TRILOGI DALAM FILSAFAT

Dalam bangunan pengetahuan filsafat (philoshopy), sudah umum diketahui adanya trilogi yang mencakup dasar sistematika ontologi (ontology), epistemologi (epistemology), dan Aksiologi (Auxiology).

Ontologi merupakan dasar pengetahuan mengenai hakikat dari hal-hal apa yang diyakini ada dalam kenyataan hidup manusia. Jika mau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia secara lugas, ontologi akan berarti pengetahuan mengenai hakikat yang diyakini ada, pengetahuan mengenai hakikat keberadaan, atau pengetahuan mengenai hakikat keyakinan.

Epistemologi merupakan dasar pengetahuan mengenai dengan cara bagaimana hakikat dari hal-hal apa yang diyakini ada dalam kenyataan hidup manusia itu dapat diketahui. Jika mau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia secara lugas, epistemologi akan berarti pengetahuan mengenai hakikat pengetahuan dan cara kerjanya.

Sementara aksiologi merupakan dasar nilai yang melandasi untuk kegunaan apa pengetahuan mengenai hal-hal yang diyakini ada dalam kenyataan hidup manusia itu memiliki manfaat. Jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia secara lugas, aksiologi akan berarti pengetahuan mengenai hakikat nilai dan manfaatnya.

Namun demikian, apabila kita berbicara filsafat terutama dalam hal ini ketika kita berbicara mengenai filsafat barat (termasuk ketika kita berbicara mengenai filsafat timur) sebenarnya bukan sedang membicarakan suatu konsep yang bersifat tunggal dan seragam dalam menyuguhkan suatu sudut pandang yang menyeluruh mengenai hakikat dunia (worldview). Melainkan filsafat barat lebih berbicara sebagai suatu atap kajian yang menaungi dan mengkurasi berbagai aliran filsafat yang antara satu sama lain memiliki perbedaan yang bersifat mendasar dan bahkan mengalami suatu pertentangan yang secara prinsipil bersifat sangat besar dan mencolok mata.

Perbedaan antara satu aliran filsafat barat dengan aliran filsafat barat yang lainnya tidak bisa dibayangkan dengan meminjam ilustrasi perbedaan (khilafiyah) yang terdapat dalam konteks perbedaan dan perdebatan pengetahuan agama dalam wilayah percabangan (furuiyah) dalam konteks perbedaan dan perdebatan antar satu mazhab (school of thought) dengan mazhab yang lainnya dalam diskursus fiqih Islam (islamic jurisprudence). Karena perbedaan sudut pandang pada mazhab dalam khazanah pengetahuan Islam misalnya, masih terikat  pada pokok (ushul) keyakinan dan pemikiran tunggal yang sama.

Demikian juga antara satu mazhab dengan mazhab yang lainnya masih terikat pada jalan yang sama yang membentang dan menghubungkan pendapatnya dan pendapat aliran fiqihnya dengan jalan utama yang berasal dan sampai kepada Rasulullah sebagai sumber rujukan pengajarannya dan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama pembelajarannya. Jalan utama yang menghubungkan dirinya dan Rasulullah itulah yang disebut manhaj (method). Sementara pendapat dirinya dan pendapat alirannya yang didasarkan pada kegiatan interpretasi (ijtihad) disebut dengan mazhab (approach).

Perbedaan-berbedaan aliran fisafat barat pada medan ontologi, epistemologi, dan aksiologi tersebut, masing-masing bahkan bisa menjelma suatu polarisasi yang bersifat diametral, ekstrim dan radikal. Terlepas dari majemuknya perbedaan aliran filsafat dalam filsafat barat, apabila mau disederhanakan sebenarnya hanya terdapat dua aliran saja. Misalnya perbedaan pada aliran ontologi, maka terdapat pandangan yang bersifat idealisme (dari kata ideaisme) dan pandangan yang bersifat materialisme. Pandangan idealism meyakini adanya hal-hal yang bersifat konseptual dan spiritual. Hakikat keberadaan yang bersifat konseptual dan spiritual tersebut bersifat tunggal (singular/monis). Sementara pandangan materialisme meyakini hal-hal yang bersifat kongkret dan empirik. Sementara hakikat keberadaan yang bersifat kongkret dan empirik tersebut bersifat majemuk (plural/partikular).

Ikhtiar untuk mendamaikan dua pandangan (dualisme) filsafat yang terpolarisasi berat kedalam aliran idealisme dan materialisme dalam filsafat barat modern dan implikasinya pada medan pengetahuan epistemologi dan aksiologi, maka filusuf modern kemudian mengembangkannya secara dialektika kedalam prinsip dan teknis kerja keilmuan (scientific method): logika-hipotetika-verifikasi (gagasan yang bersifat subjektif-dugaan melalui kegiatan penalaran-dan pengecekan secara objektif pada kenyataan).

Namun demikian, baik prinsip idealisme maupun materialisme, sebenarnya tidak melibatkan prinsip ketuhanan (teologi) sama sekali dalam sistem keyakinannya. Materialisme tentu saja hanya meyakini hal-hal yang sifatnya dapat diindrai dengan pengalaman (empirik) semata-mata, sementara idealisme meskipun meyakini hal yang sifatnya spiritualitas; tidak sama artinya dengan meyakini prinsip-prinsip ketuhanan. Idealisme sebagaimana juga materialisme bisa menemukan bentuknya dalam sistem keyakinan spiritualitas yang bersifat politeis, triniteis, dualisme, panteis, panenteis, agnostik, skeptik, dan bahkan ateis.

Dengan adanya dua landasan diametral yang dikompromikan secara dialektis dalam bentuk metode penelitian ilmiah ini, sangat wajar apabila ilmu (science) dalam pengertian barat ini menjadi bersifat sekular (tidak terhubung dengan agama). Prinsip-prinsip sekular dalam filsafat, filsafat ilmu, dan sistem kerja keilmuan barat ini tentu saja mengakibatkan pergumulan batin diantara basis filsafatnya itu sendiri dan juga pergumulan diantara basis filsafat yang dimiliki dirinya dengan basis teologi yang dimiliki dirinya sebagai suatu dasar pengembangan kebudayaan dan peradaban barat itu sendiri sebagai anutan umum, dalam hal ini agama Kristen dan Yahudi (Judeo-Christian).

Suatu pertentangan dan gejolak batin yang terlihat tenang-tenang saja tersebut sebenarnya bisa saja membawa pada suatu titik keadaan intelektual dan psikologis masyarakatnya yang bersifat kritis dan krisis. Meskipun bukannya tanpa suatu sikap penolakan dan penentangan sama sekali dari basis teologi, maka untuk dunia barat kehidupan yang bersifat sekular adalah sebuah solusi yang bersifat lebih menenangkan dan harmoni meskipun bersifat semu. Sementara agama masih dapat dibawa dan diselamatkan dalam ranah kehidupan mereka yang bersifat privat dan tersembunyi.

Prinsip-prinsip sekular yang sama kemudian mewujud terutama dalam medan ideologi, politik, dan ekonomi semacam gagasan mengenai: liberalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, sosialisme-demokratik, sosialisme-nasionalisme, dan termasuk anarkisme. Suatu margin ideologi, politik, dan ekonomi yang membentang dari kutub kanan paling ekstrim hingga kutub kiri paling ekstrim tersebut, meskipun terlihat berbeda namun demikian sebenarnya lahir dari pancaran cahaya (spektrum) filsafat yang sama yakni suatu proses dialektika antara prinsip idealisme dan materialisme yang digiring secara pragmatik pada putaran kebermanfaatan.

Dengan memahami kenyataan tersebut, muslim perlu menimbang kembali bagaimana kedudukan filsafat, filsafat ilmu, dan sistem kerja ilmiahnya sendiri yang didasarkan pada sistem keyakinan Islam sebagai satu-satunya prinsip dan jalan hidupnya (way of life). Bukan saja mewujud dalam sistem keyakinan yang bersifat teoretik, melainkan harus mampu diformulasikan kedalam tataran teknis dan operasional dalam menunjang segala hajat dan kepentingan hidupnya, yang bernilai kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.

Karena jika tidak demikian, struktur keyakinan kita akan mengalami krisis yang sama. Yakni adanya suatu pertentangan intelektual dan psikologis yang akut antara basis teologis dengan basis filsafat, filsafat ilmu, dan ilmu (science) yang sekedar diimitasi dan ditransplantasikan tanpa penuh kesadaran kritis dari dunia barat yang secara kebudayaan sudah jelas memiliki suatu pertentangan yang kental dan sulit didamaikan.

TRILOGI DALAM ISLAM

“”Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkata:

Suatu ketika, kami duduk di dekat Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya”, lelaki itu berkata: “Engkau benar”, maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.

Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.

Nabi menjawab: “Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk”, ia berkata: “Engkau benar”.

Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu”.

Lelaki itu berkata lagi: “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”

Nabi menjawab: “Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya”.

Dia pun bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”

Nabi menjawab: “Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki tanpa memakai baju serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi”.

Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku: “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”

Aku menjawab: “Allah dan RasulNya lebih mengetahui”, Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.”” (H.R. Muslim No. 8)

Melalui kegiatan pelacakan asal-usul dan status sumber rujukan (takhrij), hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (No. 8) tersebut, pada kenyataannya diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (No. I/27, 28, 51, 52); Abu Dawud (No. 4695); at Tirmidzi (No. 2610); an Nasaa-i (No. VIII/97); Ibnu Majah (No. 63); Ibnu Mandah dalam al Iman (No. 1, 14); ath Thoyalisi (No. 21); Ibnu Hibban (No. 168, 173); al Aajurri dalam asy Syari’ah (No. II/205, 206, 207, 208); Abu Ya’la (No. 242); al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (No. 2); al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (No. 363-367); ‘Abdullah bin Ahmad dalam as Sunnah (No. 901, 908); al Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (No. 190); dan Ibnu Khuzaimah (No. 2504).

Adapun hadits yang diperoleh berdasarkan kepada bersumber keterangan Umar bin Khaththab (H.R. Muslim No. 8) tersebut, pada kenyataanya diperkuat (syawahid) juga oleh adanya kesaksian sahabat-sahabat Nabi yang lainnya sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh al hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Baari (No. I/115-116), yakni: Abu Dzar al Ghifari (H.R. Abu Dawud dan H.R. Nasaa-i); Ibnu ‘Umar (H.R. Ahmad, H.R. Thabrani, dan H.R. Abu Nu’aim); Anas (H.R. Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad); Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (H.R. Abu ‘Awanah); Ibnu ‘Abbas, dan Abu Amir al ‘Asy’ari (H.R. Ahmad).

Dengan membandingkan pada bangunan pengetahuan filsafat, kita dapat mengetahui bahwa Islam sebagai pengetahuan juga memiliki bangunan pengetahuan yang serupa yakni yang disebut dalam hadits melalui keterangan lisan Rasulullah sendiri dengan peristilsahan berupa: Iman, Islam, dan ihsan. Berbeda dengan gagasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi filsafat barat yang bersifat generik/general (umum), maka gagasan Iman, Islam, dan Ihsan jauh bersifat lebih jelas dan spesifik/spesial (khusus). Dengan demikian, seorang Muslim telah memiliki landasan Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis tersendiri yang apabila diterapkan secara konsisten telah mencukupi dan terjawab dengan jelas dan pasti melalui trilogi Islam: Iman, Islam, dan Ihsan.

Iman merupakan basis pengetahuan mengenai hakikat yang ada yang menurut Rasulullah meliputi keyakinan dan pengakuan atas keberadaan Allah, Malaikat-Malaikat, Kitab-Kitab, Rasul-Rasul, Hari Akhir, dan Takdir baik dan buruk (Qodo dan Qodar): “Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk”. Seseorang yang meyakini segala sistem pengetahuan dan keberadaan yang ditawarkan oleh Islam, disebut dengan Mu’min.

Sementara Islam merupakan basis pengetahuan, sistem pengetahuan, dan bagaimana cara mengetahui segala pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang Muslim. Pada prinsipnya menurut keteranga Rasulullah: ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya”. Pada tahap perkembangannya, sistem pengetahuan pokok tersebut akan berkembang menjadi suatu sitem pengetahuan turunan yang telah dikembangkan oleh alim-ulama disetiap zaman melalui sebuah ijtihad atas dasar kesadaran mengenai manhaj dan mazhab.

Dan Ihsan merupakan basis nilai dari segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang Muhsin. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah: “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu”. Landasan dari segala perbuatan seorang Muslim adalah ibadah, baik ibadah yang bersifat mahdhoh (ad Diin) maupun ghoiro mahdoh (ad Dunya).

Iman merupakan sikap keyakinan dalam hati dan pikiran, Islam merupakan bentuk pernyataan lisan dan sikap hidup yang prinsipil, sementara Ihsan merupakan wujud perbuatan nyata dalam beragama. Dalam istilah lain yang berkembang oleh para alim-ulama, konsep Iman, Islam, dan Ihsan tersebut biasa juga dikenal dengan trilogi istilah: Aqidah, Syariah, dan Akhlaq; Iman, Ilmu, dan Amal, dan lain sebagainya. Gagasan mengenai Iman, Islam, dan Ihsan ini jauh lebih mendalam dan mendasar sehingga tidak bisa digantikan dengan konsep semacam aspek Afektif bahkan ketika sudah ditambah dan diintegrasikan dengan aspek Spiritual, Intelektual, dan Psikomotorik. Hal tersebut karena ada basis ketuhanan (teologi) berupa konsep tauhid dan pengakuan atas jalan pengajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai manhaj (methode).

Pembagian Iman, Islam, dan Ihsan kedalam bagian-bagian (body of knowledge) merupakan suatu alat bantu konseptual dalam memahami Islam sebagai suatu sistem pengetahuan. Walaupun demikian ketiga bangunan tersebut harus dipahami sebagai suatu bangunan yang utuh dan menyeluruh yang mana aspek pemikiran, perasaan, dan keyakinan (Iman) harus berjalan secara beriringan dengan aspek pengetahuan, sikap dan perbuatan (Islam), dan perbuatan baik yang dilakukan secara ikhlas karena Allah SWT semata-mata (Ihsan). Sebagaimana dalam ilustrasi dan formula yang mana aspek Dzikir (Iman), Fikir (Islam), dan Ikhtiar (Ihsan) berjalan secara beriringan dan utuh dalam diri seorang Muslim.

PENGEMBANGAN MODEL ISLAMIC GOLDEN AGE

Islamic Golden Age adalah masa ketika umat Islam (Muslim) mampu memandu aspek pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan dan peradaban umat manusia dengan dasar keyakinan Islam secara gilang-gemilang. Islam dengan demikian mampu diturunkan (dideduksi) dan dikembangkan (diderivasi) secara hirarkhi dari sistem keyakinan (teologi) menjadi sistem teori (pure science) dan praktik (applied science) hajat kehidupan umat Islam. Islam dengan demikian juga secara horizontal mampu mengepakkan sayap-sayapnya secara bebas dan sempurna dalam keseluruhan aspek Iman, Islam, dan Ihsannya.

Meskipun Islam kemudian bersentuhan dengan aspek kebudayaan Suryani, Ibrani, Yunani, Romawi, Persia, India, dan lain sebagaimanya bukan berarti Islam secara basis keyakinan dan filsafat dipengaruhi dan menjadi ordinat dari sistem-sistem pengetahuan dan kebudayaan yang mapan tersebut, melainkan Islam mampu bersifat terbuka dalam menerima, mengkurasi, mengkoreksi, dan mengembangkan aspek temuan dari pengetahuan-pengetahuan yang sudah berkembang sejak masa lalu. Dengan kata lain, Muslim kemudian melakukan kegiatan Islamisasi struktur pengetahuan dan kebudayaan yang ada dengan basis nilai (core value system) dan basis ideologi (core ideology) yang dimilikinya.

Demikian juga periode Islamic Golden Age yang berkembang sejak masa Umayah (Khizanat al Hikmah), Abasiyah (Baitul Hikmah), dan Andalusia (Semenanjung Iberia) tidak bisa dipisahkan dari semangat Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan periode Khulafa al Rasyidin. Seluruh mata-rantai tersebut berjalan secara berkelanjutan dan saling terhubung. Termasuk semangat yang meliputi seluruh dunia Islam dari barat (Andalusia dan Afrika; termasuk Amerika) hingga timur (Indonesia) dan dari Arab, Persia, dan India di selatan hingga Asia Tengah dan Siberia di utara. Seluruhnya tidak bisa dipisahkan dari prinsip yang menjadikan al-Qur’an dan Hadist sebagai rujukan pertama dan utama sebelum melakukan berbagai kegiatan pengembangan dengan Ijtihad dalam medan keilmuan yang pokok (agama) maupun yang duniawi.

Sistem pengetahuan yang didasarkan pada Iman, Islam, dan Ihsan dengan merujuk pada sumber (source) berupa al-Qur’an, Hadits, Ijtihad, Ijma, Qiyas, dan berbagai prosedur lainnya tersebut yang membuat Islam mampu berkembang dan melahirkan periode Islamic Golden Age. Islam kemudian mampu memegang supremasi di dunia baik secara kultural (budaya dan peradaban) maupun struktural (kekuasaan). Dari dunia Islam pula dunia barat kemudian mengembangkan titik awal pencerahan dan kebangkitannya dalam supremasi pengetahuan. Meskipun jejak nilai dan teologisnya kemudian dihilangkan dan disesuaikan dengan vitalitas kebudayaan mereka.

Sudah banyak alim-ulama dan cendekiawan Muslim mengetahui adanya periode Islamic Golden Age ini. Namun demikian sedikit yang sudah membahas bagaimana tokoh-tokoh seperti Al Biruni, Al Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Hauqal, Ibnu Firnas, al Khawarizmi, Ibnu Khaldun dan lain sebagainya bisa hadir dan muncul membawakan vitalitas Islam dalam ilmu pengetahuan yang menonjol dan memiliki manfaat (kemaslahatan) yang berdampak luas. Karena tanpa menyentuh karakteristik mengenai sebab-sebab yang membuat peristiwa zaman tersebut bisa terjadi, maka masa tersebut tidak akan mampu untuk dicontoh, diulang, dan dikebangkan kembali.

Melalui pembacaan secara induktif (istiqraiyah) terhadap karakteristik tokoh-tokoh dan karya-karyanya kita sebenarnya akan mampu memahami adanya tiga ciri utama yang menonjol yang dimiliki oleh mereka sebagai sebuah kesimpulan yang bersifat umum.

Pertama, seluruh ilmuan Islam bersifat non sekular. Artinya seluruh ilmuan Islam tidak melakukan pembagian yang bersifat dikotomis mengenai ilmu agama dan ilmu dunia. Ketika seluruh basis nilainya telah diislamisasi dan diniatkan untuk kepentingan agama dan kemuliaan hidup maka seluruhnya bernilai agama dan ibadah. Dengan demikian ilmu menjadi berifat integral dan holistik yang mengabdi kepada kepentingan dan hajat hidup manusia demi sebuah nilai kebaikan dimata Allah SWT.

Kedua, seluruh ilmuan Islam bersifat polymath. Artinya seluruh ilmuan Islam tidak mengembangkan keilmuan secara parsial dan linear. Ilmuan Islam memiliki hak dan kreatifitas sesuai dengan kebutuhannya secara mandiri untuk terjun kepada topik-topik, disiplin-disiplin, ilmu-ilmu, dan bidang-bidang yang manapun. Baik ilmu pokok agama sebagai basis, ilmu sosial, ilmu alam dan eksakta, dan termasuk pengembangan teknologi. Selain itu ilmuan-ilmuan Islam juga memiliki minat yang luas dan seimbang damam seni dan kesusastraan. Meskipun demikian, Islam tidak menganggap buruk pengembangan spesialisasi keilmuan yang tetap dibutuhkan dan memiliki nilai secara pragmatis sebagai profesi-profesi. Misalnya saja berkembang juga institusi pendidikan seperti akademi khusus Geografi dan Kartografi, kedokteran, fiqih (hukum/jurisprudensi), dan lain sebagainya.

Dan ketiga, seluruh ilmuan Islam bersifat polyglot. Artinya ilmuan-ilmuan Islam bersentuhan, berinteraksi, mempelajari, dan menguasai banyak bahasa-bahasa dunia yang berkembang sebagai sumber komunikasi pengetahuan ilmiah pada masa lalu. Selain menguasai bahasa Arab sebagai basis, ilmuan Islam demi kecintaan terhadap pengetahuan mempelajari bahasa-bahasa lainnya seperti Mesir (Koptik), Suryani, Ibrani, Yunani, Persia, Asia Tengah, dan India (Sanskrit). Termasuk bahasa-bahasa ketika dunia Islam dan Arab menjelajahi dan menetap pada suatu wilayah pengembaraannya seperti Afrika, Eropa, dan bahasa-bahasa Timur.

Kemampuan berbahasa (polyglot) dan kemajemukan dalam penguasaan disiplin ilmu (polymath) sebenarnya bermula selain dari adanya anjuran Nabi Muhammad SAW yang mendorong para sahabat untuk mempelajari bahasa dan aksara lainnya seperti bahasa Suryani dan Ibrani, juga dipicu oleh adanya rasa ingin tahu yang kuat dan mendalam terhadap berbagai gejala alam dan pengetahuan; selain tentu saja karena menjalankan tugas-tugas yang dibebankan oleh pemerintah dan perkumpulan ilmiah (Baitul Hikmah) dalam menerjemahkan (translation movement) berbagai pengetahuan (math) dari berbagai sumber bahasa keilmuan (glot) yang ada di dunia.

Sementara sikap yang integral, holistik, non dikotomis, koheren, dan non sekular adalah semangat dari sistem keyakinan Islam itu sendiri yang bersifat seimbang dan mementingkan perkembangan dan pencapaian hidup di dunia dan di akhirat. Dunia merupakan ladang amal untuk meraih kebahagiaan yang kekal di akhirat. Keyakinan pada adanya hari akhir dan takdir (qodo dan qodar) bukan melumpuhkan semangat hidup melainkan menimbulkan semangat dalam menyongsong hari esok dan masa depan yang lebih baik lagi baik di dunia maupun di akhirat. Menjadi khalifah yang membawa maslahat dalam kehidupan terhadap alam dan masyarakat manusia. Dan yang menjadi puncak dari keyakinannya adalah keyakinan akan perjumpaan dengan Allah di akhirat sebagai sumber dari segala sumber kenikmatan dan cita-cita yang dinantikannya.

Melalui analisa terhadap periode Islamic Golden Age dan karakteristik umum yang dimiliki oleh ilmuan-ilmuan Islam pada masa tersebut mengindikasikan adanya suatu paradigma, pendekatan, dan metode keilmuan yang dimiliki oleh masyarakat Islam terpelajar pada masa tersebut. Namun demikian, sebelum memasuki suatu tingkat analisa yang jauh lebih mendalam dimasa yang akan datang, perlu kiranya pada kesempatan kali ini tiga karakteristik utama yang dimiliki oleh para alim-ulama, cendekian, ilmuan, atau ulama pada masa Islamic Golden Age untuk bisa dipegang dan dijadikan role model sementara sebagai wujud operasional dalam kegiatan keilmuan (Islam) masyarakat Islam pada masa lalu, yakni: “non sekular, polymath, dan polyglot” dapat dijadikan teladan dalam pengembangan.

Batujajar, 16 Januari 2023 M

 

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".