“Kritik Sastra Lutung Kasarung dalam Ekofeminisme Sunda” yang diterbitkan oleh UPI Press, dengan cetakan pertamanya diluncurkan pada, Juni 2021, merupakan buku yang ditulis oleh Chye Retty Isnendes; seorang dosen, akademisi, penyair, dan sastrawan Sunda. Buku tersebut merupakan hasil kajian terhadap cerita Lutung Kasarung dengan menggunakan sudut pandang Ekofeminisme (Ekologi-Feminisme).
Ekofeminisme, atau Ekologi-Feminisme sendiri adalah sudut pandang dimana sosok perempuan dan sosok alam dianggap memiliki terhubungan dan pola nasib yang sama yang ditimpakan oleh sesuatu yang berada diluar kehendak dirinya. Bahwa baik perempuan maupun alam, seringkali diposisikan dalam keadaan yang tidak berdaya dan mendapatkan perlakuan yang tidak adil, dari sosok laki-laki dan kebudayaan sebagai manifestasi dari sudut pandang laki-laki yang eksploitatif dan kapitalistik.
Di dalam buku tersebut, Chye Retty Isnendes berusaha merumuskan tiga buah fokus kajian. Pertama, presentasi tubuh tokoh perempuan pada cerita pantun Lutung Kasarung dalam wacana realitas sosial masyarakat di Pasirbatang. Kedua, Interpretasi wacana tubuh tokoh perempuan cerita pantun Lutung Kasarung dalam hubungannya antara manusia dan non manusia (alam), yang dikaitkan dengan empat kaitan penting teori Merchant, yakni: ekologi, produksi, reproduksi, dan kesadaran. Dan ketiga, pemahaman akan adanya ketidakadilan terhadap tokoh perempuan bahkan meskipun dengan tampilan luar suatu aktifitas pengaguman terhadapnya sekalipun.
Di dalam penelitian tersebut, Chye Retty Isnendes melihat bahwa situasi yang mendorong pada keadaan tidak berdaya dan tidak adil, dalam hal ini terhadap sosok perempuan bernama Purbasari oleh kakaknya Purbararang terbukti mendapatkan proses: marjinalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja yang berlebihan. Tindakan Purbararang dalam penelaahan Chye Retty Isnendes, merupakan tindakan yang tidak alamiah dan melawan kodrat nilai perempuan. Adanya pergeseran tersebut ditengarai oleh adanya pengaruh tidak baik yang dilakukan oleh orang terdekatnya, sosok laki-laki bernama Indrajaya yang memanfaatkan kedudukan Purbararang untuk kepentingan penetrasi dan mobilitas sosial vertikal politik kekuasaan.
Sementara Purbasari, yang mampu menyikapi keadaan buruk yang ditimpakan saudarinya dengan kualitas kepribadian yang baik, pada akhirnya dapat membalik keadaan kepada kemenangan dirinya atas bantuan Lutung Kasarung atau Guru Minda, sosok Sanghyang yang mendapatkan hukuman dan pelajaran dari alam Kahyangan menuju dunia Panca Tengah, karena suatu kesalahan. Tapi bagaimanapun juga suatu keberhasilan, menurut Chye Retty Isnendes pengalaman yang tidak berdaya dan perlakuan tidak adil, akan menjadi bagian dari kenyataan pahit yang telah dialami sosok perempuan dalam memori dan psikologisnya yang akan sukar untuk dilupakan dan dipulihkan sekejap mata.
***
Sebagai tambahan, apabila mau secara radikal menelaan dan mengkomparasikan beberapa cerita pantun yang ada di Tatar Sunda, Lutung Kasarung yang secara dokumentasi tertulis paling awal dilakukan oleh C.M. Pleyte tahun 1910 M dari sumber tradisi lisan (folklore Cirebon); sebenarnya sangat berkorelasi dengan tradisi lisan yang berkembang di kawasan Banyumasan, suatu kawasan yang meliputi Dayeuh Luhur, Cilacap, Majenang, Bumiayu, Purwokerto, dan sekitarnya yang biasa disebut kawasan Jawa Ngapak atau kawasan bilingual Sunda-Jawa.
Di kawasan tersebut, Lutung Kasarung atau Guru Minda, akan disebut Aria Kamandaka atau Aria Banyak Catra yang merupakan putra Siliwangi dari Pajajaran, sebuah distorsi dari putra Ningratkancana atau Dewa Niskala Raja Galuh. Sebagaimana Guru Minda, Kamandaka atau Banyak Catra juga menggunakan pakaian Lutung Kasarung dan melakukan banyak petualangan dalam suka dan duka, hanya saja bukan turun dari Kahyangan tapi dari kerajaan Pajajaran (baca: Galuh). Sementara Pasirbatang yang ada dalam C.M. Pleyte adalah Pasir Luhur dan Purbasari adalah Ciptarasa yang juga sama-sama dimusuhi oleh kakak perempuannya dalam perebutan kekuasaan.
Lutung Kasarung, Guru Minda, Kamandaka, Banyak Catra jika mau dihubungkan dalam sudut pandang Babad yang lebih Semi-Historis, dengan demikian sebenarnya adalah putra Prabu Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala dengan Dewi Ratna Huma. Aria banyak Catra kemudian akan menjadi penguasa Pasir Luhur di kawasan Banyumasan yang pada masa lalu masih bagian dari kekuasaan Galuh. Saudara seibu dan seayah lainnya adalah Banyak Ngampar atau Gagak Ngampar yang disebut juga Silih Warni yang akan berkuasa di kawasan Dayeuh Luhur masih bagian Galuh pada masa lalu (kawasan Cilacap, Brebes, Majenang, Bumiayu, dan sekitarnya). Dan Aria Banyak Blabur atau Kusumalaya atau Ajar Kutamangu yang menikahi Simbarkancana dan berkuasa di Talaga (Majalengka).
Sementara itu, Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana dengan Dewi Uma Dewi memiliki anak bernama Pamanahrasa atau Raja Sunu atau Jayadewata atau Siliwangi atau Silih Wangi. Siliwangi ini yang kemudian akan berkuasa atas tahta Sunda dan Galuh (Pajajaran). Sementara putra lainnya adalah Ningratwangi atau Rangga Pupuk yang akan berkuasa atas tahta Galuh pusat menggantikan ayahnya Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana.
Di dalam Naskah Sunda Kuno, nama sastra Siliwangi dan Banyak Catra telah terabadikan dalam naskah Bujangga Manik. Demikian juga cerita Pantun telah terabadikan dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian dengan empat buah prototipe Pantun: Langgalarang, Banyak Catra, Siliwangi, dan Hatur Wangi. Langgalarang atau Anggalarang merupakan nama sastra untuk Prabu Ningratkancana atau Prabu Dewa Niskala, Banyak Catra pada kesempatan ini dapat diketahui adalah Lutung Kasarung, Guru Minda, dan Kamandaka. Siliwangi sudah jelas sebenarnya Pamanahrasa atau Jayadewata, karena semua orang Sunda menamai Siliwangi sebenarnya hanya untuk penyandang nama lainnya adalah Sri Baduga Maharaja itu sendiri (adapun kekeliruan terjadi karena distorsi dan reduksi memori oral). Sementara Hatur Wangi dengan demikian secara hipotesa dapat diduga sama dengan Ningrat Wangi atau Rangga Pupuk, penguasa Galuh.
Gelar taufiq Kusumawardhana, Jaro Puhu di HOV/VI, mahasiswa pasca sarjana S2 Sejarah Peradaban Islam, UIN SGD Bandung
(Tulisan dimuat di dalam Harian Umum Pikiran Rakyat Rubrik Pabukon, Sabtu, 09 Oktober 2021)
Pusat Kajian Sunda – The Varman Institute (TVI) merupakan unit unggulan yang berada di bawah Bidang Pendidikan Pengajaran dan Pelatihan (Department of Education, Teaching, and Training) dari Yayasan Buana Varman Semesta (BVS).