Perlu untuk sekedar diketahui oleh umat Islam, jika di dalam tradisi intektual umat Islam itu sendiri ada juga yang berpendapat apabila yang semula akan dikorbankan oleh Nabi Ibrahim AS itu sebenarnya bukan Nabi Ismail AS, melainkan Nabi Ishak AS. Tapi semua lokasinya sudah sangat jelas dan tanpa perbedaan yakni merujuk pada suatu kawasan di Jazirah Arab, atau lebih tepatnya di kawasan Hijaz, atau lebih tepatnya lagi di kawasan Makah, dan atau lebih tepatnya lagi adalah di kawasan bukit Mina.

Namun demikian, tidak semua pendapat di dalam wacana intelektual umat Yahudi menyepakati jika yang semula akan dikorbankan adalah Yishak, melainkan justru sebenarnya Yismael. Hal ini barangkali diakibatkan adanya kontradiksi dalam sumber Masoret itu sendiri, dimana yang berpendapat yang semula akan dikorbankan Yismael dikarenakan banyak pertimbangan dan isyarat dimana salah-satunya perihal lokasi dan kronologi yang menyatakan apabila peristiwanya terjadi ketika Abraham berada di luar kawasan Kanaan [Israel atau Palestina modern] yang terkait kawasan Paran sebelum kembali ke Bersyeba dan kemudian kembali lagi ke kawasan Kanaan untuk mengkebumikan Sarah isterinya di Hebron. Demikian juga terdapat perbedaan pendapat perihal tempat dimana putra Abraham tersebut semula akan dikurbankan (selain kawasan Paran di luar kawasan Bersyeba). Yang mana sebagian kaum Yahudi berpendapat apabila tempatnya adalah di kawasan bukit Moria (dialek Arabnya Marwah) yang terletak di kawasan Yarusalem (Israel Selatan/Yehuda), di kawasan modern Israel atau Palestina modern, sementara kaum Samaria berpendapat apabila tempatnya berada di kawasan bukit Moreh (sebutan Arab kemudian Dihya/Dahi) yang terletak di kawasan Samaria (Israel Utara/Efraim), di kawasan modern Israel atau Palestina.

Apabila umat Islam lebih fokus untuk tidak terlebih dahulu mengkomparasikannya dengan tradisi intelektual Yahudi, Samaria, dan Nasrani, maka yang perlu dikaji sebenarnya adalah adanya dampak yang diakibatkan oleh karena simpang-siurnya keterangan yang bersifat kontradiksi yang diberikan oleh narasi dari sumber Hadits dimana sebagian mengatakannya bahwa Nabi Ismail AS lah yang semula akan dijadikan sebagai korbannya dan sebagiannya lagi mengatakannya bahwa Nabi Ishak AS lah yang semula akan dijadikan sebagai korbannya.

Keterangan Hadits tersebut kemudian dijadikan rujukan dan dianut sebagai pendapat dari para ahli Tafsir dan Tarikh dalam menjelaskan perihal Korban (Ibrani: Korban atau Korbanot). Simpang-siur tersebut kemudian menjadi wacana yang seakan bersifat longgar dan berupa suatu khilafiah biasa yang tampak seperti tidak bisa dipecahkan dikarenakan dalih bahwa di dalam hal ini Al-Quran sama sekali tidak menyatakan dengan lugas di dalam nash mengenai nama yang semula akan dijadikan korbannya (apakah Nabi Ismail AS ataukah Nabi Ishak AS?!).

Namun demikian, kita seharusnya bisa benar-benar mengkritisinya dengan lebih baik dan seksama mengenai pendapat bahwa persoalan tersebut tidak mungkin untuk bisa dipecahkan. Karena sebenarnya apabila Al-Quran sebagai sumber keterangan yang bersifat pertama atau utama di dalam Islam meskipun tidak menyebutkannya secara lugas dan jelas di dalam nashnya, namun apabila didapati sebuah gambaran umum yang bersifat isyarat, penalaran, dan termasuk aspek kronologis sejarah maka hal demikian sebenarnya sudah cukup menjadi bukti dimana Hadist sebagai sumber keterangan yang bersifat tambahan dan kedua; apabila didapati kontradiksi dengan Al-keterangan Al-Quran maka akan membuatnya menjadi batal. Dan maka dengan demikian, keterangan Hadist yang sesuai dan dapat menyokong keterangan tambahan Al-Quran lah yang bersifat tepat dan dapat digunakan. Sementara keterangan Hadits yang jelas-jelas bertentangan dengan keterangan Al-Quran dengan demikian harus berani untuk disingkirkan.

Untuk memecahkan adanya dikursus tersebut, saya akan mencoba untuk mevalidasinya (karena Al-Quran bersifat batu uji informasi dalam hal ini terhadap Hadist dan termasuk terhadap Kitab-Kitab sebelumnya) melalui Q.S. Ash-Shoofaat Ayat 83-113 dimana pada surat dan ayat tersebut dikisahkan perihal Nabi Ibrahim AS setelah sebelumnya telah dikisahkan perihal Nabi Nuh AS dan kemudian setelahnya akan dikisahkan perihal Nabi Musa AS.

Pada Ayat 83 dikatakan di dalamnya bahwa Nabi Ibrahim AS merupakan bagian dari penyokong, pendukung, pengikut, dan pembela (min syii’atihii) risalah dan keyakinan Nabi Nuh AS.

Pada Ayat 83-98 dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim AS telah mendapatkan hidayah dengan prinsip ketuhanan yang menjadi sistem keyakinannya dan kemudian mulai berpisah dengan secara prinsipil dengan sistem keyakinan paganisme yang dianut oleh ayah dan kaum masyarakatnya. Dikisahkan juga dimana Nabi Ibrahim AS telah secara lugas mengkritisi sistem keyakinan yang ada secara lugas kepada ayahnya hingga kemudian melakukan aksi perusakan terhadap properti berhala-berhala pemujaan yang kemudian disusul dengan proses dialektika keyakinan dengan kaum masyarakatnya. Dengan peristiwa itu Nabi Ibrahim AS kemudian mengalami persekusi dan rancangan penghukuman dari kaumnya untuk dilempar pada bangunan perapian yang kemudian atas pertolongan Allah Nabi Ibrahim AS diselamatkan. Sementara kaumnya sendiri yang melakukan persekusi dan penghukuman justru kemudian mengalami kehinaan akibat perbuatannya tersebut.

Pada Ayat 99 dikisahkan apabila Nabi Ibrahim AS berkata dan memutuskan untuk pergi menuju Tuhan (Rabbii) dan dia yakin akan mendapatkan petunjuk dari Tuhannya. (Dalam Tafsir dan Tarikh peristiwa ini juga sekaligus merupakan proses Hijrah secara fisik kewilayahan dari kawasan Irak [Babil] menuju kawasan Syam [Kanaan])

Pada Ayat 100-111 dikisahkan dimana Nabi Ibrahim AS berdoa agar bisa dikaruniai putra yang soleh/patuh (Shoolihiin). Kemudian Allah mengabulkannya dengan memberinya kabar gembira kelahiran putra (Ghulam) yang sabar/penyantun (Haliim). Pada umur yang sudah dewasa (Baligh) Nabi Ibrahim AS kemudian menceritakan perihal mimpinya untuk menyembelih putranya tersebut secara terus-terang dan lemah-lembut. Dan Nabi Ibrahim AS, ayahnya kemudian memberikannya ruang untuk meminta pendapat, pandangan, sikap, dan pilihannya (fanzhur). Sementara itu putranya mengafirmasi kesediannya dan menyatakan ketidakusahannya terhadap ayahnya untuk merasa bimbang dan khawatir dengan menyatakan bahwa dirinya insyaallah akan termasuk orang yang bisa didapatinya bersifat sabar (Insyaaallahu minashoobirin). Nabi Ibrahim AS kemudian merebahkan putranya dan keduanya telah bersikap pasrah (Aslamaa) untuk melakukan prosesi pengkorbanan hingga Allah kemudian memanggil Nabi Ibrahim AS dan menyatakan penghargaan atas sikapnya yang telah membenarkan mimpi/penglihatan (Arru-ya) tersebut. Maka sebagai balasan atas sikapnya yang baik (Muhsiniin) dan lolosnya atas ujian untuk tidak lari dari keyakinan yang benar maka Allah kemudian memberikannya tebusan/pengganti/bayaran (Qodo) untuk putranya tersebut dengan sembelihan yang besar (bidzibhin ‘azhiimin). Dan atas peristiwa itu Allah berjanji bahwa nama Nabi Ibrahim AS akan masyur atau akan dikenang atau akan abadi dengan ucapan orang-orang dari masa yang kemudian (Akhiriin): “Salaamun ‘alaaa Ibraahiima” (kedamaian/kepasrahan/ketundukkan/kesejahteraan atas Ibrahim). Nabi Ibrahim AS kemudian dipuji kembali dengan predikat sebagai orang yang baik (Muhsiniin) dan beriman (Mu-miniin).

Pada Ayat 112 dikabarkan apabila Nabi Ibrahim AS diberikan kabar gembira akan lahirnya Ishak yang akan termasuk seorang Nabi dan seorang yang baik/patuh (Sholihin). Disini tidak disebutkan kata putra (baik Ghulam atau Abna) melainkan langsung dengan namanya Ishak.

Agar lebih akurat kita kutipkan sebagai berikut:

وَبَشَّرْنٰهُ بِاِسْحٰقَ نَبِيًّا مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ

Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishak seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh.

Dan pada Ayat 113 dinyatakan apabila Allah akan memberikan berkah kepadanya (‘alaihi) dan kepada Ishak (Ishaaq). Dan dari antara keduanya akan dihasilkan keturunan atau anak-cucu (dzurriyyatihimaa). Keturunan dari antara keduanya tersebut akan ada yang baik (Muhsinun) dan ada yang jahat/aniaya/merugikan (Zhaalimun) terhadap dirinya sendiri secara nyata.

Kata kepadanya atau ‘alaihi disini jelas bukan ditujukan kepada Nabi Ibrahim AS (nalar yang menyatakan nilai yang sederajat bukan nilai yang berjenjang), melainkan kepada putra Nabi Ibrahim AS yang telah dilahirkan sebelumnya yang tidak disebutkan namanya yang hadir kedunia sebelum lahirnya Nabi Ishak AS (secara nalar dan pengetahuan sudah masyur bahkan sebelum Al-Quran diturunkan jika putra Nabi Ibrahim sebelum Nabi Ishak AS adalah Nabi Ismail AS baik oleh Bani Ismael maupun Bani Ishak dan atau lebih khususnya Bani Israel). Yakni seorang putra yang lahir setelah Nabi Ibrahim AS berdoa dengan penuh pengharapan yang mendalam: Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh (رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ) yang kemudian Allah kabulkan dengan berita gembira di ketika Nabi Ibrahim AS sudah berada di negeri baru tersebut (Syam atau Kanaan). Hingga kemudian setelah terjadinya prosesi korban atau penyembelihan (dzabih) tersebut Nabi Ibrahim AS diberikan kembali berita gembira dengan kelahiran kembali putra yang diberi nama Nabi Ishak AS.

Agar lebih jelas dapat dikutipkan sebagai berikut:

وَبٰرَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلٰٓى اِسْحٰقَۗ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَّظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ مُبِيْنٌ ࣖ

Dan Kami limpahkan keberkahan kepadanya dan kepada Ishak. Dan di antara keturunan keduanya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang terang-terangan berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.

Rangkaian ayat tersebut jelas menggunakan nalar sejarah dan kronologi (dan termasuk perpindahan seting lokasi dari negeri kelahiran ke negeri perantauan baru). Suatu nalar sejarah dan kronologi yang dapat dikompilasikan, dikonfrontasikan, dikonfirmasikan dengan ayat-ayat lainnya dan dengan surat-surat lainnya di dalam Al-Quran selain dari pada Q.S. Ash-Shoofaat. Dan nalar sejarah dan kronologi yang juga dapat dikompilasikan, dikonfrontasikan, dikonfirmasikan dengan keterangan di dalam Hadist dan juga dalam tradisi sumber tertulis Bible Nasrani, Masoret Yahudi, atau Torat Samaritan.

Bahwa perjalanan tersebut berasal dari kawasan Irak (Babil) dan kemudian tiba di kawasan Syam (Kanaan). Di kawasan Syam itulah kemudian hari setelah melakukan penantian dan pengharapan yang amat panjang lalu Nabi Ibrahim AS diberikan putra pertamanya yakni Nabi Ismail AS (dari Hajar atau Hagar) dan kemudian diberikan putra kembali dengan kelahiran Nabi Ishak AS (dari Sarah atau Sara). Dalam pandangan Al-Quran pada Surat Ash-Shoofaat telah dinyatakan sangat jelas dan tegas meskipun tidak disebutkan dengan keterangan namanya (anonim) namun demikian yang dikorbankan adalah dengan kata lain Nabi Ismail AS pada usia yang telah tumbuh dewasa, sudah matang jiwa dan pikirannya, sudah mampu menyertai Nabi Ibrahim AS secara fisik dalam perjalanan panjang, dan telah mampu membuat suatu pertimbangan yang sangat baik dan sholeh berdasarkan suatu pijakan nilai yang lebih tinggi dan agung. Dengan kata lain usia dewasa atau remaja (Baligh). Putra yang telah dewasa ini yang sempat akan dikorbankan oleh Nabi Ibrahim AS, yang keberadaannya kedunia (kelahirannya) mendahului keberadaannya (kelahirannya) Nabi Ishak AS.

Di dalam Q.S. Ash-Shoofaat memang tidak dijelaskan lokasinya dimana, namun demikian tentu saja masih akan bisa untuk dikoherensikan dengan seluruh ayat-ayat lainnya yang berada di dalam surat-surat lainnya di dalam Al-Quran dan termasuk berdasarkan keterangan Hadits dalam suatu analisa yang khusus (dan termasuk sumber, polemik, dan kontradiksi keterangan Bible Nasrani, Masoret Yahudi, danTorat Samaritan [tradisi Ahlul Kitab]). Di dalam ayat tersebut juga tidak disebutkan perbedaan dari ibu antara kedua dzuriat (keturunan) Nabi Ibrahim AS tersebut. Atau jika dianggap perlu juga tidak disebutkan dengan berupa hewan ternak dari jenis apa tebusan (Qodo) dan sebelihan (Dzabih) yang dikorbankan (Kurban). Satu hal yang jelas, bahwa putra yang sempat akan dikorbankan itu adalah kakaknya Nabi Ishak AS (yang tidak akan ada diskursus, polemik, dan khilafiah bagaimanapu kecuali akan disepakati yakni Nabi Ismail AS), karena jelas-jelas terjadi pada suatu peristiwa sebelum Nabi Ishak AS dilahirkan. Jarak usia antara Nabi Ismail AS dan Nabi Ishak AS tersebut bahkan akan menjadi sangat jelas terpetakan rentang perbedaannya, dimana yang satu telah mencapai usia dewasa atau remaja atau baligh hingga kemudian akan disembelih (dzabih) dan dikorbankan (qorban) sementara yang lainnya baru akan dilahirkan. (Dalam Tarikh masa itu adalah masa ketika Hajar dan Nabi Ismail AS sudah berada di Makah [dilahirkan di Syam] dan tidak lagi berada di Syam tempat dimana Nabi Ibrahim AS, Sarah, dan Nabi Ishak AS kemudian berada).

Dengan menggunakan kaidah dimana Al-Quran merupakan tata nilai, hukum, dan sumber keterangan otoritatif yang pertama dan utama sementara Hadits sebagai nilai, hukum, dan sumber keterangan otoritatif yang kedua dan pelengkap maka sudah sangat jelas apabila Hadits yang memuat pendapat mengenai putra yang sebelumnya akan dijadikan korban sebagai Nabi Ishak AS akan secara otomatis menjadi batal, bahkan terlepas dari siapapun dan sebesar apapun otoritas keilmuannya sebagai bagian dari yang telah memberikannya pernyataannya dalam mata rantai Sanad (nara sumber) Hadits, apalagi pendapat Tafsir dan Tarikh (Riwayat, Sejarah, Sirah) yang menyandarkannya pada pijakan Hadits tersebut.

Dalam hal pengujian suatu informasi, Ibnu Khaldun di dalam Mukkadimah berkata kurang-lebih bahwa di dalam kajian Sejarah maka ketika menemukan keterangan dengan Matan (narasi berita) yang sudah jelas-jelas menyalahi hukum nalar dan kenyataan maka secara otomatis tidak diperlukan lagi uji Sanad (nara sumber dan mata rantai periwayatannya) karena akan sekedar membuktikan dengan lebih jelas lagi adanya kekacauannya (kekacauan Sanad).

Namun demikian dalam pengujian keterangan Hadits menurut Ibnu Khaldun, maka pengujian atas Matan dan Sanad memang diperlukan. Bahkan ketika muatan Matan itu sendiri bersifat diluar kaidah hukum penalaran dan hukum kenyataan (objektifitas faktual). Hal demikian dikarenakan spektrum keagamaan memuat juga berita-berita dari sistem keyakinan dan prinsip-prinsip yang memang bernilai dan bersifat diluar hukum nalar dan kenyataan. Maka dengan demikian yang akan menjadikannya jaminan atas berita-berita yang dianggap janggal dan luar biasa tersebut adalah reputasi dan kredibilitas para ahli Hadits atau dengan kata lain kredibilitas dan reputasi pembawa berita atau nara sumber atau reporter (Sanad) yang sifat-sifatnya sudah sangat jelas dan masyur jauh dari sifat pembohong dan tercela dan secara metodologi dapat dipertanggungjawabkan secara kuat dan absolut keberlanjutannya kepada mata rantai primer Nabi Muhammad SAW.

Hadist terkait korban tersebut memang perlu dilakukan kajian kritik Hadits dengan mempertimbangkan komponen kajian Mustholahul Hadits yang lebih komprehensif dan mendalam. Namun dikarenakan sudah amat jelas apabila Hadits tersebut berada dalam spektrum Tarikh, Riwayat, atau Sejarah maka secara nalar Matan sebenarnya sudah sangat jelas mana yang keliru dan mana yang benar (misalnya saja Nabi Ishak AS tidak tinggal di Makah, ataupun pada kasus lain di Bersyeba, ataupun Paran), dan dengan validasi Al-Quran juga sudah sangat jelas dan mutlak apabila Hadist tersebut pada akhirnya akan ada yang lolos dalam penapisan dan akan ada yang terjaring di atas alat penapisan (Hadist yang mengajukan Nabi Ishak AS tentu saja tertolak dengan validasi Al-Quran). Dan dikarenakan keterangan tersebut terkait wibawa atau otoritas Hadits maka proses pengujian yang lebih sabar dan sistematik masih perlu untuk dilakukan meskipun hasilnya secara nalar analitik akan dapat diprediksikan: apabila Hadits yang menyatakan Nabi Ishak AS sebagai yang sebelumnya akan dikorbankan dalam peristiwa yang berkaitan dengan Idul Qurban atau Idul Adha akan bersifat lemah dan hanya menunggu waktu untuk benar-benar ditemukan masalahnya.

Wawasan komparatif terkait Kurban atau Korbanot penulis sangat berterimakasih atas jasa dan otoritas atau wibawa akademik dari Ustad Dr. Menachem Ali (Ahli Filologi Semit UNAIR dan The Yeshiva Institute [Surabaya]) dengan hadirnya publikasi-publikasinya untuk umum.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".