Oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana/V.I.
Arsiparis: Karguna Purnama Harya/V.I.
(II) Konstruksi Legenda Sangkuriang Dalam Naskah Bujangga Manik
“Ngalalar ka bukit Pala.
Sadatang ka kabuyutan,
meu(n)tas di Cisaunggalah,
leu(m)pang aing ka-baratkeun,
datang ka bukit Pategeng,”
(Naskah Bujangga Manik, Bait 1335-1339)
“Sakakala Sang Kuriang,
masa dek nyitu Citarum,
burung te(m)bey kasiangan.
Ku ngaing geus kaleu(m)pangan,
meu(n)tas aing di Cihea,”
(Naskah Bujangga Manik, Bait 1340-1344)
(C) Mendudukkan Tarikh Waktu Bujangga Manik Dalam Seting Zaman
Pertama, melalui bahasa Sunda Kuno yang digunakan dalam naskah Bujangga Manik. Sepakat para ahli bahwa bahasa yang digunakan dalam naskah Bujangga Manik adalah ragam bahasa Sunda Kuno. Sementara ragam bahasa Sunda Kuno tersebut menurut para ahli berlangsung sejak abad ke-14 M hingga abad ke-18 M. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa rentang kemungkinan usia naskah dan usia Bujangga Manik dalam tarikh waktu yang longgar adalah hidup pada latar belakang abad ke-14 M hingga abad ke-18 M.
Kedua melalui aksara yang digunakannya yang merupakan aksara Sunda Kuno. Aksara Sunda Kuno juga berlangsung sejak abad ke-14 M hingga abad ke-18 M. Aksara Sunda Kuno tersebut digunakan baik dalam prasasti batu, prasasti lempeng logam, dan naskah. Dalam hal ini maka naskah Bujangga Manik dan sosok Bujangga Manik jelas dapat diletakkan secara longgar juga pada abad ke-14 M hingga abad ke-18 M.
Ketiga, ketika sosok Bujangga Manik tiga kali sempat naik Kapal Laut dari Malaka, Selabatang, dan Balasagara pada waktu, tempat, dan tahun yang berbeda; dua adegan diantaranya adalah adanya upacara dimana Wedil dipasang tujuh kali hingga akhirnya sepaket alat musik berupa sarunai, gong, gangsa, gendang dibunyikan dan kawih didendangkan. Kita akan mengetahui bahwa kata Sunda Kuno Wedil, pada bahasa Sunda modern adalah Bedil yang berarti senjata api. Wedil pada masa silam adalah segala jenis alat tembak yang menggunakan mesiu sejak dari senapan laras pendek, senapan laras panjang, dan meriam. Meriam tersebut selain biasa digunakan dibenteng pertahanan, dibawa dalam roda penyerbuan, juga biasa dipasang di atas perahu.
Dalam buku Yuan Shi, dikatakan bahwa Dinasti Yuan Mongol pada masa Kaisar Kubilai Khan melalui Laksamana Ike Mese pada tahun 1293 M telah membawa Pao (Sunda Kuno: Wedil) dalam rangka upaya penaklukkan Pulau Jawa (kerajaan Singasari). Sejak kedatangan Dinasti Yuan, alih teknologi Wedil mulai dilakukan, baik oleh Majapahit maupun Pajajaran. Naskah-naskah kemudian mencatat penggunaan Wedil ini sudah digunakan pada masa penaklukan Nusantara oleh Gajah Mada dan Laksamana Lautnya Nala (artefak Bedil Cetbang abad ke-14 M di Metropolitan Museum of Art New York). Juga di dalam naskah Kidung Sundayana dari Bali dengan bahasa Jawa Kuno Wedil telah digunakan oleh Pajajaran dalam seting Perang Bubat pada masa Prabu Linggabuana. Selepas Perang Paregreg di Majapahit sepeninggal Hayam Wuruk alih teknologi Wedil kemudian semakin menyebar luas di Nusantara.
Namun demikian, penggunaan yang paling signifikan dan masif dengan tinggalan-tinggalan yang lebih pasti adalah dimulai sejak masa Dinasti Ming Han, dibawah Kaisar Yongle dan Laksamana Laut Zheng He. Di dalam buku terbitan Jerman, sketsa meriam api dengan nama Yongle pernah tercatat ada dan ditemukan di Pulau Jawa. Ike Mese dengan demikian abad ke-13 M dan Zheng He abad ke-15 M. Maka Bujangga Manik berdasarkan analisa persenjataan tidak akan lebih awal dari abad ke-13 M. Atau idealnya berada diantara abad ke-13 M hingga ke-15 M.
Keempat, nama Nusia Larang dikatakan di dalam naskah sebagai peletak tata pemukiman dan administrasi politik wilayah-wilayah yang membentang luas dari kawasan Banten hingga Cipamali. Artinya masa kronologi Bujangga Manik berada di waktu relatif kemudian hari setelah Nusia Larang. Apakah Nusia Larang tokoh fiksi tanpa dasar Historis? Ternyata tidak jika dibandingkan dengan naskah Carita Parahyangan Nusia Larang adalah julukan untuk Prabu Niskala Wastu Kancana. Di sebut Nusia Larang karena Prabu Niskala Wastu Kancana dikebumikan di kawasan Nusia Larang (“… Prebu Niskala Wastu Kancana surup di Nusalarang ring Giri Wanakusumah …”). Nusia Larang dengan demikian putra Prabu Lingga Buana yang meninggal di Perang Bubat. Nusia Larang juga ayah bagi Ningrat Kancana atau Dewa Niskala (Prabu di Galuh) dan Susuk Tunggal (Prabu di Sunda).
Di dalam Prasasti Batu Tulis juga jelas dikatakan “…diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang…” (… Dia anak Rahyang Dewa Niskala Sang Sida Mokta Dimguna Tiga cucu Rahyang Niskala Niskala Wastu Kancana Sang Sida Mokta ke Nusa Larang…), jadi Niskala Wastu Kancana adalah yang meninggal di Nusa Larang.
Jadi julukan naskah Bujangga Manik dan Carita Parahyangan sesuai dengan Prasasti Batu Tulis. Dan Batu Tulis jika dibandingkan dengan Lempeng Kuningan Kabantenan, berbicara topik yang sama dan kemungkian dikuarkan oleh orang yang sama yakni Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sri San Ratu Dewata (Prasasti Kabantenan) dan Prebu Guru Dewataprana atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Seri Sang Ratu Dewata (Prasasti Batu Tulis). Nama dalam Lempeng Kabantenan, koreksi kangge Prasasti Kebantenan (lempeng E. 42a, E. 42b, E. 43, E. 44, dan E. 45.) dan Batu Tulis sama hanya beda penerjemah dan teknis pembacaan saja.
Di dalam naskah Pararaton Gajah Mada dilantik Tribuwana Wijayatunggadewi dari Majapahit pada tahun 1336 M. Awal abad ke-14 M ini berarti akan sezaman dengan Prabu Lingga Buwana dari Pajajaran. Interpretasi Historiografi gugurnya Prabu Lingga Buawa pada tahun 1357 M, masih pada pertengahan abad ke-14 M. Kepemimpinan Niskala Wastu Kancana akan diselang oleh Pamannya Bunisoras Suradipati sebagai hak perwalian hingga keponakannya mencapau usia matang. Yakni kalau dalam data Historiografi pada umumnya pada tahun 1371 M (usia 23 tahun) dengan usia dan masa berkuasa yang panjang yakni 126 tahun (1497 M). Maka ketika Niskala Wastu Kancana (Maharaja Sunda dan Galuh) berkuasa, Ningrat Kancana (Prabu di Galuh) dan Susuk Tunggal (Prabu di Sunda) dan termasuk Sri Baduga Maharaja (pangeran yang akan menggantikan kakeknya sebagai penguasa Sunda dan Galuh) akan berkumpul pada satu masa yang relatif bersamaan meskipun beda generasi. Jadi Niskala Wastu Kancana hidup pada awal abad ke-14 M hingga akhir abad ke-15 M.
Kelima, Nama Siliwangi dan Banyak Catra Sudah muncul. Dalam percakapan Jompong Larang kepada Ajung Larang Sakean Kilat Bancana dikatakan bahwa Ameng Layaran (maksudnya Bujangga Manik atau Prabu Jaya Pakuan) itu “Kasep manan Banyak Catra, leuwih manan Silih Wangi, liwat ti tuang ponakan” (Tampan dibandingkan Banyak Catra, lebih dibandingkan Silih Wangi, melampaui dari keponakanku). Penulis atau Bujangga sedang bermain majas dan sandi-sandi, di sana dikatakan nama Sastra Banyak Catra dan Silih Wangi; seperti Nusia Larang apakah murni fiksi? Faktanya bukan. Banyak Catra adalah putra Ningrat Kancana atau Dewa Niskala yang kemudian akan berkuasa di kawasan Banyumasan (di kerajaan daerah Dayeuh Luhur; Cilacap) dalam tradisi Banyumasan. Saudara yang lainnya adalah Banyak Ngampar yang berkuasa di Pasir Luhur (Purwokerto). Kisah Banyak Catra digubah dalam sastra lisan bersama petualangannya sebagai Lutung Kasarung atau Aria Kamandaka atau Guru Minda. Sehingga Banyak Catra adalah nyata, bisa dikonfirmasi secara Historis.
Silih Wangi tentu juga sangat masyhur hanya saja agak simpang-siur dalam tradisi lisan kadang merujuk kepada Ningrat Kancana itu sendiri jika dalam tradisi lisan Banyumasan, sementara di Parahyangan merujuk pada Sri Baduga. Pada naskah Bujangga Manik cukup kuat untuk merujuk pada Sri Baduga Maharaja yang juga merupakan putra dari Ningrat Kancana hanya saja berbeda ibu. Dua sosok ini sangat mashur, yang satu di belahan Timur dan satu di belahan Barat. Keduanya dalam naskah Bujangga Manik dianggap sangat tampan. Frasa tuang ponakan dalam hal ini mungkin bukan keponakan Kilat Bancana, tapi keponakan Jompong Larang. Jadi Banyak Catra dan Silih Wangi dianggap keponakan-keponakan. Dan sangat mungkin dengan demikian Kilat Bancana juga dianggap keponakan. Banyak Catra dan Silih Wangi tampan, tapi dikatakan oleh Jompong Larang; Bujangga Manik jauh lebih tampan lagi dan akan sangat cocok dan sepadan dengan Kilat Bancana.
Kata Silih Wangi terulang dua kali satu lagi pada saat Bujangga Manik melakukan perjalanan yang kedua dari Pakuan menuju ke arah Jawa. Dikatakan di sana “… |Nepi ka Arega Jati | Sacu(n)duk ka Jalatunda | Sakakala Silih Wangi | Samu(ng)kur aing ti inya | meu(n)tasing di Cipamali | …” (Sampai ke Arega Jati | Setiba ke Jalatunda | Sakakala Silih Wangi | Setelah aku melalui dari sana | menyebrang di Cipamali | ). Sakakala disini jangan dipahami dengan kata Sasakala dalam bahasa Sunda kontemporer, tapi harus dipahami dalam bahasa Sunda Kuno dimana maknanya adalah suatu petilasan, peringatan, atau suatu petanda yang dibuat untuk memperingati atau meresmikan sesuatu. Dia bisa tugu batu, prasasti, jalan, bukit buatan, danai, taman, dan seterusnya. Sakakala jika dikembalikan pada bahasa Sanskrit artinya Waktu atau Kalender Saka. Jadi Sakakala Silih Wangi bukan berarti Legenda Silih Wangi tapi Suatu Monumen Peninggalan Sili Wangi. Apa peninggalannya? Peninggalannya adalah Jalatunda, kemungkinan suatu nama tempat yang berhubungan dengan air; sangat mungkin dia berupa Danau Jalatunda.
Dimana letak Jalatunda sebagai Sakakala Silih Wangi ini? Di sebelum menyeberangi aliran sungai Ci Pamali. Kalau diurut rute perjalanan Bujangga Manik sebelum tiba di Jalatunda adalah Kuningan Darma Pakuan (saat ini Kuningan), lalu ke Luhur Agung (saat ini Lur Agung di Kuningan), menyeberang ke Cisanggarung (saat ini masih bernama sungai Ci Sanggarung di Kuningan). Dari sini masuk ke Tungtung Sunda (ujung wilayah administrasi Kerajaan Sunda) dimana terdapat dua petanda penting, yakni Arega Jati (Gunung Jati) dan Jalatunda (Danau Jalatunda). Jadi Gunung Jati (naskah Arega Jati) dalam perspektif naskah Bujangga Manik bukan yang berada di kawasan Utara Cirebon, melainkan masih di kawasan pedalaman atau pegunungan yang pada saat ini kemungkinan besar menjadi kawasan Kecamatan Salem Kabupaten Brebes dengan puncak tertingginya adalah Gunung Kumbang. Sementara Jalatunda adalah apa yang kemungkinan oleh Belanda ditata-ulang menjadi Danau Malahayu di Kecamatan Bantarharjo Kabupaten Brebes. Kawasan Bantarharjo, Ketanggungan, Salem saat ini masih menggunakan bahasa Sunda (dan mampu dwi bahasa) yang terhubung dengan kawasan berbahasa Sunda lainnya di Kuningan, Banjar, Cilacap (Dayeuh Luhur berbahasa Sunda), Majenang, hingga kawasan Bumiayu dan Ajibarang yang semuanya masih menggunakan bahasa Sunda (dan bilingual.)
Silih Wangi dan Sakakala adalah dua gagasan yang sifatnya Historis. Nama Silih Wangi dan Banyak Catra sejauh pengamatan dalam naskah Bujangga Manik adalah sosok atau tokoh yang disebutkan yang berada dalam kronologi paling muda (dan tidak ada sosok yang lebih muda lagi dalam titi mangsa yang dikutip). Dengan demikian, Bujangga Manik secara nalar kronologi haruslah lebih muda dari masa Nusia Larang dan lebih muda dari Banyak Catra dan Silih Wangi. Hanya saja, opsi meletakkan Bujangga Manik sebagai sosok orang istana Pakuan yang lebih muda dari Silih Wangi akan menimbulkan kontradisi yang lebih besar karena akan masuk pada masa dimulainya kekuasaan Islam. Sementara pada naskah masih digambarkan bahwa Pajajaran masih merupakan suatu tatana lama yang bersifat Hindu-Siwa tingkat lanjut; dimana melalui petanda selanjutnya akan dianalisa bahwa di kawasan Utara dari Pulau Jawa beberapa kesultanan Islam sudah berdiri. Bujangga Manik hanya bisa mungkin untuk diletakkan pada masa yang paling kemudian adalah sezaman dengan Silih Wangi dan paling mentok berada pada masa anak-anak Silih Wangi seperti Surawisesa, Surosowan, Walangsungsang, dan Rakean Santang; ini pun sudah sangat meped sekali (dan lebih muda dari ini tidak akan mungkin sama sekali).
Keenam, perihal Cirebon dan Demak. Bahwa pada naskah Bujangga Manik tidak didapati kata Cirebon. Unit administrasi paling Timur dari kawasan Sunda adalah Kuningan Darma Pakuan, Luhur Agung, Arega Jati dan Jalatunda. Kawasan yang meliputi Kuningan dan Cirebon saat berarti masuk kawasan Kuningan Darma Pakuan, dan kawasan yang masuk ke Ciamis, Banjar Patroman, Cilacap, Berebes, Majenang, Bumiayu, Ajibarang sebelum menyeberang Cipamali berarti masuk kawasan Luhur Agung. Arega Jati bermakna Gunung Hutan Jati dan Jalatunda yang bermakna Danau atau Taman Air merupakan dua landmark penting perbatasan sebelum memasuki Alas Jawa atau Lurah-Lerih Majapahit. Cirebon sebagai unit administarsi tersendiri atau telah menjadi suatu kekuatan politik berupa Kesultanan Cirebon dengan demikian belum terjadi. Garis pantai mungkin masuk kawasan Kuningan Darma Pakuan dan basis kemasyarakatan Islam yang baru kemungkinan perlahan bangkit dari kawasan Arega Jati dikemudian hari sampe timbul ke permukaan menuju ke kawasan pesisir Utara Cirebon hari ini.
Selain itu, nama Demak sudah ada dan dikutip dua kali dalam naskah Bujangga Manik dan bahkan menjadi lintasan penting perjalanan di pesisir Utara. Demak dikutip dalam suatu konteks dengan nama Jajahan Demak dan Alas Demak. Ketika menyebut Alas Demak didahului oleh Lurah-Lerih Majapahit yang membuktikan bahwa Demak merupakan bagian dari Lurah atau unit administrasi Majapahit setelah memasuki Alas Jawa. Ketika menyebut Jajahan Demak, Bujangga Manik sedang memerinci kawasan-kawasan dari lintasan yang agak jauh ke Selatan. Jajahan Demak maksudnya wilayah atau kawasan Demak. Peran Demak di sini masih tampak minor, terkesan masih berupa hutan atau tanah kosong atau mungkin pemukiman yang masih minim. Di Dekat Demak, ada jalur vital pelabuhan yang disebut Pamalang (saat ini Pemalang). Dengan demikian, pemukiman rintisan Demak sedang terjadi namun demikian perannya belum central, sehingga belum menunjukkan pertumbuhannya sebagai Kesultanan Demak. Demak akan berkembang jika arus distribusi barang dan jasa semakin ramai dan berkembang di Pamalang. Ini yang kemudian akan berkembang secara bertahap dikemudian hari.
Ketujuh, untuk petanda terakhir dalam tulisan ini akan dicukupkan lebih dahulu dengan munculnya nama Malaka dan Pasai sebagai petanda. Perahu yang vital dalam arus niaga di Laut Jawa pada masa tersebut adalah Kapal Laut Malaka, Kapal Laut Selabatang, dan Kapal Laut Belasagara. Untuk Selabatang belum mampu teridentifikasi, sementara untuk Belasagara juga belum mampu teridentifikasi. Belasagara secara sederhana maknanya adalah Kekuatan Laut, barangkali maksudnya adalah Kapal Laut Militer. Kapal Laut Belasagara dikatakan sebagai model Jong dengan panjang salawe deupa (25 depa setara 45,72 meter; artinya nyaris 46 meter panjangnya). Kapal Belasagara berlayar dari Bali atau Nusa Bali (keduanya bahasa naskah) menuju Palembang dan Parayaman (saat ini Pariaman). Di Nusa Bali atau Bali, Bujangga Manik melaporkan banyak sekali orang Jawa dan orang Malayu.
Pada masa satu tahun sebelumnya, ketika dari Balungbungan akan menuju Bali (dari bali juga nanti turun di Balungbungan; saat ini Blambangan); Bujangga Manik juga menaiki Kapal Laut Selabatang. Kapal Laut selabatang ini dikatakan setelah dari Bali akan menuju ke Bangka. Perahunya terbuat dari kayu jati dengan dibentuk menyerupai Naga (dinanagakeun). Awak Kapalnya dikatakan adalah orang-orang Marus (saat ini Barus; Sumatra Utara), Angke (saat ini Angke Jakarta), Bangka (saat ini Bangka Kepulauan Bangka-Belitung), Lampung, Jambri (kemungkinan saat ini Jambi), Bali, Cina, Malayu, Sale(m)bu (belum teridentifikasi), Makasar, dan Pasay (Aceh). Dari dua data tersebut terlihat Bali merupakan salah-satu ujung rute pelayaran penting setelah Jawa dan penguasaan jalur laut pada prinsipnya dikuasai oleh rumpun Melayu. Adanya armada Cina menunjukkan ujung Utara pelayaran adalah Cina. Dan adanya Makasar sebagai awak kapal menunjukkan kawasan Makasar di Timur telah terintegrasi dalam rute bahari selain Bali.
Pada beberapa tahun sebelumnya, digambarkan pula Bujangga Manik naik Kapal Laut Malaka dari Pamalang dan turun di Kalapa (kemudian disebut Sunda Kalapa, Batavia, Jayakarta, dan Jakarta); namun demikian awak kapalnya adalah orang Kalapa, Tanjung (saat ini Tanjung Priuk), dan Angke yang semuanya berada di kawasan Jakarta modern. Nama Malaka dan Pasai akan berkaitan dengan kedudukannya sebagai Kesultanan Malaka dan Kesultanan Pasai yang didirikan pada tahun 1405 M dan kemudian hari akan runtuh dalam invasi korporasi Portugal.
Sultan Perlak (saat ini Aceh), yang bernama Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II (memerintah 1230-1267 M) menikahkan kedua orang putrinya masing-masing kepada Sultan Malaka pertama, Sultan Muhammad Syah dan kepada Sultan Pasai (atau Samudra-Pasai) pertama, Sultan Malik Al Saleh. Sementara sultan Perlak selanjutnya dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz (memerintah 1267-1292 M). Sepeninggal Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz (memerintah 1267-1292 M), Perlak diintegrasikan ke dalam Kesultanan Samudra-Pasai oleh putra Sultan Malik Al Saleh yang bernama Sultan Muhammad Malik Al Zahir. Kesultanan Malaka sejak didirikan pada tahun 1405 M kemudian runtuh oleh Portugis pada tahun 1511 M. Sementara Samudra-Pasai sejak didirikan pada tahun 1267 M akan runtuh juga oleh Portugis pada tahun 1521 M.
Untuk sejak kapan Perlak telah menjadi kesultanan Islam akan menjadi suatu kajian yang harus dibahas tersendiri. Maka dicukupkan bahwa sebelum ada Kesultanan Pasai dan Kesultanan Malaka, Kesultana Perlak telah lebih dulu berdiri sebagai pembuka. Jalur perdagangan dengan Asia Barat Daya via India Selatan telah membuka jalur menyusuri bagian ujung Pulau Sumatra hingga kemudian memasuki Semenanjung Malayu, Indo-China dan Cina. Atau melalui Sumatra bergerak ke Selatan menuju ke Pulau Jawa. Sejak memasuki awal abad ke-15 M, Malaka telah tumbuh menjadi suatu pelabuhan yang besar, ramai, dan kuat dengan sokongan kapal-kapal laut yang banyak. Seluruh jejaring bahari mulai berada dalam mata-rantai komunitas Islam melalui perdagangan, pernikahan, dan kekerabatan. Basis pelabuhan tersebar dari India Selatan, Sumatra, Semenanjung Malaya, Indo-Cina, dan Cina Selatan; termasuk secara perlahan menguasai jalur niaga di Utara Pulau Jawa. Ketika Malaka berjaya di Laut Jawa maka dia akan berlangkung pada awal abad ke-15 M hingga sebelum abad ke-16 M ketika kekuatannya dilumpuhkan oleh Portugis.
Dari ketujuh parameter sementara yang dibuat kita akan dapat membuat batasan-batasan yang lebih menyusut ruang lingkupnya. Bahwa latar belakang penjelajahan Bujangga Manik (Penyair atau Cendekiawan Istana), Ameng Layaran (Petualang Bahari), Mahapandita (Agamawan Tertinggi; dinisbatkan orang ketiga), atau Prabu Jaya Pakuan (Penguasa Agung dari Pakuan [Pajajaran]);
Pertama, berdasarkan analisa Malaka dan Pasai maka seting Bujangga Manik berlangsung sebelum pelayaran Portugis mendominasi jalur laut di Nusantara pada awal abad ke-16 M, dimana Portugis muali menaklukkan Malaka sejak 1511 M, Pasai sejak 1521 M, Sunda sejak 1522 M (pelabuhan Kalapa).
Kedua, berdasarkan analisa Cirebon dan Demak maka seting Bujangga Manik berlangsung sebelum memasuki akhir abad ke-15 M, dimana Kesultanan Cirebon berdiri sejak tahun 1430-1479 M oleh Pangeran Cakrabuwana atau Pangeran Walangsungsang (masih dibawah Pajajaran oleh Sri Baduga Maharaja) dan Kesultanan Demak berdiri sejak tahun 1475-1478 M oleh Raden Fatah (masih dibawah Majapahit).
Ketiga, berdasarkan bahasa Sunda Kuno naskah yang digunakan maka seting Bujangga Manik berada antara abad ke-14 M sampai abad ke-18 M. Abad ke-18 M, abad ke-17 M, abad ke-16 Masehi, dan pertengahan abad ke-15 M telah dibatasi oleh analisa pertama dan analisa kedua, sehingga hanya tersisa analisa yang berlaku; yakni antara abad ke-14 M hingga awal abad ke-15 M.
Keempat, analisa berdasarkan bukti aksara Sunda Kuno maka seting Bujangga Manik berlangsung sejak abad ke-14 M hingga abad ke-18 Masehi. Namun demikian sama dengan analisa pertama, kedua, dan ketiga hanya tersisa kemungkinan abad ke-14 M hingga awal abad ke-15 M.
Kelima, berdasarkan analisa Nusia Larang yang berarti Prabu Niskala Wastu Kancana maka seting Bujangga Manik akan berlangsung setelah masa Nusia Larang berlangsung. Sementara itu, masa berkuasa Nusia Larang itu sendiri adalah pada tahun 1363 M hingga 1467 M (104 tahun).
Keenam, berdasarkan analisa Silih Wangi dan Banyak Catra, maka seting Bujangga Manik tidak bisa diturunkan jauh lebih muda dari masa Silih Wangi dan Banyak Catra berlangsung karena akan memasuki masa Kesultanan Cirebon mulai berdiri dan Kesultanan Demak mulai berdiri. Masa berkuasa Silih Wangi yang dalam hal ini Sri Baduga Maharaja (putra Dewi Samboja) adalah sejak tahun 1482 M hingga tahun 1521 M. Karena Banyak Catra masih satu generasi (putra Dewi Ratna Huma) meskipun berbeda usia sedikit (Banyak Catra lebih tua) maka akan diangap ada pada masa yang sama.
Jika tahun harus terpaksa diturunkan dari masa Silih Wangi dan Banyak Catra maka akan masuk ke masa Surawisesa (Prabu di Pakuan pada 1521 M-1535 M), Surosowan (adik Surawisesa di Banten), Cakrabuana atau Walang Sungsang (Raja Cirebon di bawah Pakuan pada 1430 M-1479 M), dan Rajasangara atau Rakean Santang (adik Walang Sungsang). Karena Surwisesa (Kentring Manik Mayang Sunda) dan Walang Sungsang (Subang Larang) berbeda ibu, maka usia mereka terpaut cukup jauh. Bahkan, masa berkuasa Surawisesa di Pakuan nyaris bersamaan dengan masa berkuasa Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati atau Susuhunan Jati berkuasa di Cirebon (1479 M-1568 M).
Antara Surawisesa dan Syarif Hidayatullah tersebut, masih terhitung famili yang sangat dekat dari pihak ibu; kedudukannya adalah masih terbilang Paman dan Keponakan. Pada masa Surawisesa di Pakuan naik tahta itulah, Syarif Hidayatullah di Cirebon sepeninggal kakeknya mulai memisahkan diri dari Pakuan. Menurunkan masa seting Bujangga Manik menuju era yang lebih muda dari Sri Baduga Maharaja, akan memasuki beberapa implikasi penting; yakni Cirebon telah menjadi Kesultanan Islam, Portugis telah masuk, dan Sunda telah terpisah menjadi Sunda dan Cirebon sebagai suatu konsekuensi sikap politik dalam menyikapi arus imperialisme (pangkal perdagangan yang tidak fair). Dan seting demikian jelas tidak sama dengan seting Bujangga Manik yang belum memasuki fase tersebut.
Ketujuh, berdasarkan analisa Bedil atau senjata api di Nusantara, maka seting Bujangga Manik tersebut antara akhir abad ke-13 M (penyerangan Ike Mese tahun 1293 M atas nama Kubilai Khan dinasi Yuan Mongol) dan awal abad ke-15 M (pelayaran Zheng He tahun 1405 M-1455 M atas nama Yongle dinasti Ming Han). Namun demikian berdasarkan analisa terhadap point-point sebelumnya maka seting Bujangga Manik tidak akan mungkin terjadi pada abad ke-13 M; karena Malaka dan Pasai pada masa Raden Wijaya akan mendirikan Majapahit belum ada, demikian juga analisa aksara dan bahasa Sunda Kuno yang baru lahir abad ke-14 M. Sementara masa pelayaran Zheng He dirasa cocok karena bersamaan dengan lahirnya Kesultanan Malaka dan Kesultanan Pasai, dimana pelayaran-pelayaran Zheng He juga mengunjungi Malaka dan Pasai. Sehingga setingnya berlangsung akhir abad ke-13 M sampai pertengahan abad ke-15 M.
Adapun pola penyusunan masa berkuasa Maharaja Niskala Wastu pada tahun 1363 M-1467 M (Sunda-Galuh), kedua putranya Ningrat Kancana 1467 M-1482 M (Galuh) dan Susuk Tunggal 1467 M-1482 M (Sunda), dan cucunya Sri Baduga Maharaja 1467 M-1521 M (Sunda-Galuh) tampaknya kurang pas. Karena Niskala Wastu Kancana berusia panjang dan dengan demikian berkuasa panjang, maka kedua anaknya tidak akan sempat naik tahta untuk menggantikan ayahnya. Mereka akan cukup puas dengan menjalani kedudukan sebagai dua raja yang berkuasa di masing-masing daerah Sunda dan Galuh dalam melayani ayahnya. Ditambah lagi antara kedua saudara tersebut ada pola persaingan dan ada ketidak-cocokan akibat manuver Ningrat Kancana menikahi kembali kerabat Majapahit dan termasuk putrinya (ini memicu kecurigaan dan kecemasan Susuk Tunggal).
Untuk mengatasi masalah tersebut di dalam naskah-naskah maka disepakati yang akan menggantikan kedudukan kakeknya adalah Sri Baduga Maharaja putra Ningrat Kancana. Untuk merekatkan ikatan Sunda dan Galuh dalam kekerabatan, maka Sri Baduga akan dinikahkan dengan putri Susuk Tunggal (Kentring Manik Mayang Sunda). Dengan cara tersebut jalan perdamaian, kekerabatan, dan suksesi kekuasaan berjalan baik kembali.
Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa pada zaman atau era yang sama Maharaja Niskala Wastu Kancana, Ningrat Kancana (Prabu Dewa Niskala) dan Susuk Tunggal (Sang Haliwungan atau Prabu Dewatmaka), dan Prabu Jayadewata (Sri Baduga Maharaja) akan hidup dan berkuasa secara bersama-sama dalam tata organisasi yang berbeda proporsinya. Sehingga kronologi yang perlu dipegang sebagai pedoman adalah Maharaja Niskala Wastu berkuasa pada tahun 1363 M-1467 M (Sunda-Galuh) dan Sri Baduga Maharaja berkuasa pada tahun 1467 M-1521 M (Sunda-Galuh). Ketika kakeknya berkuasa atas tahta penuh Sunda dan Galuh yang berkedudukan di Galuh, maka ayah dan uwaknya berkuasa di Sunda dan di Galuh (dua ibukota dalam prasasti Kabantenan Sunda Sembawa dan Jayagiri) sebagai negara bagian yang tunduk kepada koordinasi dan komando ayah mereka. Maka Sri Baduga masih akan leluasa untuk melakukan banyak hal sebagai pangeran muda, sebelum kemudian akan dikirim ke Pakuan untuk melakukan perjodohan dan memikul konsekuensi kekuasaan yang diambil-alihnya dalam rangka unifikasi kekuasaan.
Seluruh seting dalam naskah Bujangga Manik tersebut secara relatif merentang pada peralihan abad yang tipis yakni akhir abad ke-14 M dan awal abad ke-15 M. Masa dimana Niskala Wastu Kancana hingga Sribaduga Maharaja muda masih hidup pada era yang sama. Menyaksikan Malaka dan Pasai tumbuh dan menyaksikan perintisan jalur Zheng He dan kunjungan muhibahnya. Dan meskipun beberapa sudut pandang dan kronologi seakan baur, namun tidak ada kandidat lain jika prosa fiksi realis ini berbasis kenyataan jika Bujangga Manik tidak lain adalah Sri Baduga Maharaja muda. (Kapal Jong lewat abad ke-15 M)
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.