Waduk Saguling mulai dibuat tahun 1980 M dan mulai beroperasi tahun 1986 M. Pembuatan Waduk Saguling tersebut melibatkan konsultan desain bendungan dari New JEC (Jepang) dan PT. Indra Karya, sementara kontraktor pembangunannya adalah Dummer Travaux Publics (Prancis) dan PT. Raya Contractor. Pada saat ini Waduk Saguling yang dibangun dengan tipe urugan batu dan inti tanah dengan tinggi dinding 97,50 M dan panjang dinding 301,40 M berada pada ketinggian 643 M DPL.

Awal mulanya ilmuan Belanda, Prof. Ir. W.J. van Blommestein memiliki impian dan merancang suatu sistem irigasi yang terintegrasi pada sungai Ci Tarum pada sekitar tahun 1920-an M. Naskah tersebut kemudian mulai beredar pada tahun 1948 M ketika Indonesia telah merdeka. Gagasan awal pembangunan waduk atau bendungan yang diprioritaskan oleh Prof. Ir. W.J. Van Blommestein sebenarnya terletak di kawasan yang pada saat ini menjadi Waduk Jatiluhur, sementara sebagai sistem tambahan maka dirancang apa yang saat ini menjadi Waduk Saguling; dimana Van Blommestein berencana untuk menamainya Waduk Tarum.

Semenjak dioperasikannya Waduk Saguling, maka ada segmen aliran sungai Ci Tarum yang terbuang karena dibendung oleh dinding buatan bendungan. Maka aliran air dari Waduk Saguling kemudian dipindahkan melalui pipa pesat yang meluncurkan air menuju ke kawasan Power House untuk menggerakkan turbin yang pada gilirannya menghasilkan listrik. Pada segmen Ci Tarum yang tidak digunakan sebagai aliran sungai utama lagi tersebut gejala-gejala alam menarik masih banyak untuk ditemui. Batuan beku hasil intrusi, batuan kapur dari rangkaian perbukitan kapur Rajamandala, dan juga batuan konglomerat. Pengerjaan dari tenaga sungai pada masa lalu telah menciptakan lorong-lorong gua (cave) dan sungai-sungai bawah tanah (ground river) seperti Sanghyang Kenit (extrence) dan Sanghyang Tikoro (entrence) dan Sanghyang Poek yang memiliki 4 buah lorong keluar-masuk secara tembus. Sementara Sanghyang Heuleut merupakan kawasan lembah sungai dimana di sana terbentuk genangan air yang dalam dan tenang (leuwi) yang sangat menarik untuk digunakan berenang.

Segmen Ci Tarum yang memiliki panjang lebih dari 6 KM tersebut, kemudian hanya mengalirkan air dari mataair (cainyusu) sekitar yang membuatnya jernih. Di segemen Ci Tarum bersih tersebut didapati beberapa gejala alam yang menarik untuk dipelajari riwayat alamnya seperti Sanghyang Kenit, Sanghyang Tikoro, Sanghyang Poek, Sanghyang Heuleut, dan beberapa airterjun (Curug Halimun) dan jeram sebelun akhirnya tiba di dinding pembatas Waduk Saguling yang diapit oleh Puncak Larang dan Pasir Kiara. Pada aliran tersebut batuan dari jenis batuan beku, batuan kapur, dan konglomerat bercampur karena bertemu pada bidang yang sama dan masuk ke dalam lembah sungai Ci Tarum yang terjal. Hasil pengerjaan sungai membuat batuan-batuan terkikis dan meninggalkan jejak monumental seperti pot alam, gua alam, dan bongkahan-bongkahan batuan yang unik.

Gagasan Prof. Ir. W.J. van Blommestein sesungguhnya tidak sendiri. Jika diperbandingkan dengan Naskah Bujangga Manik, maka Bujangga Manik justru mencatat bahwa Sakakala Sangkuriang ketika akan membendung Ci Tarum sesungguhnya berada di Bukit Patenggeng yang mendekati segitiga Purwakarta-Cianjur-Bandung. Persis seperti yang diangan-angankan oleh Prof Belanda tersebut dalam berkas kerjanya. Di luar catatan Bujangga Manik maka berkembang juga tradisi masyarakat (folklore) yang menghubungkan cerita Sangkuriang dengan Situ Hyang yang menggenangi kawasan cekungan Bandung, suatu skema cerita yang berkembang menjadi jauh lebih tohaga dari versi Bujangga Manik itu sendiri. Titik pembendungannya dalam tradisi lisan tersebut adalah di Sanghyang Tikoro sebagaimana yang dibenarkan oleh ahli Geologi Belanda, Van Bemmelen. Namun demikian pengetahuan berkembang, dan hipotesa-hipotesa keilmuan terus bergerak. Tempat pembendungan dan pembobolan Danau Bandung Purba mengalami revisi-revisinya dalam bangunan penjelasan ilmiah.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".