
[1] Yavaka-Dvipa dalam Prasasti Canggal
Di dalam buku penting (magnum opus) VERSPREIDE GESCHRIFTEN (Prof. H. Kern) De Sanskrit-Inskriptie van Canggal (Kedu), Unit 654 Caka Sarga 7 Sloka 14 dan Sloka 16 (Sanskrit Language dan Pallava Script) dapat ditemukan kalimat sebagaimana berikut: “Asiddvipavaram Yavakhyamatulandha[nya]” (Sarga 7 Sloka 14) dan “Tasmindvipe Yavakye purusa[pada]” (Sarga 7 Sloka 16).
Pada tulisan ini kita tidak dalam rangka untuk menerjemahkan keseluruhan kalimat Sanskrit tersebut, namun demikian kita menajdi dapat mengamati dengan lebih jeli bahwa di dalam bait kalimat pertama tersebut, terdapat kata Dvipa yang diapit oleh kata Asid dan Varam (Asiddvipavaram) dan Yavak yang diikuti oleh kata Hya, Matu, Landha, dan (Nya) (Yavakhyamatulandha[nya]). (Sarga 7 Sloka 14).
Demikian juga pada bait kalimat selanjutnya, dimana di sana terdapat kata Dvipe yang didahului oleh kata Tasmin dan kata Yavak yang diikuti kata Ye dan kemudian Purusa dan [Pada].
(Sarga 7 Sloka 16).
Dvipa pada kalimat pertama dan Dvipe pada variasi kalimat kedua dalam bahasa Sanskrit tersebut telah sangat jelas bermakna Pulau (Island). Kata Dvipa dalam bahasa Sanskrit tersebut dalam logat Prakrit akan berbunyi Dipa. Sementara itu, dengan seiring waktu berkembag maka Konsonan V pada kata-kata Sanskrit akan berubah ke dalam bahasa-bahasa Nusantara menjadi berkonsonan W. Maka skemanya dalam hal ini kata Dvipa akan menjadi Dwipa dan terkadang dengan mengikuti logat Prakrit akan menjadi Dipa.
Sementara Yavakhya dan Yavakye merupakan dua bentuk kata yang berakar dari bentuk kata Yavak yang dirangkaikan dengan bentuk kata tambahannya berupa kata Hya dan Ye. Yavak dalam bentuk kata sempurnanya akan berbunyi Yavaka. Sedangkan Hya dan Ye merupakan variasi kata tambahan yang kurang lebih dapat digunakan untuk menyatakan arti inilah.
Variasi lain dari Hya dan Ye yang dapat ditemukan dalam inskripsi-inskripsi Sanskrit adalah Ya, Ye, Yam, Yama, Ayam, Hyam, Hyan, dan yang dengan demikian dapat diduga kuat akan berubah seiring waktu dalam gramatika bahasa-bahasa Nusantara menjadi kata baru Hyang dan kemudian kata bantu Yang yang biasa digunakan dalam gramatika bahasa Melayu (dengan Konsonan H yang dihilangkan) pada saat ini.
Ye atau Hya secara umum ssbagaimana yang telah diungkapkan artinya adalah, inilah, itulah, itu dia, barang siapa, atau dia yang memiliki kualitas (yang dihormati) dari kata sifat yang dinisbatkan. Dengan kata lain, akar kata yang dapat kita temukan dalam kata majemuk Yavakhya dan Yavakye adalah kata Yavak yang dibentuk dari kata sempurna Yavaka. Yakni, kata dasar Yava yang dibangun dari kata Yava dengan akhiran Ka. Maka Yavaka kurang lebih artinya akan menjadi, sesuatu yang seperti Yava.
Jika pecahan kata yang tercecer dalam konteks kalimat Prasasti Canggal tersebut, kemudian dirangkaikan dalam bentuk kesatuan kata nama (proper names) maka Sanjaya dalam Prasasti Canggal 654 Caka tengah mengidentifikasi nama pulau yang ditempatinya tersebut dengan nama Yavaka-dvipa (bukan Yava-dvipa).
Yavaka-dvipa dengan demikian adalah suatu pulau yang ditumbuhi oleh tanaman dari jenis Yavaka. Suatu penanda (landmark) yang bisa jadi secara modalitas telah terjadi secara alamiah atau memang telah sengaja diusahakan dalam bentuk aktifitas resmi dalam bidang pertanian masyarakat dan telah disokong oleh kebijaksanaan pemerintah.
[2] Yava-Dvipa dalam Naskah Ramayana
Sementara itu, di dalam kitab PURANA RAMAYANA (Valmiki); pada bagian Khiskindha Kanda, Sarga 39 Sloka 28 dan Sloka 29 (Sanskrit Language dan Devanagari Script). Yakni di dalam Khiskindha Kanda, Sarga 39, Sloka 28 terdapat kalimat “…Ratnavantam Yavadvipam…”. Sementara itu pada Khiskindha Kanda, Sarga 39, Sloka 29 terdapat kalimat “…Yavadvipamatikramya sisiro nama parvatah…”
Dalam struktur pengetahuan Sanata Darma, Purana merupakan bagian dari khazanah literatur Post Vedic (Setelah Weda) dengan basis tradisi Smirti (apa yang diingat). Kitab yang dicatat oleh Valmiki tersebut mengandung sistematika berupa 7 buah Kanda (bab) dengan 24.000 Sloka (bait-bait kalimat).
Dengan adanya bukti nyata bahwa kitab-kitab India ditulis dalam tinggalan literatur beraksara Devanagari (Devanagari Script) dan dalam bahasa Sanskrit (Sanskrit Language) dan juga ditulis dalam medium berupa lembaran lontar (Palm-leaf Manuscript), maka dapat diduga secara ilmiah (Filologi) usia naskah tersebut tidak setua dengan yang selama ini diutarakan.
Suatu rentang waktu kreatifitas akademik yang sesungguhnya memiliki kesejajaran dengan kreatifitas akademik yang juga tengah hangat terjadi di Pulau Jawa, dimana para Maha Kawi menuliskannya dalam bentuk bahasa Kawi (Kavi Language) dan aksara Kawi (Kavi Script) dan dengan medium yang sama berupa lembaran lontar (Palm-leaf Manuscript). Masa kreatifitas tersebut adalah suatu trend yang berkembang secara umum dimulai antara rentang abad ke-10 M hingga ke-12 M dan kemudian diakhiri pada periode Islam masuk ke Anak Benua India dan Nusantara.
Namun demikian, memahami dasar-dasar dari khazanah Filsafat India dan menguasai literatur keagamaan yang berkembang baik pada rumpun Sanata Darma, Budha Darma, dan Jaina Darma yang telah tersistematik dengan baik di India maupun di Pulau Jawa dalam suatu skema penguasaan teoretik (Body of Knowledge atau Art of States) keilmuan akan menjadi sangat penting nilainya bagi khazanah kebudayaan Indonesia itu sendiri.
Karena basis literatur Sanskrit dan Prakrit bagi Indonesia adalah memiliki kedudukan yang serupa dengan basis literatur Yunani dan Latin bagi masyarakat keilmuan Barat. Seperti dalam kasus ini, bagaimana mungkin kita dapat mengartikan asal-usul nama Pulau Jawa; tanpa kita berpaling kepada khazanah kebudayaan dan literatur sistematik India.
Di dalam Ramayana pada Khiskindha Kanda Sarga 39 Sloka 28 dan Sloka 29 terdapat nama Yavadvipam dan Yavadvipa. Dvipam adalah bentuk kata tambahan untuk merubah makna dari kata dasar Dvipa. Sementara makna Dvipa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bermakna Pulau. Sementara di dalam Prasasti Canggal dari Sanjaya didapatkan bentuk kata Yavaka maka di dalam Naskah Ramayana dari Valmiki didapati kata Yava.
Antara kata Yavaka dan Yava sepintas memang serupa, namun demikian sesungguhnya akan memiliki detail pemaknaan yang berbeda apabila kita merujuk ke dalam khazanah Filsafat India sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Secara umum (generik/general) maknanya Yavaka dan Yava memang sama, yakni merujuk pada tumbuhan dari rumpun rerumputan dan bulir-bulir bebijian yang dihasilkannya (Cereal). Namun secara khusus (spesifik/spesial) Yavaka dan Yava akan menunjukan perbedaan pada tingkatan detail tumbuhan dari rerumputan dan bulir-bulir bebijian yang lebih tertentu lagi.
[3] Perbedaan Yavaka dan Yava
Di dalam kitab Caraka Samhita Sutrasthana yang ditulis Caraka dalam bidang Ayurveda (tradisi pengobatan India). Atau kitab yang sesungguhnya secara estafeta ditulis oleh generasi Atreya, Agnivesa, Caraka, hingga kemudian diakhiri Dridhabala tersebut dikatakan bahwa Yavaka adalah nama yang digunakan untuk menyatakan jenis tanaman Padi (Inggris: Paddy); dimana Yavaka atau Padi dianggap memiliki kualitas yang kurang baik. Sementara itu, di dalam kitab yang sama Yava digunakan untuk menyatakan apa yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Barley.
Di dalam kitab Purana, yakni Saurapurana sebagai bagian dari kitab Upapurana (agama puja Shiva),Yavaka merupakan bagian dari Naivedya (sesajen) yang dipersembahkan pada bulan Vaisakha pada upacara keagamaan Anangatrayodasivrata yang dimulai sejak bulan Margasira. Yavaka dalam tradisi persembahan agama puja Siwa (Shiva) tersebut adalah Padi. Pada persembahan tersebut yang digunakan adalah Yavaka (Padi), dan bukan Yava (Barley). Namun demikian, dalam upacara Yava-puja dalam kitab Purana yang lain, yakni kitab Shivapurana yang digunakan justru ratusan ribu bulir-bulir Yava (Barley) sebagai syarat persembahan untuk Shiva.
Dalam kitab Bhojanakutuhala pada bagian Pakasastra dikatakan bahwa Yava (Barley) merupakan jenis makanan pokok yang diutamakan derajatnya pada masa India Kuno periode awal yang tergambarkan dalam catatan-catatan Rigveda dan Yajurveda. Sementara pada masa tersebut, meskipun Yavaka (Paddy) dan Godhuma (Wheat) sudah dikonsumsi masyarakat India namun demikian statusnya masih bersifat sekunder. Dan selanjutnya, status Yavaka (Padi) dan Godhuma (Wheat; Melayu: Gandum) baru mendapatkan penghargaan yang utama pada periode kitab Atharvaveda, selain tentu saja kedudukan Barley (Yava) yang bersifat utama.
Masih di dalam kitab Bhojanakutuhala pada bagian Dravyagunaguna-kathana Yava (Barley), Godhuma (Wheat), dan Yavaka (Paddy) yang dalam catatan kitab tersebut digunakan kata Sali; merupakan bagian dari tumbuhan yang dimasukkan dalam kelompok Dhanya yang berarti bulir-bulir bebijian dari rerumputan baik besar (grain) maupun kecil (millet) dalam perspektif Barat.
Di dalam kitab Svetambara dan kitab Yogasastra dari Jaina Darma, bulir-bulir bebijian tersebut (Dhanya) telah diinventarisasi sebanyak 17 jenisnya. Diantaranya adalah Yava (Barley), Godhuma (Wheat), Priyangu (Foxtail Millet) yang dalam kamus bahasa Sunda karya Rigg disebut Jegeng dan dalam kamus Coosma pada periode selanjutnya disebut Jawawut. Sementara Padi (Paddy atau Rice) dalam catatan Jaina Darma dikategorikan ke dalam dua jenis banyaknya, yakni Vrihi dan Sali. Di sini kita bisa tetap memegang pendapat bahwa Vrihi dan Sali adalah masih sama saja secara konseptual dengan Yavaka (Padi).
Sebagaimana yang dapat ditemukan dalam kebudayaan Yunani, kebudayaan Romawi, dan kebudayaan Arab; Yava (Barley) memegang sangat memegang peranan penting; dimana salah-satunya menjadikannya sebagai satuan hitung. Bahkan dalam kebudayaan Arab Islam yang kemudian berkembang, Barley atau Syi’ir (Arab) bukan sekedar satuan hitung bahkan dapat dikembalikan nilainya sebagai standar kalibrasi dan konversi satuan hitung itu sendiri. Dalam kitab Vastusastra dan Manasara di India misalnya, 1 Yava sama dengan 8 Yuka, 8 Yava sama dengan 1 Angula. 1 Yuka sama dengan 8 Liksa, 1 Liksa sama dengan 8 Valagra dan lain sebagainya.
Di dalam kitab Isvarasamhita dari aliran puja Narayana, Yava (Barley), Godhuma (Wheat), Sali (Padi), Priyangu (Foxtail Millet) merupakan bagian dari 7 tanaman bulir-bulir bebijian lainnya yang tumbuh di sekitar lahan pedesaan pada masanya. Bulir-bulir bebijian tersebut biasa digunakan dalam upacara Kunda, yakni suatu upacara persembahan yang dilengkapi dengan pembakaran pada bak khusus api suci.
Melalui hasil pembacaan literatur India dapat diketahui jika Yava merujuk pada Barley, sementara Yavaka merujuk pada Paddy (Rice). Istilah lain yang digunakan untuk menyatakan Yavaka adalah Sali dan Vrihi dan di sumber-sumber lainnya, kata Yavaka, Sali, dan Vrihi disebut juga dengan kata Sari dan Sri.
[4] Pulau Jawa Yang Berakar Pada Yavaka-Dvipa Adalah Pulau Padi
Dalam uraian sederhana tersebut kita dapat melihat bahwa dalam Naskah Ramayana Valmiki terdapat kata Yava-dvipa yang dapat diartikan Pulau Barley. Sementara dalam Prasasti Canggal Sanjaya terdapat kata Yavaka-dvipa yang dapat diartikan Pulau Paddy.
Pengambilan data fonetik pada Naskah Ramayana bukan dalam rangka menafsir konstelasi Geografis dalam rangka usaha pencarian Sita yang diperintahkan Raja Kera Sugriwa kepada para Perwira Kera Kiskenda, dimana salah-satu wilayah pelajakannya adalah di Yava-dvipa (Pulau Jawa). Bukan saja lokasi Pulau Jawa dalam Valiki itu dapat diperbincangkan hubungannya dengan Pulau Jawa di Nusantara. Melainkan bahkan menafsirkan seting zaman Rama dan Sita yang ditempatkan di Anak Benua India sekalipun, juga masih dapat diperbincangkan akurasi pijakan Historisnya (apakah Anakronistik atau tidak).
Adapun upaya pengambilan data fonetik dari Naskah Ramayana Valmiki adalah untuk menunjukkan bahwa khazanah pengetahuan India telah mengetahui secara teoretik dan akademik bahwa Yava dan Yavaka adalah dua identifikasi yang berbeda. Dan meskipun Prasasti Canggal yang bersifat Epigrafi dengan demikian secara usia akan jauh lebih tua dari usia Naskah Ramayana yang bersifat Filologi, namun demikian dasar pengetahuan dan pewarisan budaya lisan (Oral) yang merentang meneratasi tradisi Epigrafi dan Filologi tentu saja tetap harus menjadi bahan pertimbangan yang bijaksana pula. Bahwa dimana tradisi Siwa di Pulau Jawa juga tentu saja akan menjadi pewaris tradisi dan memegang memori kolektif kesadaran riwayat leluhurnya yang merentang jauh hingga ke Anak Benua India. Maka tradisi dengan demikian, Sanjaya tentu saja dapat diandaikan telah memahami dan mewarisi tradisi pengetahuan akademik dan teoretik dari Anak Benua India (dan termasuk dugaan kontak kebudayaan yang masih berlangsung antara Nusantara dan India pada hingga masa tersebut). Masalah yang muncul dengan demikian adalah dimana kata Yavaka kemudian bergeser menjadi kata Yava saja.
Terlepas dari Yavaka yang berubah menjadi Yava, maka Yava dengan Konsonan Y adalah masih berbunyi bahasa Sanskrit. Bunyi Konsonan Y yang terdapat dalam Prasasti Canggal (Mataram) 654 Caka kemudian berubah menjadi Konsonan J pada Prasasti Kota Kapur (Sriwijaya) 686 Caka yang lebih dipengaruhi logat bahasa Prakrit (Pali). Yavaka-dvipa versi Prasasti Canggal kini berubah menjadi Bhumi Java (namun demikian Konsonan V belum berubah menjadi W). Soal pergeseran Konsonan Y menjadi J pada kedua prasasti tersebut dikemukakan juga oleh Waruno Mahdi (Fritz-Haber-Institut,Berlin,Germany) dalam tulisan jurnalnya berjudul In search of an historical Sea-People
Malay dialect with -aba-.
Sementara itu, Konsonan V akan berubah sebagaimana umumnya ditemui dalam bahasa-bahasa Nusantara menjadi W (atau kadang B) pada periode kemudian. Maka jadilah kata Yava tersebut kemudian menjadi Java, dan kemudian hari menjadi Jawa.
Selain diperngaruhi pergeseran dari bahasa Sanskrit menuju bahasa Prakrit, Konsonan J dipengaruhi juga oleh transliterasi periode kolonial Belanda menuju periode kolonial Inggris. Apabila Belanda menulis Konsonan J untuk dibaca Y, maka Inggris menulis J untuk dibaca J. Sementara Konsonan W kemungkinan besar bergeser seiring dengan hadirnya arus pelafalan Arab yang pada umumnya mengucapkan V menjadi W pada trend periode Islam.
Perbedaan Yava dan Yavaka dalam literatur India memiliki implikasi yang tidak sederhana. Yava adalah berarti Barley (yang diterjemahkan dalam kamus bahasa Indonesia sebagai Jelai [harus ditinjau ulang akurasi dan kemudahan imajinasinya), sementara Yavaka adalah berarti yang seperti Barley, dengan kata lain Yavaka adalah Sali atau Sari atau Sri atau Vrihi (barangkali berubah jadi Pare dengan Ha yang hilang) yang berarti Paddy (Padi).
Maka dengan demikian, Yava-dvipa akan berarti Pulau Jelai sementara Yavaka-dvipa akan berarti Pulau Padi. Dan Sanjaya telah menamai dan atau meneruskan aspek penamaan (toponimi) Pulau Jawa tersebut, tentu saja dengan melalui kesadaran dan aspek penguasaan pengetahuan dan juga pengamatan lapangan yang baik. Dengaan demikian aspek penamaan Yavaka-dvipa (Pulau Padi) kemudian akan menjadi kohern dengan tradisi Dewi Sri yang menenpati kedudukannya yang penting dalam tata nilai budaya pertanian Pulau Jawa; jika dibandingkan harus bernama Yava-dvipa yang berarti Pulau Jelai (Barley). (Prasasti Canggal dalam Vespreide Geschriften Prof. H. Kern)
Daftar Rujukan:
- Vespreide Geschriften van PROF. DR. H. KERN, Zevende Deel, Inscripties van Den Indischen Archipel, Slot, De Nagarakrtagama, Eerste Gedeelte, S-GRAVENHAGE
MARTINUS NIJHOFF, (PDF) - In search of an historical Sea-People
Malay dialect with -aba- by Waruno Mahdi (Fritz-Haber-Institut,Berlin,Germany), Part 2 Sound Change, Austronesian historical
linguistics and culture history:
a festschrift for Robert Blust,
Edited by
Alexander Adelaar and Andrew Pawley, Pacific Linguistics
Research School of Pacific and Asian Studies The Australian National University, 2009. (PDF) - Ramayana by Valmiki, Kishkindha Kanda, Sarga 39, Shloka 28 and Shloka 29. (Online). https://sanskritdocuments.org/mirrors/ramayana/valmiki.htm
- Entri kata Yavaka and Yava dalam kolektif books, articles, essay’s, Hymns Buddhis, Hinduism, Jainism (Online). https://sanskritdocuments.org

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.