(I) MENENGOK KATA JATI DALAM KAMUS UMUM BAHASA INDONESIA DAN KAMUS UMUM BAHASA SUNDA

Dalam Rangka Menjawab Apakah Pengertian Kata JATI SUNDA Yang Terdapat Dalam Konteks Naskah Sunda Kuno CARITA PARAHYANGAN Bermakna Agama Sunda Ataukah Bukan Bermakna Agama Sunda

“XXI

Prebu Ratudewata, inya nu surup ka Sawah Tampian Dalem. Lumaku ngaraja-resi. Tapa pwah susu. Sumbelehan niat tinja bresih suci wasah. Disunat ka tukangna, JATI SUNDA teka. (Naskah Carita Parahyangan)

Prabu Ratudewata, enya eta nu hilang ka Sawah Tampian Dalem. Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tapa Pwah Susu. Disunatan, maksudna supaya beresih, suci tina kokotor ari dikumbah, disunat ku tukangna, PITUIN SUNDA eta teh” (Terjemahan Sunda Baru oleh Atja (1998))

Prabu Ratudewata, iya itu yang tenggelam ke Sawah Tampian Dalem. Berlaku sebagai Raja-Resi. Tapa Puah Susu. Sembelihan niat kotoran bersih suci tercuci. Dikhitan ke tukangnya, ORANG SUNDA sejati. (Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana)

Mari kita menengok kata “Jati” dan pengertiannya yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia:

“JATI I (SEJATI): Yang sebenarnya (tulen, asli, murni, tidak lancung, tidak bercampur); misal bangsa MELAYU JATI (SEJATI); WANITA SEJATI.

JATI II : Nama pohon, kayunya baik untuk bahan rumah, meja, kursi, dan sebagainya, Tectonia grandis LINN; HUTAN JATI, hutan yang ditanami pohon jati.”

(KAMUS UMUM BAHASA INDONESIA Susunan W.J.S. POERWADARMINTA. Diolah kembali oleh: PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. PN BALAI PUSTAKA. JAKARTA 1976 M. Halaman 405)

Kamus Umum Bahasa Indonesia tersebut adalah kamus yang merekam entri kata dan pengertiannya yang berlaku sebagaimana dengan apa yang dapat dipahami dan berlaku dalam komunikasi keseharian masyarakat penggunanya pada abad ke-20 M (1974 ).

Dengan sangat jelas dapat diketahui bahwa pengertian jati merujuk pada dua pengertian.

Pertama, jati adalah sinonim dengan kata sejati yang artinya benar, sungguh, tulen, asli, dan murni. Sehingga dengan demikian kata jati berlawanan dengan kata salah, palsu, buatan, pendatang, campuran.

Kedua, jati merujuk pada pohon yang dalam identifikasi dan klasifikasi ilmiah (Taksonomi) Botani oleh Carolus Linnaeus disebut dengan nama ilmiah Tectonia grandis LINN. Jati adalah vernacular name (nama daerah) dalam bahasa Sunda, Tectonia grandis LINN adalah scientific name (nama ilmiah) dengan menggunakan kode rakitan bahasa Latin, sementara dalam international name (nama internasional) dalam pergaulan pasar internasional berbahasa Inggris disebut dengan nama Teak. Sementara itu kata Teak yang digunakan dalam bahasa Inggris sesungguhnya hasil meminjam dari bahasa Malayalam, yakni Thekku (തേക്ക്).

Bahasa Malayalam pada saat ini terutama digunakan sebagai bahasa resmi di Negara Bagian Kerala (India), di kawasan Barat Daya pantai Malabar. Mengenai status bahasa Malayalam tersebut para ahli taksonomi bahasa secara baku memasukkannya ke dalam induk bahasa Tamil-Malayalam. Dimana Tamil-Malayalam menginduk pada bahasa Tamil-Kannada. Dan Tamil-Kannada pada gilirannya menginduk pada rumpun bahasa Dravida Selatan dan rumpun bahasa Dravida. Jadi secara baku, bahasa Malayalam dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Dravida bukan pada rumpun bahasa Indo-Arya.

Namun demikian para ahli sekaligus juga mengakui, bahwa pengelompokkan yang cenderung sederhana (simplistis) tersebut tidak bisa menafikkan bahwa pembentukkan bahasa Malayalam sangat besar dipengaruhi oleh penetrasi bahasa Indo-Arya itu sendiri. Para pakar setempat mengakui bahwa bahasa Malayalam pada hakikatnya adalah bahasa percampuran dimana bahasa Dravida (Tamil, Kannada, Malayalam) telah bertemu dengan bahasa Indo-Arya (Prakrit dan Sanskrit) yang kemudian biasa disebut Manipravalam (yang diulas dalam naskah abad ke-14 M, naskah Leelatilakam).

Demikian juga dengan status aksaranya, aksara Malayalam yang biasa disebut juga aksara Vattezuthu (melingkar) dalam bahasa setempat; berakar dari aksara Grantha, dimana aksara Grantha itu sendiri pada gilirannya menginduk pada aksara Pallava dan aksara Pallava menginduk pada aksara Brahmi; sementara aksara Brahmi menginduk pada aksara Aram. Dengan analisa demikian kita bisa tetap menjaga daya kritis secara akademik untuk melihat kemungkinan bahwa kata-kata dalam bahasa Malayalam bisa saja justru datang dari bahasa Sanskrit dan bahasa Prakrit karena pengaruhnya dapat diandaikan jauh lebih besar dari pada rumpun Dravida itu sendiri, yang telah masuk secara massif setidaknya sejak abad ke-4 M atau 5 M; hingga puncaknya pada masa kekuasaan Kerajaan Palawa di kawasan India Selatan tersebut, yakni kawasan Tamil Nadu pada abad ke-6 M hingga ke 9 M; dimana Negara Bagian Kerala pada saat ini yang berada di kawasan Barat Laut Malabar juga pernah menjadi bagian yang terintegrasi ke dalamnya. Namun demikian jika mempertimbangkan masa Kerajaan Jambudiva atau Prativi sejak abad ke-3 SM maka melalui bukti-bukti inskripsi Ashokavardhana maka bahasa Prakrit (dimana bahsa Sanskrit belum digunakan dan belum terbentuk pada masa ini) bersama bahasa Yunani dan bahasa Aram telah jauh-jauh hari masuk secara bertahap di India.

Melalui dua pengertian dalam bahasa Indonesia yang menginduk dari bahasa Melayu tersebut kita dapat mengetahui bahwa kata jati jika merujuk sebagai kata benda (noun) dia berarti pohon Jati. Namun demikian kata jati juga merujuk pada fungsinya sebagai kata sifat atau kata keterangan (adjective) dimana dia menyatakan suatu nilai atau kualitas yang baik, yang benar, yang sesungguhnya, yang tulen, yang asli, dan yang murni. Pada prinsipnya kata sifat ini lah yang secara logika menjadi dasar bagi penamaan kata benda pohon Jati, karena pada diri pohon tersebut terpenuhi kualitas nilai dan persifatan yang ada yang bersifat sejati.

Sekarang mari kita menengok kata jati dan pengertiannya yang berkembang dalam bahasa Sunda:

“JATI, 1. Ngaran tangkal anu kaina teuas, kuat sarta alus pisan (kai kelas hiji); JATI WALANDA, tangkal angsret, kungsi ilahar dipelak di sisi jalan, kembangna nu kuncup keneh upama dipocel tungtungna tuluy dipencet bijil cai nyereleng kawas tina angsret; JATI KASILIH KU JUNTI, paribasa menak kaelehkeun ku somah atawa pribumi kasedekkeun kahirupanana ku semah (urang asing); BURUK BURUK PAPAN JATI, babasan sanajan boga dosa dina seuhseuhanana mah ka baraya (ka dulur) moal tega ngantep upama aya karerepetna; PIRING JATI DULANG SEAH (JAHAS), bangbalikan anu maksudna waas; 2. Asal: MULIH KA JATI MULANG KA ASAL, maot asal ti Allah mulang ka Allah; 3. Estu, Pilihan: ISTRI SAJATI, JATINING SOBAT.”

(KAMUS UMUM BASA SUNDA Disusun ku PANITIA KAMUS LEMBAGA BASA JEUNG SASTRA SUNDA. Penerbit TARATE BANDUNG 1981. Halaman 190. Rengrengan Panita LBSS: I.R. Momon Wirakusumah, R.I. Adiwidjaja, I.B. Djajawiguna, M.A. Salmun, R.H. Moh. Koerdie, Drs. R.M. Atmamihardja, Patah Nataprawira, M.O. Koesman, Epe Sjafei Adisastra BA, Koswara Sumbiratmulyana BA, Maman Sumantri BA.)

Jika Kamus Umum Bahasa Indonesia yang digunakan cetakan tahun 1976 M, maka Kamus Umum Basa Sunda yang digunakan cetakan tahun 1981 M. Perbedaan usia kamus tersebut terpaut 5 tahun saja, relatif satu masa dan terbit dari abad yang sama yakni abad ke-20 M.

Melalui pembacaan pada Kamus Umum Basa Sunda tersebut, kita dapat mengetahui makna leksikal jati dalam keseharian komunikasi masyarakat Sunda abad ke-20 M tersebut.

Pertama, merujuk pada “Ngaran tangkal anu kaina teuas, kuat sarta alus pisan (kai kelas hiji)” (Artinya: Nama pohon dimana kayunya keras, kuat, serta bagus sekali (kayu kelas satu)).

Dengan demikian dapat diduga dengan kuat bahwa pengertian jati pada konteks pertama dalam bahasa Sunda tersebut sama dengan pengertian jati pada konteks kedua dalam bahasa Indonesia, yakni yang memiliki scientific name (nama ilmiah) Tectonia grandis LINN dan yang memiliki international name (nama internasional) Teak yang pada gilirannya berasal dari bahasa Malayalam Thekku.

Dari pengertian pohon jati yang memiliki kualitas nomor satu dengan cirinya yang kuat, keras, dan bagus sekali maka muncul peribahasa-peribahasa yang dibuat perdasarkan peminjaman dan penggeseran pengertian tersebut yang semula dari Tectonia grandis LINN ke dalam benda-benda dan permajasan lainnya antara lain:

JATI WALANDA, tangkal angsret, kungsi ilahar dipelak di sisi jalan, kembangna nu kuncup keneh upama dipocel tungtungna tuluy dipencet bijil cai nyereleng kawas tina angsret (Artinya: JATI BELANDA, pohon Angsret, pernah biasa ditanam di pinggir jalan, bunganya yang masih kuncup kalau dipocel ujungnya lalu dipijit keluar air mengalir seperti dari angsret).

JATI WALANDA dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan nama JATI BELANDA yang secara umum dipahami masyarakat sebagai kayu yang telah diolah yang biasa digunakan sebagai peti kemas (palet) atau benda-benda furnitur. Semula jenis kayu tersebut biasa digunakan oleh orang-orang Belanda dalam kegiatan pengapalan barang-barang dari Nusantara ke Eropa. Dalam pengertian khazanah bahasa Indonesia, JATI BELANDA sebenarnya adalah kayu Pinus (Pinus sylvestris LINN).

Asal-usul pohon yang dalam bahasa Inggris biasa dikenal dengan Pine Tree (Pohon Resin/Getah) itu sendiri sebenarnya memang berasal dari belahan dunia dengan iklim yang dingin (northern hemisphere) dimana daun-daun pohon beradaptasi menjadi serupa bentuk jarum yang runcing. JATI BELANDA sebagai pohon Pinus merupakan pengertian yang umum diterima, bukan saja di dalam khazanah umum berbahasa Melayu (Indonesia); juga dalam khazanah berbahasa Sunda dan berbahasa Jawa. Maka dengan demikian JATI WALANDA, JATI LONDO, atau JATI BELANDA berarti kayu yang dibuat dari pohon Pinus.

Namun demikian di dalam entri kamus Kamus Umum Basa Sunda tersebut tampaknya sedikit berlainan denngan makna umum uang beredar di masyarakat, yang dirujuk dalam kamus tersebut bukanlah pohon Pinus melainkan pohon Angsret. Ketika dikejar dalam kamus tersebut apakah jenis pohon Angsret tersebut, namun demikian jawabannya tidak ada dalam entri. Hanya saja ada kata yang dapat membantu dalam arah analisa selanjutnya, yakini terdapat pengertian dasar dari “Angsret” itu sendiri berupa entri kata yakni “… Parabot paranti ngecretkeun barang encer saperti minyak seungit, oli, D.D.T., cai, jeung saterusna” (perlengkapan yang digunakan untuk mengecratkan benda cair seperti minyak wangi, oli, D.D.T., air, dan seterusnya).

Angsret dengan demikian terkait kata kerja (verb) Cret (kerja air terciprat); dimana kata Angsret merupakan bentuk kata perubahannya sebagai wujud kata kata benda (noun) berupa wadah yang digunakan untuk “ngecretkeun” (mencipratkan air), barangkali dengan cara dipompa karena di dalamnya mengandung udara. Jika demikian pengertiannya, bisa jadi variasi fonetik dari kata “tangkal Angsret” sesungguhnya adalah “tangkal Ki Acret” yang jauh lebih dipahami masyarakat luas (di dalam kamus tersebut tidak didapati entri katanya), yakni pohon kayu keras tinggi, besar, bercabang, dan memiliki bunga yang besar dan indah berwarna merah. Bentuk bunganya relatif cenderung kuncup yang bisa jadi jika disentuh dapat mencipratkan air karena pecah.

Baik pohon Pinus yang didatangkan dari Eropa Utara maupun pohon Ki Acret yang memiliki nama ilmiah Spathodea campanulata P. Beauv. dengan nama pergaulan berbahasa Inggris sebagai African Tulip Tree yang didatangkan dari kawasan hutan hujan tropis Afrika oleh kolonial Hindia-Belanda (orang Belanda), tentu saja memiliki kualitas kayu yang baik seperti pohon Jati atau mendekati kualitas pohon Jati; namun demikian tentu saja dia bukan pohon Jati yang sesungguhnya.

JATI KASILIH KU JUNTI, paribasa menak kaelehkeun ku somah atawa pribumi kasedekkeun kahirupanana ku semah (urang asing), (JATI TERGANTI OLEH JUNTI, peribahasa ningrat terkalahkan oleh rakyat atau pribumi terdesakkan kehidupannya oleh pendatang (orang asing)).

Pohon Jati telah diutarakan sebelumnya sesungguhnya adalah pohon yang memiliki persebaran yang luas seperti disebutkan ada di India Selatan dan juga termasuk ada di Pulau Jawa. Sehingga dengan demikian pohon Jati bukan pohon yang baru diintrodusir oleh kolonial Hindia-Belanda sebagaimana pohon Pinus dan pohon Ki Acret. Demikian juga dengan Junti yang memiliki nama lain Sempur (Dillenia indica LINN.) juga memiliki sebaran yang luas termasuk hingga ke Pulau Jawa. Maka sebagaimana pohon Jati, pohon Junti juga tidak diintrodusir secara baru oleh kolonial Hindia-Belanda. Apa yang membuat Jati dan Junti berbeda dengan demikian bukan soal asal-usulnya melainkan adalah soal kualitasnya, dimana Junti meskipun biasa digunakan untuk berbagai keperlaun bahan pembuatan furniture juga hanya saja memiliki daya tahan yang lebih rendah terhadap jamur dan rayap sehingga lebih cepat mengalami kerusakan.

JATI KASILIH KU JUNTI dengan demikian bukan sekedar Menak yang terkalahkan Somah atau Pribumi terdesak Semah, jika melihat kasus nyata dengan merujuk ilustrasi pohonnya; maka kita akan mengetahui bahwa JATI KASILIH KU JUNTI lebih mengilustrasikan dengan apa-apa yang dinilai memiliki kualitas dan kapasitas yang jauh lebih baik secara kompetitif namun dalam suatu kasus yang menjadi anomali, malah pada kenyataannya terkalahkan atau terdesak oleh apa-apa yang memiliki kualitas dan kapasitas yang lebih rendah secara kompetitif karena sebab-sebab tertentu yang tidak bersifat alamiah. Dan apa-apa yang tidak alamiah, atau melanggar hukum alam tersebut akan membuatnya menjadi sesuatu hal yang terlihat paradoks dan menyedihakan. Menak dan Pribumi dalam hal ini berarti mewakili kualitas dan kapasitas peran yang baik, sementara Somah dan Semah mewakili kualitas dan kapasitas peran yang tidak baik; tentu saja maksudnya jika melibas atau menggeser kedudukan yang melanggar kualitas dan kapasitas yang semestinya; yang berdampak pada rusaknya tatanan kemasyarakatan yang baik.

BURUK BURUK PAPAN JATI, babasan sanajan boga dosa dina seuhseuhanana mah ka baraya (ka dulur) moal tega ngantep upama aya karerepetna (LAPUK LAPUK PAPAN JATI, peribahasa meskipun memiliki kesalahan pada kenyataannya kepada sanak (kepada saudara) tidak akan tega membiarkan seandainya ada kesulitannya).

Buruk dalam bahasa Sunda artinya lapuk dalam bahasa Indonesia. Meskipun jati pada dasarnya adalah kayu yang baik, namun tidak berarti tidak akan mengalami pelapukan oleh jamur atau oleh rayap atau oleh cuaca yang melanda seiring waktu. Hanya saja kayu jati tersebut sangat tahan lama bukan hanya memakan waktu satu dua tahun atau sepuluh dua puluh tahun melainkan hingga ratusan tahun.

Kayu jati meskipun demikian ada saja bidang kerusakannya, misalnya saja pada suatu serat bekas tonjolan percabangan kayu tertentu yang oleh karenanya lebih cepat melapuk dan berlubang. Kerusakan kecil tersebut biasanya secara umum tidak membuatnya menjadi rusak secara keseluruhan, melainkan hanya kerusakan kecil yang tidak berarti dan tidak merambat dan bahkan tidak menghambat keindahannya. Tidak ada alasan karena kerusakan yang tidak berarti pada suatu bidang kayu jati, atau pada suatu bidang furnitur kayu jati; menjadikannya harus dibuang.

Demikian ilustrasi dimana begitu sayangnya perasaan kekeluargaan yang mengikat hati manusia, sehingga ketika sanak saudara kita melakukan suatu kesalahan sekalipun; pada kenyataannya adalah sikap yang manusiawi bagi setiap manusia untuk tetap membelanya.

PIRING JATI DULANG SEAH (JAHAS), bangbalikan anu maksudna waas (PIRING JATI DULANG SEAH (JAHAS), peribahasa yang menyatakan terkenang).

Pada masa dahulu piring biasa dibuat dari kayu, demikian juga dulang yang biasa digunakan untuk melikatkan (ngakeul) nasi setelah dinanak (nyangu) juga terbuat dari kayu. Piring jati berarti piring atau nampan untuk makan yang dibuat dari bahan kayu jati. Namun demikian sulit untuk mengetahui arti kata Seah atau Jahas dengan pasti apakah suatu jenis pohon kayu tertentu ataukah bukan.

Hanya saja jika merujuk pada kamus Jahas hanya diasosiasikan dengan piring dari kayu tanpa menyebutkan jenisnya. Sementara Seah merupakan suatu bunyi seperti angin atau air yang bergerak. Sehingga sulit untuk memahami dengan pasti makna Seah atau Jahas tersebut, namun demikian sepertinya memang menyatakan suatu identifikasu perbendaharaan nama pohon tertentu hanya saja perlu waktu untuk melacaknya secara lebih khusus.

Namun demikian pada umumnya dulang biasa dibuat dengan bahan dari pohon Bambu yang berdiameter besar, dengan pohon Kelapa, atau yang dianggap paling baik adalah dari bahan pohon kayu Nangka dengan warna yang kemuningan. Sementara kata “waas” adalah perasaan yang sentimentil yang dengan suatu sebab kita menjadi teringat pada masa lalu yang mengesankan dan sekaligus membuat sedih karena waktu-waktu tersebut telah berlalu dan tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Piring dan dulang dari bahan kayu menjadi babasan atau suatu bahasa simbolik atau majas yang menyatakan betapa menjadi terkesaninya perasaan sehingga menjadi menerawang kembali ke dalam masa-masa yang telah berlalu. Meskipun jati merupakan kayu yang terbaik, tapi piring dan dulang telah berkembang seiring waktu menjadi berbahan logam dan berbahan plastik; dan bahkan hari ini dulang dan boboko telah berganti wujud menjadi magic jar. Dengan melihat PIRING JATI DULANG SEAH, perasaan kita menjadi terasa begitu haru dan aneh.

Kedua, merujuk pada “Asal: MULIH KA JATI MULANG KA ASAL, maot asal ti Allah mulang ka Allah (Asal: PULIH KE JATI PULANG KE ASAL).

Pada pengertian pertama di dalam Kamus Umum Bahasa Sunda maka jati merujuk pada nama jenis pohon. Selanjutnya karena kualitas dan kapasitas yang dimiliki pohon jati maka nilai-nilainya menginspirasi majas dan peristilahan lainnya. Jika dibandingkan dengan pengertian Kamus Umum Bahasa Indonesia maka kualitas jati adalah baik, bagus, murni, jernih, kuat, indah, tulen, sejati, asli, asal; tidak jelek, tidak palsu, tidak bercampur, tidak buatan.

Sementara pada pengertian yang kedua pada Kamus Umum Basa Sunda tersebut kata jati mengandung pengertian asal-usul. MULIH KA JATI MULANG KA ASAL, berarti kembali ke asal-usul dimana manusia asalnya tidak ada lalu menjadi tidak ada lagi. Keberadaan manusia menjadi ada karena diciptakan Allah SWT yang sesungguhnya Ada, dan kemudian menjadi tidak ada karena ditiadakan kembali oleh Allah SWT. Keberadaan Allah SWT mutlak, sementara keberadaan manusia nisbi. Keberadaan manusia yang nisbi menjadi modal dasar untuk memahami keberadan Allah SWT yang mutlak. Sehingga dengan demikian jangan berusaha untuk menghilangkan dan memungkiri kenyataan adanya keberadaan kita diri sendiri, sebagai perwujudan rasa syukur atas adanya penciptaan oleh Allah SWT; bahkan dengan dalih pencapaian spiritual dan peng-Esa-an Allah SWT sekalipun. Dan karena keberadaan manusia yang nisbi tersebut dihargai Allah SWT bersama janji-janji yang diberikannya sebagai konsekuensi dari sikap dan perilaku hidup yang telah dijalaninya. Ganjaran terbaik adalah Surga, tapi ganjaran puncak yang tidak terkirakan yang membuat Surga memiliki nilainya adalah janji bahwa bahwa pada suatu hari orang-orang yang menanti dengan rasa bersabar dan menyatakan keimanannya dengan kokoh dan murni, pada akhirnya akan bertemu secara langsung dengan Allah SWT dengan bukti yang nyata dengan mata kepalanya sendiri (Liqo Allah). Ilustrasinya dalam hadits-hadits adalah seperti melihat Matahari di siang hari tanpa tersaput awan kelabu, atau seperti melihat Bulan Purnama di malam hari tanpa tersaput mega hitam; tampak dengan jernih dan jelas dan manusia dengan sangat lapang tidak akan berdesak-desakan untuk bisa melihatnya.

Ketiga, “Estu, Pilihan: ISTRI SAJATI, JATINING SOBAT.” (Estu, Pilihan: ISTERI SEJATI, SEJATINING SAHABAT).

Estu, adalah kepastian. Dalam kamus tersebut estu diartikan pilihan. Estu juga bisa dimaknai suatu kebajikan. Di sini tampak dengan jelas bahwa kata jati berarti sejati, artinya pada hakikatnya, pada hal yang sesungguhnya. Isteri yang sejatinya pada hakikatnya adalah sahabat yang sejati, dan isteri yang sejati adalah teman dalam menemani kehidupan seorang pria. Wanita adalah jati bagi Pria.

Melalui pembacaan kedua kamus tersebut sebenarnya kita dapat menyederhanakannya pada dua pokok utama. Pertama jati adalah kualitas nilai yang baik, yang sejati, yang murni, yang asli, yang benar, yang bagus, yang asal-mula, dan sebagainya. Dan kedua, jati adalah pohon Jati. Pohon Jati menjadi contoh kongkret dimana kualitas yang dinyatakan dengan kata jati tersebut terwakili dalam wujud pohon jati.

Pada entri Kamus Umum Bahasa Sunda tersebut belum ada dan belum ditemukan entri kata Jati Sunda sebagai satu kesatuan kata majemuk yang sepaket, baik disusur melalui pintu masuk entri Jati (entri Jati ada) maupun entri Sunda (entri Sunda ada). Demikian juga korelasinya yang dimana Jati Sunda yang selama ini biasa dianggap gagasan yang bersifat saling dipertukarkan dengan istilah Sunda Wiwitan (dimama kata rangkaian Sunda Wiwitan juga tidak ada), baik ditelusur melalui enteri Sunda (entri Sunda ada) maupun entri Wiwitan (enteri Wiwitan ada). Dimana pada masa kini, Jati Sunda atau Sunda Wiwitan dianggap nama (proper name) sebuah sistem keyakinan yang khas yang dimiliki masyarakat Sunda. Pertanyaannya benarkah Jati Sunda atau Sunda Wiwitan itu merujuk pada pengertiannya sebagai agama? Jika dianggap benar dari mana dasar penalarannya diambil? Dan sejak kapan peristilahan tersebut ada dan diperhubungkan dengan pengertian agama? Saat ini mari kita kerucutkan saja pada studi kasus kecil dalam membaca Naskah Carita Parahyangan secara etimologis, terminologi, dan kemudian menafsirkanmya dalam konteks yang akurat; tanpa bersifat memaksa dan manipulatif.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".