“Nunam vimusta matayas tava mayaya te.
Ye tvam bhavapyaya vimoksanam anya hetoh.
Arcanti kalpaka tarum kunapopabhogyam.
Icchanti yat sparsajam niraye pi nrnam.” (Srimad Bhagavatam, 4.9.9)
Dalam Journal of Southeast Asian Studies (Singapura, 2011); Robert Wessing yang merupakan purnabakti dosen dari Universitas Leiden (Belanda) membuat tulisan dengan judul: “Tarumanagara: What’s in a name? (Tarumanagara: Apakah makna di dalam namanya?)”
Di dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa gagasan yang menghubungkan nama pohon Tarum dengan nama kerajaan Tarumanagara dan juga nama pohon Tarum dengan nama Ci Tarum berasal dari pendapat N.J. Krom dalam “Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1931).
Sementara itu, pendapat N.J. Krom sendiri bukannya tanpa alasan; melainkan didasarkan atas pendapat dan hasil observasi C.M. Pleyte. Dan pada gilirannya, pendapat N.J. Krom tersebut mendapatkan dukungan penuh dari Willemine Fruin-Mees. Namun demikian, menurut Robert Wessing; pendapat demikian masih bersifat lemah karena tidak dibangun di atas sokongan data yang lebih memadai.
Apabila Willemine Fruin-Mess menerima penuh gagasan N.J. Krom, maka lain halnya dengan Hermanus de Graaf. Hermanus de Graaf tidak bisa membantah bahwa pohon Tarum dan tradisinya pernah mengakar di wilayah Jawa Barat, namun demikian dia masih memikirkan apakah budaya pohon Tarum tersebut berpijak hingga masa Tarumanagara? Sementara itu, tidak ada dukungan data yang secara khusus menyatakan kebenaran mutlak argumentasi tersebut. Misalnya saja tidak didapatinya pernyataan lugas melalui inskripsi-inskripsi internal Tarumanagara, maupun sumber berita eksternal China; bahwa pohon Tarum merupakan salah-satu komoditas penting dari kerajaan Tarumanagara.
Dalam konteks seperti demikian, Robert Wessing menawarkan alternatif jawaban dimana dia menduga bahwa istilah Tarum pada kata Tarumanagara sesungguhnya merupakan trend yang berorientasi India. Dia bukan berasal dari tradisi bahasa Sunda, melainkan berasal dari bahasa Tamil yang berkembang di kawasan India Selatan.
Di India Selatan, menurut Robert Wessing yakni di daerah Cholapuram pernah ditemukan sebuah inskripsi dimana didalamnya disebutkan bahwa wilayah tersebut pada masa lalu bernama Tarumapuram. Dalam pandangan Robert Wessing, kata Taruma dalam bahasa Tamil merupakan sebentuk distorsi dari kata Dharma dalam bahasa Sanskrit.
Dalam memperkuat pendapatnya, Robert Wessing menunjukkan bahwa dalam kamus bahasa Sanskrit yang dikarang oleh Monier William yang merupakan kamus rujukan utama dalam bahasa Sanskrit tidak didapatinya daftar kata yang memuat daftar kata Taruma.
Selain C.M. Pleyte, N.J. Krom, dan Willemine Fruin-Mees yang sebagaimana diutarakan oleh Robert Wessing; terdapat juga tokoh Indologi dan Guru Besar dalam bidang bahasa Sanskrit dari Universitas Utrech (Belanda) yang juga mendukung gagasan serupa demikian, yakni J. Gonda.
Apabila C.M. Pleyte, N.J. Krom, Willemine Fruin-Mees, dan J. Gonda membangun pendapatnya di atas dasar kajian nama-nama tempat (Toponimi). Misalnya dalam skema bahwa terdapat suatu jenis pohon penghasil warna biru yang dalam bahasa Sunda disebut dengan nama pohon Tarum.
Nama pohon Tarum tersebut menginspirasi penamaan sungai terbesar di Tatar Sunda yakni Ci Tarum dan juga aspek penamaan kerajaan tertua di Tatar Sunda yakni kerajaan Tarumanagara. Nama sungai dinamai Ci Tarum dikarenakan pada sungai tersebut banyak didapati pohon Tarum.
Dan nama kerajaan dinamai Tarumanagara karena kerajaan tersebut memperoleh devisa dari proses perdagangan komoditas olahan pohon Tarum yang dihasilkannya. Terlebih lagi, kerajaan tersebut didirikan di tepi muara sungai Ci Tarum tersebut.
Jika ditemui nama-nama tempat seperti Pataruman atau Patroman, maka secara tradisi lisan dalam khazanah pengetahuan lokal masyarakat Sunda maka artinya tempat pengolahan pohon Tarum.
Sementara itu, Robert Wessing mencoba membangun pendapatnya di atas dasar pembuktian dokumen tertulis (Epigrafi).
Dasar pengkajian Toponimi yang yang bersifat induktif tersebut dalam batas tertentu dapat menunjukkan nilai kebenaran secara kultural. Sementara dasar pengkajian Dokumen yang bersifat deduktif dapat menjadikannya grand teori yang lebih memadai.
Dengan asumsi dasar bahwa konteks nama seperti Tarumanagara, Mataram, Sriwijaya, Singasari, dan seterusnya adalah suatu pendekatan Toponimi yang cenderung lebih berorientasi India lewat pengaruh masa Hindu-Budha yang dengan demikian membutuhkan pisau analisis bahasa Sankrit dan bukannya bahasa lokal dalam hal ini Sunda misalnya.
Pada dasarnya, apa yang juga dikatakan oleh Robert Wessing bahwa Tarumanagara sebagai bahasa Tamil perlu ditafsir dan ditelaah lebih mendalam. Apalagi apabila kata Taruma itu sendiri dianggapnya sebagai bentuk deviasi dari kata Dharma itu sendiri dan bukannya murni bahasa Tamil (keluarga bahasa Dravida).
Alternatif jawaban yang diberikan oleh Robert Wessing tentu saja memiliki nilai penting sebagai sebuah pendekatan yang mencerahkan. Hanya saja, apa yang menjadi kekurangannya adalah; sekedar keluasan dari upaya pencarian data-data pendukung dan proses komparasinya.
Robert Wessing tentu saja telah memahami bahwa Tamil Nadu yang merupakan wilayah Kerajaan Palawa telah memiliki peran penting dalam pengaruhnya terhadap perkembangan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia pada masa lalu, dalam hal ini Kerajaan Tarumanagara.
Hanya saja, proses kelahiran Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 M justru satu masa dengan tahap perkembangan awal Kerajaan Palawa (abad ke-3 M sampai abad ke-6 M) dimana penggunaan bahasa Prakrit dan Sanskrit (keluarga bahasa Indo-Arya) masih kuat digunakan. Dan baru pada abad ke-7 M sampai abad ke-10 M penggunaan bahasa Tamil digunakan di Kerajaan Palawa. Maka dengan demikian, nama Tarumanagara secara kronologi batal untuk bisa dikatakan suatu pengaruh dari kosa-kata berbahasa Tamil.
Dan lagi, benar sebagaimana pendapat Robert Wessing; bahasa Tamil dalam hal ini adalah proses dimana bahasa Sanskrit mulai mengalami adaptasi terhadap bahasa Tamil yang bersifat lokal (non Indo-Arya). Dimana sering terjadi kosa-kata Sanskrit mengalami distorsi dalam hal dialek dan pengucapannya dan bukan berarti bahasa Prakrit dan Sanskrit sama sekali menghilang dan tergantikan bahasa Tamil murni.
Namun demikian, benarkah kata Taruma merupakan bentuk distorsi dari kata Dharma? Sayangnya, pada kamus Sanskrit yang dibuat oleh Monier William memang tidak termuat daftar kata Taruma. Tapi pada prinsipnya, Monier William menerapkan kajian Filologi terhadap entri-entri kata yang dimasukkannya. Apa yang menjadi rujukkan prosedurnya adalah terhadap perkembangan kata yang terdapat dalam kitab-kitab kesusasteraan kuno itu sendiri, seperti Weda, Purana, Itihasa, dan seterusnya.
Apa yang tidak termuat dalam kamus Sanskrit Monier William sesungguhnya masih terekam kehadirannya dalam kitab Purana yang berjudul Srimad Bhagawata sebagaimana yang telah penulis kutipkan pada awal tulisan. Adapun terjemahan kalimat dalam Srimad Bhagawata tersebut adalah sebagaimana berikut ini:
“Seseorang yang menyembah Engkau dengan tujuan sederhana yakni berdoa hanya untuk mendapatkan perolehan jasmaniyah (kebendaan) belaka, tentu saja telah terjebak oleh kekuatan ilusinya sendiri.
Meskipun demikian Engkau sesungguhnya, yang bagaikan pohon harapan (kalpaka tarum) dan penyebab dari bebasnya ikatan kelahiran dan kematian, dan kebodohan seseorang, sebagaimana aku, yang memanjatkan doa pengharapan kepada Engkau hanya untuk mendapatkan perolehan jasmaniah (kebendaan) belaka, yang hadir bahkan untuk seseorang yang hidup dalam keadaan jahat sekalipun. (Srimad Bhagawata, 4.9.9; diterjemahkan oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana)
Dalam Srimad Bhagawata 4.9.9. tersebut kita berhasil memperoleh rangkaian kata “Kalpaka Tarum”. Kalpaka yang berasal dari kata Kalpa artinya Harapan, sementara kata Tarum yang berasal dari kata Taru artinya Pohon. Sehingga Kalpaka Tarum, atau sebagaimana yang umumnya masyarakat kita dengar sebagai Kalpa Taru (nama piala dan penghargaan bagi pelestari lingkungan di Indonesia) artinya Pohon Harapan.
Dengan demikian kita mengetahui kemungkinan kerangka dasar yang baru, bahwa seharusnya Robert Wessing bukan sekedar mencari daftar kata Taruma melainkan juga entri kata Taru; dimana kata Taru tersebut menjadi kata dasar bagi pembentukkan kata Tarum dan atau Taruma. Dengan demikian terbantahkan juga bahwa kata Taruma bukannya tidak ada dalam kamus Monier William, melainkan tidak merujuk dengan menggunakan kata dasarnya.
Dengan demikian kita mengetahui bahwa kata Taruma bukanlah bentuk distorsi dari kata Dharma, melainkan keduanya adalah kata-kata Sanskrit yang masing-masing ada secara berlainan. Tarumanagara dengan demikian bukanlah pengaruh dari bahasa Tamil dimana seharusnya dalam bahasa Sanskrit berbunyi Dharmanagara yang berarti Negeri Kebenaran; melainkan memang telah dipertimbangkan kenyataannya pada masa lalu sebagai Tarumanagara itu sendiri, yang berarti Negeri Pohon atau Negeri Pepohonan.
Dengan demikian, pada titik mana dan sejak kapan kata Taru yang berkembang menjadi kata Tarum dan kata Taruma yang semula generik sekedar berarti pohon secara literal dan filosofis dalam bahasa Sanskrit; kemudian berkembang maknanya secara kultural dan tradisional menjadi pohon yang jauh lebih spesifik sebagai identik dengan pohon penghasil warna biru (Sanskrit: Nila; Inggris: Indigo)?
Barangkali, pendekatan teorinya adalah; sebagaimana halnya yang terjadi pada perkembangan bahasa Sanskrit di Tamil Nadu, maka perkembangan bahasa Sanskrit di Tatar Sunda juga kurang-lebih mengalami hal yang sama. Bahwa perkembangan dan citarasanya seiring waktu menjadi terlokalkan. Bukan hanya kata Tarum atau Taruma yang mengalami pergeseran tersebut, bukankah juga dengan kata Kalpa yang berarti Harapan telah bergeser maknanya lebih kongkrit dan spesifik menjadi (pohon) Kalapa?
Sehingga ketika masuk ke dalam kajian Toponimi, penting untuk kita memilah terlebih dahulu kemungkinannya. Apakah yang menjadi telahnya merupakan kosa-kata murni bahasa Sunda yang menginduk pada rumpun bahasa Austronesia ataukah kosa-kata dari bahasa Sanskrit yang telah terinternalisasika ke dalam bahasa Sunda yang sesungguhnya berasal dari rumpun bahasa Indo-Arya.
Dalam hal ini, bisa jadi konsekuensinya menjadi terbalik. Bahwa nama kerajaan Tarumanagara mempengaruhi aspek penamaan sungai Ci Tarum dimana di muara sungai tersebut letak kerajaan Tarumanagara didirikan. Dan bisa jadi di suatu tahap perkembangan tertentu secara spekulatif, nama Tarumanagara dan nama Ci Tarum menjadi identik dengan pepohonan yang menghasilkan zat pewarna alam biru.
Dalam Encyclopaedia Britannica terkait daftar kata Tarumanegara dikatakan “… The main product of the kingdom was indigo; …” (komoditas utama dari kerajaan tersebut adalah tarum). Mungkin pijakan gagasan yang berasal dari C.M. Pleyte, N.J. Krom, Willemine Fruin-Mees, dan J. Gonda telah mengakar secara mapan hingga menjadi rujukan dan tafsir tunggal dimana pengaruhnya sampai juga pada Encyclopaedia Britannica demikian. Namun demikian, mereka sendiri menghasilkan pendapat yang beralasan yang merujuk pada hasil observasi yang berkembang dalam memori kolektif masyarakat Sunda yang berkembang secara oral, tradisional, dan kultural. Tentu saja bagaimanaupun juga ada suatu dasar yang pada saat ini belum menemukan titik pertemuannya.
Terlepas dari konteks filosofi dibalik nama kerajaan Tarumanagara sendiri yang lebih bersifat teori kebenaran, bagaimanapun juga alahngkah pentingnya bagi kita juga dapat mempelajari bagaimana kemungkinan-kemungkinan sejarah pembudidayaan tumbuhan tarum atau nila atau indigo tersebut di usahakan di Indonesia. Bisa jadi, sebelum memasuki masa kolonialisme; upaya pengebunan tarum telah diupayakan dasar-dasar pijakannya sejak masa kuno itu sendiri. Dengan demikian, pekerjaan rumah untuk membuka dokumen tertulis atau naskah-naskah kuno di Indonesia penting untuk dilakukan untuk menakar kemungkinan-kemungkinan dari kerangka Toponimi yang secara kultural telah diyakini masyarakat Sunda secara turun-temurun dan bergenerasi-generasi dapat dibuktikan kebenarannya. (Gelar Taufiq Kusumawardhana/Varman Institute)
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.