sans-culottes

Sans-Culottes – Dalam bahasa Perancis, sans dimaksudkan sebagai tidak menggunakan, sementara culottes artinya celana pendek berbahan sutra dengan panjang sedikit dibawah lutut. Dalam bahasa Inggris, culottes disebut dengan nama breeches atau knee-breeches. Sehingga Sans-Culottes (without Breeches) maksudnya adalah orang-orang yang tidak menggunakan celana pendek selutut berbahan sutra.

Orang-orang yang tidak menggunakan culottes atau breeches (Sans-Culottes) adalah kelas pekerja atau buruh yang sudah terbiasa menggunakan celana panjang sampe mata-kaki dengan bahan bukan sutera yang dalam bahasa Inggrisnya biasa disebut dengan nama trousers atau pantaloone. Sementara culottes atau breeches adalah celana khas yang biasa digunakan umumnya oleh raja-raja dan bangsawan-bangsawan Eropa, termasuk raja-raja dan bangsawan-bangsawan Perancis. Sans-Culottes adalah mereka yang bukan termasuk golongan tersebut.

Dalam masa Revolusi Perancis (1789-1799 M) meletus, celana kelas pekerja atau buruh telah menjadi identik sebagai simbol pakaian perlawanan. Trousers atau pantaloone tersebut dilengkapi pula dengan carmagnole (jaket/jas pendek) dan red phrygian cap/red cap of liberty (topi merah prigia/topi merah kebebasan).

Kelas pekerja atau buruh bersama lapisan bawah dan miskin lainnya menjadi komponen penting dalam kerja Revolusi Perancis. Mereka dikenal memiliki gairah, idealisme dan patriotisme yang kuat; bahkan cenderung dianggap sayap revolusi yang radikal dan militan.

Mereka menuntut persamaan sosial, persamaan ekonomi dan penerapan demokrasi kerakyatan. Jargon mereka liberte (kebebasan), egalite (persamaan) dan faternite (persahabatan). Tuntutan mereka tegas meruntuhkan Ancien Regime dan sistem monarkhinya, mencabut hak-hak istimewa raja dan keluarganya (royal court) dan bangsawan-bangsawan (aristokrat/nobility); juga hak dan cengkraman kuat dari pendeta dan ikut-campur gereja dalam kehidupan rakyat dan negara.

Sepertinya kelas pekerja atau buruh dan lapisan bawah lainnya (proletar) bukanlah komponen tunggal, karena sayap intelektual kelas menengah dan kaya-raya (borjuis) juga ikut bagian dalam saham Revolusi Perancis ini. Kaum borjuis (kaya dari perolehan usaha dan perdagangan) dan proletar (rendah/miskin/kelas pekerja dan petani) masih bekerjasama bergandengan-tangan dalam menundukkan hegemoni agamawan (pendeta) dan bangsawan (garis keturunan) dalam upaya mengganti sistem Monarkhi.

Pada tahap pertama Raja Louis XVI melakukan pertemuan bersama Assembly of Notables (Majelis Bangsawan) yang berlaku semacam King’s Council. Disini raja membahas berbagai hal terutama dampak keterpurukan ekonomi Kerajaan Perancis paska Perang Tujuh Tahun melawan Inggris dan dukungan dalam Revolusi Amerika Serikat yang membuat Perancis diambang kebangkrutan.

Pada tahap kedua Menteri Ekonomi Colonnes mengajukan solusi pembaharuan sistem pajak/tax yang ditindaklanjuti oleh Raja Louis XVI dalam pertemuannya dengan Etats-Generaux/Estates-General (Parlemen) yang terdiri dari komposisi Etat Pendeta, Etat Bangsawan dan Etat Rakyat. Parlemen dalam hal ini hanya bersifat sebagai High Court dan bukan merupakan lembaga Legislatur; dengan sedikit kewenangan veto atas setiap hukum/kebijakan baru yang dilakukan pemerintahan.

Pada tahap ketiga terjadi deadlock dalam Etats-Generaux yang tampaknya diakibatkan oleh resistensi terhadap kebijakan pemerintah yang baru soal reformasi keuangan dan pajak. Keadaan seperti ini membuat Etats Rakyat bersama relawan dari etats-etats lainnya yang bersifat liberal untuk memisahkan diri dari Etats-Generaux dengan membentuk National Assembly (Majelis Nasional) dan ditindaklanjuti menjadi Asamble Lee Nationale Constituante (Majelis Konstituante Nasional) dengan hasil Deklarasi Hak Asasi Manusia dan pembuatan Konstitusi baru dimana sistem Monarkhi Absolut dirubah menjadi Monarkhi Konstitusional.

Pada tahap keempat, Etats Rakyat yang sebenarnya terdiri dari kaum Borjuis dan Proletar akhirnya terpecah juga. Kaum proletar dan relawan dari etats-etats lainnya yang menyokong gagasan kemudian memisahkan diri dengan membuat National Convention (Pertemuan Nasional) yang keluar dari pakem etats-etats yang baku. Dari Pertemuan Nasional inilah representasi suatu sistem Communes/Komunis (Commons) lahir sebagai massa rakyat yang yang utuh dan tanpa kelas. Mereka kemudian menuntut nilai tertinggi suatu bentuk perubahan, yakni digantinya sistem Monarkhi Absolut bukan sekedar menjadi Monarkhi Konstitusional, melainkan menjadi berbentuk Republik Demokratis Sekular. Mereka kemudian membentuk sistem pemerintahan Komune di Paris yang biasa disebut Komune Paris. Ketua Sidang Communes kemidian dipilih sebagai Walikota atas dukungan Communes.

Dikemudian hari, militansi Sans-Culottes mendapatkan banyak sanjungan dari kritikus Marxis/Marxian sebagai anak syah Revolusi Perancis. Komune atau Komune Paris menjadi inspirasi bagi anggapan jika sistem Komunisme sempat diterapkan meskipun hanya berumur beberapa bulan saja, sebelum fase Republik tersebut beberapa kali gulung-tikar dan silih-berganti dengan naiknya fase Kekaisaran Perancis yang juga sama-sama beberapa kali gulung tikar. Dalam suatu keadaan kritis yang memuncak itulah ras militer mengambilalih dengan lahirnya Napoleon Bonaparte dalam panggung sejarah Perancis.

Menurut pendapat Karl Marx Komunisme adalah fase final selepas melalui masa revolusi (perang antar kelas) yang dilakukan dan kemudian akan memasuki tahap trasisinya dengan nama Diktator Proletariat. Sejarah memperlihatkan jika kedewasaan dan kebesaran dunia Barat (Eropa Barat, Rusia dan Amerika) telah dibangun diatas fase demi fase revolusi yang sangat melelahkan.

Revolusi Pengetahuan/Eropa (abad ke-16 M) membebaskan ikatan pengetahuan dari dogma agama, Revolusi Industri/Inggris (1750-1850 M) melahirkan terobosan dalam aspek teknis dan kapital peradaban, Revolusi Amerika Serikat (1775-1783 M) melahirkan wacana kemerdekaan dan kebebasan koloni dari induk imperialis/empire dengan dinyatakannya Deklarasi Kemerdekaan, Revolusi Perancis (1789-1799 M) melepaskan ikatan dari struktur monarkhi, feodal, gereja dan agamawan yang menyesakkan dan menguras kesejahteraan maka lahirlah Deklarasi HAM, Revolusi Rusia (1917 M) menjadi eksperimen akhir bukan saja untuk meruntuhkan sistem monarkhi, melainkan juga mengikis habis peran borjuis-kapitalis menuju alam idealisme sosialis dan komunis.

Kemudian, adakah jalan pintas menuju bagi bangsa Indonesia untuk menuju tahap kedewasaannya tanpa harus melalui kontinuitas fase-fase revolusi yang menguras tenaga dan menghabiskan banyak pengorbanan dan darah sebagaimana yang telah dilakukan di dunia Barat. Mampukah bangsa Indonesia duduk bersama dan berbicara soal ikatan-ikatan yang telah dikerjakannya. Atau bagaimana caranya menciptakan suatu formulasi dalam rangka membalikkan paradigma yang tengah terjadi. Merobek hirarki-hirarki seperti yang terjadi pada masyarakat Barat, tapi dengan pembacaan yang khas dan otentik sebagai prodak zaman dan anak situasi negerinya sendiri; bukan Barat.


Catatan: Pantaloone selain berasosiasi dengan tokoh imajinasi sastra atau teater Pantalone de Bisognosi dalam Commedia dell’Arte yang juga menggunakan celana ketat khas saudagar Venesia, juga kuat berasosiasi kuat secara bahasa dengan celana panjang khas Arab dalam dunia Islam yang berakar dari Persia dan Iranian-Saka/Turk (Scythia) dengan nama Banthalun.

Sejak memasuki abad ke-18 M itulah celana panjang setahap demi setahap dapat diterima luas masyarakat Barat. Dibolehkan oleh Dekrit Tsar Rusia Peter yang Agung pada tahun 1701 M, digunakan oleh kelas pekerja pada masa Revolusi Perancis 1789 M saat melawan Raja Louis XVI, atau diperkenalkan secara resmi oleh Beau Brummwll pada masa Regency Era (1811-1820 M) di Inggris ketika King George berkuasa.

Dalam khazanah kebudayaan Arab, Banthalun cenderung ketat atau ketat ke bagian bawah dan longgar ke bagian atasnya. Sementara Sirwal merupakan celana panjang yang longgar. Kemungkinan kedua bentuk celana tersebut digunakan dalam situasi dan peruntukkan yang berbeda.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".