حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ عَمْرٍو ، عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ ” .

Diberitakan Abu Nu’aim, diberitakan Sufyan, dari Amr, dari Jabir Ibnu Zaid, dari Ibnu Abas, dari Nabi Sholallohu ‘Alaihi Wasalam, berkata: “Siapa saja yang tidak memperoleh IZAR maka pakailah SAROWIL, siapa saja yang tidak memperoleh NA’LAIN maka pakailah KHUFAIN”. (Shahih Bhukhori, Bab Libas/Pakaian, Hadits No. 5804)

Melalui hadits yang dikumpulkan oleh Imam Bukhori di dalam kitab Shahih Bhukhori, Bab Libas/Pakaian, Hadits No. 5804 dapat diketahui sebagian dari jenis pakaian yang digunakan pada masa hidup Nabi Muhammad SAW dan generasi para sahabatnya.

Apabila dipadankan ke dalam khazanah kebudayaan dan peradaban di Nusantara, maka IZAR dapat diartikan dengan SARUNG, SAROWIL dapat diartikan dengan CELANA PANJANG, NA’LAIN dapat diartikan dengan SANDAL, dan KHUFAIN dapat diartikan dengan SEPATU BOT.

Adapun mengenai IZAR dan SAROWIL masuk ke dalam apa yang disebut di dalam dunia fashion dengan jenis pakaian bawah (lower garment). Sementara NA’LAIN dan KHUFAIN masuk ke dalam apa yang disebut di dalam dunia fashion dengan jenis alas kaki (footwear).

Di dalam bahasa Arab, kata IZAR memiliki padanan kata lainnya yang biasa disebut juga dengan nama FUTHOH, MA’AWAZ, WIZAROH, dan SHORUN.

Adapun trand penggunaan IZAR tersebut pada saat ini cenderung lebih identik digunakan oleh masyarakat Arab di kawasan Yaman, lebih khususnya lagi oleh orang-orang Hadrami di kawasan Hadralmaut dengan penyebutan yang lebih popular sebagai kata SHORUN untuk perkembangan di kawasan pegunungan dan SHORUM untuk perkembangan di kawasan pesisir.

Dari tahap perkembangan IZAR di Hadralmaut (Yaman) yang cenderung disebut SHORUN dan SHORUM inilah kemudian berkembang lebih meluas lagi hingga ke kawasan Teluk Persia dan Samudra India.

Dari kawasan pesisir Teluk Persia yang meliputi Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Yaman, Quwait, Bahrain, Qatar, Oman, Irak, dan Iran; IZAR atau SHORUN menyebar ke kawasan India Selatan dan kemudian ke Kepulauan India (Nusantara) yang merupakan basis bagi kehidupan rumpun Melayu.

Di dalam bahasa Tamil maka disebutlah SARAM, di dalam bahasa Sinhala disebutlah SARAMA, dan di dalam bahasa Sunda, Jawa, Melayu, dan hampir di seluruh kawasan Kepulauan India disebut dengan nama SARUNG.

Dan dari kata SARUNG di dalam kebudayaan Melayu, bahasa Inggris akan menyerapnya menjadi kata SARONG.

Adapun yang menjadi agen penyebar luas budaya SARUNG dari kawasan Hadralmaut (Yaman) menuju kawasan Samudra India yang meliputi pesisir India Depan (India), India Belakang (Indo-Cina), dan India Kepulauan (Nusantara) adalah komunitas Hadrami itu sendiri.

Sementara itu, komunitas Hadrami tersebut terdiri dari dua kelompok, yakni masyarakat asli Hadralmaut (Arab Qohtan) dan masyarakat pendatang yang telah terasimilasi sejak akhir masa kekuasaan Abasiyah di Yaman, yakni komunitas Sayid dan Syarif yang merupakan Ahlul Bait.

Kedua kelompok tersebut saling terhubung dan lekat sebagai komunitas pengguna bahasa Arab dengan campuran bahasa khas Semit Selatan Hadralmaut.

Melalui analisa ini, kita akan mengetahui bahwa SARUNG meskipun telah terinternalisasi sebagai milik kebudayaan Nusantara, namun demikian pada prinsipnya berasal dari fashion Hadralmaut (Yaman) yang dibawa oleh para Sayid pada masa silam melalui jalur perniagaan yang aktif menghubungkan jalur Laut Merah, Teluk Persia, hingga ke Samudra India.

Dengan mengetahui rantai silsilah SARUNG, kita akan mengetahui bahwa mengklaim secara khusus dan ketat bahwa SARUNG merupakan identitas fashion khas muslim Nusantara yang berbeda dan sengaja dibentrokan secara diametral dengan fashion musim Arab merupakan sebuah kecerobohan dan kekeliruan penalaran yang fatal (logical falacy) dan melanggar fakta sejarah yang pernah terjadi (ahistory).

Meskipun trend berbusana muslim Arab Saudi pada umumnya pada saat ini cenderung identik hanya dengan menggunakan jenis pakaian kurung yang menghubungkan bagian atas hingga bawah secara utuh (long loose garment) yang ke dalam bahasa Indonesia disebut GAMIS, namun demikian jenis-jenis pakaian Arab telah berkembang secara maju dan variatif sejak masa Rasulullah itu sendiri.

Rasulullah dan generasi sahabat, telah terbiasa menggunakan GAMIS yang menjadi pakaian luar (outer garment).

Pakaian GAMIS itu bisa dipadukan dengan pakaian dalam (inner garment) lainnya seperti IZAR/SHORUN (Sarong) ataupun SAROWIL/SIRWAL/BANTHALUN (Trousers/Pantaloont/Pants).

Adapun pakaian jenis luar tersebut masih bisa dilapisi lagi dengan pakaian lapis luar (Shell layer garment) lainnya seperti Kaftan ataupun Jubah (Cloak).

Pada bagian alas kaki, Rasulullah sudah terbiasa menggunakan NA’LAIN (Sandals) dan juga KHUFAIN (sepatu bot) yang terbuat dari kulit hewan yang telah disamak secara rapih, kuat, dan nyaman.

Di dalam pengertian kebudayaan Arab yang hidup pada masa Nabi dan sahabatnya, pengertian KHUFAIN haruslah menutupi seluruh bagian permukaan kaki hingga di atas mata kaki.

Adapun alas kaki (footware) yang berada di bawah mata kaki, baik tertutup sepenuhnya maupun terbuka sebagiannya akan masuk kategori NA’LAIN (sandal).

IZAR atau SHORUN atau SARUNG yang merupakan jenis pakaian bawah yang biasa digunakan pada lapisan luar maupun dalam, merupakan salah-satu jenis pakaian yang sudah digunakan sejak masa Nabi Muhammad SAW.

Jenis pakaian SARUNG kemudian menyebar-luas oleh masyarakat Hadrami yang menjelajahi lautan sebagai penghubung dunia perdagangan dari kawasan timur ke kawasan barat via penguasaan Laut Merah, Teluk Persia, dan Samudra Hindia; terutama oleh kalangan Sayid (Husaini) hingga ke kawasan Nusantara.

Itulah kenapa SARUNG menjadi lekat dengan kebudayaan muslim di Nusantara, sejak menjadi simbol pakaian Hadrami, Sultan, Kiai, hingga masyarakat luas segala rumpun Melayu di seluruh belahan Nusantara.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".