Perempuan dalam Sastra Sunda

KADO ULANG TAHUN PATREM KE-39:
“SURAT PENTING PUSTAKAWATI: 50 CARPON PATREM!”
Oleh Chye Retty Isnendes*)

Judul: Surat Penting Pustakawati; Lima Puluh Carpon PATREM
Penulis: Aam Amilia, dkk
Editor: Chye Retty Isnendes
Tahun: 2020
Ukuran: 14,5 x 21 cm
Halaman: 432
Kertas Isi: HVS 70 Gram (2 warna)
Kertas Cover: Art Carton 210 Gram (4 warna)
Soft Cover
ISBN: 978-623-221-775-1
Harga: 160 K

PATREM merupakan nama paguyuban sastrawati Sunda yang didirikan pada tanggal 04 November 1982 M, oleh Tini Kartini dan Ningrum Djulaeha (almh) yang merupakan para pengarang dan peneliti kebudayaan Sunda. Mereka bersama dengan Ami Mainah Raksanagara juga Popong Otje Djundjunan yang berlaku sebagai perintis dan bidang kelahiran PATREM.

Aspek pengambilan nama PATREM, didasarkan pada konteks sejarah kuno dan kesusastraan klasik Sunda, dari nama alat kelengkapan rias rambut perempuan, yang merupakan tusuk konde yang pernah digunakan oleh sosok Dyah Pitaloka. Alat kelengkapan rias rambut perempuan yang digunakan dalam tragedi Pasunda Bubat tersebut, secara filosofis kemudian dimaknai sebagai suatu aspek pembelaan atas kemerdekaan, kehormatan, dan harga diri yang dimiliki oleh perempuan Sunda. Dari dasar sejarah dan filosofis itulah, nama PATREM kemudian digunakan sebagai aspek simbologi dan hermenetika baru di dalam wujud medan kepengarangan dan kesusastraan yang mana seluruh anggotanya merupakan para perempuan Sunda kontemporer.

Tepat pada tanggal 04 November 2021 M yang lalu, tanpa terasa PATREM telah mencapai usianya yang ke-39 tahun. Suatu pencapaian dan kiprah luar biasa yang layak untuk diapresiasi atas kemampuan dan konsistensinya dalam mempertahankan laju dan garis eksistensi organisasi, estafeta kepengurusan, dan kontinuitas kekaryaannya; baik dalam bentuk konsistensi kekaryaan secara kolektif keorganisasian maupun dalam bentuk kekaryaan yang bersifat kemandirian individual keanggotaan hingga saat ini.

Pada masa kepengurusan periode kepemimpinan Yooke Tjuparmah SK, telah berhasil merumuskan rencana kerja dan pengerjaan aspek kekaryaan berupa pembuatan antalogi 50 karya pengarang perempuan yang ditulis oleh 33 karya anggota PATREM [senior] dan 17 karya anggota SIRUNG PATREM ‘TUNAS PATREM’ [junior]). Kontribusi kekaryaan dari para anggota tersebut, seluruhnya kemudian disatukan ke dalam satu buah naskah tanpa dibeda-bedakan kedudukannya. Penyusunan naskah dengan cara merujuk pada tata urut alfabetis nama para pengarang dari A sampai ke Z, memudahkan proses penyusunan naskah dan pembacaan antologi.

Hasil kerja kolektif keorganisasian yang telah dirancang dan dikerjakan pada masa kepengurusan Yooke Tjuparmah SK tersebut, kemudian berhasil dituntaskan pada tahun 2020 M pada periode kepengurusan Chye Retty Isnendes sebagai pupuhu berikutnya.

Dari 50 karya yang disajikan, para pengarang menuliskan pokok cerita yang bermacam-macam isinya, yang tentunya tidak akan membuat bosan pembacanya. Apabila diklasifikasikan isinya, maka persoalan-persoalan yang dihadirkan, umumnya berkaitan dengan kedudukan wanita dalam zona domestik (rumah tangga) dan publik (masyarakat dalam konteks kesatuan bangsa serta negara). Selain itu, diceritakan juga perempuan dengan dirinya, perasaannya, pemikirannya, kebudayaannya, secara personal; perempuan dengan sesamanya, serta perempuan dengan lingkungan sekitarnya, secara sosial.

Di dalam zona rumah tangga, bermacam-macam juga pokok ceritanya, saperti tokoh Acih (sacara personal) yang menjadi asisten rumah tangga (secara sosial) yang menyimpan perasaan kepada tuannya di dalam cerita pendek (cerpen) “Saha Engké nu Mépéndé” karya Aam Amilia. Cerpen-cerpen yang berkaitan dengan zona domestik yang memperlihatkan peran perempuan di dalam rumah tangga dengan lingkungan sekitarnya, di antaranya saja: “Ondangan” (Aini Mardiyah), “Sora nu Ngaji di Peuntas” (Cicih Kurniasih), “Héhérang Panon” (Cucu Unisah), “Berjamaah di Imah” (Dede Rostiana), “Limus Juragan Karta” (Esti Setia Dewi), “Kurabu Batuna Bungur” (Hena Sumarni), “Ti Tukangeun Lalangsé Ipis” (Nyi Roro), “Jeruk Bali” (Risnawati), “Lalampahan Tresna” (Santie Senja), “Lunta” (Tiktik Rusyani), “Peuteuy” (Titin Suryani), “Kalangkang Lawas” (Tyas Nastiti Puri), dan “Basa Panggih Deui” (Zaneta Kurotuaeni).

Di dalam zona publik, disuguhkan tokoh perempuan dengan fungsi serta peranannya di masyarakat baik di dalam konteks lingkungan yang sempit (kantor, kampus, pekerjaan, dan lingkungan sekitarnya), baik di dalam lingkungan yang luas (bangsa dan negara). Disuguhkan juga tokoh perempuan yang berjuang di dalam bidang kemampuannya masing-masing sebagai bagian dari masyarakat luas. Cerpen-cerpen yang menceritakan peran itu di antaranya saja: “Muruy” (Chye Retty Isnendes), “Kembang Jalan” (E.D. Jenura), “Banda Titipan” (En Henri Sinaga), “Kembang Hariang” (Hana Rohana), “Surat Penting” (Naneng Daningsih), “Merapi Biru” (Nena Cunara), “Angin Ririh di Bromo” (Nita Widiati Efsa), “Bangbaluh” (Nunung Munawaroh), “Pangarang Moyan” (Pipiet Senja), “Mangsa Kamelang Ngahiang” (Rin Riani), “Cindung Bungur” (Tety S. Nataprawira), dan “Pustakawati” (Yooke Tjuparmah).

Perempuan yang menjadi tokoh tidak saja berada di dalam satu kedudukan atau satu zona saja. Karena sesungguhnya, perempuan berinteraksi, aktif merespon, dan lebih jauh lagi, berdialektika, di dalam hubungan dan kedudukan antara dirinya, rumah tangganya, dan masyarakatnya. Fungsi dan perannya berada di sana, di dalam zona domestik yang telah menjadi kodratnya, baik sebagai anak, baik sebagai istri, baik sebagai ibu. Demikian juga mengenai fungsi dan perannya di masyarakat, yang merupakan hasil dari pendidikan dirinya dengan pencapaiannya yang telah menjadi kenyataan hidup (yang bisa diubah) di dalam eksistensinya pada alam jagat kesemestaan.

Kedudukan-kedudukan perempuan di dalam zonasi yang telah disebutkan, diwadahi di dalam tema-tema dan disandarkan di dalam latar cerita yang majemuk oleh para perempuan anggota PATREM dan SIRUNG PATREM. Dari aspek pengalaman, baik yang diperoleh secara langsung atau yang diperoleh secara tidak langsung, dari intuisi dan bakatnya, dari kecekatannya menangkap ide, dari ketajamannya meninjau persoalan, dari keterampilannya mengolah cerita, dari kemampuannya mengartikulasikan bahasa, dan bisa jadi, dari aspek keterbatasannya waktu di dalam mengelola rumah tangga serta kariernya, aneka cerpen gelar menjadi bunga di pekarangan sastra Sunda. Semoga menperoleh sambutan hangat dan dapat dibahagiakan oleh masyarakat pembacanya.

Adapun perkara-perkara tema yang biasa dijadikan stereotif oleh kaum lalaki bahwa para pengarang perempuan tidak bisa lepas dari masalah: kasur, sumur, dapur, hal-hal itu sebenarnya bukan suatu kehinaan atau kesempitan di dalam sastra Sunda karya pengarang perempuan. Justru sebaliknya, hal-hal itu merupakan kekuatan perempuan yang seandainya bisa dieksplorasi, baik teknik menulis baik isi ceritanya, akan menjadi karya yang menimbulkan daya pikat, saperti karya Aam Amilia yang disebutkan di atas. Self deconstruction dan soft deconstruction harus dibangun oleh para pengarang perempuan sambil tidak berhenti meluaskan aspek pembacaan dan mengembangkan teknik karangannya.

Demikian juga sambutan dari kaum laki-laki tentu saja perlu dikedepankan yaitu sikap apresiatif, dengan cara membaca ‘reading as woman’, serta dengan kesadaran terhadap adanya perbedaan jenis kelamin. Hal ini akan menjadi motivasi dan apresiasi yang signifikan untuk para pengarang perempuan di dalam arus kesadaran yang serba cepat dan perubahan-perubahan yang dimilikinya. Syukur alhamdulillah, Cecep Burdansyah Pupuhu PPSS (Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda) di dalam pengantar dan analisanya dapat mendudukkan karangan anggota PATREM di dalam perspektifnya yang objektif. Kelapangan sikapnya terhadap karangan-karangan perempuan tentunya dilandasi oleh luasnya jangkauan beliau terhadap pembacaan karya sastra.

Sebagai penutup, karya-karya pengarang perempuan bukan hanya bacaan alternatif tapi justru memiliki kekayaan dan kedudukan di dalam budaya androgini. Hal itu, karena adanya kesadaran diri, yang membawa suara perempuan Sunda yang menjadi bagian dari suara perempuan dunia. Selamat ulang tahun PATREM yang ke-39!

(Chye Retty Isnendes, Dosen Bahasa dan Sastra Sunda di Program Studi Bahasa dan Sastra Sunda FPBS UPI dan Pasca Sarjana UPI, Pupuhu PATREM, dan Bares Kolot dan Triumvirat di House of Varman (HOV)).

Tulisan dimuat di rubrik Pabukon harian umum Pikiran Rakyat, Sabtu 20 November 2021

ditulis oleh

Varman Institute

Pusat Kajian Sunda - The Varman Institute (TVI) merupakan unit unggulan yang berada di bawah Bidang Pendidikan Pengajaran dan Pelatihan (Department of Education, Teaching, and Training) dari Yayasan Buana Varman Semesta (BVS).