerja sama dari kampus Unikom, Harian Umum Pikiran Rakyat, organisasi perempuan Perwari, layanan bisnis teknologi dan informasi Masagi, juga puluhan lembaga dan komunitas-komunitas sosial-budaya di masyarakat.

Kegiatan FGD berlangsung di ruang auditorium kampus Unikom lantai 17 Jalan Dipati Ukur Nomor 112-114, dari pukul 09.30 s.d. 12.30. Akan tetapi, kegiatan ternyata berlangsung hingga menjelang waktu shalat ashar karena padatnya materi yang diberikan, banyaknya daftar pembicara, dan penanggap yang memberikan analisa.

Meskipun secara umum topik “Negara, Ibu, dan Anak: Menilai Bangunan Sistem Negara Menangani dan Memitigasi Bencana Kemanusiaan Terhadap Perempuan Dan Anak” bermakna luas sebagai ikhtiar para penggiat perempuan dalam memikirkan masalah publik terkait peran negara, ibu, dan anak, tetapi secara khusus, topik tersebut dibuat sebagai tanggapan perempuan atas munculnya fakta kasus baru-baru ini yang berkaitan dengan tindak penodaan oknum pengajar di pondok pesantren terhadap 14 siswa yang berada dalam binaannya, hingga mengakibatkan empat siswa diantaranya, mengalami kehamilan dan melahirkan bayi (satu siswa diantaranya mengandung dan melahirkan bayi sebanyak dua kali).

(2)
PIDATO SAMBUTAN
Protokol kegiatan FGD dimulai oleh mahasiswa Unikom yang memandu dan memaparkan seluruh rangkaian kegiatan. Rangkaian kegiatan paling awal dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran oleh mahasiswa Unikom, kemudian penyanyian lagu Indonesia Raya yang dipandu oleh mahasiswa Unikom dan diikuti oleh seluruh peserta kegiatan.

Kemudian pidato pertama disampaikan oleh Prof. Dr. Eddy Soeryanto Soegoto M.T. dalam kedudukannya sebagai Rektor Unikom. Pada kesempatan tersebut beliau menyapa seluruh pembicara dan penanggap, ucapan yang mengingatkan betapa penting dan berjasanya peran ibu dalam kehidupan setiap orang, penghargaan kepada para pembicara dan penanggap yang sebagian besar merupakan perempuan, dan kemudian ucapan yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut secara resmi telah dibuka oleh dirinya.

Pidato kedua disampaikan oleh Dr. Hj. Dewi Indriani S.E., S.Mi., dalam kedudukannya sebagai Ketua Perwari Jawa Barat yang juga merupakan Rektor kampus International Women University (IWU) Bandung. Dalam pidato tersebut disapa dan diberikan ucapan terimakasih kepada Rektor Unikom yang telah mampu menginisiasi kegiatan, seluruh pembicara dan penanggap, dan beberapa perwakilan organisasi, dan semua orang yang tidak bisa disebutkan namanya yang telah berkontribusi dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut baik secara luring dan daring.

Beliau juga atas nama Perwari menyambut hangat ikhtiar untuk duduk bersama antara kaum perempuan dan berbagai pihak yang menyokong untuk membicarakan nasib harkat martabat perempuan dan anak. Beliau juga sangat menyayangkan peristiwa yang menimpa santriwati di pondok pesantren dimana seharusnya menjadi lembaga yang mengukuhkan aqidah dan keselamatan dunia akhirat kepada anak, malah menimbulkan dampak yang sebaliknya. Sehingga sangat diperlukan usaha untuk duduk bersama secara kolaboratif dari berbagai pihak untuk bisa memecahkan masalah dan menciptakan suasana yang aman terhadap anak.

Pidato ketiga disampaikan oleh Satrya Graha Laksana dalam kedudukannya sebagai Pelaksana Harian, Pemimpin Redaksi, dan Penanggung Jawab III H.U. Pikiran Rakyat. Dalam sambutannya, pemimpin salah satu koran terkemuka di Jawa Barat itu menyambut baik dan sangat menghargai kiprah perempuan dalam rangka melaksanakan kegiatan yang dianggap luar biasa. Selain itu, Satrya Graha Laksana menyampaikan permohonan maaf karena semula tempat kegiatan akan dilaksanakan di ruang auditorium Pikiran Rakyat, namun karena alasan teknis, tak dapat terlaksana.

Beliau juga sangat menyayangkan peristiwa yang terjadi dalam kasus penodaan terhadap satriwati-santriwati oleh oknum ustadz, sehingga diharapkan pengawalan terhadap nasib ibu dan anak kedepannya akan lebih baik lagi. Selain itu beliau mengharapkan agar dari Bandung dapat dimulai kembali Kongres Perempuan ke-5, setelah sebelumnya pernah dilaksanakan Kongres Perempuan ke-3 di Bandung yang dipimpin Nyai Raden Rachmat’ulhadiah Emma Poeradiredja yang berhasil menetapkan Hari Ibu untuk pertamakalinya bersama hak pilih perempuan dalam politik.

Pidato keempat dan terakhir disampaikan Dr. Nina Kurnia Hikmawati S.E., M.M., dalam kedudukannya sebagai ketua pelaksana FGD Gerpis dan Sawala Wanoja Sunda Gerpis, yang juga merupakan dosen di kampus Unikom. Dalam sambutannya tersebut beliau menyapa dan berterimakasih kepada para pembicara dan penanggap yang telah berkenan untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Beliau juga mendudukkan Gerpis saat ini sebagai evolusi dari cita-cita Gerpis lama sebagai ikhtiar kontribusi tokoh-tokoh masyarakat Sunda dalam wacana panggung nasional.


Dengan adanya para pembicara dan penanggap yang mewakili dari berbagai latar belakang kepakaran dan termasuk pemangku kebijakan, diharapkan dapat merespon mengenai tragedi kemanusiaan yang menimpa terhadap santriwati-santriwati dari pesantren (boarding school) di Bandung tersebut. Dan kemudian memperoleh solusi yang integratif dan visioner terhadap setiap kasus serupa, termasuk aspek hukum dan peran tanggung jawab dan kehadirian pemerintah dalam memelihara nasib perempuan-perempuan dan anak-anak.

Dalam kesempatan tersebut dipaparkan juga bagaimana latar belakang sejarah perkembangan pergerakan perempuan di Indonesia dan peranan perempuan Sunda dalam wacana pergerakan perempuan di indonesia. Menurutnya, dengan adanya peringatan Hari Ibu yang dilaksanakan hingga hari ini, hal demikian merupakan dampak dari pelaksanaan dari Kongres Perempuan ke-3 di Bandung. FDG Gerpis menurut ketua Sawala diharapkan dapat menstimulasi keinginan pergerakan perempuan kontemporer saat ini untuk melangsungkan Kongres Perempuan ke-5 sebagai rangkaian keberlangsungan sejarah yang telah cukup lama terhenti.


Dalam catatan penulis, Kongres Perempuam di Bandung itu sendiri diketuai oleh Emma Poeradiedja, yang memiliki latar belakang antara lain merupakan Ketua Cabang Bandung Jong Islamieten Bond, salah-satu pendiri perkumpulan perempuan di Bandung Dameskring, Ketua Panitia pengiriman delegasi Asian Women Conference di India, terlibat dalam Kongres Perempuan ke-2, ke-3, dan ke-4, pendiri sayap pergerakan perempuan Pagoejoeban Pasoendan, yakni Pasoendan Istri (Pasi), pendiri Partai Kebangsaan Indonesia Wanita (Parkiwa) yang merupakan sayap Partai Kebangsaan Indonesia (Parkiwa) suatu evolusi Pagojoeban Pasoendan sepeninggal Otto Iskandar Dinata ketika memasuki kancah kontestasi politik.

(3)
SELAYANG PANDANG PEMBICARA
Selepas pidato sambutan-sambutan, kegiatan utama dimulai dengan kesempatan presentasi dari para pembicara dan para penanggap yang dipandu oleh R.A. Garlika Martanegara S.Sos., M.Si. yang memiliki latar belakang ilmu Administrasi Negara (Administrasi Publik) dan candidat Doktor Sosiologi. Dalam pengantarnya, beliau mengatakan bahwa ibu merupakan tiang negara, tempat dimulainya suatu pendidikan yang dapat membentuk warna dan karakter anak.

Beliau juga merasa prihatin dan menyayangkan peristiwa penodaan dan perusakan terhadap anak bahkan bukan terjadi di jalanan, bahkan sebaliknya terjadi dalam suatu institusi pendidikan. Bukan sekedar institusi pendidikan biasa, bahkan dalam institusi pendidikan keagamaan, yakni pesantren atau boarding school. Beliau juga menyayangkan tanggapan beberapa pihak yang justru mengkaburkan persoalan tersebut menjadi wacana liar dengan menimpakan pada masalah pola keyakinan dan praktik keagamaan dari golongan dan aliran tertentu. Sehingga dengan demikian menghilangkan tanggapan yang lebih jernih, objektif, dan bertanggungjawab sebagai suatu fakta tragedi kemanusiaan. Untuk memberikan tanggapan yang lebih bijak itulah maka pembicara dan penanggap dalam kegiatan tersebut dilaksanakan.

Pembicara pertama, Hj. Desi Ratnasari S.Psi., M.Si., M.Psi. dalam kedudukannya sebagai anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional yang sekaligus memiliki latar belakang akademik dalam bidang psikologi. Menanggapi persoalan tersebut, beliau mengatakan bahwa DPR-RI sebagai lembaga legislatif maupun Pemerintah sebagai lembaga eksekutif telah berusaha menjawab kehadiran negara dalam persoalan perempuan dan anak melalui undang-undang perlindungan anak, undang-undang anak berhadapan dengan hukum, undang-undang disabilitas, undang-undang kesejahteraan fakir miskin, undang-undang KDRT.

Adapun yang belum tercapai adalah revisi undang-undang perkawinan mengingat banyak varian masalah baru yang masih tersendat, undang-undang khusus terkait anak-anak terlantar, undang-undang kekerasan fisik dan seksual terhadap anak baik di rumah tangga maupun di kehidupan jalanan. Negara juga masih kesulitan memberikan ketersediaan safe house untuk perlindungan anak di jalanan, pendanaan yang kurang memadai untuk pemeliharaan anak di jalanan, dan penanganan yang kurang nyaman dalam kasus seksual terhadap anak perempuan di kepolisian.

Sementara terkait persoalan kasus pelecehan seksual santriwati di pesantren tersebut, beliau mengakatakan bahwa hal demikian sejalan dengan pembuatan draft rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual yang merevisi dr 4 bentuk pada rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual menjadi 9 bentuk. Dalam masalah-masalah pembuatan undang-undang dan pemecahan-pemecahan masalah seksual menurut beliau terkadang masih banyak terhambat oleh suasana perdebatan politis, ideologis, dan diskursus teoretik yang memperlambat upaya nyata penanganan itu sendiri di tingkat lapangan.

Hal yang luar biasa maju dalam berpikir, beliau mengajak para aktifis dan akademisi perempuan untuk mencari dan memformulasikan paradigma berpikir dan teori alternatif yang bersifat kohesif sebagai jalan keluar upaya teknis perlindungan dari polarisasi diskursus yang biasa berujung kebuntuan. Hasil-hasil dari urun rembug bersama dalam kedudukan yang setara dalam memandang keharusan menuntaskan banyak persoalan perlindungan terhadap perempuan dan anak itulah yang kemudian akan menjadi regulasi dan sebagai bukti adanya kehadiran negara dalam menyelesaikan persoalan-persoalan melalalui otoritas payung hukum yang jelas.

Dalam penutup beliau meminta risalah hasil diskusi dan materi dari penyaji lainnya untuk bisa beliau dapatkan sebagai sumber informasi yang terkait pertimbangan regulasi. Kemudian mendorong dan mendukung kegiatan perempuan dilaksanakan baik dalam bentuk kongres dan medium lainnya sebagai upaya dalam menyuguhkan data dan realita untuk pemangku kebijakan. Selanjutnya penting juga kegiatan-kegiatan perempuan bukan saja dihadiri oleh para perempuan melainkan juga oleh laki-laki. Dengan adanya laki-laki yang mampu memahami aneka permasalahan perempuan dalam sudut pandang perempuan, maka dalam hal regulasi dan legislasi pun akan sangat membantu mempercepat hasilnya. Kemudian sangat penting peran ibu dan ayah bersinergi dalam mendidik dan mengajar anak-anaknya sehingga dapat memitigasi dan meminimalisir persoalan pelecehan seksualitas terhadap anak.

Pembicara kedua, Dra. Hj. Eni Sumarni M.Kes. dalam kedudukannya sebagai anggota DPD-RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat, yang juga merupakan salah-satu deklarator kelahiran kembali Gerpis. Dalam pembukaan pembicaraan beliau memberikan sedikit gambaran terkait komite yang terdapat di dalam DPD RI, yakni Komite 1 Bidang Pemerintahan, Komite 2 Bidang SDM dan SDA, Komite 3 Perempuan dan Anak, dan Komite 4 APBN. Kemudian sepintas diberitakan juga mengenai pelorehan data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) per-September 2021 yang mencatat bahwa angka kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak mencapai dua kali lipat dari tahun sebelumnya, tahun 2021.

Beliau juga mengatakan apabila DPD-RI, DPR-RI, dan Pemerintah Pusat dalam hal usulan rancangan undang-undang Perlindungan Kekerasan Seksual (PKS) dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang ditimbang sangat dibutuhkan masyarakat sudah sejak 5 tahun (5 kali prolegnas) ini memang belum sempat tuntas masuk ke dalam prioritas dan pembahasan dengan adanya alasan kelengkapan yang masih kurang dari pengusul, diantaranya Dra. Hj. Eni Sumarni M.Kes. dan Hj. Desi Ratnasari S.Psi., M.Si., M.Psi. Dengan kehadiran Kaukus Parlemen Perempuan Republik Indonesia (KPP-RI) bersama dengan mitra kerja Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Maju Perempuan Indonesia (MPI) juga peran akademisi dan aktifis perempuan diharapkan dapat memperkuat perempuan di parlemen dan menuntaskan lahirnya keputusan undang-undang PKS dan TPKS dalam proses legislasi.

Menyangkut peran negara dalam perlindungan perempuan dan anak, beliau mengatakan bahwa negara telah hadir dengan bukti adanya Kementerian PPPA namun demikian pada fakta operasionalnya masih terkendala dengan tidak adanya anggaran yang memadai untuk lembaga tersebut secara adil dalam upaya mengejawantahkan program-programnya terutama hingga ke daerah-daerah. Beliau juga menyatakan sepakat bahwa perempuan adalah rahim peradaban, perempuan adalah tiang negara, perempuan memiliki hak asasi yang tidak bisa digantikan oleh siapapun yaitu mengandung dan melahirkan anak. Maka dengan demikian, kualitas kemajuan suatu peradaban juga sangat bergantung dari sejauh mana kualitas seorang perempuan atau ibu.
Beliau juga menanggapi soal perlu hadirnya kembali pelajaran Budi Pekerti pasca runtuhnya Orde baru yang sempat ada pada masa lalu dalam memberikan bimbingan dalam bidang pendidikan.

Selain itu beliau juga mengatakan bahwa masih diperlukan agar seluruh perempuan-perempuan dan organisasi perempuan-perempuan di Indonesia untuk berkumpul dan bersatu dalam suatu visi besar bangsa dan negara untuk membangun perempuan-perempuan hebat dan tidak lupa pada kodratnya. Dengan adanya kegiatan FGD KKP Gerpis yang dimotori oleh Dr. Nina Kurnia Hikmawati S.E., M.M. tersebut adalah langkah baik yang diapresiasi karena suara dan desakan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga legislasi adalah energi penggerak utama dalam rangka kelahiran suatu prodak legislasi tersebut.

Pembicara ketiga, Prof. Dr. Umi Narimawati S.E., M.Si. dalam kedudukannya sebagai Gender Expert. Pada kesempatan awal beliau menyatakan kesepakatannya bahwa usaha terhadap kehadiran payung hukum perlindungan perempuan dan anak memang masih sulit dan dinantikan sebagaimana dikatakan Dra. Hj. Eni Sumarni M.Kes. Demikian juga beliau menyatakan kesepakatannya bahwa berbagai permasalahan perempuan yang ada tersebut memerlukan anggaran yang tidak sedikit sehingga tidak dapat berjalan sesuai ekspektasi dan yang membuatnya masih harus terus bekerja keras dalam melakukan berbagai kolaborasi dengan berbagai pihak yang memiliki kepedulian. Selain dalam kedudukannya sebagai Gender Expert KPPA dan mengurusi berbagai permasalah perempuan di Jawa Barat, beliau juga merupakan Pembantu Rektor III Bidang Akademik di Unikom, pembimbing Jabar Bergerak, dan aktif di Paguyuban Pasundan.

Pada kesempatan tersebut, Prof. Dr. Umi Narimawati S.E., M.Si. kemudian melakukan ceramah dan presentasi mengenai topik: “Kesetaraan dan Keadilan Gender, Negara Perempuan dan Anak”. Dalam kesempatan tersebut, beliau menekankan bahwa gender bukan hanya terkait semata soal perempuan. Perempuan menurut beliau baru merupakan salah-satu aspek seks (jenis kelamin) saja. Sehingga gender pada dasarnya masih perlu didudukkan dalam hubungannya dengan gagasan lainnya yang lebih penting yakni persoalan kesetaraan dan keadilan gender. Adapun masalah-masalah pelecehan seksual yang terjadi yang pada umumnya dilakukan laki-laki terhadap perempuan, maka salah-satu sebab mendasarnya adalah karena masih minimnya angka kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai persoalan kesetaraan dan keadilan gender. Beliau kemudian memerinci beberapa kasus serupa dengan persoalan oknum ustadz terhadap santriwati di salah-satu pesantren di Bandung dengan merujuk kota Garut dan Cilacap, dan berbagai kasus lainnya yang terjadi dan dengan demikian beliau meminta suport kepada masyarakat untuk bisa menghadirkan gagasan mengenai persoalan kesetaraan dan keadilan gender tersebut untuk bisa meminimalisir peristiwa-peristiwa serupa itu terus berulang.

Pada kesempatan selanjutnya, beliau menghadirkan media pembelajaran berupa tayangan animasi yang mengilustrasikan peran perempuan dan laki-laki dalam kehidupan keseharian rumah tangga sebagai gambaran umum dan universal yang terjadi di masyarakat. Pada dasarnya peran laki-laki dan perempuan itu sama untuk saling berbagi dan menanggung beban kehidupan rumah tangga secara bersama-sama dalam seluruh aspeknya yang wajar dan bijaksana sesuai kodrat fisik dan seks. Persoalan terjadi dikarenakan adanya sudut pandang secara umum yang biasanya menempatkan perempuan dalam nilai yang tidak adil dan tidak setara. Laki-laki kemudian cenderung bekerja dalam mencari nafkah dan kemudian melepaskan tanggung jawab lainnya dalam urusan rumah tangga misalnya pengasuhan anak. Sementara perempuan didorong untung mengurusi permasalahan rumah tangga dan anak-anak, yang bahkan dalam kasus lainnya seringkali juga harus sambil membagi waktunya dalam peran ganda yang lainnya lagi, yakni dengan cara bekerja mencari nafkah tambahan agar menjadi tidak berkekurangan.

Judul animasi tersebut bernama “Imposible Dream” suatu gagasan kerjasama sederhana dan ideal antara laki-laki dan perempuan secara setara dan berkeadilan dengan perfokuskan pada pola pemecahan masalah-masalah secara bersama. Namun demikian, dibalik kesederhanaan gambaran tersebut ada suatu kesulitan dalam penerapannya karean berkaitan dan persoalan pendidikan dan pehaman yang harus tersosialisasikan mengenai pentingnya persoalan kesetaraan dan keadilan gender terhadap masyarakat tersebut terkuasai. Bukan hanya pihak perempuan yang harus memahami persoala gender melainkan juga pihak laki-laki yang memberikan kelapanganhatinya untuk membangun kesetaraan. Karena dengan memberikan kelapanganhatinya untuk kesetaraan dan keadilan gender terhadap perempuan maka masalah beban ganda perempuan, stereotip, marginalisasi, sub ordinasi, dan kekerasan terhadap perempuan diharapkan dapat diminimalisir. Namun demikian, beliau juga mengatakan persoalan kesetaraan dan keadilan gender dilakukan bukan untuk menentang laki-laki dan kodrat, melainkan memajukan gagasan soal mitra yang setara, sepanjang tidak merugikan salah-satu pihak.

Sebagai penutup, beliau berharap selain pengajaran soal kesetaraan dan keadilan gender dapat dilakukan sejak dari pendidikan keluarga, beliau juga berharap bahwa berbagai kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Jawa Barat dapat diselesaikan dengan baik.

Pembicara keempat, Dr. Ir. Sodik Mudjahid M.Sc. dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR-RI Fraksi Gerindra Dapil I Jawa Barat yang juga memiliki latar belakang aktifis pergerakan Islam seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan pemilik Yayasan Darul Hikam di Bandung. Pada pandangan beliau, sebagaimana yang disepakatinya terhadap pernyataan Hj. Desi Ratnasari S.Psi., M.Si., M.Psi. bahwa negara secara normatif pada kenyataanya memang hadir dalam wacana keberpihakan soal negara, perempuan dan anak. Sebagaimana dibuktikan dengan hadirnya Pancasila dengan Sila kedua: “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Sementara Pancasila itu sendiri pada gilirannya telah disarikan dari nilai-nilai dasar pengajaran agama, dimana salah-satunya agama Islam.

Selanjutnya sebagai penguatan, beliau memberikan sebuah bukti normatif bahwa persoalan gender dalam agama Islam juga bukanlah sebuah persoalan. Islam justru memberikan kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan secara luar biasa dengan merujuk pada kehadiran salah-satu bukti yang dapat dibacakan dari dalam dokumen kitab suci Al-Quran: “Man ‘amila shaalihan min dzakarin aw untsaa wahuwa mu’minun falanuhyiyannahu hayaatan thayyibatan walanajziyannahum ajrahum bi-ahsani maa kaanuu ya’maluuna” (Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri alasan dengan pahala yang lebih baik dari pada yang telah mereka kerjakan). Q.S. An-Nahl: 97.

Demikian juga negara hadir secara normatif melalui UUD 1945 pada alinea keempat: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…” yang dengan demikian juga berarti melindungi seluruh laki-laki dan termasuk perempuan bangsa Indonesia. Selain itu beliau juga memberikan informasi mengenai kehadiran pasal dan berbagai undang-undang yang dibuat dalam berbagai bidang yang memberikan nilai perlindungan terhadap perempuan dan anak. Demikian juga dalam bentuk satuan kerja, bahwa gagasan perlindungan anak dan perempuan telah terkejawantahkan dalam kementrian-kementrian dan lembaga-lembaga lainnya. Demikian juga dari sisi anggaran, meskipun tidak dapat disangkal memiliki keterbatasan namun demikian pada faktanya pemerintah telah berusaha mengalokasikan anggaran untuk perlindungan perempuan dan anak.

Menurut beliau itu semua menjadi bukti bahwa negara hadir dalam melindungi perempuan dan anak. Adapun keterbatasan yang dimiliki pemerintah menjadikan pemerintah mengajak kepada seluruh organisasi perempuan untuk membantu kerja pemerintah yang memiliki keterbatasan, termasuk dengan diperlukannya sumbangan-sumbangan dana dari kelebihan unit usaha (CSR). Selain bangunan pemerintahan telah terbuka terhadap kesetaraan perempuan, di sisi lain menurut pandangan beliau perempuan sendiri belum secara maksimal memanfaatkan saluran yang terbuka tersebut untuk digunakan sebagai kepentingan dirinya. Misalnya saja telah terbukanya kebolehan kedudukan Walikota dan Guburnur atau kebutuhan partai-partai akan hadirnya kader-kader perempuan, namun demikian sangat sulit untuk didapatkan.

Mengenai gejala kekerasan seksual, Dr. Ir. Sodik Mudjahid M.Sc. menyatakan telah memahami dan menerima data-data tersebut melalui berbagai kerja lembaga yang mana mayoritas dari angka kekerasan yang umumnya terjadi terhadap perempuan dan anak dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Misalnya saja oleh sepupunya, ayahnya, kakeknya, termasuk ustadznya, dan lain-lain. Beliau juga menyadari tanpa mempertimbangkan konotasi politik harus jujur diakui bahwa lembaga pendidikan berbasis keagamaan dari latar belakang agama manapun harus menyadari memiliki tingkat kerawanan terhadap munculnya tindakan kekerasan dan pelecehan seksual. Sehingga tingkat pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan munculnya kekerasan dan pelecehan seksual di lembaga tersebut sangat diperlukan.

Demikian juga dengan adanya kasus-kasus yang terjadi beliau sangat menyayangkan dan menyepakati bahwa dengan hadirnya rancangan undang-undang yang diharapkan dalam mewujudkan perlindungan perempuan dan anak sebagaimana yang telah diungkapkan pembicara sebelumnya akan menjadikannya jauh lebih cukup dalam menangani berbagai kasus serupa demikian. Namun demikian, beliau tetap menghimbau agar pengawasan terhadap perempuan dan anak selain melalui kelengkapan undang-undang juga masih harus dilakukan melalui sosialisasi dan edukasi untuk menggugah kewaspadaan dan sikap hati-hati. Karena angka kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak akan muncul dari lingkungan keluarga terdekat, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Pengawasan yang ketat dan pemasangan CCTV dan seterusnya sangat diperlukan dalam melakukan pengawasan tersebut.

Pembicara kelima, Dr. Chye Retty Isnendes S.Pd., M.Hum. dalam kapasitasnya sebagai Dosen, Akademisi, Peneliti dalam bidang ilmu Linguistik Umum dan Bahasa dan Sastra Sunda dari kampus UPI. Selain itu beliau juga merupakan Ketua Paguyuban Sastrawati Sunda (PATREM), Pembimbing dan sekaligus Triumvirat di Buana Varman Semesta. Dalam kesempatan tersebut, beliau menanggapi bahwa dengan diambilnya topik negara, perempuan, dan anak (lain halnya dengan penalaran dalam urutan anak, perempuan, dan negara yang bersifat induktif dan khusus) maka aspek penalaran yang dilakukan adalah bersifat deduktif dan memiliki jangkauan yang luas, yang mana negara dalam hal ini tentu saja memiliki tanggung jawab dan keharusan dalam melindungi nasib perempuan dan anak.

Dalam memenuhi aspek penalaran deduktif tersebut, beliau mencoba untuk merujuk pada grand teori yang ditawarkan oleh seorang ilmuan atau ulama besar Islam Klasik, Ibnu Khaldun yang juga sekaligus seorang negarawan yang tidak saja diakui otoritas dan kepakarannya di dunia muslim melainkan juga oleh para sarjana barat. Grand teori yang dikembangkan Ibnu Khaldun ditempatkan dalam kedudukannya sebagai perspektif Islam yang dinilai sebagai pemecahan masalah dan jalan tengah yang diambil dari polarisasi diskursi ideologis dan teoretik keilmuan kiri (Sosialisme-Komunisme) dan kanan (Liberalisme-Kapitalisme) dalam wacana modern.

Khusus mengenai gagasan negara, Ibnu Khaldun menawarkan sebanyak 53 pasal yang namun demikian hanya akan disampaikan sebagai representasinya sebanyak 6 pasal. Pertama (pasal 1), bahwa negara dapat berdiri dan mencapai kemajuan karena adanya dasar solidaritas atau fanatisme kesuakuan atau kebangsaan (ashobiyah). Kedua (pasal 4), negara dapat berdiri dan mencapai kemajuan karena adanya komitmen terhadap tata nilai yang tinggi dari agama dan seruan kebajikan atau moral kebenaran. Ketiga (pasal 7), memiliki batas negara yang tidak bisa dilanggar. Keempat (pasal 12), terciptanya ketenangan dan ketentraman. Kelima (pasal 13), negara akan hancur jika gaya hidup hedonisme merajalela dan tidak ada pencegahan atas kezaliman. Keenam (pasal 21), kontrol ruang kekuasaan dan kewenangan harus dilakukan pemerintahan.

Selanjutnya dalam mengelaborasi gagasan perempuan, beliau mencoba merujuk pada naskah sebagai sumber dokumentasi yang akan mempengaruhi perspektif sejarah dan sastra. Di dalam naskah Sunda Kuno terdapat nama-nama perempuan yang disitir baik dalam maknanya yang positif maupun negatif. Di dalam Al-Quran terdapat nama-nama perempuan yang disitir dalam maknanya yang secara umum bisa dikatan seluruhnya baik. Di dalam bahasa Sunda, secara linguistik perempuan juga memiliki beberapa alternatif penyebutan yang sangat berkaitan dengan status pencapaian dan aspek kondisi lainnnya yang memberikannya makna yang positif maupun makna negatif. Sementara di dalam kamus, misalnya di dalam kamus umum bahasa Indonesia makna perempuan secara mayoritas dalam variannya bermakna negatif dan sedikit yang bernilai positif. Demikian juga istilah yang dinisbatkan kepada perempuan dalam tahap perkembangan kondisi dan statusnya di dalam Al-Quran semuanya bernilai positif.

Di dalam Islam menurut beliau tidak ada persoalan hambatan tata nilai dan aspek normatif dalam hal mengejawantahkan gagasan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Misalnya salah-satunya dapat dibuktikan dalam keterangan Al-Quran Surat Al-Hujurat Ayat 13: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”.

Sementara mengenai gagasan anak, beliau mencoba memetakan konsepsi anak dalam nilai dan maknanya. Anak adalah putra, pewaris, pengiburan, cahaya mata, kebanggan, harapan, doa, dan lain sebagainya. Anak dengan demikian adalah wujud pengharapan orang tua, dan dalam hal khususnya bisa dimaknai harapan dari seorang perempuan atau ibu. Sebuah harapan yang maujud dalam bakti terhadap orangtuanya dan perbaikan negaranya. Bahkan termasuk dalam perspektif agama Islam adalah harapan yang tidak saja berdimensi dunia tapi juga harapan di akhirat.

Setelah memberikan gambaran konseptual mengenai negara, perempuan, dan anak, Dr. Chye Retty Isnendes S.Pd., M.Hum. mencoba untuk mempertautkan pola hubungan diantara ketiganya secara deduktif dan kausalitas sebagaimana yang telah sebelumnya dipaparkannya. Bahwa peran dan kehadiran negara akan sangat penting dalam upaya perlindungan terhadap perempuan atau ibu. Sementara perempuan dan ibu akan sangat penting dalam upaya perlindungan terhadap anak.Sementara anak adalah penerus, pewaris, pemimpin yang akan membawa harapan perbaikan bukan hanya kepada orangtuanya, ibunya, melainkan juga kepada negara dan pemerintahan dalam kepemimpiannya. Demikian juga dengan masa depan kehidupan dirinya, keluarganya, orang tuanya, ibunya, masyarakatnya, negaranya, kehidupan dunianya dan akheratnya.

Kemudian menanggapi persoalan tindak pelecehan seksual yang terjadi di sebuah pondok pesantren atau boarding school di Bandung, atau kasus-kasus lainnya yang serupa maka beliau melalui pemaparan yang telah dijelaskan ingin menyatakan bawah Islam sebagai sebuah tata nilai dan norma justru mendorong keharusan atas keselamatan negara, perempuan, dan anak. Sehingga apabila sebuah tindak pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terjadi maka tidak ada suatu kekebalan khusus meskipun secara atribusi merupakan orang Islam, persekolahan Islam, atau guru agama Islam atau ustadz. Demikian juga apabila terjadi dalam latar belakang agama lainnya.

Sehingga apabila persoalan tersebut masuk pada aspek yurisprudensi, hukum, atau fiqih kejahatan atau pidana, maka persoalan tersebut harus dibawa dan diselesaikan dalam persoalan kejahatan atau pidana. Sementara dampak atau implikasi lainnya terkait aspek psikologis korban memerlukan suatu penanganan dan pendampingan yang wajib dilakukan oleh berbagai pihak terkait kemampuan dan kewenangan masalah tersebut. Namun demikian, apabila terbukti ada suatu andil dari sistem yang mendorong terjadinya hal-hal yang tidak wajar menjadi terjadi karena faktor pengkondisian sistem apalagi suatu pembiaran dan bahkan cenderung menuju pada hal-hal demikian terjadi maka diperlukan suatu evaluasi komprehensif. Misalmya apakah ada kemungkinan bahwa sistem persekolahan pesantren yang berasal dari tradisi lokal maupun adaptasi sistem boarding school yang serupa pesantren dari sistem persekolahan asrama atau privat school di barat, memiliki tingkat resiko dan kerawanan yang lebih besar dari sistem persekolahan umum, public school, atau madrasah.

Keberanian untuk melakukan evaluasi sangat wajar dilakukan mengingat komitmen pada betapa pentingnya keselamatan nilai perempuan dan anak yang perlu dijaga dan dilindungi dengan baik. Terlebih komitmen yang perlu dilakukan bukan pada fakta kekeliruan agama yang terjadi, melainkan pada standar nilai ideal yang menjadi pengangan yang seharusnya terjadi atau dibumikan dalam kenyataan. Setiap atribusi yang melekat pada suatu komitmen tata nilai, harus secara wajar dan bertanggung jawab untuk mau diuji dengan standar nilai yang diyakininya itu sendiri. Termasuk pentingnya merenungkan dan mengevaluasi bagaiamana sistem persekolahan yang paling otentik dan klasik dalam praktik kebudayaan dan peradaban Islam masa lalu. Atau apabila suatu tradisi persekolahan berasrama baik pesantren ataupun boarding school maka persyaratan dan regulasi yang dapat mengimbangi resiko-resiko yang besar terhadap kemungkinan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak termasuk kemungkinan terhadap terjadinya penyimpangan orientasi seksual tersebut perlu diimbangi.

Pembicara keenam, Dr. (H.C.) Popong Otje Djundjunan dalam kapasitasnya sebagai tokoh wanita Sunda, sesepuh masyarakat Sunda, dan politisi yang telah malang-melintang dalam dunia lembaga legislasi nasional. Dalam pembuka beliau sangat menekankan betapa jauh lebih penting makna mengerti (ngarti) dibandingkan hanya sekedar pintar (pinter). Karena banyak orang yang pintar tapi tidak memiliki pengertian atau keinsyafan dalam memahami dan menjalankan sesuatu yang diketahuinya. Kualitas demikian yang dibutuhkan dalam kedudukan setiap orang dalam menjalankan peran, fungsi sosial, profesi, dan jabatan apapun.

Selanjutnya dalam membicarakan gagasan negara beliau mengkritisi dan mendudukan adanya kekeliruan sistem kenegaraan yang terjadi di Indonesia, yakni mengenai peran DPD-RI. Dalam sistem yang sebenarnya, DPD atau Senator seharusnya jauh lebih berkuasa dari pada DPR atau parlemen seperti halnya misalnya di Amerika.Tapi di Indonesia kehadiran DPD-RI adalah suatu kehadiran kelembagaan yang bisa dikatakan tidak memiliki dampak karena tidak kedudukan sebagaimana yang semestinya. Di Indonesia, berbeda dengan sistem ideal yang seharusnya; DPR-RI jauh lebih kuat dan berkedudukan dibandingkan DPD-RI. Bahwa implikasinya sederhana, DPD-RI yang mewakili daerah-daerah bahkan untuk membuat undang-undang secara mandiripun tidak bisa melakukannya.

Kemudian menanggapi masalah korupsi yang marak terjadi di Indonesia secara sederhana dikatakan terjadi karena rumusan adanya niat dan kesempatan. Apabila ada niat tidak ada kesempatan maka tidak akan terjadi, demikian juga apabila ada kesempatan tapi tidak ada niat maka tidak akan terjadi. Selanjutnya, beliau juga mengajak mengevaluasi dan bukan harus dimaknai sebagai sebuah sikap sparatisme. Bahwa Indonesia dengan bentang wilayah yang besar dan jumlah rakyat yang banyak apakah bisa kedepannya dikelola sebagaimana saat ini dengan sistem kesatuan. Namun demikian, beliau menekankan bahwa bangsa Indonesia harus memiliki sikap dan visi untuk menyelamatkan situasi negara untuk kedepannya, karena dalam konstruk kesatuan tersebut dengan realitas keindonesiaan yang besar hanya kan mampu berhasil dilakukan oleh malaikat saja. Renungan tersebut berharap untuk ditanggapi secara penalaran logika yang bijaksana dan jangan dipolitisir untuk menyudutkan dialektika tersebut sebagai sebuah cara berpikir makar.

Kemudian dalam gagasan soal perempuan, Dr. (H.C.) Popong Otje Djundjunan lebih menyukai terminologi wanita dibandingkan dengan perempuan. Alasannya karena pembentukan terminologi wanita jauh lebih awal dari terinologi perempuan dalam pengejawantahan struktur birokrasi pemerintahan. Hanya karena suatu alasan kebahasaan tertentu, kemudian istilah wanita tersebut tergantikan istilah perempuan. Namun demikian, beliau mengajak berdialektika kenapa nama-nama seperti Gedung Wanita dan Darma Wanita masih dipertahankan. Artinya beliau ingin mengajarkan suatu sikap dan sifat yang ajeg dalam mengambil suatu keputusan secara dingin tanpa bersifat emosional. Selanjutnya, pengertian Hari Ibu dalam sudut pandang Indonesia sangat berbeda dari pengertian Hari Ibu di negara lain. Dalam sudut pandang keindonesiaan Hari Ibu harus dimaknai sebagai sesuatu yang lebih umum yakni tepatnya Wanita atau Perempuan.
Sehingga ketika memperingati Hari Ibu, beliau menganjurkan untuk tidak sekedar menghubungkannya dengan kegiatan mengandung, melahirkan anak, atau ibu saja. Melainkan harus memenuhi enam dimensi sebagai wanita. Pertama dimensi kepribadian: yakni kemampuan mengeksplorasi bakat, citra diri, jati diri, potensi, dan kelebihannya yang perlu diketahui, diasah, dan dikembangkan sebagai titik keunggulan dan jangan mudah untuk terbawa oleh kecenderungan orang lain. Selanjutnya dimensi yang penting untuk dipahami seorang perempuan atau wanita adalah: kedua, dimensi sebagai anak; ketiga dimensi sebagai isteri; keempat dimensi sebagai ibu; kelima, dimensi sebagai masyarakat; keenam dimensi sebagai warga negara. Dalam kalimat penutupnya, beliau mengulang kembali harapan bahwa perempuan atau wanita harus mampu menjawab renungan paling fundamental dan krusial soal jati dirinya sendiri melalui pertanyaan: Siapakah aku sesungguhnya? Apa yang sesungguhnya harus aku lakukan? Dan Siapakah aku sesungguhnya?

Meskipun beliau tidak menanggapi secara khusus mengenai kasus pelecehan seksual yang terjadi, namun demikian harapan yang ditawarkan di dalam konstruk umum tersebut tentu saja dapat dianggap suatu standar nilai yang akan mampu diformulasikan dan didesuksikan dalam persoalan-persoalan lainnya ditingkat teknis dan praktis.


ditulis oleh

Varman Institute

Pusat Kajian Sunda - The Varman Institute (TVI) merupakan unit unggulan yang berada di bawah Bidang Pendidikan Pengajaran dan Pelatihan (Department of Education, Teaching, and Training) dari Yayasan Buana Varman Semesta (BVS).