Di Pulau Jawa bagian Timur, Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhannya; maka pada umumnya Kesultanan Demak yang dijadikan kambing hitam untuk dipersalahkannya. Demikian juga di Pulau Jawa bagian Barat, Kerajaan Pajajaran mengalami keruntuhannya; maka pada umumnya Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten yang dijadikan kambing hitam untuk dipersalahkanya.
Pendapat umum yang berkembang demikian tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Apa yang tidak dinilai secara lebih adil adalah dalam situasi seperti apa Kesultanan Demak pada akhirnya meruntuhkan Kerajaan Majapahit? Dan demikian juga dalam sutuasi seperti apa Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten meruntuhkan Kerajaan Pajajaran? Upaya mendudukkan persoalan secara adil dengan mempertimbangkan seting dan konstelasi yang ada menjadi penting untuk dilakukan. Karena suatu peristiwa yang selama ini dianggap parsial itu sesungguhnya memiliki keterhubungan secara holistik antara satu hal dengan hal lainnya.
Pada tulisan ini, tidak akan dihadirkan berbagai data dan fakta yang seharusnya dapat dihadirkan dengan cara yang lebih rapih, lebih tekun, dan lebih disiplin karena membutuhkan persiapan waktu yang lebih khusus lagi (insyaallah pada lain kesempatan). Namun demikian, apa yang ingin disampaikan dalam tulisan ini telah melalui proses mencerna dan mempertimbangkan aspek historis dan konstelasi yang ada. Dan dalam kesempatan yang terbatas ini, penulis hanya ingin memberikan kerangka dasar logika Sejarah yang jauh lebih penting dan krusial untuk disampaikan untuk sementara waktu ini.
Ketika Kerajaan Mahapahit yang legendaris masih berdiri di Pualu Jawa bagian Timur, Demak masih menjadi bagian trintegrasi dari Kerajaan Majapahit secara patuh (Kadipaten Demak). Demikian juga ketika Kerajaan Pajajaran yang legendaris masih berdiri di Pulau Jawa bagian Barat, Cirebon masih menjadi bagian dari Kerajaan Pajajaran secara patuh (Kadipaten Cirebon). Demak dan Cirebon pada masa tersebut tidak melakukan upaya makar dan juga tidak melakukan hambatan perdagangan melalui penguasaannya terhadap pelabuhan-pelabuhan dagang yang dikelolanya. Antara penguasa Demak di Majapahit dan penguasa Cirebon di Pajajaran juga masih terikat dengan tali kekeluargaan yang erat dengan keluarga inti di istana pusat kerajaan-kerajaan tersebut.
Apa yang sesungguhnya terjadi adalah penguasa Majapahit yang bernama Bre Kertabumi atau yang lebih dikenal dalam tradisi lisan masyarakat Jawa sebagai Brawijaya (tepatnya Brawijaya V) yang berkuasa di Wilwatikta kemudian dikudeta oleh Dyah Ranawijaya atau yang dikenal juga dengan nama Girindrawardhana yang berkuasa di Daha (Kediri). Kemudian hari dapat diketahui bahwa Girindrawardhana juga membangun aliansi dengan Portugis yang telah berkuasa di Malaka. Manuver politik dan militer dari Girindrawardhana sebagaimana demikian membuat Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah menyatakan ketidak-sepakatannya. Demak kemudian menundukkan Kediri melalui konfrontasi militer, dimana Kadiri akhirnya kalah dan Raden Fatah memberikan pengampunan kepada Girindrawardhana. Sepertinya konfrontasi militer antara Demak dan Kadiri masih terus berlanjut hingga jatuh total pada masa sultan kedua Kesultanan Demak, Sultan Trenggana. Jadi Demak menyatakan sebagai Kesultanan ketika Majapahit telah runtuh.
Demikian juga dengan apa yang terjadi di Pajajaran, suatu hari dapat diketahui bahwa Prabu Surawisesa yang menggantikan ayahnya, Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja terbukti melakukan perjanjian politik dan militer dengan pihak Portugis. Manuver demikianlah yang memicu penguasa Cirebon Sunan Gunung Jati menyatakan ketidak-sepakatannya. Penguasa-penguasa daerah pecah, kadipaten-kadipaten pecah; dan konfrontasi tidak bisa dihindari sejak masa tersebut. Dalam rentang waktu yang pendek sejak masa pembuatan Perjanjian Sunda-Portugis dengan dibuatnya monumen Padrao di muara Ciliwung pada 21 Agustus 1522 M, Pajajaran kemudian runtuh ditangan Kesultanan Banten pada masa kepemimpinan Sultan Maulana Yusuf. Tampaknya, ultimatum telah diberikan kepada Prabu Nusia Mulya atau Prabu Suryakencana. Kota telah kosong, dan Raja Pajajaran terakhir yang masih terikat kekerabatan telah dibiarkan keluar terlebih dahulu dengan cara yang baik-baik. Dikatan dalam cerita lisan masyarakat Sunda bahwa Prabu Suryakencana kemudian menetap di bahkan di kawasan kaki Gunung Pulosari di kawasan teritorial Kesultanan Banten dan dikenal dengan nama Pucuk Umun Pulosari. Kesultanan Banten kemudian memboyong batu pipih penobatan raja-raja Pajajaran ke Kesultanan Banten dan menyerahkan mahkota raja-raja Pajajaran untuk dikirimkan ke Kesultanan Cirebon atau ke Kadipaten Sumedang Larang bersama putra mahkota yang bernama Ajimantri (putra Suryakencana). Perlu ditegaskan, bahwa diserahkannya mahkota dan perlindungan putra mahkota ke Sumedang Larang bernilai sama dengan diserahkannya ke Cirebon; karena sejak Prabu Geusan Ulun dan sejak Pangeran Santri (Raden Soleh) yang merupakan ayahnya; Sumedang Larang telah berafiliasi dengan Kesultanan Cirebon melalui kawasan Talaga lewat hadirnya Pangeran Pamelekaran (Syeh Muhamad) yang merupakan ayah Pangeran Santri dan Pangeran Panjunan (Syeh Abdurrahman) yang merupakan ayah dari Pangeran Pamelekaran dimana keseluruhannya merupakan rantai silsilah dari keturunan Syeh Nurjati yang merupakan guru dari penguasa Cirebon pertama, Pangeran Walangsungsang atau Cakrabuwana yang merupakan putra dari Prabu Siliwangi. Sejak masa Walangsungsang, Syeh Abdurahman telah mengabdi untuk Cirebon. Dan ketika Sunan Gunung Jati berkuasa, Syeh Abdurahman masih hidup dan Syeh Muhamad juga telah mengabdi untuk Cirebon di kawasan Talaga. Syeh Maulana Muhamad atau Pangeran Pamelekaran adalah orang yang ditugaskan Sultan Syarif Hidayatullah dalam melakukan Islamisasi di Kerajaan Talaga dengan pendekatan seni dan kebudayaan. Pangeran Pamelekaran melakukan praktik da’wah dengan cara menjadi dalang wayang sebagaiman yang diminta oleh Syarif Hidayatullah.
Maka rentetan kehancuran Majapahit dan Pajajaran adalah resiko dari suatu pilihan geo-politik dan kemiliteran, suatu dampak dari keputusan apakah akan membangun aliansi dengan kekuatan baru Portugis yang berlatar Judeo-Christian ataukah dengan kekuatan Pan-Islam yang sesungguhnya sudah sejak jauh-jauh hari hadir dalam rantai pergaulan, baik secara internasional maupun secara regional di Nusantara. Bukankah Samudra-Pasai, Malaka, dan Campa telah berdiri sebagai kesultanan selama ini? Demikian juga Cirebon dan Demak tengah bertumbuh dan juga di kawasan Timur ada Ternate dan Tidore yang juga tengah bertumbuh. Demikian juga Dinasti Ming sejak dari masa Dinasti Yuan telah menerapkan kebijakan politik dan perdagangan (Islamic Grass Roots Polecy) yang bergantung pada kehadiran diaspora masyarakat Arab di pelabuhan-pelabuhan dan menerapkan rute perdagangan laut yang kurang begitu dikuasainya; kecuali jalur klasik darat. Sementara itu dari kawasan anak benua India hingga ujung Afrika Utara layanan perdagangan telah berada dalam rantai perdagangan Islam tanpa ada persoalan yang mengancam hegemoni kerajaan Hindu-Budha (Siwa-Budha) tahap akhir di Nusantara.
Persoalan runtuhnya Majapahit dan Pajajaran harus diletakkan dalam seting yang lebih jelas dan akurat dimana kesultana-kesultanan di India Selatan mulai diruntuhkan aksesnya atas pelabuhan oleh Portugis. Kesultanan Gowa di India jatuh tahun 1510 M, lalu target selanjutnya adalah Kesultanan Malaka 1511 M yang kemudian menyusul jatuh. Kesultanan Samudra-Pasai juga kemudian jatuh pada tahun 1512 M. Sejak keruntuhan Kesultanan Malaka sebagai garda pelabuhan paling Timur, maka pertempuran aliansi Pan-Islam di Nusantara tidak pernah berhenti melawan Portugis. Demak, Cirebon, Banten dibawah Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah kemudian melakukan perlawanan dan konsolidasi ulang; ditambah laskar-laskar sisa dari Samudra-Pasai dan Malaka yang tergeser ke Bintan. Demikian juga Ternate, dan Tidore, dan bahkan kekuatan dari dinasti Ming di Tiongkok. Pertempuran pertama dibawah Laksamana Adipati Unus (Maulana Yunus) dalam dua kali gelombang hingga gugur dan kemudian pertempuran ketiga di bawah Laksamana Faletehan (Fatahilah/Fadilah Khan) yang semula merupakan sisa laskar dari Samudra-Pasai. Di tengah situasi vakum karena kekalahan Adipati Unus, Portugis baru bisa bersandar ke Pulau Jawa itupun hanya untuk sementara; Faletehan kemudian pada tanggal 22 Juni 1527 M secara total mampu meruntuhkan aliansi Portugis dan Sunda yang miskin dicatat dalam berita-berita Portugis. Cirebon lebih dahulu berdiri sebelum Demak. Dan Sunan Gunung Jati dan Raden Fatah sesungguhnya adalah saudara satu ayah, yakni sama-sama putra Syarif Abdullah yang merupakan Sultan Campa dari ibu yang berbeda. Gunung Jati putra Larasantang putra Siliwangi. Sementara Raden Fatah putra Candrawati putra Brawijaya.
Pertempuran meletus bukan semata-mata soal agama; tapi soal bagaiman menyikapi masuknya arus Imperialisme dan Kolonialisasi. Sebagian tergoda dan sebagian tidak sudi dengan masuknya intrik-intrik dan iming-iming penjajahan dibalik jubah perdagangan yang menyembunyikan kekuatan militer. Jadi bagaimana menyikapi Perjanjian Sunda-Portugis seperti demikian adanya? Penulis, dalam hal ini memiliki pendapat yang sama dengan apa yang telah berusaha diikhtiarkan oleh aliansi Cirebon, Demak, Banten, Ternate, Tidore, Palembang, Samudra-Pasai, Malaka, dan Dinasti Ming. Dan dalam duduk masalah ini, Cirebon, Demak, dan Banten dapat terlihat hanya sekedar berusaha untuk menjaga kehormatan negeri dan bukannya melakukan tindakan pengkhianatan sebagaimana yang terus diwacanakan dalam kajian-kajian komunitas Sejarah Sunda selama ini.
Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.