
Kata yang paling umum di dalam bahasa Arab untuk menyatakan bidang kain yang biasa digunakan untuk menutup, melindungi, dan memperindah pakaian pada bagian kepala adalah Khimar (kata tunggalnya Khumur), dimana arti yang paling sederhananya di dalam bahasa Indonesia adalah Kerudung. Gaya berbusama dengan menggunakan Khimar ini berlaku baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.
Apabila bentuk kain Khimar itu cukup panjang bentangannya dan kemudian dililitkan ke bagian kepala hingga menutupi sepertiganya, dimana ujung lilitannya kemudian dimasukkan untuk mengunci agar tidak terburai lagi kedudukannya (sebagiannya menjuntai), maka namanya adalah ‘Amamah dan atau ada juga yang menyebutnya ‘Imamah. Selain disebut ‘Amamah atau ‘Imamah, istilah lainnya adalah Ghadaban dan atau Hatah.
Apabila bentuk Khimar itu cenderung berbentuk persegi empat, yang kemudian biasa dilipat dua menjadi bentuk persegi tiga; maka namanya adalah Kufiyah. Kufiyah ini bisa digunakan dengan cara dikerudungkan biasa, kemudian dikerudungkan biasa namun ditambahi dengan tali melingkar yang disebut Qibal yang dapat membuat kedudukannya stabil di atas kepala, kemudian juga dengan cara dililitkan sebagaimana pada penggunaan ‘Amamah atau ‘Imamah atau Ghadaban atau Hatah, dan juga dengan cara dililitkan dan diikatkan sebagai suatu penguasaan teknik tersendiri.
Jika Kufiyah ini berwarna putih-polos, maka Khufiah ini biasa disebut dengan nama Ghutrah. Pemakaian Ghutrah ini, cenderung digunakan oleh masyarakat Arab di kawasan sekitar Irak, Arab Saudi, dan Teluk Persia.
Jika Kufiah ini memiliki corak dan warna, maka disebut dengan nama Syimagh. Syimagh dengan pola dasar kotak-kotak dengan perpaduan warna Merah dan Putih, maka biasa digunakan oleh masyarakat Arab di kawasan sekitar Saudi Arabia dan Yordania.
Sementara penggunaan pola dasar kotak-kotak yang sebenarnya menggambarkan abstraksi dari bentuk dan makna Filosofis jala atau jaring penangkap ikan dengan perpaduan warna Hitam dan Putih, maka biasa digunakan oleh masyarakat sekitar Palestina atau Syam.
Sementara itu, penggunaan Syimargh di kawasan sekitar Yaman;memiliki kecenderungan di dalam ekspresi dan artikulasi yang bersifat lebih banyak. Baik di dalam masalah pola dasar dan juga di dalam masalah pola warnanya.
Selain itu, masyarakat Yaman juga menggunakan teknik lilit dan teknik ikat yang cenderung lebih ekspresif dan bebas dengan variasi teknik dan gaya yang beragam dengan cara mengikuti adat-istiadat yang diwarisi dari tradisi Badui.
Penggunaan Khimar dengan berbagai variasinya tersebut, di dalam masyarakat Arab biasa dipadukan lagi dengan sebuah penutup kepala berupa topi tanpa tudung depan yang di dalam bahasa Arab disebut dengan nama Thaqiyah. Thaqiyah tersebut akan dililit oleh ‘Amamah atau Kufiyah;atau sekedar di simpan di bawah Khimar sebagai penutup dasar tanpa dililit dan atau diikat, dan atau sekedar ditambahkan dengan Qibal.
Bidang kain untuk kelengkapan kepala tersebut (headware/headgear), kemudian masuk ke dalam bahasa Indonesia oleh masyarakat Muslim Arab;hanya saja tidak melalui terminologi bahasa Arab secara langsung, melainkan melalui pola dasar kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Persia dan Hindu (India) yang juga memiliki kesebangunan.
Sehingga, istilah Khimar atau Kufiyah atau Ghutrah atau Simargh tidak begitu familiar dikenal di dalam khazanah bahasa Indonesia. Kain tersebut, di dalam bahasa Indonesia akan disebut dengan nama Surban dan di dalam bahasa Sunda akan disebut dengan nama Sorban. Istilah Surban atau Sorban tersebut, dengan demikian masuk ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda sebenarnya berasal dari bahasa Persia;dengan lidah pelafalan Arab menjadi Dulband.
Kata Persia Dulband ini (Arab: Dulband atau Tulband), melalui masyarakat Arab kemudian akan masuk juga ke dalam khazanah bahasa Eropa; seperti ke dalam bahasa Perancis sebagai Turbant. Dan ke dalam bahasa Inggris sebagai Turban. Dan atau membentuk juga kata Bandana pada abad ke-18 M dan atau abad ke-19 M.
Kata Persia Dulband (kemungkinan kata murni dalam bahasa Persianya adalah Band atau Banda) tersebut, sebenarnya memiliki kesejajaran dengan kata Sanskrit Bandhana. Kata Bandhana tersebut artinya Suatu Ikatan. Variasi lain dari kata Bandhana adalah Bandhna artinya Mengikat, atau kata Bandhanu yang artinya Celupan Ikat (tye dye);dan atau Bandhanati artinya Ikat Miliknya.
Dari bahasa Persia Dulband dan bahasa Sanskrit Bandhana yang telah masuk ke dalam nuansa dan aransemen periode Islam inilah (via kultur Persia dan Hindu), lahir istilah Surban atau Sorban dan kemungkinan besar kata Bendo di dalam bahasa Sunda;yang sejajar dengan bahasa Jawa Blangkon. Kain Ikat dan Kain Ikat (Sunda: Iket) yang kemudian berevolusi dengan cara dipermanenkan menjadi Bendo atau Blangkon tersebut, merupakan fashion Muslim yang bukti-buktinya dapat dilacak telah berinkubasi dan berkembang terlebih dahulu via masyarakat Muslim di pesisir India Selatan.
Istilah-istilah dalam kelengkapan busana bagian kepala ini tampak menjadi rumit di dalam khazanah bahasa Indonesia di kemudian hari karena adanya proses pinjam-meminjam bahasa dan adanya pergeseran-pergeseran makna yang baru;dan juga susul menyusul update data dan gaya baru lewat agen pengguna bahasa yang berbeda dari agen-agen kebudayaan dan peradaban awal.
Khimar atau ‘Amamah atau Ghutrah atau Syimargh dalam bahasa Arab, telah diganti dengan kata Surban oleh komunitas Arab Persia dan Hindu itu sendiri. Kata Thaqiyah di dalam bahasa Arab, kemudian diganti dengan kata Peci dengan meminjam bahasa Turki Pez dan atau dengan kata Kopiah (Sunda: Kopeah) yang sebenarnya meminjam bahasa Arab Kufiah. Istilah Peci dan Kopiah di dalam bahasa Indonesia tersebut, tentu saja menjadi berubah dari apa yang semestinya ada di dalam bahasa awalnya.
Istilah Pez yang berasal dari bahasa Turki, sebenarnya telah mengambil gaya penutup kepala warisan Yunani via Romawi (pada saat modernisasi Janisari dengan menanggalkan ‘Amamah);ketika masuk ke dalam bahasa Indonesia kemudian disebut dengan nama Peci juga atau Kopiah juga atau dalam budaya Melayu disebut juga dengan nama Songkok;yang di dalam bahasa Arab sebenarnya dikenal juga dengan nama Tarbusyi.
Sementara kata modern Topi, untuk menunjukkan Topi modern, telah dipinjam dari bahasa Urdu (bahasa Pakistan;bahasa yang sama dengan bahasa Hindi di India dengan maknanya yang menjadi berlainan. Di dalam bahasa Urdu itu sendiri, istilah Topi sebenarnya digunakan untuk menyatakan identifikasinya terhadap Thaqiyah yang berada di dalam bahasa Arab.

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.
sangat bermanfaat banget kak artikelnya, terima kasih sudah sharing- sharing
sama sama