Oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana/The Varman Institute
Arsiparis Karguna Purnama Harya/The Varman Institute
(II) Konstruksi Legenda Sang Kuriang Dalam Naskah Bujangga Manik
(H) Narasi Sakakala Sang Kuriang Dalam Naskah Bujangga Manik
Apa yang dimaksudkan para analis dengan adanya catatan mengenai Legenda Sangkuriang yang telah tercatat sejak abad ke-16 M di dalam naskah Bujangga Manik sebenarnya perlu dianalisa lebih kritis soal otentisitas makna dan narasinya.
Apakah konstruksi Legenda Sangkuriang pada abad ke-21 M sebenarnya telah sama persis dengan apa yang terdapat pada narasi naskah Bujangga Manik mengenai Sakakala Sang Kuriang pada abad ke-16 M?! Hal demikian merupakan suatu pertanyaan fundamental yang perlu diikhtiarkan untuk bisa dijawab.
Sebelum melakukan suatu hipotesa-hipotesa, ada baiknya kita menyimak terlebih dahulu apa yang benar-benar otentik yang telah menjadi narasi atau petunjuk yang ada di dalam naskah Bujangga Manik tersebut terkait kutipan Sakakala Sang Kuriang.
Narasi yang terkandung di dalam naskah Bujangga Manik perihal Sakakala Sang Kuriang, jumlah totalnya hanya terdiri dari 5 baris kalimat dalam bentuk sajak prosais berbahasa Sunda Kuno dengan jenis aksara Sunda Kuno. Di muat dalam bentuk medium daun pohon Gebang. Jumlah 5 baris kalimat tersebut, tersusun dari 17 kosa-kata. Posisi kalimat-kalimat tersebut, berada pada baris kalimatnya nomer 1338, 1339, 1340, 1341, dan 1342.
Narasi lengkapnya sebagaimana demikian:
“leu(m)pang aing kabaratkeun,
datang ka bukit Pategeng,
Sakakala Sang Kuriang,
masa dek nyitu Citarum,
burung te(m)bey kasiangan.” (BM, 1338-1342)
Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia (Melayu) adalah sebagaimana berikut:
“berjalan aku ke arah Barat,
tiba di Bukit Pategeng,
Sakakala Sang Kuriang,
waktu akan membendung Citarum,
urung dimulai karena kesiangan,” (terjemahan Gelar T.K.)
Sehingga ilustrasinya pada waktu itu, Bujangga Manik sedang berjalan ke arah Barat (dari arah Timur). Ketika tiba di suatu tempat yang bernama Bukit Pategeng (pada saat ini Bukit Patenggeng); dia berkata bahwa Bukit Pategeng adalah Sakakala Sang Kuriang.
Dengan kata lain Bukit Pategeng adalah petilasan, jejak, bukti, tinggalan, monumen, bekas, tanda, atau tarikh waktu yang mengabadikan perbuatan Sang Kuriang. Jadi bukti untuk Sang Kuriang atas perbuatannya tersebut bukan Gunung Tangkubanparahu sebagaimana narasi yang berkembang pada saat ini, melainkan Bukit Pategeng.
Bukit Pategeng itu bukti dari perbuatan apa? Bukit Pategeng adalah bukti dimana Sang Kuriang pernah beritikad, pernah berniat, pernah bermaksud, pernah berkehendak, pernah memiliki tujuan, untuk Nyitu (membendung) aliran sungai Citarum. Nyitu merupakan kata Kerja di dalam bahasa Sunda yang berarti membuat Situ, sementara kata bendanya adalah Situ itu sendiri yang berarti nama lain dari Dano atau Bendungan di dalam bahasa Sunda.
Jadi Sang Kuriang pernah berniat untuk membuat Situ, Dano, atau Bendungan pada aliran sungai Citarum, hanya saja dikatakan dalam naskah Burung yang berarti batal, gagal, tidak jadi, atau tidak terlaksana. Sementara Tembey di dalam bahasa Sunda hari ini adalah berarti melakukan suatu kegiatan atau perkerjaan yang produktif yang dilakukan sejak dini hari atau sejak pagi-pagi sekali (early in the morning), sebelum kemudian tidak akan lama berselang matahari mulai terbit atau bersinar dari arah Timur dengan membawa cahaya yang terang benderang dan menyibak keterbukaan atas suluruh pemandangan alam.
Di dalam bahasa Minang, terdapat kata Tambo yang berarti Kisah, Cerita, Sejarah, atau Hikayat masa lalu yang dikatakannya berasal dari kata asal Tembey. Kata Tembey dalam bahasa Sunda dan Minang ini sebenarnya berasal dari bahasa Sanskrit Tamba, yang berarti Tembaga. Selain berarti Tembaga artinya lainnya adalah bermakna suram, gelap, tidak jelas, atau samar.
Warna logam Tembaga (Sunda, Tambaga) memang berwarna kuning kecoklatan. Warnanya terlihat kusam, tidak terang-benderang. Meskipun mengandung warna, warnanya tidak memiliki kekuatan untuk memikat mata. Soal cita rasa warna yang gelap atau samar ini, yang kemudian akan berasosiasi dengan waktu dini hari dimana matahari belum terbit sempurna, belum naik tinggi. Pada masa tersebut, berkas cahaya sayup-sayub sebenarnya telah muncul di ujung Timur, namun demikian masih cenderung remang-remang.
Pada waktu demikianlah, orang terdahulu biasa giat untuk kemudian bergegas segera ke kebun, ke ladang, ke hutan, atau ke sungai memasang jala-jala ikan. Di dalam bahasa Sunda, kegiatan pada dini hari tersebut akan dinamai dengan kata Mitembeyan. Jadi Tembey, Tambaga, dan Tambo, sebenarnya berasal dari kata Sanskrit Tamba. Suasana yang kurang cerah sebagaimana demikian di dalam bahasa Sunda bisa juga disebut Siem atau Siam. Lawan dari kata Siem atau Siam adalah Siang, yakni terang-benderang, terbuka, terlihat, tersinari seluruhnya.
Jadi Sang Kuriang urung, batal, tidak jadi melakukan suatu pekerjaan sejak pagi-pagi. Dengan demikian, Sang Kuriang sebenarnya bahkan belum mengerjakannya sama sekali; karena dia kesiangan, atau pemisalannya adalah karena terlambat bangun. Pagi yang gelap itu telah terlampaui dengan sia-sia, pagi yang samar itu telah terlewati dengan begitu saja, dimana Sang Kuriang pada akhirnya hanya tiba-tiba menemukan jika waktu telah bergerak siang, telah terbuka, telah terang-benderang, telah bercahaya.
Oleh karena situasi telah terang-benderang, maka pekerjaan yang seharunya biasa dilakukan sejak pagi-pagi (Mitembeyan) itu pada akhirnya tidak jadi dikerjakan. Bukan tidak bisa, atau tidak boleh; melainkan nilai perbuatannya menjadi tidak utama lagi untuk dilakukan. Jika harus tetap dilakukan, maka mengerjakan di hari-hari yang lain dengan tepat waktu akan menjadi pekerjaan yang lebih baik.
Sang Kuriang dengan demikian baru berniat, baru berangan-angan untuk membuat Situ, Dano, atau Bendungan pada aliran sungai Citarum. Hanya saja sudah tidak memiliki cukup waktu ideal untuk melaksanakannya. Dimana lokasinya pembendunyan tersebut direncanakan Sang Kuriang? Tentu saja pada aliran sungai Citarum dimana lokasinya tidak jauh dari keberadaan Sakakala Sang Kuriang itu sendiri, yakni Bukit Pategeng.
Untuk lebih meyakinkan lagi, bahwa Gunung Tangkubanparahu di dalam naskah Bujangga Manik tidak ada hubungannya sama sekali dengan Sakakala Sang Kuriang; maka akan kita lihat bagaimana pernyataan Bujangga Manik terkait dengan Tangkuban Parahu pada saat dia berdiri di atas Panenjoan, yakni puncak Gunung Papandayan; dimana pada waktu itu dia sedang mengapresiasi para Manuh dan para Dangka (tata pemukian) yang tumbuh sebagai peninggalan Nusia Larang (Rahyang Niskala Wastukancana).
“Itu ta na To(m)po Omas,
lurah Medang Kahiangan.
Itu Tangkuban Parahu,
tanggeran na Gunung Wangi.
Itu ta gunung Marucung,” (BM Baris,1200-1204)
“itu dari nya Tompo Omas,
kelurahan Medang Kahiangan.
Itu Tangkuban Parahu,
pasak nya Gunung Wangi.
Itu dari Gunung Marucung,” (terjemahan Gelar T.K.)
Jadi ketika menyebut atau menunjuk ke arah Tangkuban Parahu dari kejauhan, Bujangga Manik sama sekali tidak memperhubungkan diantara Tangkuban Parahu, Citarum, dan Sakakala Sangkuriang. Bujangga Manik hanya mengatakan jika Tangkuban Parahu adalah tiang, pilar, poros, central, core, atau axis mundi (Tanggeran) untuk Gunung Wangi.
Tanggeran dalam bahasa Sunda Kuno ini yang kemungkinan akan mempengaruhi juga aspek penamaan tempat seperti Tangerang. Sementara di Jawa Timur, kata Tenggeran atau bahasa Sunda kontemporernya Tetengger; akan sejajar dengan kata Tengger dengan arti yang sama pada bahasa Jawa yang kemudian akan menjadi nama tempat seperti di kawasan Tengger-Bromo-Semeru.
Gunung Wangi di dalam naskah Bujangga Manik bukan lagi murni bermakna gunung, melainkan tempat atau unit administrasi pemukiman (lurah) dengan nama Gunung Wangi yang telah didirikan di kaki Tangkuban Parahu. Bisa jadi nama lain dari Tangkuban Parahu itu sendiri dengan kata lain adalah Gunung Wangi, suatu nama gunung yang pada akhirnya akan diambil-alih identitas land marknya sebagai nama tempat atau unit administrasi pemukiman.
Bujangga Manik sebenarnya tidak hanya mengamati Tangkuban Parahu dari arah kejauhan saja. Bujangga Manik bahkan pernah melintasi Tangkuban Parahu di lain waktu satu kali, namun demikian sama sekali tidak tidak mencatatkan kembali namanya. Kepastian bahwa Bujangga Manik pernah melintasi kaki atau lereng Tangkuban Parahu atau daerah Gunung Wangi adalah sebagai suatu konsekuensi penalaran atas teks yang ada.
Agar lebih meyakinkan, narasi perjalananan ketika Bujangga Manik akan memasuki rute kawasan Tangkuban Parahu; dapat dikutipkan sebagaimana berikut:
“Sadiri aing ta inya,
leu(m)pang aing ngaler barat.
Tehering milangan gunung,
itu ta bukit Karesi,
itu ta bukit Langlayang,
ti barat na Palasari.
(setelah aku dari sana,
berjalan aku ke arah Utara Barat.
sambil menghitung gunung,
itu dari Bukit Karesi,
itu dari Bukit Langlayang,
dari Barat nya Palasari.)
Jadi ketika Bujangga Manik selesai bertapa di kawasan Hulu na Citarum (Hulu nya Citarum) yang berada di Gunung Sembung (kawasan sekitar Gunung Rakutak dan Dano Ciharus), dengan demikian bukan Cisanti di Gunung Wayang karena seluruh toponimi tersebut sama-sama dicatat dan berada pada lokasi yang terpisah. Bujangga Manik kemudian berjalan ke arah Utara Barat, artinya ke arah Barat Laut.
Setiba dari kawasan Bandung Selatan ke Bandung Utara tersebut (sangat memungkinkan lewat Solokanjeruk, Cicalengka, Rancaekek, Cileunyi, Cibiru, hingga Ujungberung), Bujangga Manik melihat, mendekati, dan melalui Bukit Karesi (Gunung Geulis), Bukit Langlayang (Gunung Manglayang), dan Bukit Palasari (Gunung Palasari). Di sebelah Timur Bukit Palasari adalah Bukit Langlayang, dan disebelah Timur Bukit Langlayang adalah Bukit Karesi.
Ngalalar ka bukit Pala.
Sadatang ka kabuyutan,
meu(n)tas di Cisaunggalah,
leu(m)pang aing kabaratkeun,
datang ka bukit Pategeng,
(menuju ke Bukit Pala,
sesampai ke Kabuyutan,
menyeberang di Cisaunggalah,
berjalan aku ke arah Barat,
tiba ke Bukit Patenggeng,)
Dari kawasan Cileunyi dengan demikian Bujangga Manik bergerak ke arah Cibiru lalu ke arah Ujungberung. Dari Ujungberung naik ke Utara melalui alun-alun Ujungberung saat ini dengan menggunakan ruas jalan yang membentang daru Cigending, Cinangka, Palalangon, Palintang, hingga Jalan Bukit Tunggul.
Dengan panduan ke arah Bukit Pala (Gunung Bukittunggul), pada kaki gunung diantara Gunung Palasari dan Gunung Bukittunggul; Bujangga Manik bergerak ke arah Barat hingga tiba di Kabuyutan. Kabuyutan tersebut, sangat mungkin adalah apa yang kita kenal saat ini sebagai Kabuyutan Batuloceng.
Rute tersebut sudah menjadi rute yang penting sejak masa silam, terbukti pada tahun 1884 M; di kawasan sekitar Kebun Kina Gunung Bukittunggul yang tidak jauh dari kawasan Batu Loceng, pernah ditemukan bukti Prasasti Cikapundung yang ditorehkan pada Arca Cikapundung. Peninggalan tersebut, pada saat ini telah disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris 479c/D184.
Kabarnya, isi prasasti tersebut hanya memuat informasi yang singkat, yakni “angka tahun 1263 Saka (1341 Masehi)”. Jika pembacaan dan kalkulasinya benar, maka zaman tersebut berusia sekitar 200 tahun sebelum masa Bujangga Manik melakukan perjalanan.
Setelah melalui Kabuyutan (Batuloceng), Bujangga Manik kemudian dikatakan harus menyeberang sungai Cisaunggalah (Cikapundung). Cisaunggalah dengan demikian adalah nama Kuno dari nama Kiwari Cikapundung. Sementara itu, tidak ada posisi lain yang mengharuskan Bujangga Manik untuk menyeberangi Cisaunggalah (Cikapundung); kecuali jika dia telah melewati posisi Palintang, Jalan Bukittunggul, Suntenjaya, Cibodas, dan Maribaya.
Di Maribaya, sungai Cikapundung yang semula bergerak dari arah Timur ke arah Barat melalui Patahan Lembang; kemudian harus berbelok ke Selatan melalui sebuah retakan tebing dimana aliran sungai Cikapundung bertemu dengan aliran sungai Cikawari-dan-Cigulung yang sebelumnya telah lebih dulu bersatu dan membuat gejala Curug Maribaya dan Curug Omas terbentuk. Di titik ini, Bujangga Manik menyeberangi aliran sungai Cikapundung dan membuatnya terus bergerak ke arah Barat hingga tiba di arah Lembang pada saat ini.
Bujangga Manik, pada titik ini seharusnya mencatatkan kembali Tangkuban Parahu dan Gunung Wangi; namun demikian memilih tidak mencatatkannya sama sekali. Bujangga Manik hanya fokus mencatat bahwa selepas menyeberangi Cisaunggalah (Cikapundung) di kawasan Maribaya saat ini dia terus bergerak ke Barat hingga tiba di Bukit Pategeng (Bukit Patenggeng). Masalahnya, untuk bisa tiba di Bukit Patenggeng yang berada di sebelah Barat Laut dari Gunung Tangkubanparahu; Bujangga Manik pasti harus melalui Gunung Wangi dan Tangkuban Parahu.
Ada dua alternatif yang bisa dilakukan Bujangga Manik, dia bergerak ke Utara ke arah Jalan Cagak, Wanayasa, hingga akhirnya tiba di Bukit Patenggeng. Dan bergerak ke arah Padalarang, Cikalong, hingga akhirnya tiba di Bukit Patenggeng Baik menuju ke arah Jalan Cagak maupun ke arah Jalan Padalarang, maka Bujangga Manik dengan demikian tengah melipir dan memutari lereng Tangkuban Perahu. Di lintasan tersebut, Bujangga Manik tidak mencatat Gunung Tangkubanparahu; apalagi mencatat Sakakala Sang Kuriang.
“sakakala Sang Kuriang,
masa dek nyitu Citarum,
burung te(m)bey kasiangan.
Ku ngaing geus kaleu(m)pangan,
meu(n)tas aing di Cihea,”
(Sakakala Sang Kuriang,
waktu akan membendung Citarum,
urung dimulai karena kesiangan.
Oleh aku sudah terjejaki,
menyeberang aku di Cihea,)
Pada saat tiba di Bukit Pategeng, Bujangga Manik menyatakan jika tempat itulah Sakakala Sang Kuriang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Setelah mengenang peristiwa tersebut, Bujangga Manik menyeberang di sungai Cihea. Cihea pada saat ini masuk Kecamatan Haurwangi Kabupaten Cianjur, posisinya berada di sebelah Barat sungai Citarum. Sehingga meski tidak dikatakan secara lugas, maka dari Bukit Patenggeng Bujangga Manik kemudian menyeberangi aliran sungai Citarum hingga kemudian menyebrang kembali di sungai kecil bernama Cihea.
Pada bagian mana aliran sungai Citarum yang diseberangi Bujangga Manik?Karena posisi Bukit Patenggeng di Utara dan kemudian bergerak ke Cihea di arah Selatan, maka sangat kuat dari arah Lembang rute klasik ramai pada masa itu belum melalui Parongpong; melainkan melalui Jalan Cagak dan Wanayasa hingga tiba di Bukit Patenggeng yang saat ini berada di Rest Area KM 97 Tol Purbaleunyi. Dari Purbaleunyi, Bujangga Manik turun ke Cikalong Wetan, lalu masuk ke Cipatat.
Dari Cipatat bergerak ke Tenggara ke arah Jalan Mandala Wangi, yakni pedataran diantara Jembatan Rajamandala saat ini dengan kawasan Bantar Caring, Sanghyang Heuleut, Sanghyng Kenit, Sanghyang Tikoro, dan Sanghyang Poek; menuju ke Jembatan Citarum Lama (sebelum dipindahkan ke arah Rajamandala). Dari Jembatan Lama Citarum, Bujangga Manik kemudian menyeberang kembali di aliran keci sungai Cihea. Ruas Citarum tersebut meskipun curam dan berair deras, namun berlebar lembah sempit sehingga sangat memungkinkan untuk dibuat jembatan penyeberangan pada masa lalu.
Kemudian pada bagian mana aliran sungai Citarum yang diangankan Sang Kuriang dapat dibendung?Yakni pada jurusan Barat dari arah penglihatan dari Bukit Patenggeng, dengan demikian sesuai dengan apa yang kemudian pada abad ke-20 M terkabul sebagai Waduk Jatiluhur (1957 M), Waduk Cirata (1983 M), dan Waduk Saguling (1980 M). Namun demikian, jurusan paling presisi dari arah Bukit Patenggeng adalah apa yang saat ini menjadi Waduk Cirata. Pada lintasan itu pula pada kesempatan yang lain Bujangga Manik pernah menyeberangi aliran sungai Citarum (kawasan Keraja, tanggul pemisah Waduk Citara dan Waduk Jatiluhur). Semua waduk yang ada pada aliran sungai Citarum tersebut, pada akhirnya berpijak pada hasil kerja dan analisa yang dituangkan dalam makalah proposal Prof. Ir. W.J. van Blommestein Meer pada tahun 1920 M dengan pengajuan nama Waduk Tarum (selain skema umum rencana pembuat waduk-waduk dari Banten hingga Jawa Timur dan pemanfaatannya untuk jalur transportasi air yang saling terhubung).
“meu(n)tas aing di Cisokan,
datang ka lurah Pamengker.
Cu(n)duk aing ka Mananggul,
ngalalar ka Li(ng)ga Lemah.
Tuluy datang ka Eronan,”
(menyebrang aku di Cisokan,
tiba ke kelurahan Pamengker,
datang aku ke Mananggul,
menuju je Lingga Lemah,
lalu tiba ke Eronan,)
Dari Cihea, Bujangga Manik menyebrangi sungai besar lainnya yakni Cisokan. Dari Cisokan, Bujangga Manik kemudian tiba di kelurahan Pamengker (Ciranjang). Dari Pamengker lalu sampai di Mananggul (Karang Tengah) dan bergerak menuju Lingga Lemah (Cianjur). Dari Lingga Lemah Bujangga Manik tiba di Eronan (Cipanas).
“na(n)jak ka Le(m)bu Hambalang.
Sadatang ka bukit Ageung,
eta hulu Cihaliwung,
kabuyutan ti Pakuan,
sanghiang Talaga Warna,”
(mendaki ke Lembu Hambalang,
setiba ke Bukit Ageung,
itu Hulu Cihaliwung,
Kabuyutan untuk Pakuan,
Sanghyang Talaga Warna,)
Dari Eronan (Cipanas), Bujangga Manik menjadi Lembu Hambalang (tanjakan Cipanas) kemudian mengambil rute Cibodas hingga tiba di kaki Bukit Ageung (Gunung Gede). Bukan naik hingga puncak gunung, melainkan menuju sumber mata air yang diberi nama Sanghyang Talaga Warna. Telaga tersebut hingga saat ini masih ada dengan nama yang sama, Talaga Warna pada rute pendakian Gunung Gede. Tidak terlalu luas, namun indah dengan warna airnya yang kebiruan. Tempat itu menurut Bujangga Manik, dianggap bagian dari Hulu Cihaliwung (Ciliwung) yang akan mengalir ke Pakuan Pajajaran. Daerah tersebut merupakan Kabuyutan atau Mandala yang dikonservasi sejak dahulu.
Pada catatan perjalanan (Itinerary) Bujangga Manik, semuanya tampak tidak ada penekanan terhadap genesa Gunung Tangkubanparahu. Dan imajinasi pembendungan Citarum, juga tidak terlihat mengawang-ngawang sebagai keinginan untuk membendung kawasan cekungan Bandung Raya. Bujangga Manik, hanya memberitakan jika Sang Kuriang telah memiliki gagasan membuat bendunga hanya saja belum tercapai. Dan Sejarah pembuatan bendungan, memang lebih sukar dari membuat sodetan (canal) seperti Purnawarman. Apalagi, posisinya bukan di daerah hulu sungai, melainkan di daerah aliran tengah. Prestasi teknis dalam hal pembuatan bendungan (dam) pada masa kuno sebenarnya sudah pernah dicapai oleh kerajaan Saba sejak abad ke-8 SM di Yaman, dengan nama Bendungan Ma’arib
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya dengan panjang lebar karena sangat pentingnya dapat mengetengahkan aspek konseptual terkait sakakala, maka pada akhirnya makna sakakala telah sangat jelas sebagai wujud peninggalan, atau peringatan, atau waktu yang nyata. Hanya saja, kemudian timbul kesulitan untuk menafsirkan sosok Sang Kuriang tersebut; dikarenakan sejauh penelusuran naskah-naskah Sunda Kuno yang ada, berita yang memuat nama Sang Kuriang tidak ada lagi yang muncul kecuali hanya terdapat di dalam naskah Bujangga Manik sebagai satu-satunya data.
Kita akan mencoba untuk menganalisa aspek linguistik atau fonetik dari nama Sang Kuriang tersebut secara spekulatif. Kata Sa, Si, San, Sam, atau Sang sebagaimana telah dipaparkan pada chapter sebelumnya adalah berarti gelar kehormatan untuk dinisbatkan pada seseorang yang dihormati.
Sementara Kuriang, kita bisa membedahnya sebagai bentukan dari kata Kuri dan Yang atau Hyang. Formasi Tata Bahasa lainnya, atau katakanlah Anagram lainnya adalah Sang Hyang Kuri atau tepatnya Sang Hyang Kuru.
Bisa jadi, kata Kuriang adalah variasi fonetik juga dari kata Guriang. Sehingga, apabila skenarionya adalah Sang Guriang misalnya; maka rekonstruksi pembentukkan katanya adalah dari kata Sang Guri Hyang, atau menjadi Sang Hyang Guri, atau lebih tepatnya adalah Sang Hyang Guru.
Namun demikian, di dalam bahasa Sanskrit; baik kata Guru maupun kata Kuru adalah sesuatu yang biasa saling dipertukarkan ucapannya karena sebenarnya memiliki makna yang sama, yakni berarti sebagai Pengajar (Pengetahuan) atau Pembimbing (Pengetahuan). Sang Kuriang atau Sang Guriang dengan demikian akan berarti Sang Guru atau Sang Kuru.
Guru di dalam kebudayaan Hindu adalah tempat, atau wadah, atau ruang dimana Veda atau Vidya (Pengetahuan) disimpan. Makna bentukkan lainnya adalah Guruha atau Graha yang berarti rumah atau bangunan. Di dalam bahasa Sunda, selain tiba juga sebagai kata Graha; telah sampai jiga bentukan kata lainnya seperti kata Guha (Goa) dan Geureuha (Isteri) sebagai sinonim dari kata Garwa.
Sementaar kata Kuru, selain sampai melalui tradisi pewayangan yang berbasiskan Purana (Mahabarata) sebagai tokoh leluhur bagi Pandawa dan Kurawa; kata Kuru juga tampaknya mempengaruhi pertumbuhan kata Kuring yang berarti aku. Kuring ini bisa jadi bentukan kata Kuru (Guru) dan Hyang (Dia), bisa juga bentukan kata Kuru (Guru) dan Ing (Dari). Pada masa pembuatan Kamus Bahasa Sunda oleh Andries de Wilde pada abad ke-19 M, makna Kuring memang telah berkembang dengan arti (aku yang) Hina atau Rendah.
Namun demikian, jika kita meninjaunya dalam perspektif Sosiologis; perubahan makna tersebut bisa jadi akibat bertemunya pengguna kata Kuring dengan suatu masyarakat baru lainnya yang secara sistem Sosial dan tatanan masyarakat tengah memiliki hegemoni atau lebih bersifat superior.
Dengan adanya standar bahasa yang berbeda tersebut, maka kata Kuring kemudian akan menjadi jatuh pada struktur Psikologi yang lebih terasa bercita rasa lebih rendah. Namun demikian, Kuring pada prinsipnya mewakili struktur awal yang sama dengan jiwa kata Melayu Aku atau kata ilmiah Barat Ego. Suatu kesadaran tentang Subjek yang tumbuh dari kedalaman ruang batin seorang manusia.
Kemudian, jika pada faktanya nama Sang Kuriang tidak ditemukan secara Epigrafi dan Filologi pada naskah-naskah lainnya yang jauh lebih tua; maka dapat disimpulkan secara sementara jika aspek kelahiran gagasan dan nama Sang Kuriang tersebut bersifat baru pada masa dimana naskah Bujangga Manik tersebut diproduksi, yakni pada awal abad ke-16 M. Sehingga, dari sejak abad tersebutlah, gagasan tentang tokoh sajak prosa Sang Kuriang secara perlahan mulai tersampaikan hingga hari ini.
Sang Kuriang tersebut adalah nama Sajak dan nama Prosa, sehingga Sang Kuriang bukanlah nama dokumen atau nama arsip yang bersifat total sosok Historis. Namun demikian, dengan melihat pola keajegan naskah; maka sosok prosa sajak tersebut, sebagaimana sosok-sosok yang lainnya seharusnya memang dibuat untuk merepresentasikan sosok nyata seseorang.
Nama Sang Kuriang tersebut dengan demikian adalah nama julukan atau gelar bukan bersifat nama asli. Jika menggunakan analisa Antroponimi sebelumnya, maka nama Sang Kuriang bisa bermakna dua hal. Petama artinya adalah sebagai Sang Guru. Dan kedua artinya adalah sebagai Sang Aku. Sementara mengartikan kata Sang Kuriang atau Sang Guriang dengan makna Guriang sebagai sosok makhluk supranatural, sejauh ini bukan opsi yang tepat. Karena aspek pemaknaan Guriang dengan maknanya yang seperti itu, adalah suatu distorsi pemaknaan yang berlangsung pada masa dikemudian hari.
Dengan demikian, sejauh ini memang belum ada suatu kepastian yang eksak soal analisa ini, karena data yang masih terbatas. Kesimpulan sementara hanya bisa dibuat bahwa pertama, nama Sang Kuriang adalah gelaran yang bersifat representasi sosok nyata. Kedua, bahwa pernyataan perihal Sakakala Sang Kuriang yang membuat danau dengan demikian bersifat realis (bukan Sasakala atau Legenda dalam maknanya hari ini). Dan ketiga, kita bisa menduga apa yang dimaknai Sakakala Sang Kuriang (naskah Bujangga Manik) pada masa silam; sebenarnya berbeda dengan makna Sasakala Sangkuriang atau Sasakala Gunung Tangkubanparahu sebagaimana yang dipahami pada hari ini.
Dimana pada masa sekarang, orang mengatakan jika Legenda Sangkuriang adalah Sasakala (asal-usul terbentuknya) Gunung Tangkubanparahu. Sementara pada naskah, sudah cukup jelas jika Sakakala Sang Kuriang tidak ada satu kata pun di dalam naskah tersebut; yang kemudian menghubungkannya dengan asal-usul pembentukkan Gunung Tangkupanparahu.
Adapun dua hal yang diperhubungkan dengan kata Sakakala Sangkuriang di dalam naskah Bujangga Manik adalah Citarum dan Bukit Pategeng. Jika Bujangga Manik ingin mengatakan ada kaitannya dengan pembentukkan Gunung Tangkubanparahu, maka seharusnya pernyataan itu akan diucapkan ketika melalui Gunung Tangkubanparahu itu sendiri (yang pada kenyataannya tidak diucapkan sama sekali).
Nalar kuno sepertinya sudah cukup memahami aspek Linguistik sederhana, jika Gunung bukan dibuat dari Perahu. Dan kemudian makna Tangkubanparahu juga bukan berarti Perahu yang Telungkup, melainkan Telungkupan yang menyerupai Perahu (dimana Telungkupan tersebut pada kenyataannya adalah Gunung bukannya Perahu). Sehingga, cita rasa di dalam bahasa Sunda tersebut; sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk memahami maknanya itu sendiri. Aspek pemaknaan nama tersebut, belum melibatkan analisa tambahan pada bahasa Sanskrit dimana kata Para dan Hu secara etymology dapat membentuk sejarah pembentukan terminologi kata Perahu atau dalam hal ini juga Gunung yang menyatakan suatu kualitas yang tinggi (Para).
Pada analisa selanjutnya, akan dikaji bagaimana perkembangan narasi Legenda Sang Kuriang yang terdapat pada dokumen-dokumen selanjutnya. Baik pada catatan para penulis dan pengkaji Belanda maupun para penulis dan pengkaji Pribumi. Apakah setiap catatan dari para kontributor Legenda Sang Kuriang tersebut bersifat umum dan masyhur tanpa ada perbedaan berarti, ataukah bahkan sangat berbeda satu-sama lainnya secara signifikan dan radikal.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.