Dalam rangka menaklukkan kawasan Syam dari tangan Bizantium, Abu Bakar mengirimkan empat gelombang pasukan. Masing-masing pasukan tersebut dipimpin oleh komandan Amar bin Asy, Yazid bin Abi Sufyan, Syurahbil bin Hasanah, dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Syam pada akhirnya jatuh sepenuhnya ke tangan Khulafa al Rasyidin sejak Pertempuran Ajnadain (634 M) dan Pertempuran Yarmuk (636 M) antara akhir kekuasaan Abu Bakar (632-634 M) dan awal kekuasaan Umar bin Khatab (634-644 M).
Pada tahun 638 M, basis pendudukan pasukan telah berada di Kota Amwas (antara Yarusalem dan Tel Aviv) yang dalam bahasa Latin disebut Emmaus Nicopilis (Emmaus City of Victory); tempat dimana Yesus terlihat hadir dan ada setelah kabar kematian beredar dalam kisah Perjanjian Baru (New Testament). Pada tahun tersebut, muncul peristiwa yang dikenal dengan nama Wabah Amwas (Tha’un Amwas).
Menurut Sejarawan Klasik, Saif bin Umar, wabah ini mulai terjadi pada bulan Muharam dan Safar tahun 17 Hijriyah (Januari-Februari 638 M). Setelah kemunculannya tersebut, wabah kemudian perlahan mereda; hingga kemudian menurut Sejarawan Klasik lainnya yakni Jalaluddin Asy-Syayuti menjadi lebih parah. Peristiwa tersebut terjadi setelah memasuki tahun 18 Hijriyah (639 M). Dari Syam, wabah terus merambat hingga memasuki kawasan Mesir di Barat dan Irak di Timur. Wabah kemudian kembali mereda setelah memasuki bulan Syawal tahun 18 Hijriyah.
Dalam wabah tersebut, diperkirakan telah memakan korban hingga 25.000 jiwa yang terdiri dari pasukan militer dan keluarganya. Melihat situasi gawat demikian, Umar bin Khatab memanggil Abu Ubaidah bin Jarah sebagai komandan pasukan ke Madinah. Panggilan tersebut tidak diindahkan oleh Abu Ubaidah yang memahami maksud Umar untuk merekomendasikan penarikan pasukan pendudukan.
Dengan adanya respon tersebut, Umar memutuskan mendatangi langsung ke lapangan dengan memakan waktu 13 hari perjalanan dari Madinah. Sebelum memasuki Kota Amwas, yakni di Kota Sargha kegiatan dengar pendapat dengan para sahabat (consultative assembly) diselenggarakan oleh Umar. Baik fraksi Anshor maupun fraksi Muhajirin menyatakan diri menolak gagasan penarikan mundur pasukan.
Dalam pertemuan tersebut, Abu Ubaidah juga menyatakan dengan tegas keenggannya untuk menarik pasukan yang dikesani seakan-akan melarikan diri dari taqdir. Dalam menanggapi Abu Ubaidah, Umar berkata: “jika seseorang beternak unta dan dihadapkan dengan lahan yang subur dan lahan yang tandus, sudah sewajarnya manusia memilih lahan yang subur, dan apapun yang dipilihnya itu juga sudah ditakdirkan Allah.”
Di dalam forum tersebut Abdurahman bin Auf menceritakan pandangannya melalui sebuah hadits dari Nabi Muhammad SAW yang pernah didengarnya “Jika kalian mendengar suatu negeri terjangkit wabah, maka janganlah kalian menuju ke sana, namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dan lari darinya.” (terdokumentasikan dalam Shahih Bukhari melalui sumber Abdullah bin Abas)
Di tengah situasi deadlock, Umar mencoba menggelar pertemuan lebih lanjut khusus dengan para pemuka Bani Quraisy (dari golongan Muslim lebih kemudian); pada forum yang berikutnya mereka merekomendasikan penarikan mundur pasukan yang sejalan dan disepakati oleh Umar bin Khatab.
Melalui forum tinggi tersebut, tidak ada lagi celah bagi Ubaidah untuk menolak kebijakan Khalifah; Komandan militer akhirnya mematuhi perintah. Ubaidah menarik mundur pasukan ke Kota Jabiyah di dataran tinggi Hauran, yang merupakan kawasan lama Bani Ghasan. Sementara Umar bin Khatab kembali ke Madinah.
Dalam perjalanan ke Jabiyah, Abu Ubaidah meninggal dunia pada tahun 18 H (639 M). Kedudukannya kemudian digantikan oleh Muadz bin Jabal yang juga meninggal karena wabah tersebut. Pengganti Muadz, yakni Yazid bin Abi Sofyan juga meninggal. Demikian juga dengan Syurahbil bin Hasanah.
Selain komandan-komandan militer, pemuka-pemuka Islam juga meninggal seperti Suhail bin Amar, Abu Jandal bin Suhail, Fadhal bin Abas, Harits bin Hisyam. Kepemimpinan kemudian dipegang oleh Amr bin Asy yang menbawa sisa pasukan ke Jabiyah. Di Jabiyah, Amar bin Asy mulai memisahkan antara yang sakit dan yang sehat.
Di sana juga Amar merekomendasikan untuk melakukan pemencara kelompok-kelompok ke beberapa tempat berbeda untuk menghindari pemusatan. Dan juga menuju ke arah pegunungan. Melalui konsistensi penanganan sebagian sisa pasukan dan rombongan keuarga selamat. Bahkan kemudian berhasil menyelesaikan agenda penaklukan Mesir. Sementara di Syam, sepeninggal komandan-komandan dan Yadzid bin Abi Sufyan; Muawiyah yang masih merupakan legiun dipilih untuk melanjutkan garnisun di Syam. Dalam narasi tersebut, memang dinyatakan adanya suatu anjuran dan kebolehan melakukan proses isolasi (lockdown); namun demikian pengambilan keputusan dari Umar juga telah menjadi suatu kerangka kebolehan terhadap usaha penarikan mundur dari zona wabah jika diperlukan. Rentang waktu Wabah Amwas tersebut masih terus muncul tenggelam, hingga memasuki masa penguasaan Bani Umayah dan bahkan memicu suatu kondisi yang mengarah pada pergeserannya kekuasaan yang menguntungkan menuju Bani Abasiah.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.