Pada ulasan sebelumnya kita telah memahami bahwa gagasan tentang Tuhan dalam puncak keagamaan dari Hindu(nama sesungguhnya Sanata Darma atau Darma) yang didasarkan pada kitab Weda sebagai pegangan paling awal dan pokok disebut dengan nama Brahman.
Dari Brahman itu manifestasi ketuhanan lainnya kemudian lahir dalam kesetimbangan gagasan Tri Murti(Tiga Sosok), yakni Brahma(Pencipta), Wisnu(Pemelihara), dan Siwa(Penghancur)sebagai hasil dari daya cipta Brahman itu sendiri.
Dalam beberapa literatur klasik Hindu, terdapat indikasi yang dapat mengantarkan penelaah pada pendapat bahwa Brahma dan Rama pada dasarnya memang sama, itu-itu juga.
Sementara itu, nama lain untuk Siwa (Sanskrit: Syiva) adalah memang Isora (Sanskrit: Isvara). Dan nama lainnya selain Isora adalah Mahadewa (Sanskrit: Mahadeva), Niskala (tanpa berwujud), atau Sakala (nyata).
Dan nama lain untuk Wisnu (Sanskrit: Visynu) adalah Adidewa (Sanskrit: Adideva), Narayana, Purusa, atau Padmanaba.
Pada umumnya, Wisnu yang dianggap sebagai satu dari tiga pengejawantahan aspek metafisik Brahman tersebut; biasa melakukan kelahiran dirinya (Sunda: nitis) ke dalam dunia manusia dalam rangka menyelesaikan angkara murka yang memuncak.
Aspek kelahiran Wisnu di dunia salah-satunya yang paling dikenal dalam literatur adalah Rama sebagaimana terceritakan dalam kitab Ramayana (Purana) dan Krisna sebagaimana yang terceritakan dalam kitab Mahabarata (Purana).
Namun demikian terdapat juga pandangan lain yang mengatakan justru Rama bukan sekedar pengejawantahan Wisnu sebagai wujud Batara (Sanskrit: Avatara dari Vatara) di dunia. Melaikan hakikat dari personifikasi Tuhan itu sendiri adalah Rama dan bukan Wisnu.
Demikian juga ada yang berpendapat bahwa Krisna justru bukan sekedar Batara, melainkan atas nama personifikasi dari kepribadian Tuhan itu sendiri, dan bukannya Wisnu dan juga Rama.
Namun satu hal yang menarik, bahwa dalam khazanah pengetahuan keagamaan masyarakat Sunda (Pra Islam); gagasan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam gagasan Weda masih terjaga meskipun berevolusi ke dalam ragam nama-nama yang berbeda, seperti Sanghyang Tunggal, Sanghyang Widi, Sanghyang Kersa, atau Batara Seda Niskala yang sesungguhnya masih bisa dilacak akar tradisi semantiknya.
Sementara gagasan Tri Murti yang bersifat kajian Ketuhanan (Teologi) dalam lapisan kajian kedua tersebut, kemudian lebih diturunkan lagi hingga akhirnya hanya merebah menjadi wilayah kajian yang bersifat lebih praktis dan taktis, hanya sebagai perwujudan Tata Kelola (Tata Nagara) kemasyarakatan yang ideal.
Gagasan Tri Murti yang cita-rasanya bersifat lebih ke arah kajian Kekuasaan (Politik) dan Tata Kelola Pemerintahan (Tata Nagara) di alam semesta (Inggris: universe), kemudian dimaknai dengan nama Tri Warga di Lamba.
Dalam kontek pembagian kekuasaan di alam Langit tersebut, dalam khazanah Sunda Kuno; peranannya dimaknai dan diidentifikasi dalam simbologi gagasan yang jelas dengan penggambaran Brahma bertugas sebagai Rama, Wisnu bertugas sebagai Prabu, dan Isora bertugas sebagai Resi.
Brahma yang dalam suatu pendapat Hindu lainnya adalah sama dengan Rama dalam tradisi Sunda tetap terekam dan diabadikan simbolismenya dalam nama perannya sebagai Rama. Dalam konteks bahasa Sunda, Rama menjadi identik dengan sikap seorang ayah yang penuh dengan perhatian.
Bahkan kata Rama itu sendiri telah menjadi kata yang merujuk pada makna yang identik sebagai kata ayah itu sendiri. Sehingga dengan demikian, Brahma dalam identifikasi masyarakat Sunda Kuno adalah memangku jabatan sebagai layaknya sebagai ayah.
Sementara Wisnu didudukkan sebagai Prabu atau yang dalam naskah Sunda Kuno lainnya, selain naskah Siksa Kanda Ng Karesian dinamai sebagai Ratu yang mana keduanya kurang-lebih sama-sama berarti Raja.
Kedudukan Wisnu sebagai Prabu, Ratu, atau Raja dalam tradisi Hindu masyarakat Sunda Kuno masih tampak sejalan dengan konvensi Hindu pada umumnya yang menempatkan Wisnu memang sebagai Pemimpin Utama dari keseluruhan warga para Dewa.
Dan Isora yang merupakan pilihan dalam diksi naskah Sunda Kuno Siksa Kanda Ng Karesian ditempatkan kedudukannya sebagai Resi. Isora dalam literatur Hindu sebenarnya merupakan nama lain dari apa yang kita kenal sebagai Siwa.
Nama lain untuk Siwa selain Isora sebagaimana telah dikatakan sebelumnya adalah Maha Dewa(Sanskri), sementara nama lain untuk Wisnu adalah Adi Dewa. Jika Wisnu didudukkan sebagai pemimpin utama para Dewa (Adi Dewa), maka Siwa yang dianggap tidak kalah hebatnya, juga didudukkan sebagai Maha Dewa.
Kedudukan Maha Dewa tersebut memang bukan kedudukan yang bermahkota, melainkan kedudukan di puncak Gunung Kailas yang sunyi. Maha Dewa tetap tekun dan merasa puas dengan sikapnya yang bersahaja dalam meditasi. Kecuali jika melihat kejanggalan-kejanggalan di dunia manusia yang sudah tak terkirakan. Maha Dewa kemudian didudukkan menjadi rujukan utama bagi para penempuh jalur keagamaan.
Sementara itu, kata Resi yang tercatat dalam Weda sendiri; awal-mulanya merujuk pada tokoh-tokoh yang dianggap menerima tradisi pewahyuan(Sruti)yang menjadikan Weda itu sendiri ada.
Di dalam tradisi Weda itu sendiri, telah disebutkan bahwa jumlah Resi yang terlibat dalam kelahiran Weda tersebut, semuanya ada berjumlah tujuh orang; yang biasa dikenal dengan istilah Tujuh Resi(Sanskrit: Saptarisi).
Meskipun demikian, Weda tidak memperinci siapa nama-nama dibalik Sapta Resi tersebut kecuali dalam naksah kemudian. Misalnya pada Jaminiya Brahmana namanya adalah: Agastia, Atri, Gautama, Baradwaja, Jamadagni, Wasista, dan Wiswamitra (jumlahnya tujuh orang).
Sementara dalam Brihadranyaka Upanisad namanya adalah: Gautama, Baradwaja, Sandila, Jamadagni, Wasista, Kasapa, Atri, dan Brigu (jumlahnya delapan orang).
Dan dalam Gopata Brahmana nama-namanya adalah Wasista, Wiswamitra, Jamadagni, Gautama, Baradwaja, Gungu, Agastia, Brigu, dan Kasapa (jumlahnya sembilan orang).
Daftar lain dari catatan lebih kemudian adalah nama-nama seperti Diptimat, Galawa, Parasurama, Kripa, Drauni atau Aswatama, Wiasa, dan Risayasringa (jumlahnya tujuh orang).
Terdapat juga catatan lainnya yang mengindikasikan ke arah analisa bahwa kelahiran Sapta Resi adalah sesungguhnya berasal dari keberadaan keturunan (Sanskrit: Manuputra) dari Brahma.
Termasuk dari keturunan Brahma tersebut, adalah Wisnu dan Siwa; meskipun dalam penekanannya yang lebih kental suasana Cosmologis (kesemestaan) dari pada Geneologis (keturunan). Wisnu dan Siwa dalam hal ini juga secara otomatis adalah bagian dari tradisi Resi itu sendiri.
Dari tradisi Sapta Resi dan kemudian Resi-Resi, terdapat pengetahuan lainnya bahwa seluruh tradisi Keresian yang berkembang dikemudian hari adalah berasal dari keturunan yang sama, yang dalam bahasa Sanskrit disebut gotra (keluarga).
Jadi Resi-Resi adalah suatu jabatan keagamaan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya sebagai bagian dari apa yang disebut gotra. Dimana Gotra tersebut merupakan gotra dari Catur Warna (Kasta) Brahmana.
Dengan dasar Sejarah tersebut kita akan mengetahui bahwa gagasan Tri Murti adalah gagasan yang berkembang dalam sumber-sumber literatur setelah Weda (Post Vedic).
Adapun periode Post Vedic tersebut adalah periode dimana karya-karya keagamaan yang meliputi rumpun Darmasastra, Itihasa, Purana, Sutra, Agama, dan Darsana berlahiran. Resi pada tahap ini adalah cerdik-pandai yang melahirkan kitab-kitab tersebut.
Jika dirangkum dari masa Weda sampai Post Vedic, Resi adalah orang-orang dari Gotra atau Kasta Brahmana yang melahirkan literatur keagamaan Weda, baik yang bersifat Sruti (Pewahyuan) maupun literatur Post Vedic yang didasarkan atas tradisi Semerti (Ilham)yang tetap didasarkan atas penggalian dan patokan Weda itu sendiri.
Dengan demikian, Resi adalah sosok yang identik dengan penguasaan terhadap ilmu dan pengajaran; baik tradisi Sruti maupun tradisi Smerti. Sosoknya biasa dikenal dengan nama lain seperti Guru, Pandita, Yogi, Sanyasi, Sadu, Brahmana, dan lain sebagainya. Dan Siwa dalam konteks tradisi Sunda Kuno mendapatkan penekanan sifat dan kedudukannya sebagai Resi.
Kedudukan Siwa yang diletakkan sebagai Resi dalam tradisi masyarakat Sunda Kuno tidak mengejutkan. Selain tidak menyalahi konvensi Hindu pada umumnya, kedudukan Siwa yang diletakkan pada posisi strategis dalam masyarakat Sunda Kuno yang namanya berganti menjadi Batara Guru dapat menunjukkan jejak bahwa; meskipun Wisnu ditempatkan dalam kedudukan tinggi dan central, namun tradisi Siwa lebih diberikan penekanan yang lebih dalam hal kekuatan legitimasinya.
Kesetimbangan Tri Murti memang tetap dijaga, tapi kedudukan Resi dan tradisi pengetahuan keagaamaan menjadi nilai strategis yang memandu dan menggerakkan dalam kedudukannya di dalam masyarakat Tatar Sunda pada masa silam. Bisa dikatakan masyarakat Tatar Sunda periode Hindu-Budha akhir cenderung menjadi bagian dari pendukung aliran Hindu Siwa.
Namun demikian, elemen Hindu Siwa tersebut tidak bersifat murni; melainkan telah juga bercampur-baur dengan elemen pengajaran Budha dalam skala dan proporsi tertentu. Maka dalam hal ini, para Sarjana dalam bidang Sejarah Kuno di Nusantara menempatkan agama Siwa-Budha sebagai agama yang berkembang pada periode Pajajaran dan Majapahit di masa silam.
Dari dasar Tri Murti sebagaimana telah dipaparkan pada tulisan sebelumnya (Tri Tangtu di Bumi Berdasarkan Naskah Siksa Kanda Ng Karesian), kemudian dikembangkan dasar Tri Warga di Lamba. Dari dasar Tri Warga di Lamba, kemudian dikembangkan dasar Tri Tangtu di Bumi.
Lembaga atau institusi atau fungsi dari Rama kemudian dikembangkan dari Brahma, lembaga atau institusi atau fungsi dari Prabu atau Ratu atau Raja kemudian dikembangkan dari Wisnu atau Adi Dewa atau Purusa atau Padmanaba atau Narayana, sementara lembaga atau institusi atau fungsi dari Resi kemudian dikembangkan dari Isora atau Siwa atau Niskala atau Sakala atau Maha Dewa atau Batara Guru.
Sifat Rama yang penuh perhatian dan kebapakan digunakan sebagai puncak kesadaran untuk menjadi pendamping atau pamong masyarakat. Rama bertugas untuk mendengarkan soal-soal keluh-kesahnya masyarkat, soal-soal kesulitannya yang dihadapi dalam kehidupannya masyarakat, dan soal-soal hajat hidup, kemakmuran, dan kesejahteraanya masyarakat.
Sementara sifat Prabu yang menjadi pemimpin masyarakat digunakan sebagai penumbuh, pemelihara, pengelola, dan pelindung keamanan jiwa dan raganya masyarakat. Prabu sebagaimana Wisnu pada hakikatnya adalah pelayan. Dan kepemimpinan pada hakikatnya juga adalah pelayanan.
Dan sifat Resi adalah memberikan layanan pendidikan, pengajaran, pelatihan, pengarahan, dan panduan yang mengarahkan masyarakat kepada nilai-nilai kebenaran dan keagungan, nilai-nilai yang bersifat ajeg dan permanen yang akan dijadikan pegangan hidup masyaramat; bukan hanya dalam dimensi kebendaan tapi juga dalam dimensi ruhaninya.
Di dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesian, pada lembaran lebih awal dari apa yang dikutip pada kajian dan tulisan sebelumnya; terdapat topik persenjataan atau pekakas atau alat kerja yang digunakan sebagai benda hasil Penempa (Sunda Kuno: Panday). Berdasarkan data tersebut, terdapat tiga buah puncak klasifikasi persenjataan; yakni senjata-senjata yang digunakan Sang Prabu, Sang Wong Tani, dan Sang Pandita.
Di dalam tulisan yang terkandung dalam naskah tersebut, penulis membaca, melihat, mebilai, dan menimbang bahwa kategorisasi pekakas tersebut sebenarnya masih sejalan dan terhubung dengan gagasan utama dari Tri Tangtu di Bumi (Prabu, Rama, dan Resi) itu sendiri yang telah diulas pada kajian sebelumnya.
Dan kepemilikan atas senjata-senjata tersebut dalam kajian modern dapat disetarakan dengan kajian yang mendasar tentang bagaimana pengambilan dan pemilihan suatu Perlambang Kebesaran (Coat of Arms) dapat dilakukan dengan mempertimbangkan aspek Historis dan Filosofisnya (dalam hal ini berpijak pada data Filologis).
Dunia Barat menyebut kajian simbologi dasar perlambang tersebut dengan nama Coat of Arms, yakni kajian simbol-simbol kebesaran negara atau keluarga (Inggris: Dynasty) yang kemudian diaplikasikan dalam medium-medium tertentu berupa perisai, baju jirah, bendera, panji, pelindung kepala, dan lain sebagainya.
Pola yang dimiliki dalam pembuatan perlambang kebesaran masal lalu tersebut, sebenarnya tidak menghilang. Pada masa kini, perlambang-perlambang tersebut mengalami perubahan dan adaptasinya dalam medium-medium yang berbeda seperti menjadi logo, emblem, atau badge, dan lain sebagainya.
Dalam bahasa Inggris, arm sendiri artinya tangan. Arms tersebut kemudian berubah artinya menjadi senjata. Sementara coat artinya pelindung. Tangan pada hakikatnya adalah senjata paling mendasar yang dimiliki manusia, hingga kemudian ditambah kekuatannya dengan penggunaan teknologi tambahan.
Sementara coat of arms secara lugas sebenarnya berarti Pelindung Senjata (dan secara otomatis melindungi tangan). Dimana maksud dari pengertian coat of arms tersebut wujud nyatanya adalah tameng atau perisai (Inggris: Shield atau Armour).
Setiap tameng tersebut biasanya memiliki gambar yang mewakili perwujudan indentitas dan keutamaan negara, divisi, atau lambang keluarga. Dan perlambang yang terkandung dalam tameng tersebut, kemudian hari digeser secara ke dalam bentuk Logo (Inggris: Heraldry) yang pada gilirannya digeser lebih lanjut pada seluruh medium-medium yang lainnya.
Sa(r)wa Iwir/a/ ning teuteupaan ma telu ganggaman palain. Ganggaman di Sang Prabu ma Pedang, Abet, Pamuk, Golok, Peso Teundeut, Keris. Raksasa pina/h/ka dewanya, ja paranti maehan sagala. Ganggaman Sang Wong Tani ma Kujang, Baliung, Patik, Kored, Sadap. Detya pina/h/ka dewanya, ja paranti ngala kikicapeun iinumeun. Ganggaman Sang Pandita ma Kala Katri, Peso Raut, Peso Dongdang, Pangot, Pakisi. Danawa pina/h/ka dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala. Nya mana teluna ganggaman palain deui di Sang Prabu, di Sang Wong Tani, di Sang Pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di sarean(ana), eta ma Panday tanya.
(Seluruh puncak dari tempaan adalah tiga genggaman berbeda. Genggaman dari Sang Prabu adalah Pedang, Abet, Pamuk, Golok, Peso Teundeut, Keris. Raksasa perlambang dewanya, karena digunakan untuk membunuh segala. Genggaman Sang Wong Tani adalah Kujang, Baliung, Patik, Kored, Sadap. Detya perlambang dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dikecap dan diminum. Genggaman Sang Pandita adalah Kala Katri, Peso Raut, Peso Dongdang, Pangot, Pakisi. Danawa perlambang dewanya, karena itu digunakan untuk mengerat segala. Yang mana ketiga genggaman berbeda lagi dari Sang Prabu, dari Sang Wong Tani, dari Sang Pandita. Demikian kalau kita ingin tahu dari selebihnya, itu adalah Panday yang ditanya.)
Melalui pembacaan atas kutipan naskah Siksa Kanda Ng Karesian tersebut, penulis melihat bahwa penggunaan kata Sang Prabu, Sang Wong Tani, dan Sang Pandita masih memiliki kesebangunan atau kesejajaran gagasan yang bersifat saling melengkapi dengan gagasan Tri Tangtu di Bumi pada ulasan sebelumnya sebagai Prabu, Rama, dan Resi.
Sang Prabu sebangun dengan kata Prabu. Sang Pandita sebangun dengan kata Resi. Dimana perbedaan kata Resi dan Pandita hanya akan terletak pada ulasan kualifikasi dan tugas yang bersifat lebih umum dan lebih khusus saja.
Sementara Sang Wong Tani dapat dimaknai sebagai perwujudan nyata dari salah-satu objek kerja Rama itu sendiri, yakni berupa manusia-manusia, atau masyarakat luas atau rakyat dan berbagai macam ragam profesinya.
Sementara pertanian adalah simbol dasar dari makna kemakmuran dan kesejahteraan material itu sendiri sebelum memasuki kompleksitas gagasan lainnya seperti peternakan, perikanan, kelautan, dan perniagaan. Pertanian adalah akar dan basis profesi paling mendasar yang wajar untuk ditampilkan.
Dengan demikian jika kita berandai-andai, jika saja kita ingin menyarikan; dengan dasar-dasar apakah kita dapat memvisualisasikan perlambang kebesaran (coat of arms) yang dapat mewakili gagasan dan semangat dari pembentukan institusi Tri Tangtu di Bumi dalam masyarakat Sunda saat ini yang didasarkan atas pembacaan naskah Siksa Kanda Ng Karesian pada masa lalu?!
Maka jawabannya adalah kita dapat merujuk pada landasan simbologi visual yang terkandung dalam teks inventarisasi senjata dari Sang Prabu, Sang Wong Tani, dan Sang pandita.
Senjata dari Sang Prabu adalah Pedang, Abet, Pamuk, Golok, Peso Teundeut, dan Keris.
Senjata dari Sang Wong Tani (dibaca sebagai: Rama)adalah Kujang, Baliung, Patik, Kored, dan Sadap.
Dan senjata dari Sang Pandita (dibaca sebagai: Resi)adalah Kala Katri, Peso Raut, Peso Dongdang, Pangot, dan Pakisi.
Jika sistem pengajaran Majusi (Zoroaster) yang didasarkan atas kitab Avesta memaknai Dewa sebagai simbol keburukan dan Asura sebagai simbol kebaikan. Maka sistem pengajaran Hindu yang didasarkan atas kitab Veda memaknai Dewa sebagi simbol kebaikan sementara Asura sebagai simbol keburukan.
Sementara dalam tradisi Sunda Kuno pemaknaan dan klasifikasi kaku antara Asura dan Dewa telah menjadi cenderung baur dan dianggap tidak terlalu prinsipil lagi. Makhluk-makhluk yang dalam kategori Hindu dikalisifikasikan sebagai Asura seperti Raksasa, Detya, dan Danawa tersebut; kesaktiannya kemudian dimaknai lebih positif sebagai bagian dari Dewa juga. Suatu makhluk hidup yang sama-sama memiliki keutamaan dan dapat dijadikan simbol kebaikan dan kesaktian.
Adapun tahap perkembangan berbagai organisasi dan pergerakan masyarakat Sunda modern yang menjadi sangat identik dengan simbologi senjata Kujang, kemungkinan harus sedikit mundur kebelakang untuk mengkaji kelahiran simbologi Kujang tersebut melalui kelahiran Paguyuban Pasundan (Ejaan Lama: Pagoejuban Pasoendan).
Karena Paguyuban Pasundan yang kemungkinan besar menjadi inisiator teknis kelahiran simbologi Kujang dalam wujud kongkritnya sebagai Heraldry. Melalui semangat Paguyuban Pasundan pergerakan-pergerakan lainnya kemudian berada di bawah bayang-bayang dan trend centernya.
Beberapa asumsi dasar bisa dikemukakan. Karena Paguyuban Pasundan adalah antitesa bagi gerakan Budi Utomo (Boedi Oetomo) itu sendiri maka Paguyuban Pasundan akan mengembangkan model identitas tandingan sebagai jawabannya.
Pertama, Kujang menjadi simbol Tauhid. Dalam hal ini Paguyuban Pasundan mengembangkan model yang terintegrasi antara gerakan Kebangsaan (Etno-Nasionalis) dengan Keagamaan (Islam).
Kedua, Kujang menjadi simbol anti Aristokrasi. Dalam hal ini pergerakan masyarakat Sunda menginginkan pergerakan yang bersifat lebih progresif dan dinamis. Suatu pergerakan dengan basis kerakyatan yang membumi dan bukannya hanya bertumpu pada gaya hidup dan kepentingan aristokrasi.
Ketiga, Kujang menjadi simbol pembeda Identitas. Semula bergabungnya tokoh-tokoh masyarakat Sunda termasuk Madura kedalam Budi Utomo karena didasarkan atas perasaan dan identitas yang sama. Adanya sikap pengurus Budi Utomo yang cenderung lebih fokus kepada pihaknya sendiri yang membuat masyarakat Sunda akhirnya keluar.
Dalam memori masyarakat Sunda yang terekam dalam tradisi lisan berupa cerita pantun, kisah Kujang kemungkinan membuatnya menjadi terkenal dan mendapatkan kedudukannya yang penting.
Maka untuk membedakannya dengan gerakan Aristokrasi, tokoh-tokoh pergerakan dalam masyarakat Sunda kemudian menghadirkan simbologi visual Kujang sebagai jawabannya.
Namun demikian, dengan seiring waktu dan perkembangan data pengetahuan. Persoalan simbologi demikian perlu dikaji kembali sekedar untuk melakukan penyegaran. Bukan untuk menolak simbol Kujang, namun melalui pembacaan atas naskah Siksa Kanda Ng Karesian; dengan nyata dapat terbaca bahwa gagasan pergerakan masyarakat Sunda masih terlalu fokus pada dasar institusi Keramaan dengan pengabaikan dasar-dasar dua institusi lainnya, yakni Keprabuan dan Keresian.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.