Bagaimana Sikap Orang Sunda yang Merupakan Penganut Agama Islam dalam Menanggapi Wacana Pengembangan Kebudayaan dan Peradaban?

Oleh Chye Retty Isnendes & Gelar Taufiq Kusumawardhana

Di setiap tempat dan di setiap zaman, Islam dan umat Islam tidak akan pernah mampu untuk dihambat dan dimatikan. Di setiap tempat dan di setiap zaman, Islam dan umat Islam juga memiliki aneka ragam bentuk tantangan dan hambatannya masing-masing. Namun demikian, umat Islam tidak boleh bersifat reaksioner dalam menanggapi berbagai bentuk hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan tersebut.
Umat Islam harus berpijak pada kesadaran, kecerdasan, kemandirian, dan pada rencana kerja (grand design) yang dimilikinya sendiri. Dengan demikian bagaimanapun kerasnya hambatan dan tantangan umat Islam dapat lolos dan mampu mensiasati segala bentuk kesulitan dan himpitan yang ada menjadi kesempatan dan kemenangan.

Urang Sunda sebagai bagian dari umat Islam dunia sudah tidak diragukan lagi komitmen dan pembelaannya terhadap Islam. Namun demikian, urang Sunda sebagai umat Islam kontemporer ini perlu mendudukkan kembali bagaimana caranya untuk tidak pernah berhenti dalam melakukan aspek pembinaan dan pemanduan kebudayaan dan peradaban dirinya sendiri.

Karena apabila kerja kebudayaan dan peradaban tidak dilakukan oleh dirinya sendiri, maka bukan suatu hal yang mustahil akan dimanfaatkan oleh para spekulan untuk mengambil alih proses pembimbingan dan pemanduan kerja kebudayaan dan peradaban ke arah yang menjauhkan orang Sunda sebagai umat Islam jauh dari pengajaran dan sistem keyakinan Islam itu sendiri.

Untuk memperkuat basis penguasaan terhadap medan kebudayaan dan peradaban, orang Sunda dapat merujuk pada dua model yang bisa digunakan, yakni role model Islamic Golden Age Approach dan role model para penyebar Islam awal di Nusantara dan yang memuncak pada role model gerakan Wali Songo di Pulau Jawa yang antara keduanya pada hakikatnya berjalan melalui prinsip yang sama, yakni menunjukkan bahwa Islam mampu memberikan solusi atas segala kebutuhan dan tantangan masyarakatnya baik pada medan keilmuan, kebudayaan, dan peradabannya.

Urang Sunda sebagai bagian dari umat Islam harus terjun pada masalah lingkungan hidup, diskursus sejarah, pola pengembangan dan pemberdayaan ekonomi pribumi, dan atau seluruh spektrum keilmuan, kebudayaan, dan peradaban urang Sunda. Karena ketika umat Islam lalai dalam bekerja untuk memenuhi hasrat dan keinginan juga tantangan dan hambatan yang dimiliki oleh masyarakat Sunda, maka terbuka peluang terhadap pihak-pihak tertentu untuk mengambil alih dan menggelincirkan komitmen dan pembelaan orang Sunda terhadap Islam yang telah sejak lama menjadi bagian dari kehidupannya.

Cara kerja para penyebar Islam dan Wali Songo yang sesungguhnnya merupakan mata rantai akhir dari masa Islam Abad Pertengahan tentu saja memiliki irisan pendekatan dan metode yang sama dengan model Islamic Golden Age. Selain para penyebar Islam klasik di Nusantara datang dengan menyuguhkan wajah keunggulan pengetahuan Islam yang dibutuhkan oleh masyarakat pribumi sebagaimana layaknya pendekatan dan paradigma pada Islamic Golden Age (Ilmu), maka dua hal lainnya yang dilakukan adalah pendekatan melalui wahana perdagangan (Ekonomi), dan pranata pernikahan (Sosial).

Dengan melakukan basis pendekatan Keilmuan, Perekonomian, dan Sosial (silaturahmi), maka Islam di Nusantara dan di Tatar Sunda mampu diterima dengan sangat baik keberadaannya dan menjadi solusi yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Islam kemudin dapat mewujud sebagai karakteristik keilmuan, kebudayaan, dan peradaban di Tatar Sunda. Kini usaha yang telah lama mengalami kemandegan tersebut harus disusun ulang dan diformulasikan kembali sebagai format kerja Wali Songo dalam tantangan yang baru.

ditulis oleh

Varman Institute

Pusat Kajian Sunda - The Varman Institute (TVI) merupakan unit unggulan yang berada di bawah Bidang Pendidikan Pengajaran dan Pelatihan (Department of Education, Teaching, and Training) dari Yayasan Buana Varman Semesta (BVS).