Sanghyang Bunisora Suradipati dikenal juga dengan nama Batara Guru di Jampang atau Mangkubumi Suradipati atau Prabu Kuda Lalean atau Prabu Borosngora atau Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata. Bunisora merupakan adik dari Prabu Linggabuanawisesa yang dikenal juga dengan nama Prabu Linggabuana atau Prabu Maharaja atau Prabu Wangi.

Ketika kakaknya, Linggabuana meninggal dalam tragedi Palagan Bubat pada tahun 1357 M (1279 Saka); maka Bunisora yang semula berlaku sebagai Mangkubumi atau Mahapatih atau Mahamantri naik menjadi Maharaja Sunda (Sunda-Galuh) menggantikan kakaknya.

Prabu Maharaja Linggabuanawisesa berkuasan pada tahun 1350-1357 M, sementara Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata berkuasa pada tahun 1357-1371 M. Naiknya Bunisora ke dalam tampu kekuasaan merupakan sebentuk pewujudan rasa tanggung jawab sementara, hingga putra Linggabuana yang merupakan keponakannya telah mencapai cukup usia untuk melanjutkan estafeta kekuasaan dari ayahnya.

Nama keponakannya tersebut yang pada waktu terjadinya Palagan Bubat masih berusia 9 tahun bernama Prabu Niskala Wastukancana atau yang dikenal juga dengan nama Prabu Anggalarang atau Prabu Wangisutah. Prabu Niskala Wastukancana kemudian berkuasa di atas tahta Sunda-Galuh pada tahun 1371-1475 M.

Dari pernikahan antara Prabu Linggabuwanawisesa dengan Dewi Laralisning atau Dewi Laralinsing dikaruniai dua orang putra bernama Dewi Citraresmi atau Dyah Pitaloka (1339-1357 M) yang turut gugur di Palagan Bubat dan Prabu Niskala Wastukancana (1348-1475 M) yang kemudian hari melanjutkan tahta kekuasaan Sunda (Sunda-Galuh) pada tahun 1371 M.

Sementara itu, dari pernikahan antara Prabu Bunisora Suradipati dan Dewi Laksmiwati dikaruniai tiga orang anak bernama Giridewata atau Giridewanti atau Ki Gedeng Kasmaya, Bratalegawa atau Dewa Bratalegawa atau Haji Purwa atau Haji Baharudin al Jawi, dan Dewi Banawati atau Dewi Mayangsari. Sebagian pengamat Sejarah memasukkan daftar Dewi Banawati dan Dewi Mayangsari sebagai dua anak perempuan Prabu Bunisora Suradipati, namun menurut hemat penulis Dewi Banawati dan Dewi Mayangsari adalah dua nama yang berbeda namun demikian merujuk pada orang yang sama.

Prabu Niskala Wastukancana putra Prabu Linggabuanawisesa kemudian menikah dengan Dewi Banawati atau Dewi Mayangsari putra dari Prabu Bunisora Suradipati. Prabu Niskala Wastukancana dan Dewi Mayangsari kemudian menjadi penguasa di istana pusat Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh) yang beribukota di Kawali dengan istananya yang bernama Surawisesa.

Sementara itu, kakak pertama dari Dewi Mayangsari yang bernama Giridewata kemudian menjadi raja daerah Cirebon Girang dengan gelar Ki Gedeng Kasmaya. Dan kakak kedua dari Dewi Mayangsari yang bernama Bratalegawa menjadi pengusaha yang memiliki reputasi perdagangan yang luas baik, baik di kawasan dalam negeri, domestik (Nusantara), dan maupun di mancanegara.

Dalam pergaulan perdagangan di kawasan Gujarat, Bratalegawa kemudian mendapatkan pengaruh keagamaan dari para pedagang Muslim yang berhubungan di negeri Barata tersebut. Brataegawa kemudian memutuskan untuk menganut agama Islam sebagai agama barunya. Bersama isteri dari keturunan Arab yang bernama Farhanah putra Muhamad yang juga ditemuinya di Gujarat, Bratalegawa memutuskan untuk berziarah dan melaksanakan ibadah Haji ke kota suci Makah di Jazirah Arab.

Sekembali di Tanah Air, Bratalegawa yang kemudian dikenal dengan nama Baharudin al Jawi atau Haji Purwa mengajak saudaranya untuk memeluk Islam. Orang pertama yang ditemuinya adalah Dewi Banawati atau Dewi Mayangsari yang berkedudukan di Kerajaan Galuh yang pada saat itu menjadi kawasan pusat Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh) dengan ibukotanya yang bernama Kawali dan istananya yang bernama Surawisesa. Pada kesempatan tersebut, adiknya yang bernama Dewi Banawati atau Dewi Mayangsari menolaknya dengan cara yang halus.

Brategawa kemudian menemui kakaknya yang bernama Giridewata alias Ki Gedeng Kasmaya yang berkuasa di kerajaan daerah Cirebon Girang. Di sana, ajakan Bratalegawa juga ditolak secara halus oleh kakaknya. Namun demikian, usaha dawah Bratalegawa tidak mengalami hambatan dari penguasa Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh), bahkan Bratalegawa dengan sangat leluasa menyebar-luaskan pengetahuan mengenai Islam di kawasan Cirebon Girang langsung kepada khalayak luas.

Tidak diceritakan dalam kisah-kisah ulasan perihal Bratalegawa, bahwa dirinya juga mengajak masuk Islam kepada ayahnya Prabu Bunisora Suradipati. Namun demikian, jika Giridewata telah berkuasa di Cirebon Girang dan Dewi Banawati atau Dewi Mayangsari berkedudukan di Galuh; maka kemungkinannya hanya ada dua hal.

Pertama, Dewi Mayangsari masih berada dalam perlindungan penuh ayahnya Prabu Bunisora Suradipati yang berkuasa di Galuh dan dengan demikian secara teoretik ayahnya dengan kata lain mengetahui dan menyaksikan peristiwa tersebut.

Kedua, Dewi Banawati atau Dewi Mayangsari telah berada dalam perlindungan suaminya Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Galuh menggantikan pamannya Prabu Bunisora Suradipati dan dengan demikian secara teoretik sepupunya dengan kata lain mengetahui dan menyaksikan peristiwa tersebut.

Jika usia Prabu Niskala Wastukancana diperkirakan tidak akan jauh berbeda dengan Dewi Mayangsari, maka Dyah Pitaloka bisa diandaikan tidak akan jauh berbeda dengan usia Giridewata. Dan usia Bratalegawa akan lebih muda dari Giridewata dan Dyah Pitaloka namun lebih tua dari Dewi Mayangsari dan Niskala Wastukancana.

Sementara skema yang lebih kuat, kemungkinan usaha dawah dilakukan Bratalegawa adalah setelah masa berkuasanya Prabu Linggabuana telah berlalu. Bratalegawa melakukan dawah di Tatar Sunda kemungkinan antara masa berkuasanya Prabu Bunisora Suradipati dan atau masa berkuasanya Prabu Niskala Wastukancana.

Jika yang dijadikan sasaran dawahnya Dewi Banawati atau Dewi Mayangsari di istana Kawali, jika Prabu Bunisora Suradipati masih berkuasa maka dia akan menjadi saksi peristiwa tersebut dan termasuk Niskala Wastukancana yang pada masa tersebut masih berada dalam perlindungan penuh dirinya.

Dan jika yang tengah berkuasa di Kawali adalah Prabu Niskala Wastukancana dengan asumsi Prabu Bunisora telah menempuh dunia pertapaan kembali sebagaimana yang menjadi jiwanya pada agama ataukah barangkali telah meninggal dunia, maka Prabu Niskala Wastukancana yang telah menjadi saksi adanya suatu pergeseran sistem keyakinan keagamaan dikalangan keluarga istana itu sendiri; yang dimulai sejak anak pamannya itu sendiri, yakni Dewa Bratalegawa atau Bratalegawa atau Haji Purwa atau Haji Purwa Galuh atau Haji Baharudin al Jawi sebagai Muslim pertama yang tercatat dalam naskah-naskah klasik dari Kesultanan Cirebon.

Dan penguasa kerajaan pusat telah melakukan kebijakan politik dan keagamaan (Islamic Grass-root Polecy) yang bersifat toleran atas adanya suatu awal dari peralihan zaman tersebut. (Public Domain: Rami al Jamarat [A stoning of the Devil from 1942 M])

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".