Bagian (V)

Risalah Kapundung

SUATU LANDASAN TEORETIK UNTUK MELAKUKAN KEGIATAN PENANAMAN KEMBALI POHON KAPUNDUNG PADA ALIRAN SUNGAI CI KAPUNDUNG

Oleh, Gelar Taufiq Kusumawardhana (The Varman Institute)

Baccaurea racemosa, Baccaurea dulcis, dan Baccaurea javanica

Hingga sejauh ini, kita akan katakan bahwa Kapundung, Menteng, dan Bencoy adalah sama yakni Baccaurea racemosa dengan sedikit perbedaan warna buah pada varietas jenisnya
yakni putih kekuningan dan merah keunguan sebagaimana yang telah kita utarakan berdasarkan
analisis Kamus Bahasa Sunda, Kamus Bahasa Indonesia, keterangan ilmiah PROSEA, dan
keterangan atas kewibawaan ilmiah Cornelis Gijsbert Gerrit Jan (C.G.G.J.) “Kees” Van Steenis
(31 Oktober 1901 M-14 Mei 1986 M) yang merupakan seorang ahli kajian Tumbuhan (Botani)
Belanda.

Kees Van Steenis pernah bertugas di Kebun Raya Bogor pada tahun 1929 M-1949 M
hingga melahirkan buku antara lain Flora Voor De Scholen in Indonesie (Flora untuk Sekolah di
Indonesia) dan Mountain Flora of Java (Flora Pegunungan Jawa). Pada tahun 1962 M-1972 M
Kees Van Steenis merupakan seorang Direktur untuk Herbarium Kerajaan (Rijksherbarium) di
Belanda dan Direktur Yayasan Flora Melanesiana dan sekaligus menangani langsung penyuntingan ternamanya jurnal Flora Melasiana.

Namun demikian, keterangan dari Karel Heyne (30 Agustus 1877 M-11 November 1947 M) yang merupakan seorang ahli kajian
Tumbuhan (Botani) Belanda yang lainnya yang juga telah terlebih dahulu pernah menjabat sebagai Kepala Museum Botani Ekonomik di Kebun Raya Bogor pada tahun 1906 M di mana pada tahun 1913 M telah berhasil dalam membuat buku De Nuttige Planten Van Nederlandsche Indie (Tumbuhan-Tumbuhan yang Bermanfaat di Hindia Belanda) juga penting untuk dipertimbangkan secara matang sebagai “second opinion” (pendapat kedua) di mana telah dikatakannya bahwa Menteng memiliki nama Latin Baccaurea racemosa sementara Kapundung memiliki nama Baccaurea dulcis.

Pada ulasan empat jenis (species) dari marga (genus) Baccaurea Lour. (pohon berbunga)
oleh PROSEA sebelumnya dikatakan bahwa Baccaurea dulcis adalah Ketupa, Baccaurea
motleyana adalah Rambai, Baccaurea racemosa adalah Kapundung, dan Baccaurea ramiflora adalah Burmese Grape (Anggur Birma) dan telah diterima sebagai padanan antara nama ilmiah (scientific names) dan nama pergaulan yang berlaku secara internasional dalam bahasa Inggris (international names).

Di sini, Baccaurea ramiflora atau Burmese Grape (Anggur Birma) dapat dikesampingkan dalam analisis ini dikarenakan aspek penyebarannya yang relatif tidak menembus kawasan Indonesia terutama kawasan Pulau Sumatra dan Pulau Jawa. Dengan demikian kecil kemungkinan secara meyakinkan untuk bisa tertukar dengan Baccaurea racemosa atau Kepundung atau Menteng atau Bencoy yang memiliki kecenderungan persebarannya yang ada di kawasan Pulau Sumatra dan
Pulau Jawa.

Sementara itu, Baccaurea motleyana atau Rambai meskipun secara data persebaran terdapat pada kawasan Pulau Sumatra dan kawasan Pulau Jawa juga dapat dikesampingkan dalam penelaahan ini dikarenakan dalam khazanah kebudayaan berbahasa Sunda juga terdapat istilah Rambai untuk menamai jenis ini dan dikatakan tidak sama dengan Kapundung atauMenteng atau Bencoy itu sendiri.

Namun demikian berbeda halnya dengan Baccaurea dulcis yang secara popular dalam bahasa Inggris diterima sebagai Ketupa, dalam sumber data lainnya
yang diperoleh dari keterangan R.M.A.P. Haegens dalam Taxonomy, Phylogeny, and
Biogeography of Baccaurea, Distichirhops, and Nothobaccaurea (Euphorbiaceae) pada tahun 2000 dikatakan bahwa nama-nama daerah lainnya adalah Kapunduang (Minang) dan Pranggo, Cupa, Cupak, Tupa, Ketupa, Kalu, dan Menteng Negeri (Sumatra lainnya). Sementara di sana dikatakan juga nama daerah lainnya adalah Kepundung (Sunda).

Melalui penelusuran ini istilah
umum Ketupa dapat dipertahankan dan diperkuat, hanya saja di sini ditemukan juga padanan kata lainnya sebagai Kepunduang oleh masyarakat Minang yang berada di Sumatra bagian Barat dan juga yang disebutkannya oleh masyarakat Sunda yakni Kepundung.

Apakah benar masyarakat Sunda menamai Ketupa juga sebagai Kepundung perlu untuk diuji secara lebih mendalam. Namun demikian kita asumsikan saja jika Ketupa disebut juga Kepundung (baca: Kapundung) oleh masyarakat Sunda.

Selain disebut Kepundung, hal menarik lainnya Ketupa disebut juga sebagai Menteng Negeri dalam bahasa Sumatra lainnya. Hal ini sedikit mengisyaratkan jika Ketupa memang terkadang disebut dengan Kapundung (Sunda) dan Kapunduang (Minang), serta untuk membedakannya dengan Kapundung lainnya yang berarti sama dengan Menteng, dan Bencoy maka disebutkannya secara lebih khusus dan berbeda sebagai Menteng Negeri (dan bukannya sebagai Menteng saja yang berarti sama dengan Kapundung dan Menteng “sejati”).

Selain Baccaurea dulcis atau Ketupa, sesungguhnya terdapat saju jenis lagi yang terkadang biasa disebut dengan kata Kepundung (Jawa) juga yakni Baccaurea javanica (Blume) Muell. Arg. (1866).

Dalam data penelitian lama tersebut (1866) dikatakan bahwa nama-nama daerahnya antara lain Houcit, Huciet, Heucip, Heuncit, dan Heutit (Sunda) dan Jirek, Jirek Emprit, dan Kepundung Lanang.

Untuk istilah Houcit, Huciet, Heuciet, Heucip, Heuncit, dan Heutit dalam bahasa Sunda kami kesulitan untuk menemukan afirmasinya dalam kenyataan bahasa Sunda hari ini.

Ada kemungkinan peneliti terdahulu melakukan kesalahan dalam menangkap bunyi
ucapannya, salah dengan mengatakan jika itu merupakan istilah yang berasal dari bahasa Sunda, dan atau suatu istilah yang kini sudah punah (kami tidak menemukannya dalam makna leksikal dan makna dalam keseharian pembicaraan).

Namun demikian melalui korespondensi dengan seorang kawan dari suku Jawa yang
tinggal di D.I. Jogjakarta, Hanif Sufyan sebagai alumni salah-satu perguruan tinggi seni dan juga
praktisi batik dan warna alam; di sana dikatakannya masih di kenal istilah Kepundung, Kemundung, Mundung, dan Pundung namun demikian pohonnya sudah sulit untuk bisa ditemui.

Masih menurut keterangannya, jika Kepundung, Kemundung, Mundung, dan Pundung di
wilayah Kediri (Provinsi Jawa Timur) biasa disebut dengan nama Jirek di mana di sana menurut keterangannya pohon tersebut masih bisa untuk ditemukan.

Melalui upaya konfrontasi data
antara literatur dan wawancara terhadap Hanif Sufyan sebagai representasi masyarakat Jawa
tersebut, dapat dibuat suatu pemahaman jika Kapundung atau Menteng atau Bencoy di daerah
Jawa bagian Tengah dan Timur biasa juga disebut dengan nama Kepundung, Kemundung,
Mundung, Pundung, dan juga Jirek.

Selain itu, dapat dibuat suatu dugaan mendasar bahwa terdapat juga pohon dan buahnya yang menyerupai Kapundung “sejati” tersebut dengan nama
yang diberikan sesuai dengan keterangan literatur lama sebagai Kepundung Lanang atau
Jirek Emprit.

Lanang artinya laki-laki atau jantan dan emprit artinya kecil dalam bahasa Jawa, sehingga jenis Baccaurea javanica ini secara khusus oleh masyarakat Jawa dianggap lebih
bersifat pohon jantan dan bukannya betina (barangkali dalam hal perbedaan karakteristik
penyerbukan bunga sebelum menjadi buah) dan juga memiliki ukuran yang jauh lebih kecil jika
dibandingkan dengan Kapundung “sejati”.

Dalam literatur dikatakan jika persebaran Baccaurea javanica (Kepundung Lanang atau
Jirek Emprit) ini meliputi kawasan luas di Kepulauan Andaman dan Nikobar, Semenanjung Malaysia, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, dan juga Pulau Talaud (Kepulauan
Sulawesi).

Dengan demikian sebagaimana juga Baccaurea dulcis (Ketupa), bersama dengan Baccaurea racemosa (Kapundung) telah bersama-sama menempati kawasan luas Pulau Jawa
sejak dahulu kala.

Jika persebearan Kapundung atau Menteng atau Bencoy “sejati” (Baccaurea racemosa) memiliki persebaran yang meluas di kawasan Pulau Sumatra dan Pulau Jawa,‘Kapundung’ atau Menteng Negeri atau Ketupa (Baccaurea dulcis) memiliki persebaran yang lebih terbatas di kawasan Pulau Sumatra bagian Selatan dan sedikit kawasan di Pulau Jawa bagian Barat (Provinsi Jawa Barat), maka Kapundung Lanang atau Jirek Emprit meskipun secara data persebaran (Phytogeography) memiliki persebaran yang luas berdasarkan analisis kesejarahan; namun demikian secara faktual lebih dikenali secara khusus dan terkonsentrasi di kawasan Pulau Jawa bagian Tengah dan Timur (Provinsi Jawa Tengah, D.I. Jogjakarta, dan Provinsi Jawa Timur).

KESIMPULAN

Dengan kata lain dalam hal ini ingin disampaikan kesimpulan apabila Kapundung atau Menteng atau Bencoy atau Jirek sejatinya merujuk pada Baccaurea racemosa yang meliputi varietas daging berwarna putih kenuningan dan juga merah keunguan.

Namun demikian secara relatif Kapundung atau Menteng atau Bencoy atau Jirek dapat juga merujuk secara longgar terhadap Ketupa yang terkadang dinamai juga Kepundung (‘likely’ Kepundung) yang bersinonim dengan Menteng Negeri
(Baccaurea dulcis) dan Kepundung Lanang atau Jirek Emprit (Baccaurea javanica) yang
bisa diakui juga sebagai ‘likely’ Kapundung (seperti Kapundung).

Namun demikian dengan batas sebaran dapat kita ketahui dengan jelas bahawa meskipun Ketupa (Baccaurea dulcis) disebut juga Kapundung dan Menteng Negeri namun kuat kemungkinan jikapun benar adalah hanya dilakukan oleh masyarakat Sumatra bagian Selatan dan bukannya oleh masyarakat Sunda itu sendiri.

Sementara istilah Kapundung Lanang dan Jirek Emprit untuk menamai Baccaurea javanica juga hannya dilakukan oleh masyarakat pengguna bahasa Jawa dengan sebaran pohon yang juga berada di wilayah Pulau Jawa bagian Timur.

Sehingga selain penyebutan masyarakat Jawa sendiri mengindikasikan jika Jirek Emprit bukanlah Jirek yang dengan kata lain Kapundung, Menteng, atau Bencoy. Demikian juga dengan istilah lainnya jika Kapundung Lanang bukanlah Kapundung yang dengan kata lain adalah Menteng atau Bencoy.

Apabila kita ingin menghadirkan kembali pohon Kapundung ke sungai Ci Kapundung sesuai dengan identitas namanya misalnya, pada kasus yang
tengah dikerjakan ini; maka Kapundung adalah apa yang disebut dengan nama lainnya yakni Menteng dan Bencoy yang dalam klasifikasi ilmiah (Taxonomi) ilmu hayat (Botani) disebut Baccaurea racemosa. Dimana Baccaurea racemosa (Kapundung) ini memiliki dua varietas yakni Menteng dan Bencoy berdasarkan karakteristik warna buahnya.

Dengan demikian, prioritas utama adalah menghadirkan kembali marga Baccaurea dari
jenis Baccaurea racemosa (Kapundung) dengan varietasnya yakni Menteng dan Bencoy.

Namun demikian sebagai sebentuk perhatian lebih lainnya, kita juga bisa memburu dan menghadirkan kembali marga Baccaurea dari jenis Baccaurea dulcis (Ketupa atau Kapunduang atau Menteng Negeri) dan juga marga Baccaurea dari jenis Baccaurea javanica (Jirek Emprit atau Kapundung Lanang) yang dapat diduga memiliki tingkat kelangkaan yang jauh lebih sulit dicari daripada Baccaurea racemosa itu sendiri sebagai bentuk perhatian
terhadap perlindungan dan pelestarian kekayaan tumbuhan di Indonesia; khususnya di Provinsi
Jawa Barat atau lebih khususnya lagi di kawasan Bandung Raya.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".