Senatus itu ketua, pemimpin, yang mewakili wilayah dan golongannya dari daerah untuk membicarakan masalah-masalah umum dan bersama di tingkat pusat dalam suatu badan, dewan, atau majelis permusyawaratan pusat yang disebut Consel.
Para Senat tersebut menentukan seseorang yang akan menjadi ketua atau pimpinan umum untuk seluruh wilayah dan golongan yang ada yang disebut Consul. Consul akan melakukan dengar pendapat dan mendapatkan masukan-masukan dari Senat pada lembaga Consel dalam menentukan masalah-masalah umum.
Bentuk pemerintahan seperti ini di di dalam bahasa Yunani sudah sangat jelas dengan apa yang disebut sebagai Aristokrasi. Aristo itu Baik, atau Yang Terbaik (Sanskrit, Arya?). Sementara Kratos artinya Aturan, Peraturan, Aturan Main, Pemerintahan, atau Kekuasaan. Aristokrasi adalah sistem pemerintahan di tangan orang yang paling baik atau layak.
Sementara maksudnya adalah suatu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh sekelompok orang atau perwakilan atau elit yang mewakili seluk-beluk daerah dan masyarakatnya yang duduk dalam suatu majelis atau sidang (Representative), yang sampai pada istilah modern sebagai Aristokrat (bukan dalam maknanya yang distorsi). Aristokrat ini yang dalam bahasa Latin sejajar dengan konsep yang modern ini disebut dengan Senat.
Jika Senat memilih Consul dalam sistem Roma, maka Aristokrat memilik Basilios dalam sistem Yunani. Basilios ini sering disalah-terjemahkan menjadi King ke dalam bahasa Inggris. Padahal Basilios itu suatu jabatan kepemimpinan yang non Hereditas (bukan keturunan) dan bersifat add hoc (tidak permanen).
Basilios dalam bahasa Yunani ini sejajar dengan kata Persia Vasil. Kemungkinan kata Basilios Yunani dan Vasil Persia ini terhubung dengan kata Arab Wazir (Pemimpin Wilayah atau Pembantu).
Dalam Filsafat Plato dalam karyanya Politeia yang disejajarkan dengan De Re Publica dalam karya Cicero dan kemudian diterjemahkan keliru menjadi The Republic dalam bahasa Inggris dengan konteks sempit (non Monarkhi), sistem pemerintahan yang terbaik itu sebenarnya disebutnya dengan nama Aristokrasi.
Apalagi jika siatem Ariatokrasi itu pemimpinnya idealnya dipimpin oleh seorang Basilios Philosophoi, yang sering salah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Philoshoper King. Padahal Basilios itu bukan Reg atau Rex yang berarti Raja. Basilios itu sama dengan apa yang disebut dalam bahasa Latin sebagai Consul.
Consul dalam bahasa Latin itu menunjukkan jejaknya sebagai Sufet dari khazanah Kartagenia dari khazanah Funisia dari khazanah Syofet Ibrani dan beberapa rumpun Semit lainnya pada masa yang telah diterapkan jauh lebih awal.
Basilios itu harus Philoshopoi (Filusuf) menurut Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang mencintai kebijaksanaan. Akar dari perkembangan Philoshopoi itu sendiri dari Shopoi (Sofis) yang berarti yang bijaksana.
Namun karena adanya dekadensi pada kalangan Shopoi yang berlaku sebagai Guru atau Acarya dalam bahasa Sanskrit dengan mengajarkan relatifitas nilai dan meruntuhkan kebenaran umum, maka Plato lebih suka dengan mulai menggunakan kata Philoshopoi (Pecinta Kebijaksanaan).Shophoi dan Philoshopoi itu disejajarkan di dalam tradisi Islam dengan kata Hikmah. Hikmah (Penalaran) ini akan mendampingi kedudukan Kitab (Wahyu). Baik Kitab maupun Hikmah adalah khazanah yang diwariskan dari para Nabi.
Consul itu terhubung dengan Sufet, dan Sufet terhubung dengan Syofet. Syofet adalah sistem kepemimpinan Chieftain Leadership Bani Israel yang dinisbatkan kepada Moseh hingga berakhir pada masa Syamu’el. Yehoshua ben Nun (Arab: Yusa bin Nun) merupakan pengganti tradisi kepemimpinan model Moseh dan seterusnya hingga masa Syamu’el.
Dalam bahasa Arab Pengganti atau Penerus itu disebut Khalifah, dalam konteks yang berlainan misalnya mengganti baju itu disebut dengan kata Chalephot dalam Alkitab Ibrani.
Di dalam tradisi Islam, Khalifah adalah Pengganti atau Pelanjut ata Penerus model kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, yang digunakan oleh Abu Bakar. Umar lebih memilih menggunakan kata Amir-ul Mu’minin, yang berarti Amir (pemimpin) untuk Mumin (orang beriman).
Jadi pada hakikatnya, Khalifah maksudnya adalah Amir. Umar adalah Amir, Abu Bakar adalah Amir, dan Nabi Muhammad SAW selain Nabi dan Rasul pada dasarnya menempati kedudukan di dalam Umat (baca: Bangsa atau Nation) adalah Amir.
Setelah masa Syamu’el muncul sistem kepemimpiman model Melekh dimulai sejak masa Saul (Arab: Thalut) dari Bani Bunyamin, kemudian dilanjutkan Isyboset putra Saul, kemudian David dari Bani Yahuda menantu Saul, dan kemudian Solomo putra David, dan seterusnya.
Setelah masa Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dan dengan transisi yang sama seperti kedudukan Syamu’el yakni Hasan, maka sistem Amir bergeser menjadi sistem Malik pada masa Umayah, Abasiyah, Mamluk, Seljuk, Fatimiyah, Almurabitun, Almuwahidun, Idrisiyah, Usmaniyah, dan seterusnya.
Jadi pada prinsipnya Khalifah, Chaliphot, Amirat, Syofatim, Sufet, Aristokrasi, dan Senatus adalah tengah berbicara dalam topik yang sama dan berasal dari suatu khazanah warisan (common heritage) yang sama.
Yang perlu menjadi bahan dialektika bukan mempertentangkan wacana Khilafah versus Demokrasi dan seterusnya sebagai mana pada yang telah dialami oleh beberapa generasi Muslim sebelumnya di Indonesia yang berusaha untuk mencerna dialektika Islam di tengah hegemoni Barat (misalnya Nurcholis Majid).
Yang perlu diperbincangkan secara akademik dan kompetitif pada masa ini adalah sejauhmana dunia Islam dan dunia Barat (Judeo-Christian) mampu mewujudkan grand teori ideal tata negara sebagaimana yang telah dipaparkan dalam Tarikh dan Shefer Syofatim. Atau yang telah melalui khazanah Yunani dan Latin yang otentik (dalam Hindu-Budha masa sebelum terunifikasi dalam format Kerajaaan disebut dengan Gana Sanga).
Sepanjang Konstitusi yang diterapkan berdasarkan pesan agama (Kitab atau Wahyu), dalam Islam (Quran) dan Judeo-Christian (Torat) baik Syofatim/Amirat atau Melakhim/Mamlakah itu bisa diterima dan tidak disudutkan, tapi Syofatim/Amirat diantaranya keduanya sepakat adalah role model yang jauh lebih baik dan utama.
Poli, itu Banyak. Polis, itu Kota atau Negara. Polites, itu Warga Kota atau Warga Negara. Politeuma, itu Penguasa atau Pemerintah Kota atau Negara. Sehingga karya Plato Politeia, itu lebih tepat jika diartikan dengan Tata Kota atau Tata Negara (bukan The Republic). Dan karya Aristoteles Politike, itu jauh lebih tepat jika diartikan sebagai Kebijakan Kota atau Negara.
Jika perlu, De Res Publica karya Cicero bisa digunakan tapi harus dalam arti sebagaimana Cicero dan Plato itu sendiri mengatakannya sebagai Tata Kota atau Tata Negara. Jadi Politeia dan De Re Publica adalah konsep yang bersifat Generik. Di dalamnya ada pembahasan mengenai studi banding dan kurasi terhadap model-model penerapan yanng ada seperti Monarkhi, Aristokrasi, Oligarki, Tirani, Anarki, Timokrasi, dan seterusnya. Atau dalam bahasa Latin ada Regnum, Senatus Populus, dan Imperium.
Ketika De Re Publica (Latin) yang berubah menjadi Republic (Inggris) kemudian diartikan secara lebih spesial sebagai model atau sistem lawan siatem dan model Monarkhi ini, ini yang mengakibatkan telah terjadi distori dan reduksi konseptual. Seharusnya secara operasional bisa diuji dengan kalimat pertanyaan sebagaimana berikut: Sistem dan model apa yang terbaik berdasarkan Tata Negara (De Re Publica) menurut Cicero?Yang terbaik jawabannya adalah Senatus Populus. Sistem dan model apa yang terbaik berdasarkan Tata Negara (Politeia) menurut Plato?Yang terbaik jawabannya adalah Aristokrasi.
Apakah Aristokrasi dan Senatus Populus Itu sama dengan Syofatim?Syofatim yang biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Judges? Dan apakah Aristokrasi dan Senatus Populus sama dengan apa yang disebut Khilafah oleh Muslim?Apa Khilafah itu?Khilafah itu Amirat (bukan Imamah yang dalam Ibrani disebut Kohanim) atau dengan kata lain adalah sistem dan model Chieftain Leadership yang bersifat add hoc dan non hereditas (bukan berarti bukan Noble atau Bangsawan).
Apakah siatem Tata Negara modern dengan mengusung gagasan Republik-Demokrasi modern telah mendekati gagasan ideal Senatus Populus Cicero?Atau gagasan ideal Aristokrasi Plato? Ataukah gagasan ideal Syofatim? Apakah pengusung Khilafah dari kalangan Muslim memahami bagaimana dunia Barat (Judeo-Christian) dengan serius melakukan eksperimentasi dan pencarian makna Syofatim melalui simbologi dan hermenetika Yunani dan Latin?
Terlepas dari masih adanya distorsi dan kekeliruan atau usaha yang tidak sepenuh hati yang dengan menempatkan Demokrasi sebagai apa yang dikiranya tatanan yang paling ideal. Yang padahal menurut Plato dan Aristoteles adalah yang terburuk dan kedua yang terburuk dari model dan sistem tata negara yang ada (meski ada kebaikan-kebaikan yang terkandung didalamnya).
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.