Jika kita mempelajari perubahan tatanan sosial masyarakat Barat (Judeo-Christian) di Eropa dan Amerika, terutama yang terjadi setelah mengalami empat buah fase besar melalui Revolusi Industri, Revolusi Amerika, Revolusi Perancis, dan Revolusi Bolsevik, maka ada beberapa catatan yang perlu dipelajari.
Pertama, dengan adanya Revolusi Industri maka muncul peluang kepada kelas menengah (middle class) untuk naik ke dalam panggung sejarah ekonomi melalui terbentuknya proses industrialisasi. Kelas tersebut adalah kelas yang biasa kita sebut dengan Borjuis, kelas pedagang atau pengusaha yang bangkit melalui penguasaan Kapital dari luar lingkaran puncak Aristokrasi (Noble) dan Kependetaan (Cleric).
Kedua, seiring dengan bangkitnya kelas Borjuis, maka muncul juga sebagai komplementernya dengan apa yang dalam teori-teori Marxisme dan Marxian disebut dengan kelas Proletar. Yakni kelas buruh yang menggantungkan hidupnya pada naiknya reputasi industrialisasi.
Ketiga, baik kelas Borjuis maupun kelas Proletar dalam sistem Absolute Monarcy pada umumnya di Eropa adalah menempati kelas ketiga (Third Class) yang biasa disebut kelas Common (Umum). Kata Common inilah yang membentuk kata Communis dalam terminologi Marxisme dan Marxian yang berarti kelas manusia pada umumnya (Common People); Rahayat, Somah, atau Cacah (Sunda).
Keempat, di Amerika Third Class atau Third Estates atau Third States ini yang atas bantuan Kerajaan Perancis, Kerajaan Spanyol, dan Kerajaan Belanda melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Kerajaan Britania Raya. Di Amerika, Third Class melakukan perlawanan Revolusi Amerika yang kemudian hari dua sayap komplementernya menjadi konstruk kontestasi politik kaum Republik (Borjuis) dan Demokrat (Proletar).
Kelima, di Perancis Ancien Regime atau Old Regime atau Absolute Monarchy Perancis pada akhirnya digulingkan juga oleh Third Class, Borjuis dan Proletar yang disebut Common People atau Communis dan sempat membuat perangkat pemerintahan Republik-Demokratis selama 1 bulan di bawah Walikota Paris. Di Britania Raya, Absolute Monarchy telah berevolusi sebelum memasuki masa Revolusi Industri menjadi Constitutional Monarchy dengan membangun traktat-traktat sipil dan parlemen yang ideal sehingga stabil dan bertahan.
Keenam, pemerintahan Communis Paris yang tidak berumur panjang jatuh. Di Jerman, Karl Marx memformulasi ulang gagasan ideal soal Communisme. Merancang tesis untuk menggulingkan Liberalisme Kapitalisme (Borjuis) yang dianggapnya tidak menyelesaikan masalah. Perpindahan kekuasaan dari sistem Absolute Monarchy menuju Republik Demokratis di bawah kuasa Borjuis hanya memindahkan masalah, maka perlu dilakukan revolusi baru dimana kekuasaan harus diambil alih Proletar. Ini lah yang disebut Communis (tanpa Class) sesungguhnya dalam pandangan Marxisme harus mengalami transisi dalam bentuk Diktator Proletariat
Ketujuh, di Rusia absolute monarchy digoyang oleh Proletar dengan bantuan dana dari Borjuis yang disebut Revolusi Bolsevik dibawah Lenin dan Trotsky. Naiknya kelas Proletar dan impian masyarakat tanpa kelas tampaknya hanya berupa angan-angan utopia belaka yang tidak pernah terjadi.
Dalam masyarakat Eropa sebelum mengalami empat buah revolusi besar, sistem absolute monarchy dari Christendom (Katolik) bertahan dengan skema Three Estates sejak abad pertengahan, yakni Oratores (Cleric), dia yang berdoa (Pendeta); Belatores (Noble), dia yang berperang; dan Laboratores (Common), dia yang bekerja (Worker Class).
Di beberapa negara Eropa lainnya, Laboratores, atau Common People, atau Communis, atau Worker Class dibagi dua kelas, yakni Borjuis (Pengusaha) dan Proletar (Buruh), sehingga menjadi Four Estates.
Untuk mencerna struktur sosila masyarakat Eropa sebelum naiknya masa Trias Politika (Pembagian Kekuasaan) dengan konsep Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif; yakni Three Estates (Tiga Golongan) yang akan merepresentasikan seluk-beluk Parlemen (Majlis Syuro) ada baiknya sebagai orang Timur mengingat konsep Catur Warna: Brahmana (Pendeta), Ksatria (Bangsawan), Waisya (Pedagang), dan Sudra (Buruh).
Brahman atau Pandita akan setara dengan Oratores atau Clerik, Ksatria atau Bangsawan akan setara dengan Belatores atau Noble atau Knight, Borjuis atau Kapitalis akan setara dengan Waisya, dan Proletar akan setara dengan Sudra. Di dalam konsep Sunda Kuno, yang merujuk pada Trimurti dimana Brahma sebagai Pencipta, Wisnu sebagai Pengelola, dan Siwa sebagai Pengajar akan berubah menjadi konsep Tri Tangtu atau Tri Lamba di Bumi atau di Buana atau di Jagad.
Wisnu akan menjadi Raja atau Prabu atau Ratu atau Aristokrasi atau Noble atau Belatores. Siwa akan menjadi Pendeta atau Brahmana atau Oratores atau Clerik. Dan Brahma atau Rama akan menjadi Common People. Rama di dalam naskah-naskah Sunda Kuno identik dengna istilah lain Sang Wong Tani dengan lambang pekakas kerja Kujang. Sehingga Rama atau Sang Wong Tani adalah representasi dua estates Borjuis yang bekerja dengan kepemilikan modal dan tanah dan Proletar yang bekerja dengan tenaga dan waktu.
Jika sistem Three Estates dalam sistem monarchy Christendom hacur dalam revolusi-revolusi Eropa dan Amerika menjadi Republik Demokratis (perhatikan dialektika Judaisme dan Christianiti di Eropa dan Amrika) maka di Timur, Tri Tangtu Hindu Siwa akan mengalami Islamisasi struktur dalam Kesultanan (Islamic Constitutional Monarchy). Tri Tangtu kemudian akan runtuh di Timur termasuk di Indonesia sejak masa kolonialisme dan kemudian masuknya dampak revolusi yang merubah tata negata bukan saja Eropa dan Amerika termasuk ke seluruh dunia termasuk di Nusantara dan Tatar Sunda, yang juga menjadi Republik.
Perubahan tatanan dunia baru adalah hasil revolusi jika meminjam trend Timur, Revolusi Sang Wong Tani atau Rama, atau jika meminjam Catur Warna adalah Revolusi Waisya dan Revolusi Sudra sebagai agen-agen perubahannya. Tri Tangtu dengan demikina kurang tepat untuk dikomparasikan kesebangunan atua kesejajarannya dengan Trias Politica, melainkan harus dengan Three Estates yang berhubungan dengan soal peran, fungsi dan representasi golongan rakyat dalam Parlemen atau Majelis Syuro pada masa kerajaan Katolik di Eropa dan masa kerajaan Siwa-Budha di Tatar Sunda.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.