Menengok Pergeseran Silsilah Dan Garis Kekuasaan Dari Penguasa Trah Lama Hindu-Budha Menuju Trah Kekuasaan Islam (Contoh Kasus di Cirebon Abad Ke-15 M)
Oleh, Gelar Taufiq Kusumawardhana/The Varman Institute
Syarif Hidayatullah dikenal sebagai Sayid Kamil atau Susuhunan Jati atau Susuhunan Cirebon atau Maulana Jati atau Sunan Gunung Jati adalah putra Syarif Abdullah. Abdullah ini bukan merupakan Sultan Mesir sebagaimana yang banyak diceritakan di masyarakat. Di Mesir pada abad ke-15 M yang tengah berkuasa adalah Kesultanan Mamluk yang dibangun oleh bangsa Turki, sebelum bangsa Turki lainnya membangun Kesultanan Usmani.
Syarif Abdullah ayah Syarif Hidayatullah sesungguhnya adalah Sultan Champa pertama yang berpusat di Kanduranga, setelah pusat kekuasaan Champa lama di Vijaya telah tergeser dan dikuasai oleh Kerajaan Dai Viet dari rumpun bangsa Vietnam yang turun ke Selatan menggeser rumpub bangsa Champa.
Syarif Abdullah ini lebih dikenal dengan nama Syarif Abdullah Umdatuddin atau Maulana Syarif Abdullah Mahmud Umdatuddin, orang Vietnam menyebutnya Wan Abdullah atau Wan Bo Tri Tri. Selain berputra Syarif Hidayatullah, Syarif Abdullah memiliki putra lainnya antara lain Syarif Nurullah yang disebut juga dengan nama Wan Abul Muzafar atau Sultan Muzafar Syah. Syarif Nurullah ini yang meneruskan tradisi Kesultanan Champa bukan yang sebagaimana diberitakan, dimana saudara Syarif Hidayatullah meneruskan Kesultanan Mesir.
Syarif Nurullah ini memiliki putra yang dikenal dengan nama Nik Mustafa yang meneruskan tradisi Kesultanan Champa berikutnya dan Nik Jamaluddin, yang berputra Sultan Adiluddin yang menjadi Sultan Kelantan dan Sultan Samiruddin yang juga menjadi Sultan Kelantan.
Jika Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah merupakan putra pasangan Syarif Abdullah dan Nyai Rara Santang putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Maka putra lainnya dari pasangan Syarif Abdullah dan Nyai Condrowati putra dari Brawijaya melahirkan Raden Fatah yang kemudian hari menjadi Sultan Demak.
Syarif Abdullah Umdatuddin adalah putra Ali Nurul Alam putra Sayid Jamaluddin Akbar putra Sayid Ahmad Jalal Syah yang dikenal juga dengan nama Amir Ahmad Syah Jamaluddin putra Sayid Abdullah yang dikenal juga dengan nama Amir Abdullah putra Sayid Abdul Malik Azmatkhan.
Syarif Hidayatullah merupakan Sultan Cirebon kedua setelah Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuwana yang tidak memiliki garis penerus laki-laki dan menyerahkan kekuasaan kepadanya. Pangeran Walangsungsang adalah ayah mertua lewat anaknya Nyi Mas Pakungwati dan sekaligus uwa bagi Syarif Hidayatullah dari pihak ibunya, Nyai Rara Santang yang juga memiliki nama Syarifah Mudaim setelah menikahi suaminya Syarif Abdullah.
Pangeran Walangsungsang merupakan Sultan Cirebon dibawah kekuasaan Pajajaran dengan gelar yang diberikan Prabu Siliwangi (Sribaduga Maharaja) yang merupakan ayahnya dengan nobat Tumenggung Sri Mangana Cakrabuana. Sementara adiknya, Rajasengara yang dikenal dengan Kian Santang dalam tradisi Minang dikenal telah membantu dalam mempromotori berdirinya Kesultanan Pagaruyung di Sumatra Barat.
Walangsungsang, Kian Santang, dan Rara Rantang merupakan muslim-muslim dari trah lama Pajajaran. Mereka dididik oleh ibunya Subang Larang yang juga muslim-muslim pribumi dari trah penguasa Hindu-Budha lama. Subang Larang adalah murid dari Syeh Quro atau Syeh Qurotul Ain atau Syeh Mursadatillah yang memiiki nama asli Syeh Hasanuddin.
Syeh Hasanuddin merupakan putra Syeh Yusuf Sidiq putra Sayid Husain Jamaluddin atau Syeh Jumadil Kubro putra Amir Ahmad Syah Jamaluddin putra Sayid Abdullah putra Abdul Malik Azmatkhan. Syeh Quro dan Syeh Nurjati meruakan mubalig-mubalig dari Champa yang menumpang dengan kunjungan muhibah Laksamana Cheng Ho atas nama projek Dinasti Ming di Tiongkok.
Cheng Ho atau Ma Cheng Ho atau Muhammad Cheng Ho atau Haji Mahmud Syams sendiri merupakan muslim Hui dari Tiongkok. Leluhurnya adalah Sayid Ajjal Syamsuddin Umar yang telah menjadi Gubernur Yunan atas nama Dinasti Yuan Mongol di Tiongkok. Hui adalah belasteran Tionghoa Han dari garis ibu dan ayah dari garis silsilah Arab dinama geneologi Hasan bin Ali bin Abithalib mengalir didalamnya (juga bertemu dengan garis Husain bin Ali bin Abithalib).
Kedatangan Cheng Ho diterima hangat oleh Ki Gedeng Tapa ayah Subang Larang. Termasuk menerima hangat usaha dawah yang dilakukan oleh Syeh Quro. Ki Gedeng Tapa yang berkuasa di Muara Jati Cirebon adalah putra pasangan Prabu Niskala Wastu Kancana putra Prabu Linggabuana dan Dewi Mayangsari putra Prabu Bunisora Suradipati dari garis silsiah penguasa lama tahta Sunda-Galuh.
Riwayat kemusliman keluarga Ki Gedeng Tapa bukan hal yang baru. Uwaknya sendiri dari pihak ibu, yakni Bratalegawa yang dikenal dengan nama Haji Purwa Galuh adalah pionir-pionir dalam transisi keagamaan di Tatar Sunda. Cucu Haji Purwa yang bernama Khadijah kemudian hari dinikahi oleh Syeh Nur Jati.
Pada periode ini, istilah Ustadz yang berakar dari bahasa Persia tampaknya belum dikenal dan masih menggunakan istilah Arab tulen Syeh. Dan gelaran yang baku dimana garis Hasan bin Ali bin Abithalib yang identik dengan Syarif dan gelaran yang baku dimana garis Husain bin Ali bin Abithalib menggunakan Sayid yang kemudian hari berkembang menjadi Habib tampaknya belum digunakan secara baku. Selain menggunakan Syarif, Sayid, terdapat juga gelaran Maulana yang digunakan pada periode tersebut.
Kedatangan Ahlul Bait pada umumnya tidak membawa isteri dimana kemudian biasa menikahi wanita dari kalangan pribumi terhormat. Peranakan dari pasangan tersebut akan masuk pada lingkaran keluarga Alawiyin. Anak perempuan akan dinikahkan kembali dengan garis laki-laki dari kalangan mereka sendiri. Dan garis laki-laki selain menikahi wanita dari kalangan Alawiyin akan menikahi juga wanita muslim dari luar kalangannya. Usaha demikian dilakukan dalam rangka pemurnian nasab atau garis murni silsilah.
Melalui kehadiran Sunan Gunung Jati di Cirebon, kita dapat melihat bahwa trah laki-laki telah bergeser dari garis silsilah penguasan murni trah Pajajaran menuju trah Alawiyin Azmatkhan pada abad ke-15 di kawasan Cirebon. Sementara dari garis ibu berasal dari trah penguasa lama Pajajaran. Proses asimilasi yang halus dan lembut tersebut bukan saja milik periode Islam. Trah-trah pembangun kekuasaan Hindu-Budha dari rumpun bangsa Saka India juga telah melakukan hal yang sama dalam melakukan pernikahan politis sebagaimana demikian pada masa yang telah jauh berlalu.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.