KONSEP TRI TANGTU BERDASARKAN NASKAH SANGHYANG SIKSAKANDANG KARESIAN

  1. Konsep Dewa Ratu

“Ya ta sinangguh dasa kreta ngara(n)na. Anggeus kapahayu ma dora sapuluh, rampes twahna urang reya. Maka nguni twah sang dewa ratu” (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, II, halaman 74)

‘Ya itulah yang disebut dasa kreta. Kalau sudah terpelihara pintu (nafsu) yang sepuluh, sempurnalah perbuatan orang banyak. Demikianlah pula perbuatan sang raja’. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.2. Terjemahan, II, halaman 96)

Penjelasan:

Di sini dengan jelas bahwa kata Dewa Ratu tersebut diterjemahkan dengan Sang Raja. Sehingga Ratu sama dengan Raja. Namun demikian, lebih tepatnya sebenarnya bahwa konsep Ratu merupakan kedudukan yang lebih tinggi di atas dan sekaligus membawahi Raja-Raja. Sementara Dewa Ratu merupakan konsep kepemimpinan Hindu yang mana seorang Ratu tersebut dinilai memiliki keutamaan karena kesadaran sikapnya yang bersedia untuk menetapkan gaya kepemimpinan dan aspek pemerintahan yang diembannya dengan cara merujuk dan menerapkan melalui aspek pengajaran dan peraturan agama yang diyakininya sebagai hukum perundang-undangan.

Sehingga seorang Ratu yang memiliki keutamaan secara demikian, diibaratkan setara dengan kualitas seorang dewa atau dianggap sebagai perwujudan nyata daripada dewa itu sendiri yang memiliki rasa kepatuhan kepada peraturan agama dan hukum-hukum Tuhan. Dewa Ratu dengan demikian adalah gaya kepemimpinan dan pemerintahan seorang Ratu yang bersifat ekivalen dengan Maharaja yang mau untuk dipandu berdasarkan peraturan agama sebagai basis nilai kepemimpinan dan pemerintahannya.

Konsep Dewa Ratu tersebut merupakan bagian dari konsep Tri Tangtu yang umum dikenal akhir-akhir ini dikalangan peminat sejarah dengan paket nama Resi, Rama, dan Ratu. Dewa Ratu dengan demikian kita anggap bersifat ekivalen dengan Ratu dalam konteks konsep Tri Tangtu tersebut.

  1. Konsep Guru, Wang Tani, dan Ratu

“Nihan sinangguh dasa prebakti ngarana. Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, huluan bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wang tani bakti di wado, wado bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang. Ya ta sinangguh dasa prebakti ngara(n)na. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, II, halaman 74)

‘Ini yang disebut dasa prebakti. Anak tunduk kepada bapak; isteri tunduk kepada suami; hamba tunduk kepada majikan; siswa tunduk kepada guru; petani tunduk kepada wado; wado tunduk kepada mantri; mantri tunduk kepada nu nangganan; nu nangganan tunduk kepada mangkubumi; mangkubumi tunduk kepada raja; raja tunduk kepada dewata; dewata tunduk kepada hyang. Ya itulah yang disebut dasa prebakti’. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, II, halaman 96)

Penjelasan:

Di sini ditemukan konsep Guru, Wang Tani, dan Ratu sebagai bagian dari Dasa Prebakti, yang kira-kira maksudnya adalah sepuluh dasar-dasar pengabdian. Melalui pembacaan terhadap keterangan-keterangan lain di dalam naskah-naskah Sunda kuno secara lebih komprehensif dan koheren, kita akan mengetahui bahwa tiga konsep tersebut yakni Guru, Wang Tani, dan Ratu sebenarnya bersifat ekivalen dengan konsep Resi, Rama, dan Ratu yang lebih umum dikenal dalam konsep Tri Tangtu. Guru dengan demikian bersifat ekivalen dengan Resi, sementara Wang Tani ekivalen dengan Rama.

  1. Rama, Resi, dan Prabu

“Ini byaktana. Ngaranya ya panca byapara. Sanghyang pretiwi, apah, teja, bayu, mwang akasa. Carek sang sadu maha purusa: eta keh drebya urang. Kangken pretiwi kulit, kangken apah darah ciduh, kangken teja panon, kangken bayu tulang, kangken akasa kapala. Iya pretiwi di sarira ngaranya. Nya mana dikangkenkeun ku nu mawa bumi. Ya mangupati pra rama, resi, prabu, disi, mwang tarahan. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, II, halaman 75)

‘Ini kenyataannya. Namanya yang panca byapara. Sanghyang pretiwi (tanah), air, cahaya, angin dan angkasa. Ujar sang budiman manusia besar: itu semua milik kita. Yang diibaratkan tanah yaitu kulit, yang diibaratkan air yaitu darah dan ludah, yang diibaratkan cahaya adalah mata, yang diibaratkan angin yaitu tulang, yang diibaratkan angkasa yaitu kepala. Itulah yang disebut pretiwi dalam tubuh. Ya diibaratkan oleh penguasa bumi. Ya menjelma menjadi para rama, resi, ratu, disi dan tarahan’. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, III, halaman 96)

Penjelasan:

Rama, Resi, dan Prabu merupakan bagian dari Panca Byapara yakni Rama, Resi, Ratu, Disi, dan Tarahan. Adapun Panca Byapara tersebut diambil gagasannya dari filsafat elemen alam dalam tubuh yakni Kulit (kulit), Darah dan Ciduh (darah dan ludah), Panon (mata), Tulang (tulang), dan Kapala (kepala). Sementara filsafat elemen alam dalam tubuh tersebut diambil dari pengamatan terhadap elemen dasar bumi yang mempengaruhi kehidupan yakni Pretiwi (tanah), Apah (air), Teja (api), Bayu (angin), dan Akasa (langit).

Apabila disatukan maka proporsinya sebagai berikut Pretiwi (tanah)-Kulit (kulit)-Rama (tempat tumbuh); Apah (air)-Darah/Ciduh (darah/ludah)-Resi (tempat berkata), Teja (api)-Panon (mata)-Tarahan (tempat melihat); Bayu (angin)-Tulang (tulang)-Ratu (tempat bergerak), Akasa (langit)-Kapala (kepala)-Disi (tempat mengatur).

Rangkaian ilustrasi itu jika diasumsikan penulis naskah mengurutkannya secara tidak sistematik berdasarkan tata urut penyebutannya yang acak. Karena apabila mempertimbangkan pada keterangan-keterangan lainnya, identitas dan ilustrasi mengenai Ratu bukan diibaratkan dengan Teja (api) melainkan dengan Bayu (angin). Ratu dengan demikian ingin diibaratkan sebagai seseorang yang mengemban sikap memiliki hasrat, keinginan, irodah, tekad, sikap kokoh, dan melaksanakannya dalam keputusan-keputusan dan prilaku-prilaku yang nyata seperti Bayu (angin) yang bergerak dan seperti Tulang (tulang) yang memberikan kekuatan untuk menggerakan seluruh anggota tubuh menjadi tindakan nyata.

Adapun hal yang lebih penting diketahui di sini bahwa Rama, Resi, dan Prabu dengan demikian bagian dari gagasan pembagian tata pemerintahan dan kemasyarakatan dalam Panca Byapara. Sementara khusus dengan Rama, Resi, dan Prabu yang ekivalen dengan gagasan umum mengenai Rama, Resi, dan Ratu merupakan bagian dari konsep Tri Tangtu. Prabu dengan demikian ekivalen dengan Ratu.

  1. Sang Prebu, Sang Wong Tani, Sang Pandita

“Sa(r)wa lwir[a] ning teuteupaan ma telu ganggaman palain. Ganggaman di sang prebu ma: pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa pina[h]ka dewanya, ja paranti maehan sagala. Ganggaman sang wong tani ma: kujang, baliung, patik, kored, sadap. Detya pina[h]ka dewanya, ja paranti ngala kikicapeun iinumeun. Ganggaman sang pandita ma: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina[h]ka dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala. Nya mana teluna ganggaman palain deui di sang prebu, di sang wong tani, di sang pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di sarean(ana), eta ma panday tanya.” (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XVII, halaman 84)

‘Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu. Itulah jenis senjata yang berbeda pada sang prebu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi.’(Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.2. Terjemahan, XVII, halaman 107-108)

Penjelasan:

Sang Prebu, Sang Wong Tani, dan Sang Pendeta merupakan ekivalen dari Ratu, Rama, dan Resi dalam konsep Tri Tangtu. Sang Prebu dengan demikian ekivalen dengan Ratu, Sang Wong Tani ekivalen dengan Rama dan Sang Pendeta ekivalen dengan Resi. Di dalam naskah tersebut, terdapat identitas peralatan yang identik dengan jabatan, kelas sosial, dan jenis pekerjaan atau bidang garapan dari Sang Prebu, Sang Wong Tani, dan Sang Pendeta yang apabila dituangkan ke dalam model logo dan bendera (coat of arms) menjadi sebagai berikut (dengan diambil satu buah contoh kasus peralatan yang mencolok).

Sang Prebu beralatkan Keris, Sang Wong Tani beralatkan Kujang, dan Sang Pendeta beralatkan Pangot. Adapun simbol kekuatan dewanya adalah bahwa Sang Prebu merupakan representasi dari sifat Raksasa (yang bersifat membunuh/melindungi), Sang Wong Tani merupakan representasi dari sifat Detya (yang bersifat berburu/meramu/mengumpulkan/memproduksi), dan Sang Pendeta merupakan representasi dari sifat Danawa (bersifat mengerat/merobek/berkarya/menulis). Sehingga secara utuh maka perlambangannya berdasarkan ilustrasi dewa dan peralatanya adalah sebagaimana berikut Sang Prebu bersifat Raksasa bersenjatakan Keris (untuk menusuk), Sang Wong Tani bersifat Detya bersenjatakan Kujang (untuk memanen), Sang Pendeta bersifat Danawa bersenjatakan Pangot (untuk menulis).

Melalui analisa tersebut dapat diperoleh kepastian bahwa konsep Rama jelas terkait dengan kegiatan pertanian dan peranannya sebagai petani (Sang Wong Tani). Dan simbol Kujang pada dasarnya berdasarkan kepada naskah tersebut merupakan simbol dan alat pertanian dan sekaligus simbol dari Rama. Demikian juga dengan Keris yang selama ini dianggap suatu peralatan yang datang karena pengaruh dan identik dengan kebudayaan Jawa sebenarnya sudah dikenal dan menjadi bagian dari identitas dan peralatan masyarakat Sunda itu sendiri. Keris dalam hal ini merupakan simbol dan identitas tertinggi dari kalangan raja atau bangsawan (aristokrasi) Sunda.

  1. Sang Prabu, Sang Rama, Sang Resi

“Ini ma upama janma tandang ka Cina. Heubeul mangkuk di Cina, nyaho di karma Cina, di ti(ng)kah Cina, di polah Cina, di kararampesan Cina. Katemu na cara telu: kanista, madya, utama. Pahi nyaho di sabda sang prabu, sang rama, sang resi, bisa matitiskeun bayu, sabda, hedap. Nya mana nya ho di geui(ing), di upageui(ng), di parigeui(ng); ya ta tri geui(ing) ngara(n)na.” (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXIII-XXIV, halaman 88)

‘Ini mengupamakan seseorang pergi ke Cina. Lama tinggal di Cina, paham tetatang prilaku orang Cina, tingkah Cina, ulah Cina, keberesan Cina. Dapat memahami bahasa ketiga golongannya yang rendah, sedang, tinggi.

Lalu memahami sabda sang prabu, sang rama, sang resi, bila dapat mengendalikan hasrat, ucap, dan budi. Maka yang demikian itu mengetahui tentang geuing, upageuing, parigeuing, yaitu yang disebut trigeuing’. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.2. Terjemahan, XXIII-XXIV, halaman 113)

Penjelasan:

Di sini terdapat konsep Sang Prabu, Sang Rama, dan Sang Resi yang bersifat ekivalen dengan Ratu, Rama, dan Resi dalam konsep umum Tri Tangtu. Sang Prabu adalah Ratu, Sang Rama adalah Rama, dan Sang Resi adalah Resi.

Sang Prabu diibaratkan sebagai Bayu (hasrat), Sang Rama diibaratkan Sabda (ucapan), dan Sang Resi diibaratkan Hendap (budi pekerti). Selengkapnya falsafah demikian disebut dengan Tri Geuing (Tiga Kesadaran) menjadi Sang Prabu-Bayu (hasrat)-Geuing (kesadaran) , Sang Rama-Sabda (harapan)-Upa Geuing (asal kesadaran), dan Sang Resi-Hendap (budi pekerti)-Pari Geuing (kesadaran tinggi).

Dalam formulasi lebih sederhana dapat dikatakan bahwa Ratu yang identik dengan Bayu adalah representasi tindakan (geuing), Rama merupakan representasi dari harapan atau aspirasi atau ucapan (sabda/upa geuing), dan Resi merupakan representasi dari budi pekerti, nilai, atau pikiran (hendap/pari geuing). Agar lebih mudah lagi maka perlu dikatakan bahwa pikiran milik Resi, ucapan milik Rama, dan tindakan milik Ratu dalam sistem tata pemerintahan dianggap semuanya harus selaras sebagaimana harus selarasnya pikiran (hendap), perkataan (sabda), dan perbuatan (bayu) dalam keutuhan sikap setiap manusia.

  1. Prebu, Rama, Resi

“Ini ujar sang sadu basana mahayu drebyana. Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pina[h]ka prebu, sabda kita pina[h]ka rama, h(e)dap kita pina[h]ka resi. Ja tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na.”

‘Ini ujar sang budiman waktu menyentosakan pribadinya. Inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI, halaman 90)

Penjelasan:

Pada keterangan tersebut didapatkan keterangan konsep Tri Tangtu di Bumi sebagai kelengkapan konsep Tri Tangtu. Bahwa di bumi atau di buana itu terdapat Tri Tangtu berupa Prebu yang harus memiliki jiwa Bayu yakni angin, hasrat, keinginan, tekad, dan perbuatan yang dapat mengabulkan kesentosaan pada wilayah nyata. Rama harus memiliki jiwa Sabda yang berarti ucapan, perkataan, permintaan, harapan, cita-cita, dan aspirasi dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Sementara Resi harus memiliki jiwa Hendap yang berarti kehalusan budi pekerti, berpijak pada standar nilai kebaikan, dan pikiran-pikiran yang bijaksana. Selengkapnya maka ilustrasinya akan menjadi Prebu-Bayu (perbuatan), Rama-Sabda (ucapan), dan Resi-Hendap (pikiran).

Adapun Prebu, Rama, dan Resi bersifat ekivalen dengan Ratu, Rama, dan Resi dalam konsep Tri Tangtu yang umum dikenal. Prebu dengan demikian ekivalen dengan Ratu.

  1. Prabu, Rama, Resi

Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tritan(g)tu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat. Ya sinangguh tritan(g)tu di nu reya ngaranya.” (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI, halaman 90)

‘Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Ya disebut tritangtu pada orang banyak namanya.’  (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.2. Terjemahan, XXVI, halaman 114-115)

Penjelasan:

Pertama di sini kita menemukan kata Prabu, Rama, dan Resi yang berarti ekivalen dengan Ratu, Rama, dan Resi. Bahwa Prabu denagn demikian ekivalen, sinonim, sebangun, dan sama dengan Ratu. Selanjutnya di sini kita akan mengetahui bahwa Tri Tangtu di Bumi, atau Tri Tangtu di Buana dan atau Tri Tangtu di Jagat sesungguhnya untuk mengaplikasikan konsep Tri Warga di Lamba. Apabila Bumi, Buana, dan Jagat merupakan sinonim untuk menyatakan dunia nyata manusia. Maka Lamba merupakan istilah untuk menyatakan dunia akhirat atau dunia tinggi yang dihuni oleh para dewa.

Di alam Lamba tersebut seperti halnya di Bumi, Buana, atau Jagat terdapat juga Tri Tangtu yang disebut secara lebih khusus sebagi Tri Warga. Yang menjadi Ratu di Lamba adalah Wisnu, yang menjadi Rama di Lamba adalah Brahma, yang menjadi Resi di Lamba adalah Isora. Dari sini kita menjadi paham bahwa konsep Tri Tangtu di Bumi berasal dari konsep Tri Warga di Lamba, sementara Tri Warga di Lamba dengan demikian sebenarnya diturunkan dari konsep Tri Murti yang menjadikan Wisnu sebagai Pengelola, Brahma sebagai Pencipta, dan Siwa sebagai Pengajar.

Wisnu yang merupakan Pengelola, Pemelihara, dan identik sebagai Ratu. Brahma yang dalam pustaka Hindu lainnya identik dengan nama lain sebagai Rama identik sebagai Pencipta, Penumbuh, Pengembang, Sumber,  Penanam, dan Ayah untuk kehidupan. Sementara Siwa yang dianggap identik sebagai Perusak sebenarnya memiliki identitas lain sebagai Resi atau Guru. Sementara nama lain untuk Siwa di dalam pustaka Hindu lainnya adalah Isora. Sementara di Nusantara representasi dari Siwa atau Isora yang merupakan Resi, Guru, atau Pandita tersebut diwujudkan dalam sosok Batara Guru.

  1. Sang Pandita, Sang Wong Tani, Sang Prebu

“Kitu keh, sang pandita pageuh di kapanditaan(a)na, kreta; sang wiku pageuh di kawikuan(a)na, kreta; sang manguyu pageuh di kamanguyuan(a)na, kreta; sang paliken pageuh di (ka)paliken(a)na, kreta; sang tetega pageuh di katetegaan(a)na, kreta; sang ameng pageuh di kaamengan(a)na, kreta; sang wasi pageuh di kawasian(a)na, kreta; sang ebon pageuh di kaebonan(a)na, kreta; maka nguni sang walka pageuh dikawalkaan(a)na, kreta; sang wong tani pageuh di katanian(a)na, kreta; sang euwah pageuh di kaeuwahan(a)na, kreta; sang gusti pageuh di kagustian(a)na, kreta; sang mantri pageuh dikamantrian(a)na, kreta; sang masang pageuh di kamasangan(a)na, kreta; sang bujangga pageuh di kabujanggaan(a)na, kreta; sang tarahan pageuh di katarahan(a)na, kreta; sang disi pageuh di kadisian(a)na, kreta; sang prebu pageuh di kaprebuan(a)na, kreta. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI dan XXVII, halaman 90)

‘Demikianlah, bila pendeta teguh dalam kependetaannya, akan sejahtera; bila wiku teguh dalam kewikuannya, akan sejahtera; bila manguyu (ahli gamelan) teguh dalam kemanguyuannya, akan sejahtera; bila paliken (senirupawan) teguh pada kepalikenannya, akan sejahtera; bila tetega (biarawan) teguh dalam ketetegaannya, akan sejahtera; bila ameng (pelayan biara) teguh dalam keamengannya, akan sejahtera; bila wasi (catrik, pengikut agama) teguh dalam kewasiannya, akan sejahtera; bila ebon (biarawati) teguh dalam keebonannya, akan sejahtera; demikian pula bila walka (pertapa yang mengenakan pakaian kulit kayu) teguh dalam kewalkaannya, akan sejahtera; bila petani teguh dalam kepetaniannya, akan sejahtera; bila euwah (?) teguh dalam keeuwahannya, akan sejahtera; bila gusti (tuan tanah) teguh dalam kagustiannya, akan sejahtera; bila masang (?) teguh dalam kemasangannya, akan sejahtera; bila bujangga (ahli falak) teguh dalam kebujanggaannya, akan sejahtera; bila tarahan (tukang tambangan perahu) teguh dalam ketarahannya, akan sejahtera; bila disi (ahli siasat/ramal) teguh dalam kedisiannya, akan sejahtera; bila rama teguh dalam keramaannya, akan sejahtera; bila resi teguh dalam keresiannya, akan sejahtera; bila prebu teguh dalam keprebuannya, akan sejahtera’. (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.2. terjemahan, XXVI dan XXVII, halaman 115)

Penjelasan:

Di sini kita mendapati konsep Sang Pandita, Sang Wong Tani, dan Sang Prebu yang ekivalen dengan Resi, Rama, dan Ratu dalam konsep Tri Tangtu. Di sini di dapati juga konsep Sang Tarahan dan Sang Disi yang sebelumnya dimasukkan ke dalam konsep Panca Byapara. Di dalam terjemahan tersebut, kita akan menjadi lebih memahami mengenai peran dan fungsi dari jabatan Tarahan yang dianggap seseorang yang bertanggung jawab atas pekerjaan tambangan perahu yang apabila diambil konsep umum bertanggung jawab atas gagasan penyediaan dan pemeliharaan kendaraan dan jalan atau ketersediaan aksesibilitas dan mobilitas kerajaan (jawatan umum). Sementara Disi dianggap terhubung dengan pekerjaan sebagai ahli siasat dan meramal yang apabila diambil pengertian umumnya memerankan kedudukan sebagai konseptor, ahli taktik, ilmuan, dan peperangan (panglima perang).

  1. Sang Pandita dan Sang Dewa Ratu

“Nguni sang pandita kalawan sang dewa ratu pageuh ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul kulon wetan saksangga dening pretiwi sakakurung dening akasa; pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh.” (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI dan XXVII, halaman 90)

‘Demikian, bila pendeta dan raja sungguh-sungguh menyejahterakan negara, maka sejahteralah di utara, selatan, barat dan timur semua yang tersangga oleh bumi, semua yang ternaungi oleh langit; hidup sentosalah serba makhluk semuanya.’ (Buku: Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Darsa. Bagian Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung 1987;  Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.2. terjemahan, XXVI dan XXVII, halaman 115)

Penjelasan:

Di sini kita mendapati konsep Sang Pandita dan Sang Dewa Ratu yang ekivalen dengan Resi dan Ratu dalam konsep Tri Tangtu, sebagai dua elemen yang mendapatkan titik tekan dalam upaya menyejahterakan buana (negara).

Temuan:

  1. Di dalam naskah tersebut kita akan memperoleh hukum persamaan konseptual bahwa Ratu sinonim atau ekivalen dengan penyebutan lainnya sebagai Ratu, Dewa Ratu, Sang Dewa Ratu, Prabu, Prebu, dan Sang Prebu.
  2. Di dalam naskah tersebut kita akan memperoleh hukum persamaan konseptual bahwa Resi sinonim atau ekivalen dengan penyebutan lainnya sebagai Resi, Sang Resi, Guru, dan Sang Pandita.
  3. Di dalam naskah tersebut kita akan memperoleh hukum persamaan konseptual bahwa Rama sinonim atau ekivalen dengan penyebutan lainnya sebagai Rama, Sang Rama, Wang Tani, dan Sang Wong Tani.
  4. Bahwa konsep Tri Tangtu merupakan pengejawantahan dari dasar filsafat Dewa Ratu (kepemimpinan agama), Dasa Prebakti (sepuluh dasar-dasar pengabdian), Panca Byapara (lima dasar elemen sebagai ilustrasi pengejawantahan pengabdian), Tri Tangtu di Bumi yang sinonim dengan [Tri Tangtu] di Buana dan [Tri Tangtu] di Jagat) yang didasarkan pada Tri Warga di Lamba, dan Tri Warga di Lamba (yang didasarkan pada doktrin filosofis dan teologis Tri Murti pada agama Hindu/Sanata Darma).
  5. Bahwa Ratu representasi dari Wisnu, bahwa Rama representasi dari Brahma, dan bahwa Resi representasi dari Siwa dalam Tri Warga di Lamba.
  6. Bahwa Ratu merepresentasikan sikap Bayu (perbuatan), bahwa Rama merepresentasikan sikap Sabda (harapan), dan Resi merepresentasikan sikap Hendap (pikiran) dalam Tri Tangtu di Bumi.
  7. Bahwa Ratu merepresentasikan Bayu, Angin, Tulang, Tekad dan Perbuatan; bahwa Rama merepresentasikan Pretiwi, Tanah, Kulit, Ucapan dan Harapan; Resi merepresentasikan Apah, Air, Darah dan Ludah, Budi Pekerti dan Pikiran dalam Panca Byapara.
  8. Bahwa Ratu merepresentasikan sikap Raksasa yang bersifat Maehan (membunuh/melindungi) dengan salah-satu senjatanya Keris, bahwa Rama merepresentasikan sikap Detya yang bersifat Kikicapeun-iinumeun (mengecap dan meminum/menghasilkan) dengan salah-satu senjatanya Kujang, dan Resi merepresentasikan sikap Danawa yang mersifat Kumeureut (membelah/menulis) dengan salah-satu senjatanya Pangot berdasarkan simbologi peralatan kerja status sosialnya.

Batujajar, 1 Juli 2022 M

Gelar Taufiq Kusumawardhana

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".