Putra pertama Sanghyang Bunisora Suradipati yang bernama Giridewata atau yang dikenal juga dengan nama Ki Gedeng Kasmaya, yang menjadi penguasa kerajaan daerah Cirebon Girang (Cirebon).
Dari hasil pernikahan Ki Gedeng Kasmaya dengan Nyai Ratna Kirana seorang putri penguasa suatu kerajaan daerah bernama Gangga Permana, mereka dikaruniai lima orang anak, yakni:
Pertama, Ki Gedeng Cirebon Girang yang melanjutkan kekuasaan ayahnya di Cirebon Girang. Ki Gedeng Cirebon Girang memiliki seorang putri bernama Nyi Arumsari yang dinikahi oleh Bramacari Siramarna atau Ki Gedeng Alang-Alang atau Ki Danusela putra dari Lantera Wala atau Lantera Wulan atau Danusenta, seorang pendeta Budha Prawa (Siwa-Budha) asal Dieng yang menetap di Kerajaan Galuh (pusat Kerajaan Sunda [Sunda-Galuh Bersatu]). Ki Gedeng Alang-Alang selanjutnya menjadi penguasa kerajaan daerah Cirebon Girang (Cirebon). Putra pasangan Ki Gedeng Alang-Alang dan Nyai Arumsari yang bernama Nyai Ratna Riris nantinya akan dinikahi Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang putra Sri Baduga Maharaja atau Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi (penguasa Kerajaan Sunda [Sunda-Galuh Bersatu]). Melalui pernikahan dengan Pangeran Walangsungsang, Nyai Ratna Riris keturunan dari Ki Gedeng Cirebon Girang telah menjadi pemeluk Islam. Keturunan Pangeran Walangsungsang dan Nyai Ratna Riris atau Nyai Kancana Larang bernama Pangeran Cirebon. Selain menikahi putri dari Ki Gedeng Alang-Alang, Pangeran Walangsungsang pada masa sebelumnya juga telah menikahi putri dari Ki Danuwarsih (yang berkedudukan di kawasan pusat Kerajaan Galuh yang sekaligus pusat Kerajaan Sunda [Sunda-Galuh]) yang merupakan kakak dari Ki Danusela atau Ki Gedeng Alang-Alang. Dari pernikahan dengan Nyai Endang Geulis putri dari Ki Danuwarsih, Pangeran Walangsungsang dikaruniai putri bernama Nyai Pakungwati yang nantinya akan dinikahi keponakannya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati II).
Kedua, Ki Gedeng Sanggarung yang berkuasa di Losari (Cirebon). Putri dari Ki Ageng Sanggarung yang bernama Nyai Ratna Ayu Nawangsari kemudian diperisteri Amuk Murugul yang berkuasa di kerajaan daerah Japura (Cirebon) putra Susuk Tunggal (Raja Sunda) putra Niskala Wastukancana (Raja Sunda [Sunda-Galuh Bersatu]). Putra pasangan Amuk Murugul dan Nyai Ratna Ayu Nawangsari, bernama Agung Japura yang melanjutkan berkuasa di Japura. Sementara itu, putra Agung Japura dan Nyai Ayu Nawangsari yang bernama Nyai Matangsari nantinya akan dinikahi Pangeran Panjunan atau Syeh Maulana Abdurahman putra Syeh Nurjati (Sunan Gunung Jati I). Melalui pernikahan dengan Pangeran Panjunan, keturunan dari Ki Gedeng Sanggarung (sekaligus keturunan Amuk Murugul putra Susuk Tunggal) mulai memeluk Islam.
Ketiga, Nyai Indang Saketi yang dinikahi oleh sepupunya; yakni Surawijaya Sakti atau Ki Gedeng Singapura yang berkuasa di kerajaan daerah Singapura (Cirebon), putra Niskala Wastukancana. Ki Gedeng Singapura tidak dikaruniai keturunan sehingga kekuasaan atas Singapura kemudian diserahkan kepada adiknya yang bernama Ki Gedeng Tapa putra Niskala Wastukancana. Nyai Indang Saketi dan Ki Gedeng Singapura dengan demikian masih menganut sistem keyakinan Budha Prawa atau Siwa-Budha sebagaimana yang sedang menjadi trend keagamaan pada periode Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh Bersatu) tahap akhir atau biasa disebut dalam tradisi lisan dengan nama Kerajaan Pajajaran, sebagaimana juga halnya yang menjadi trend yang terjadi di Kerajaan Wilwatikta atau yang secara lisan disebut dengan Kerajaan Majapahit.
Keempat, Nyai Lara Ruda yang dinikahi Ki Dampu Awang seorang saudagar asal Campa (suatu kawasan perbatasan antara Vietnam-Kamboja modern). Dikarenakan Ki Dampu Awang merupakan seorang Muslim, maka Nyai Lara Ruda juga turut menganut agama Islam. Dari hasil pernikahan antara Ki Dampu Awang dan Nyai Lara Ruda, mereka dikaruniai seorang putri dengan nama Nyai Aci Putih. Nyai Aci Putih kemudian hari dinikahi oleh Sri Baduga Maharaja dan melahirkan seorang putri dengan nama Nyai Lara Bedaya. Nyai Lara Bedaya dibawa oleh kakeknya Ki Dampu Awang ke Campa dan berguru pada Syeh Maulana Ibrahim Akbar atau disebut juga Syeh Ibrahim Asmorokandi yang merupakan ayah dari Sunan Ampel (Raden Ali Rahmatullah). Perlu ditelusuri lebih lanjut kisah dari Nyai Lara Bedaya dan keturunannya karena sebagaimana yang diketahui dalam Sejarah, Syeh Ibrahim Asmorokandi dan keturunannya dan murid-muridnya kemudian tinggal di Pulau Jawa (maka ada kemungikan Nyai Lara Bedaya ikut pulang ke Pulau Jawa). Melalui pernikahan dengan Ki Dampu Awang keturunan dari Nyai Lara Ruda telah menganut agama Islam.
Kelima, Nyai Ratna Kranjang dinikahi sepupunya Ki Gedeng Tapa putra Niskala Wastukancana. Ki Gedeng Tapa yang menjadi penguasa Singapura (Cirebon) menggantikan kakaknya Ki Gedeng Singapura tersebut telah menganut Islam. Sehingga keturunan dari Nyai Ratna Kranjang dan Ki Gedeng Tapa telah masuk Islam sejak masa tersebut. Proses keislaman yang dianut oleh Ki Gedeng Tapa dikarenakan adanya kontak dawah yang dilakukan pada masa sebelumnya oleh pamannya sendiri yakni, Bratalagawa atau Haji Purwa Galuh atau Haji Baharudin al Jawi. Ki Gedeng Tapa yang berkuasa atas pelabuhan Muara Jati dan Singapura yang diperoleh dari kakanya, kemudian memegang peran penting dalam periode Sejarah selanjutnya. Pada masa kepengurusan Ki Gedeng Tapa, kunjungan muhibah Ma Cheng Ho (Haji Muhamad Syams keturunan Sayid Ajal Syamsyudin Umar; Gubernur Yunan dari Wangsa Yuan di Tiongkok) atas nama Wangsa Ming di Tiongkok diterima dengan baik oleh dirinya di Muara Jati Cirebon. Pada masa kunjungan tersebut yakni tahun 1416 M (1338 Saka) ikut pula menumpang dalam armada Cheng Ho, Syeh Quro atau Syeh Maulana Hasanudin asal Malaka (Semenanjung Malaya) untuk melaksanakan syiar agama. Pada masa kepulangan Syeh Quro, ikut serta putri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subang Larang untuk mendalami pelajaran agama di Malaka atas di bawah bimbingannya. Pada tahun 1418 M, Syeh Quro bersama murid-muridnya termasuk Nyai Subang Larang ikut kembali dalam kapal Cheng Ho dan sandar di Karawang. Di sana mereka membangun pesantren al-Quran yang dikenal dengan nama Pondok Quro atau Pesantren Quro dimana Syeh Hasanudin yang menguasai al-Quran dengan baik dan mampu membaca al-Quran dengan suara yang merdu membuatnya dijuluki sebagai Syeh Quro. Nyai Subang Larang kemudian hari dinikahi oleh Sri Baduga Maharaja atau Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi (penguasa Sunda [Sunda-Galuh]) putra Ningrat Kancana atau Dewa Niskala (penguasa Galuh) putra Niskala Wastukancana (penguasa Sunda [Sunda-Galuh]). Pada tahun 1420 M (1342 Saka), turut menumpang kapal Cheng Ho seorang penyebar agama Islam selanjutnya bernama Syeh Nurjati asal Malaka yang masih satu keturunan dengan Syeh Quro (sama-sama keturunan Amir Abdullah Azhmat Khan asal Nasirabad India). Di Muara Jati, Ki Gedeng Tapa kembali menerima kunjungan Cheng Ho dengan baik. Khusus untuk Syeh Nurjati, Ki Gedeng Tapa kemudian ditempatkan di Giri Amparan Jati atau Gunung Jati (naskah Bujangga Manik menyebutnya kawasan Arega Jati) sebagai Guru Agama Islam. Sehingga Syeh Nurjati dikenal juga dengan nama Sunan Gunung Jati (Sunan Gunung Jati I). Syeh Nurjati tersebut kemudian hari akan menjadi guru agama bagi Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana, Nyai Subang Larang atau Syarifah Mudaim, dan Rakean Santang atau Raja Sengara. Kedudukannya sebagai Guru Agama Islam kemudian akan dilanjutkan oleh Syarif Hidayatullah putra pasangan Syarif Abdullah (Sultan Campa) dan Nyai Subang Larang putra Sri Baduga Maharaja. Oleh karena itu, Syarif Hidayatullah juga kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati (Sunan Gunung Jati II). Keturunan Nyai Keranjang sejak dinikahi Ki Gedeng Tapa telah menganut agama Islam.
Masa pelayaran Cheng Ho berlangsung dari tahun 1405-1433 M selama tujuh kali pengarungan dan nyaris bisa dipastikan selalu mengunjungi Pulau Jawa dalam setiap rute pelayarannya. Maka bisa dipastikan juga jika setiap kunjungan Cheng Ho di Tatar Sunda, yang tengah berkuasa di Kerajaan Sunda (Sunda-Galuh) adalah Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa dari 1348-1475 M. Prabu Niskala Wastu kancana tengah menjadi raja konfederasi Sunda-Galuh, dimana kebubernuran Sunda dan Galuh tengah dipimpin oleh anak-anaknya itu sendiri (Susuk Tunggal di Sunda dan Ningrat Kancana di Galuh). Demikian juga penguasa di pelabuhan Cirebon yang tampak tengah menjadi titik fokus pengembangan pada masa ini juga dipimpin oleh Ki Gedeng Kasmaya sepupunya dan juga dilanjutkan oleh para putra Ki Gedeng Kasmayan dan Niskala Wastukancana itu sendiri. Maka mustahil ada satupun peristiwa-peristiwa yang luput dari persetujuannya. Kapal Cheng Ho yang sandar, pembangunan masjid dan mercusuar, kedatangan para dai agama, pembangunan pusat-pusat agama dan pendidikan Islam, dan tentu saja kerjasama ekonomi yang erat antara Sunda dan Ming menunjukkan bahwa pendekatan Islamic Grassrote Polecy yang dikembangkan Tingkok pada masa tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Sunda. Tiongkok melalui Wangsa Ming memberdayakan masyarakat kawasan Cina Selatan yang Muslim, kawasan Indo-China dan Semenanjung Malaya yang Muslim untuk menjangkau kelancaran diplomasi yang tengah dilakukan di Nusantara dan Dunia Muslim secara umum yang tengah berjaya pada era tersebut. Dan Prabu Jayadewata yang telah menjadi putra mahkota Sunda-Galuh yang telah diproyeksikan untuk menggantikan kakeknya, tengah sangat leluasa untuk melalukan eksplorasi dan pergerakan intelektual dan konsolidasi kewilayahan pada masa-masa tersebut. Apa lagi ayah dan uaknya sendiri masih lengkap untuk mengorganisir kawasan pada masa tersebut.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.