Di dalam bahasa Sunda terdapat istilah “karaton” yang secara umum dapat diartikan sebagai istana. Sementara istana itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu bangunan tempat dimana raja bertempat tinggal didalamnya, atau mengoperasikan segala urusan kerajaan yang dipimpinnya dari sana. Namun demikian melalui pernyataan tersebut timbul suatu pertanyaan yang menggelitik dan cukup sederhana sebenarnya. Dari manakah asal-usul istilah karaton itu datang? Dan apakah arti karaton itu bermula? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita sedikit berpetualang menelusuri seluk-beluk bahasa.
Kata karaton yang terdapat di dalam bahasa Sunda akan sulit untuk bisa dilacak asal-usulnya tanpa melibatkan usaha untuk mengurai asal-usul kata dasarnya. Namun demikian untuk mengurai asal-usul kata dasar dari karaton itu sendiri akan mengalami kesulitan kecuali jika mau diperhubungkan dengan kata di dalam bahasa Sunda lainnya yang masih mengandung keterkaitan makna yang sama yakni “karatuan”. Adapun karatuan secara umum dapat diartikan dengan sistem pemerintahan yang didasarkan atas model kepemimpinan raja-raja, maharaja-maharaja, prabu-prabu, atau yang dalam istilah bahasa Sunda lainnya adalah ratu-ratu.
Melalui pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa dalam citarasa bahasa Sunda istilah karaton dapat diduga dibentuk dari istilah karatuan. Sehingga dengan demikian istilah karatuan telah mendahului aspek kelahiran istilah karaton. Istilah karatuan itu sendiri dengan demikian telah dibentuk dari kata dasar “ratu” dengan imbuhan awal ka- dan imbuhan akhir -an. Ratu sebagaimana sudah diutarakan di atas berarti sinonim atau ekivalen dengan istilah lainnya yakni raja, maharaja, dan prabu yang ke dalam bahasa Inggris akan disebut dengan kata king.
Dengan adanya imbuhan ka- dan –an itulah yang akan merubah kata dasar ratu yang semula merupakan bentuk kata benda menjadi kata sifat. Adapun istilah karatuan dengan demikian memiliki kandungan sifat sebagai sistem pemerintahan yang didasarkan atas model kepemimpinan ratu yang dalam bahasa Inggris akan disebut dengan kata kingship. Sementara buah dari diterapkannya sistem karatuan dengan demikian lahirnya sistem tata negara yang disebut juga dengan istilah karatuan yang lebih umum dikenal dalam bahasa Sunda dengan istilah karajaan (Inggris: kingdom).
Di dalam bahasa Sunda terdapat juga bentuk perubahan lain dari kata ratu, karatuan, dan karaton yang disebut juga dengan istilah datu, kadatuan, dan kadaton. Adapun seluruh dari bentuk perubahan tersebut secara sederhana dapat dikatakan bermakna sama. Ratu sama dengan datu, karatuan sama dengan kadatuan, dan karaton sama dengan kadaton. Untuk membuktikan bahwa seluruh kosa-kata yang berkembang dalam bahasa Sunda tersebut berakar dari kata dasar dan makna yang sama maka ada baiknya kita mengembalikan kepada bahasa asal-usulnya yakni Sanskrit.
Namun demikian pada kenyataannya di dalam bahasa Sanskrit tidak akan pernah bisa ditemui kata dasar ratu maupun datu sebagaimana yang telah kita urai sebelumnya pada hasil analisa sementara di atas. Meskipun demikian bukan berarti kata ratu maupun datu sama-sekali bukan berasal dari bahasa Sanskrit. Hanya saja kata ratu dan datu bersama dengan berbagai kata bentukan lainnya yang berkembang dalam bahasa Sunda sudah merupakan buah dari pergeseran fonetik dari akar kata Sanskrit aslinya itu sendiri yang disebut dengan istilah “kratu”.
Dalam bahasa Sanskrit kratu pada hakikatnya berarti kekuatan, kekuasaan, kebijaksanaan, pencerahan, gairah, perencanaan, rancangan, kehendak, perbuatan, tindakan, pekerjaan, pengorbanan, persembahan, pembebasan, keputusan yang benar, pemahaman yang baik, kecerdasan, dan lain sebagainya (bisa dilihat dalam Sanskrit-English Dictionary karangan Monier-Williams).
Ketika kita tiba ke dalam akar bahasa Sanskrit sebagai sumber awal kosa-kata yang masuk ke dalam bahasa Sunda via bahasa Kawi, kita perlu menimbang setidaknya perbandingan ke dalam bahasa Yunani (Greek). Kenapa bahasa Sanskrit dan Yunani perlu untuk sekedar diperbandingkan? Pertama karena kedua bahasa tersebut serumpun dan berkerabat. Kedua antara kedua bahasa tersebut dapat diduga memiliki aspek keterhubungan secara historis dari induk kebudayaan yang sama. Ketiga kedua bahasa tersebut menjadi dasar kebudayaan yang berkembang di belahan Barat dan belahan Timur dunia.
Setelah ditelusuri ke dalam sumber bahasa Yunani menjadi semakin jelas bahwa kata Sanskrit kratu sebenarnya kata yang sama yang di dalam bahasa Yunani disebut dengan kata “kratos”. Apakah arti kratos di dalam bahasa Yunani tersebut? Di dalam bahasa Yunani kratos berarti kekuatan, penguasaan, kekuasaan, keperkasaan, atau tindakan-tindakan yang menunjukkan aspek kekuatan, kekuasaan, dan penguasaan (bisa dilihat dalam A Greek-English Lexicon karangan Liddle & Scott.
Di dalam bahasa Yunani istilah kratos berkembang menjadi peristilahan-peristilahan penting seperti demoskratos, aristoskratos, teoskratos, timoskratos, moboskratos, okhlokratos, kritoskratos, dikastokratos, dan masih banyak lagi. Istilah-istilah dalam bahasa Yunani dan Latin kemudian menjadi dasar pengembangan yang dilakukan oleh masyarakat ilmiah Barat dalam mengemas kajian ilmiah modernnya. Padahal istilah-istilah tersebut tidak memiliki perbedaan mendasar baik secara konseptual maupun secara historik dengan konsep-konsep di dunia Timur yang pernah berakar sejak lama dari perspektif bahasa Sanskrit dan Prakrit.
Kembali melalukan kajian terhadap kebudayaan dan akar filsafat Yunani dan Romawi yang dilakukan oleh masyarakat Barat sebenarnya ibarat semangat masyarakat Timur jika mau untuk melakukan kajian kembali terhadap aspek kebudayaan dan filsafat Hindu (Sanskrit) dan Budha (Prakrit). Dengan mengetahui peta konstelasi dan presisi kajian kebudayaan dan filsafat Barat dan Timur, maka masyarakat Timur akan jauh memiliki konsep kesetaraan dalam berpikir dan memiiki modalitas dan titik pijak yang sebangun dalam mencerna wacana-wacana yang berkembang dari Barat yang pada umumnya selalu dianggap lebih mewah.
Dan sebagaimana dunia Timur yang berpijak pada aspek dasar kebudayaan Hindu-Budha pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari basis teologi Islam. Maka demikian juga pada prinsipnya dengan apa yang berkembang di dunia Barat yang berpijak pada dasar kebudayaan Yunani-Latin pada akhirnya juga tidak bisa dilepaskan sama-sekali dari basis teologi Judeo-Christian dan wacana-wacana dasar yang mengitarinya.
Apabila dunia Barat berpijak pada aspek sumber berita berbasis Judeo-Christian maka mau tidak mau dunia Barat juga akan bersentuhan dengan sumber bahasa yang menjadi basisnya Ibrani dan Aram. Sementara dunia Timur apabila berpijak pada aspek sumber berita berbasis Islam maka mau tidak mau dunia Timur juga akan bersentuhan dengan sumber bahasa yang menjadi basisnya yakni bahasa Arab. Maka akan bertemu kembali kesetaraan dalam aspek pembelajaran dimana bahasa Ibrani dan Aram di satu sisi akan bersentuhan dan berdialektika secara berkesederajatan dengan bahasa Arab.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.