Prasasti Canggal
Di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah ditemukan prasasti yang biasa dipanggil Prasasti Canggal atau Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya. Disebut dengan Prasasti Sanjaya karena prasasti tersebut diduga dibuat oleh Sanjaya itu sendiri pada masanya. Prasasti berangka tahun 654 Saka (732 Masehi) tersebut ditemukan pada halaman bangunan batu sederhana yang biasa disebut Candi Gunung Wukir atau Candi Canggal atau Candi Shiwa Lingga.
Dalam buku Rangkuman Materi Perkuliahan: Sejarah Indonesia Kuno yang dikeluarkan oleh Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia karya Sumantri dan Yeni Kurniawati terdapat pokok-pokok keterangan mengenai isi dari Prasasti Canggal sebagaimana berikut.
“Bait 1: Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung.
Bait 2-6: Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu.
Bait 7: Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa.
Bait 8-9: Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat negara berkabung, sedih kehilangan pelindung.
Bait 10-11: Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak perempuannya (Sannaha).
Bait 12: Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba senang.”
Dalam Prasasti Canggal dengan sangat jelas tergambarkan bahwa Sanjaya adalah pemuja Siwa, Brahma, Wisnu (Tri Murti); suatu keterangan yang tidak bisa dibantah karena Sanjaya sendiri yang menuliskannya. Sementara dari ketiganya yang telah menunjukkan skema teologi Post Vedic (karena Vedic cenderung menempatkan Indra sebagai penguasa para dewa), Sanjaya memilih Siwa sebagai agamanya. Pemilihan Siwa sebagai agamanya dibuktikan dengan pendirian Lingga (Menhir) dan bangunan Candi Canggal sebagai tempat pemujaan terhadap Siwa.
Wakaf pembuatan Lingga dan Candi Siwa di daerah Kunjarakunjaradesa tersebut selain berdimensi keagamaan, juga berdimensi politis; dimana Sanjaya tengah mengenang sosok pendahulunya yang bernama Sanna yang berkuasa di Pulau Jawa. Perlu diselidiki bagaimana bunyi otentik inskripsi dari bahasa Sanskrit dan aksara Palawa tersebut dalam menyatakan istilah Pulau Jawa dalam transliterasi tersebut? Dan jika benar memang ditulis sebagai Pulau Jawa; apakah kata tersebut harus dibaca dalam maknanya yang bersifat luas sebagai keseluruhan pulau? ataukah bermakna khusus sebagai suatu regional tertentu yang lebih bersifat teknis? Karena di dalam prasasti tersebut tidak dijelaskan nama resmi negara yang pernah dipimpin oleh Sanna tersebut.
Namun satu hal yang jelas, bahwa Sanna dikatakan dalam prasasti tersebut sebagai ayah dari Sanjaya itu sendiri. Hanya saja pelimpahan kekuasaan dari Sanna kepada Sanjaya tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui Sannaha yang dikatakan sebagai kakak dari Sanna, ayahnya.
Di sini cukup wajar untuk di duga bahwa Sanna setelah memimpin kekuasaan kemudian meninggal. Dan jika Sannaha tidak memiliki peran kunci maka pelimpahan kekuasaan itu tidak perlu diinformasikan sebagai mana umumnya pewarisan tahta normal dari garis ayah ke anak. Informasi tersebut menunjukkan bahwa pemilik kekuasaan sesungguhnya adalah hak waris daripada Sannaha. Melalui Sannaha, maka Sanna dan Sanjaya mendapatkan legalitas formal kekuasaannya. Bisa dibayangkan bahwa ketika Sanjaya naik tahta, ayahnya baru saja meninggal dan ibunya masih hidup.
Jika dibandingkan dengan kisah dalam naskah Carita Parahyangan sebelumnya bahwa Sanjaya (disebut juga Rakean Jambri) memang benar anak Sang Sena (Prasasti Sanna). Sanjaya dikatakan dalam naskah Carita Parahyangan dilahirkan di kawasan Gunung Marapi, ketika ayahnya Sena dijungkit (dijatuhkan) atau disilihjungkit (diganti dengan cara dijatuhkan) atau dengan kata lain dikudeta dari Kerajaan Galuh yang kemudian diduduki Rahyang Purbasora. Di sini ada dua kesamaan nama antara naskah Carita Parahyangan dan Prasasti Canggal, Sanjaya dan Sanna atau Sang Sena. Dua gagasan tersebut tentu saja bukan suatu data yang bersifat kebetulan meskipun dua data tersebut berasal dari tarikh waktu yang berlainan.
Meskipun di dalam Prasasti Canggal tidak disebutkan data Gunung Merapi yang biasa kita sebut modern ini, namun berdasarkan data temuan yang berada di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah tentu memiliki dasar periwayatan yang akurat. Karena Kabupaten Magelang memang berada di lereng sebelah barat dari Gunung Merapi. Dengan demikian nama Gunung Marapi dalam naskah Carita Parahyangan memang benar merujuk pada Gunung Merapi modern ini yang berada di antara Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
Di dalam naskah Carita Parahyangan tidak disebutkan siapa ibunya. Demikian juga di dalam Prasasti Canggal tidak disebutkan siapa ibunya. Namun demikian terdapat data yang menyebutkan siapa ibu dari Sanjaya, yakni di dalam naskah Pangeran Wangsakerta. Di dalam naskah Pangeran Wangsakerta dikatakan bahwa Sanjaya (disebut juga Haris Darma) adalah putra pasangan Sena yang disebut juga Bratasenawa dan Sannaha. Sena dikatakannya adalah putra dari Jalantara atau Prabu Suragana atau Rahyang Mandiminyak dan Dewi Wulansari (Carita Parahyangan Rahyang Mandiminyak dan Pwah Rababu). Sementara Sanaha adalah putri dari Jalantara atau Prabu Suragana atau Rahyang Mandiminyak dan Dewi Parwati. Jika Mandiminyak merupakan raja Kerajaan Galuh, maka Parwati adalah putri Ratu Sima yang berkuasa di sebagian wilayah Krajaan Kalingga.
Karena jika melihat keterangan naskah Pangeran Wangsakerta, dikatakan bahwa Ratu Sima yang bersuamikan Prabu Kartikeyasinga sesungguhnya memiliki anak laki-laki bernama Prabu Iswarakesawalingga. Jika benar demikian maka penguasa syah Kerajaan Kalingga setelah Katikeyasinga dan Ratu Sima yang menggantikan suaminya dalam logika tata negara kuno adalah Prabu Iswarakesawalingga. Namun dikarenakan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga sejak masa Mandiminyak dan Parwati adalah sekutu. Kemudian dapat dipelajari juga pada periode keruntuhan Kerajaan Tarumanagara, bahwa Kerajaan Sunda pada masa Tarusbawa sebagai penerus Kerajaan Tarumanagara legitimasinya ditolak oleh Kerajaan Galuh pada masa Wretidendayun bersama sekutunya Kerajaan Kalingga.
Dengan mengingat riwayat persekutuan yang cukup baik, bisa diandaikan jika Prabu Iswarakesawalingga masih berkuasa maka akan memberikan suaka dengan sukarela kepada Sena dan perestui pernikahannya denga Sanaha yang merupakan keponakannya. Masih berdasarkan naskah Wangsakerta, penerus resmi Iswarakesawalingga adalah Iswaralingga anaknya. Sena sebagaimana dikatakan Sanjaya kemudian memimpin suatu kawasan yang tidak diberitakan namanya. Dimana kawasan tersebut kemudian dilanjutkan oleh Sanjaya melalui hak waris Sanaha. Dengan demikian Sena bisa dikatakan diberikan keleluasaan untuk membangun kekuasaan di tempat pengasingan di kawasan Kalingga yang berdasarkan Prasasti Canggal sendiri dengan jelas bernama Kunjarakunjadesa yang berada di Magelang sebelah barat Gunung Merapi.
Kekuasaan Sena aman dari intervensi Kerajaan Galuh yang dikuasai oleh Purbasora karena tapal batas Kerajaan Galuh pada masa itu hingga bertemu sungai Praga dan Cilohtiran. Di seberang Kali Progo dan Kali Lotiran tersebut (membujur utara selatan bertemu di Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing), sebagaimana dalam naskah Carita Parahyangan adalah kekuasaan Rahyang Isora (fonetik yang terhubung dengan Iswarakesawalingga dan Iswaralingga dalam naskah Pangeran Wangsakerta). Karena Isora dan Iswara berakar dari bahasa Sanskrit Isvara yang merupakan nama lain Siwa. Di sini cukup jelas bahwa baik di Kerajaan Galuh maupun di kawasan Jawa masih menganut Siwa sebagai agamanya. Pada masa tersebut bisa dikatakan Kerajaan Kalingga masih total menganut Siwa dan belum beralih atau melahirkan pusat keagamaan Siwa dan Budha secara berdampingan.
Di daerah Magelang di lereng barat Gunung Merapi, selepas sungai Progo dan sungai Lotiran, selepas Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, jauh dari Gunung Ceremey dan Gunung Slamet; Sanjaya alias Haris Darma alias Rakean Jambri tengah menyiapkan diri untuk kembali menuju Kerajaan Galuh dan menuntuk balas atas kudeta yang dilakukan oleh Purbasora atas tahta ayahnya yang syah di Kerajaan Galuh dengan ibukotanya di Medangjati atau di Menir sebagai tinggalan pendahulunya. (Gambar: Prasasti Canggal karya Gunawan Kartapranata)
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.