![Kerajaan Sumedang Larang](https://i0.wp.com/varmaninstitute.com/wp-content/uploads/2020/04/Kerajaan-Sumedang-Larang-e1590644184389.jpg?fit=600%2C400&ssl=1)
Menengok Pergeseran Silsilah dan Suksesi Kekuasaan Dari Trah Penguasa Lama Kerajaan Hindu-Budha Menuju Trah Penguasa Kerajaan Islam (Contoh Data Sumedang Larang Abad 16 M)
Oleh, Gelar Taufiq Kusumawardhana/The Varman Institute
Mari kita melihat sekilas pergeseran garis silsilah penguasa laki-laki dalam transisi politik dari pola dan tradisi kerajaan Hindu-Budha menuju pola dan tradisi kerajaan Islam. Suatu contoh sederhana dimana pola dasar tersebut telah menjadi merata dan terhubung dengan transisi di wilayah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha lainnya di seluruh Nusantara.
Di Sumedang Larang tersebutlah Sunan Patuakan atau Pangeran Tirtakusumah. Pangeran Tirtakusumah tidak memiliki garis silsilah keturunan laki-laki. Maka kekuasaan jatuh kepada anak perempuannya yang bernama Nyi Mas Patuakan atau Dewi Setiawati.
Bersama suaminya Sunan Colendra putra Sunan Parung yang berasal dari trah kerajaan Talaga Manggung, Nyi Mas Patuakan kemudian melahirkan Nyi Mas Ratu Inten Dewata yang lebih dikenal dengan nama Nyi Mas Ratu Pucuk Umun Sumedang Larang yang menunjukkan jejak pergeseran dari trah Sumedang Larang menuju ke trah Talaga Manggung.
Pernikahan antara Nyi Mas Patuakan dari garis leluhur kerajaan kuno Sumedang Larang dengan Sunan Colendra yang berasal dari garia kerajaan kuno Talaga Manggung yang dimana keduanya masih terhubung kepada trah kuno kerajaan induk Pajajaran (Kerajaan Sunda) kembali tidak memiliki trah laki-laki.
Nyi Mas Ratu Pucuk Umun yang kemudian menjadi penguasa Sumedang Larang kemudian menikah dengan Maulana Shalih yang memiliki nama lain sebagai Pangeran Santri atau Ki Gedeng Sumedang atau Pangeran Kusumadinata atau Pangeran Pucuk Umun. Dari kedua pasangan ini, lahir Pangeran Angkawijaya yang lebih dikenal sebagai Pangeran Geusan Ulun yang kemudian hari menerima garis estafeta kerajaan pusat Pajajaran yang rubuh ditangan Pangeran Maulana Yusuf dari Banten, putra Pangeran Maulana Hasanudin putra Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) dari Cirebon.
Keruntuhan ibukota Pajajaran di Pakuan tersebut terjadi pada masa kekuasaan raja terakhir yang bernama Ragamulya Suryakancana. Batu penobatan Sriwacana kemudian dibawa ke Banten, sementara itu mahkota kerajaan diserahkan ke Sumedang Larang.
Setelah trah Sumedang Larang kuno bergeser ke trah Talaga Manggung yang dimana antara keduanya masih terhubung sebagai keluarga besar trah lama Pajajaran kuno yang telah masuk Islam, garis silsilah laki-laki kemudian bergeser kepada Pangeran Angkawinaya atau Pangeran Geusan Ulun yang merupakan putra dari Pangeran Kusumadinata yang memiliki nama asli Maulana Shalih dari trah ulama Cirebon.
Maulana Shalih adalah putra dari Pangeran Muhammad yang memiliki nama lain Pangeran Pamelekaran putra dari Syeh Maulana Abdurrahman yang memiliki nama lain Pangeran Panjunan putra dari Syeh Maulana Iman atau Syeh Maulana Idhafi Mahdi yang lebih dikenal dengan nama Syeh Nurjati atau Syeh Datuk Kahfi yang mendirikan pesantren di Amparan Jati Cirebon yang telah menjadi Maha Guru agama Islam bagi keturunan anak-cucu Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja).
Syeh Datuk Kahfi adalah putra dari Syeh Datuk Ahmad putra dari Syeh Ahmad Syah Jamaluddin putra dari Amir Abdullah putra dari Sayid Abdul Malik Azmatkhan putra Alawi Amir Faqih dari trah Husain bin Ali bin Abithalib.
Sayid Abdul Malik memperoleh gelar Azmatkhan dari Kesultanan Nasirabad di India ketika melakukan migrasi dari kawasan Hadralmaut di Yaman di bagian Selatan Jazirah Arab dan kemudian menikahi keluarga Nasirabad. Keturunan Azmatkhan kemudian hari berdiaspora selain di kawasan India Selatan, juga berkembang menuju ke kawasan China Selatan dan kawasan Champa di Indo-China bagian Selatan.
Dari kawasan Champa, keturunannya kemudian terus bergerak ke arah Semenanjung Malaya dan juga ke arah kawasan Aceh di ujung Utara Pulau Sumatra dan kemudian masih terus bergerak hingga menuju ke seluruh kawasan Nusantra lainnya.
Pada masa tersebut, istilah Habaib atau Habib tampaknya masih belum digunakan sebagaimana yang berkembang pada saat ini. Istilah umum yang digunakan pada masa tersebut sebagaimana yang terlihat dalam data-data sejarah adalah Sayid, Syarif, Maulana, dan Syeh dikarenakan mereka juga memainkan peranannya sebagai guru-guru agama Islam. Namun demikian sangat jelas melalui data-data tersebut jika jejak lacaknya sebagai bagian dari gelombang Ahlul Bait permulaan yang melakukan proses Islamisasi Nusantara peranannya tidak dapat terbantahkan.
Melalui pernikahan yang intensif di setiap pengembaraan dan berbagai faktor lainnya yang berkembang dikemudian hari membuat gelombang pertama Ahlul Bait tersebut lambat laun telah terserap secara sempurna sebagai bagian dari masyarakat pribumi yang tidak seakan-akan sulit untuk diuraikan kembali. Dan memori kolektif dari kesadaran sejarahnya, tentu saja dengan seiring perkembangan waktu dan situasi semakin kabur dan menghilang sama sekali akan kesadarab asal-usulnya.
Pada perkembangan dari gelombang pertama tersebut, tidak terabadikan nama keluarga dan gelaran yang lebih khas sebagaimana yang dapat ditemui pada gelombang migrasi yang lebih kemudian; dimana jejak nama-nama keluarga masih dapat terjaga dengan baik dan bahkan tercatatkan secara khusus pada lembaga pencatatan nasab yang dibuat secara rapih dan ketat.
Dalam lembaga pencatatan nasab Ahlul Bait atau biasa disebut juga sebagai keluarga Alawiyin yang murni dan ketat, rekam jejak yang cenderung bersifat data-data historiografi yang teoretik, spekulatif, dan radisional tentu saja akan tertolak berdasarkan asas-asas dan kaidah-kaidah yang dapat dimengerti dan dapat dipertanggungjawabkan alasannya.
Namun demikian, fakta-fakta sejarah melalui batas-batas yang bwrsifat teoretik, spekulatif, dan tradisional tersebut dapat memperlihatkan gambaran umum sejarahnya yang cukup jelas dan sulit terbantahkan jika garis silsilah pada masa kesultanan-kesultanan Islam di seluruh Nusantara sesungguhnya memiliki akar sejarah yang telah bersentuhan secara langsung dengan proses Islamisasi yang dilakukan oleh garis silsilah Ahlul Bait.
Gelombang Ahlul Bait tersebut memperlihatkan pendekatannya yang lembut dan jitu dalam melakukan proses Islamisasi dan suksesi kekuasaannya melalui proses pernikahan dengan para pewaris-pewaris perempuan dari trah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha sebelumnya di seluruh Nusantara. Dari gelaran Syarif, Sayid, Maulana, dan Syeh kemudian semakin terasimilasi dan terlokalkan dengan gelaran Pangeran, Datuk, Raden, Tubagus, Gus, dan lain sebagainya atau bahkan menghilang sama sekali jejaknya sebagai wakaf sejarah yang terserap umat secara umum sebagai bagian dari pengorbanan yang sukses dalam tersiarnya Islam di Nusantara.
![](https://i0.wp.com/varmaninstitute.com/wp-content/uploads/2022/05/IMG-20220515-WA0024.jpg?resize=100%2C100&ssl=1)
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.