Judul buku: Sepasang Jejak Kaki Suci di Jawa
Penulis : Abraham Benjamin Cohen Stuart
Penerjemah: Gelar Taufiq Kusumawardhana
Penerbit: Varman Institute
Keahliannya di dalam aksara Kawi tampak tak ada gunanya saat ia berhadapan dengan foto Prasasti Ciaruten karya Isidore van Kinsbergen. Jika saja ia tak memiliki buku tabel aksara kuno India Selatan karya A.C. Burnell, maka pasti ia akan seperti ‘monyet nu ngagugulung kalapa‘. Tak tahu cara mendedah dan menguliti isi prasasti itu.
Ya! Sejatinya Abraham Benjamin Cohen Stuart adalah ahli aksara Kawi dengan buku Kawi Oorkonden-nya yang terkenal di kalangan kaum epigraf. Akan tetapi khusus untuk membaca Prasasti Ciaruteun ia gagap dan sempat mengalami kesulitan sebab saat itu aksara pada Prasasti Ciaruteun masih asing dan belum dinamai sebagai early pallava script, karena J.G. de Casparis-nya pun belum dilahirkan.
Lalu, setelah berhasil membacanya, kesulitan belum berakhir. Ia pun kemudian harus meminta bantuan Henrik Kern untuk menerjemahkan isi prasasti tersebut yang ternyata berbahasa Sanskerta, dan hasil pembacaannya tersebut dapat kita nikmati di dalam berbagai buku sejarah hingga saat ini.
Catatan di atas adalah saripati dari buku yang berisi hasil kajian perdana Prasasti Ciaruteun yang berlangsung pada tahun 1875 atau tepatnya 146 tahun yang lalu, dan kemudian baru saja diterjemahkan oleh Kusumawardhana dan disajikan ke dalam sebuah buku yang berjudul Jejak Kaki Suci di Jawa. Naskah aslinya sendiri adalah berupa artikel kajian prasasti berbahasa Belanda dengan judul Heilige Voetsporen op Java dan juga tersedia di dalam versi bahasa Inggris dengan judul Sacred footprints in Java.
Buku tersebut super penting karena berisi tentang ‘titik nol kilometer’ kajian sumber tertulis sejarah kebudayaan tatar Sunda yang tertua, bahkan yang paling tua di Pulau Jawa, yang membahas Raja Purnawarman dan Kerajaan Tarumanagara. Dengan membaca buku tersebut beserta ulasannya dari penerjemah, maka kita akan menyadari tiga hal bahwa yang pertama kajian tersebut tidak dilakukan di sini melainkan di Leiden, Belanda. Yang ke-dua bahwa ternyata orang Belanda sangat serius di dalam mempelajari sejarah dan budaya bangsa Indonesia, khususnya urang Sunda. Dan yang ke-tiga, mengapa baru diterjemahkan sekarang, dan harus menunggu selama 146 tahun baru terkuak proses bagaimana kajian Prasasti Ciaruteun tersebut dilakukan pertama kali?
Tapi lebih baik terlambat satu setengah abad daripada tidak sama sekali. Dan dengan dimulainya penerjemahan ‘titik nol kilometer’ kajian sumber sejarah tertua Tatar Sunda, seperti yang ada pada pengantar buku tersebut, diharapkan kita bisa memulai mengkaji ulang sejarah kita sendiri, umumnya seluruh bangsa Indonesia dan khususnya masyarakat Jawa Barat.
Karguna Purnama Harya, Jaro Atikan HOV, mahasiswa S2 Arkeologi UI
(Ulasan ini telah terbit di harian Pikiran Rakyat rubrik Pabukon, Sabtu 24 September 2021)
Pusat Kajian Sunda – The Varman Institute (TVI) merupakan unit unggulan yang berada di bawah Bidang Pendidikan Pengajaran dan Pelatihan (Department of Education, Teaching, and Training) dari Yayasan Buana Varman Semesta (BVS).