Apakah Islam Dapat Diturunkan Kedalam Bentuk Pendekatan dan Paradigma Keilmuan yang Bersifat Lebih Operasional?

Oleh Chye Retty Isnendes & Gelar Taufiq Kusumawardhana

Ilmu (knowledge/pengetahuan) memegang peran sangat penting di dalam agama Islam. Bahkan bisa dikatakan bahwa Islam itu sendiri pada hakikatnya adalah llmu. Melalui hadits kita akan mengetahui bahwa Islam sebagai agama dan pengetahuan tersusun ke dalam bangunan utuh pengetahuan (body of knowledge) dengan pembagian sebagai berikut, yakni Iman, Islam, dan Ihsan. Dalam khazanah pengetahuan klasik, terminologi Iman, Islam, dan Ihsan tersebut sebangun dengan pembagian pengetahuan keislaman sebagai berikut, yakni Aqidah, Syariah, dan Ahlaq.

Apabila kita memperbandingkan dengan khazanah pengetahuan Filsafat, maka konstruk pembagian pengetahuan Iman/Aqidah (keyakinan), Islam/Syariah (pengetahuan), dan Ihsan/Ahlaq (perbuatan) sebenarnya sebangun dengan pembagian bangunan pengetahuan Filsafat sebagai berikut, yakni Ontologis (keyakinan), Epistemologis (pengetahuan), dan Auxiologis (perbuatan).

Filsafat pada tahap selanjutnya akan melahirkan Falsafah (ideologi) dan juga pengetahuan (knowledge). Sehingga pada dasarnya seluruh bangun keilmuan modern yang tersistematik dari seluruh rumpun alam, sosial, dan humaniora pada dasarnya dipandu oleh paradigma dan pendekatan yang berbasiskan Falsafah (ideologi) dan Filsafat Ilmu tertentu.

Sehingga pada dasarnya tak ada satupun aspek keilmuan dan sudut pandang yang dihasilkannya yang benar-benar bersifat objektif dan universal, melainkan seluruhnya subjektif dan memiliki keberpihakan terhadap basis nilai dan ideologi. Sehingga suatu kesalahan besar ketika umat Islam menganggap seluruh aspek pengetahuan yang dipelajarinya selama ini, dianggap bersifat netral dan umum belaka.

Di dalam khazanah Filsafat, aspek keyakinan Filsafat tidak bersifat tunggal. Biasanya pada lapangan Ontologi yang akan berimplikasi pada lapangan Epistemologi dan Auxiologinya, spektrum keyakinan yang dimilikinya antara lain berupa keyakinan terhadap nilai-nilai yang apabila disederhanakan akan masuk pada polarisasi dua kutub utama yakni Idealisme (Idea-isme) dan Empirisme (Materialisme).

Sehingga dengan demikian umat Islam harus menyadari bahwa Islam sebagai agama memiliki basis sistem nilai dan ideologi yang tersendiri dalam lapangan Ontologi, Epistemologi, dan Auxiologinya. Yang apabila disederhanakan sesungguhnya merupakan jalan keluar yang bersifat terintegrasi dan koheren dari sudut pandang masyarakat Barat (Judeo-Christian) yang bersifat terpecah-belah dalam struktur pengetahuannya.

Dan lagi tidak ada jaminan bahwa baik yang berpijak pada Filsafat Idealisme/Ideaisme yang bersifat serba gagasan, serba ruhani, serba kejiwaan dengan yang berpijak pada Filsafat Empirisme/Materialisme yang bersifat serba bendawi, serba ragawi, dan serba jasmani keduanya kokoh berpijak dan berpihak pada aspek ketuhanan (ilahiah); melainkan di antara keduanya sama-sama dapat dibuktikan dan ditemukan bersifat ateistik atau sekurang-kurangnya bersifat menjaga jarak dalam keraguan untuk tidak mau memastikan dan meyakini terhadap tata nilai dan sistem keyakinan ketuhanan (skeptik/agnostik).

Dari sini kita dapat memahami dan memformulasikan bahwa Islam sebagai agama yang utuh dan sempurna memiliki sepaket penuh perangkat keilmuan turunannya yang merupakan hasil derivasi atau penurunan dari tata nilai pokoknya. Islam dalam hal ini dapat menjadi basis sistem nilai (core value system) dan basis ideologi (core ideology) yang bersifat mandiri dan tersendiri. Islam juga dapat dikembangkan kedalam aspek operasional keilmuan atau pengetahuan melalui kepemilikan atas perangkat paradigma (paradigm) dan pendekatan (approach) yang bersifat mandiri dan tersendiri.

Islam memiliki keutuhan bangunan pengetahuan sejak aspek Ontologis (Iman/Aqidah), Epistemologi (Islam/Syariah), dan Auxiologis (Ihsan/Ahlaq) tanpa perlu meminjam atau mencampur-adukkannya dengan basis sistem nilai dan basis ideologi yang lainnya.

Untuk memberikan gambaran bagaimana bangunan pengetahuan Islam memang dimiliki secara utuh dan bahkan terbukti pernah dilaksanakan secara gilang-gemilang, agar menghindari pembacaan yang bersifat terlalu abstrak maka role model yang dapat dijadikan contohnya adalah bagaimana penerapan paradigma dan pendekatan keilmuan Islam yang dilakukan pada masa Islam Abad Pertengahan (Islamic Golden Age).

Pada masa tersebut Islam maujud sebagai solusi khazanah pengetahuan yang pada gilirannya mampu memimpin dan memandu arah perkembangan kebudayaan dan peradaban masyarakat yang membutuhkannya. Yang adapun apabila disederhanakan merupakan buah dari arakteristik paradigma dan pendekatan keilmuan yang dimilikinya yang bersifat, yakni non secular, polymath, dan poliglot.

Non secular artinya di dalam sistem pengajaran Islam tidak pernah membedakan adanya pengetahuan agama dan pengetahuan non agama. Seluruh pengetahuan baik bersifat duniawi maupun ukhrowi semuanya adalah bersifat agama. Maka seluruh bangunan pengetahuan tersebut seluruhnya dipelajari dalam tata nilai yang utuh dan menyeluruh.

Polymath artinya di dalam sistem pengajaran Islam seorang penuntut ilmu tidak dianjurkan untuk memperlakukan subjek-subjek pengetahuan dengan komitmen yang dijalani secara khusus dan linear. Islam mengajarkan manusia untuk menuntut ilmu pada subjek-subjek pengetahuan apapun sepanjang pengetahuan tersebut dibutuhkan oleh dirinya. Pembagian subjek-subjek ilmu ada dalam buah karyanya, bukan berarti seorang penuntut ilmu atau ilmuan Islam hanya menetap dan berkomitmen pada satu cabang keilmuan saja. Sehingga yang dipegang oleh umat Islam bukanlah sistematika keilmuannya melainkan aspek paradigma, pendekatan, dan metodologinya yang dapat diterapkan dalam seluruh medan keilmuan yang digelutinya.

Polyglot artinya mempelajari, mendalami, memahami, dan menguasai banyak bahasa-bahasa yang menjadi sumber pengetahuan. Umat Islam kuat memiliki gairah pengetahuan yang mendorongnya untuk membaca dan mengkritisinya dari sumber pengetahuan bahasa-bahasa lainnya. Pengetahuan yang diperoleh tersebut diterjemahkan dan diperbaiki kekeliruan-kekeliruannya. Dengan cara tersebut ilmu terus berjalan progresif dan kekeliruan-kekeliruan dalam medan keilmuan terus disempurnakan oleh umat Islam.

Apabila umat Islam kembali menyadari kedudukan Islam sebagai jalan hidup yang sempurna, yang mampu membimbing dalam aspek basis sistem nilai, basis filsafat, basis ideologi, dan basis paradigma, pendekatan dan metode keilmuan maka vitalitas keilmuan, kebudayaan, dan peradaban Islam akan kembali bersinar dengan cemerlang dan gilang-gemilang.

Demikian juga umat Islam tidak akan minder dan kehilangan perangkat nilai dan operasional alternatif dari apa yang dimiliki oleh khazanah pengetahuan Islam itu sendiri sehingga tidak memerlukan lagi aspek ketergantungan perangkat nilai dan operasional dari sistem keyakinan selain Islam.

ditulis oleh

Varman Institute

Pusat Kajian Sunda - The Varman Institute (TVI) merupakan unit unggulan yang berada di bawah Bidang Pendidikan Pengajaran dan Pelatihan (Department of Education, Teaching, and Training) dari Yayasan Buana Varman Semesta (BVS).