Dalam Rangka Menjawab Apakah Pengertian Kata JATI SUNDA Yang Terdapat Dalam Konteks Naskah Sunda CARITA PARAHYANGAN Bermakna Agama Sunda Ataukah Bukan Bermakna Agama Sunda

“XVIII
Disilihan deui ku Sang Rakean Darmasiksa, pangupatian Sanghiang Wisnu, inya nu nyieun Sanghiang Binajapanti, nu ngajadikeun Para Kabuyutan ti Sang Rama, ti Sang Resi, ti Sang Disri, ti Sang Tarahan, tina Parahiangan. Ti naha bagina? Ti Sang Wiku nu ngawakan JATI SUNDA, mikukuh Sanghiang Darma, ngawakan Sanghiang Siksa.” (Naskah Carita Parahyangan)

Diganti ku Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun Sanghiang Binajapanti, nu ngajadikeun Para Kabuyutan ti Sang Rama, ti Sang Resi, ti Sang Disri, ti Sang Tarahan tina Parahyangan. Tina naon berkahna? Ti Sang Wiku nu mibanda Sunda Pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa. (Terjemahan Sunda Baru oleh Atja (1998))

Diganti lagi oleh Sang Rakeyan Darmasiksa, dikuasakan Sanghyang Wisnu, dia yang membuat Sanghyang Binayapanti, yang menjadikan Para Kabuyutan dari Sang Rama, dari Sang Resi, dari Sang Disri, dari Sang Tarahan, darinya Parahyangan. Dari mana keberhasilannya? Dari Sang Wiku yang mewadahi Orang Sunda, memegang teguh Sanghyang Darma, mewadahi Sanghyang Siksa. (Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana)”

Pada ulasan sebelumnya kita sudah menengok makna kata Jati dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Umum Bahasa Sunda. Pada kedua rujukan kamus tersebut dapat diketahui bahwa kata Jati merujuk pada dua hal utama. Pertama adalah Pohon Jati. Dan kedua adalah merujuk pada kualitas nilai yang bagus, yang baik, yang murni, yang asli, yang asali, yang pokok, yang alamiah, yang sesungguhnya, dengan kata lain yang sejati.

Kemudian, setelah memahami pengertian Jati dan perkembangan makna Jati dalam konteks bahasa Sunda dan bahasa Melayu yang menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia, sekarang kita akan mencoba untuk melihat bagaimana pengertian Jati dan perkembangan makna Jati dalam bahasa yang aslinya; yakni bahasa Sanskrit.

Tata Bahasa Sanskrit (Vyakarana)

Hal yang pertama akan kita rujuk adalah pengertian Jati dalam konteks khazanah Tata Bahasa Sanskrit (Sanskrit: Vyakarana). Di dalam Vyakarana dikatakan bahwa:

Jati (जाति). A generic property which has been accepted by the Grammarians as one of the five denotations of nominal stems.

(Jati adalah sebuah kepemilikan umum yang telah diterima oleh para Pakar Tata Bahasa sebagai satu dari lima bentuk perubahan kata benda [nominal stems/nominal suffixes).

[Bisa dilihat melalui Shodhganga: Vaiyakaranabhusanasara: A Critical Study]

Dalam bahasa Sanskrit kata benda mengalami perubahan tergantung dari Genders (Maskulin, Feminin, Netral), Jumlah (Singular, Plural, Dual), atau Kasus (Nominatif, Vokatif, Akusatif, Instrumental, Datif, Ablatif, Genitif, Lokatif). Maka ketika kata benda dihadapkan pada kasus demikian akan terjadi perubahan bunyi pada akhiran kata benda (suffix) seperti -a, -ah, -au, -am, -i, -e, -o, -oh, -bhih, -bhyah, dan -bhyam.

Kata benda tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan persamaan-persamaan bentuk perubahan dan bunyinya dimana pada umumnya dibagi menjadi lima bagian. Maka Jati dalam pengertian tersebut adalah berarti Golongan (Class) dalam konteks Klasifikasi (Penggolongan berdasarkan ciri-ciri umum yang sama).

Jāti (जाति). Genus; class; universal; the notion of generality which is present in the several individual objects of the same kind.

(Jati adalah Keluarga; Golongan; Umum; suatu gagasan yang bersifat umum yang hadir dalam beberapa objek khusus yang sama jenisnya).

[Bisa dilihat melalui Wikisource: A Dictionary of Sanskrit Grammar]

Pada dasarnya manusia hanya bersentuhan dengan objek yang bersifat kongkret, yang khusus, yang individual, yang personal, yang partikular, dan yang spesial. Namun melalui persentuhan dengan hal-hal yang serba kongkret tersebut manusia memahami gagasan yang bersifat konseptual, yang umum, yang impersonal, yang holistik, yang generik, dan atau yang general.

Yang kita sentuh adalah gelas A, gelas B, gelas C, gelas D, dan seterusnya. Namun melalui penalaran berdasarkan pengamatan tersebut maka lahirlah gagasan tentang gelas secara umum (dimana gagasan umum itu tidak nyata adanya secara objektif; melainkan bersifat subjektif berdasarkan persfektif yang bisa diterima secara umum dan bersifat konvensional).

Gagasan gelas secara umum lahir dari yang khusus dengan cara melakukan proses abstraksi, yakni menghilangkan ciri-ciri yang bersifat khusus atau berbeda dan mengambil ciri-ciri yang bersifat umum atau yang sama. Melalui proses pengalaman, pengamatan, penalaran, abstraksi, maka lahir definisi atau batasan. Batasan membuat manusia mampu membuat klasifikasi atau kategorisasi atau pengelompokkan atau penggolongan benda-benda dan gagasan-gagasan yang lebih kompleks.

Dengan mengetahui batasan (definisi) gelas, manusia mampu membedakan yang ini gelas dan yang ini piring. Yang ini manusia dan yang ini hewan dan tumbuhan. Yang ini bidang Geografi dan yang ini bidang Sejarah; dan seterusnya dari tingkat abstraksi rendah hingga abstraksi yang semakin tinggi dan rumit.

Jati dalam pengertian tersebut adalah berarti gagasan yang bersifat Marga, Keluarga, Induk (Genus); Kelompok atau Golongan (Class); dan Umum (General) yang didasarkan atas hukum kategorisasi atau klasifikasi atau taksonomi atau pengelompokkan atau penggilongan.

Ilmu pengelompokkan tersebut menjadi penting dalam struktur pengetahuan manusia secara umum juga terutama bagi ilmuan secara lebih khusus. Biologi membutuhkan analisa pengelompokkan hewan dan tumbuhan demikian juga dengan Linguistik membutuhkan analisa pengelompokkan bahasa; dan seterusnya.

Kamus Umum Bahasa Sanskrit

Setelah melihat pengertian Jati dalam konteks Tata Bahasa Sanskrit (Vyakarana), mari kita melihat pengertian Jati berdasarkan Kamus Umum Bahasa Sanskrit; dimana kata Jati didefinisikan sebagai berikut:

Jati (जाति). 1. Birth, production; 2. The form of existence fixed by birth; 3. Race, family, lineage, rank; 4. A caste, tribe or class (of men); 5. A class, genus, kind, species; 6. The properties which are peculiar to a class and distinguish it from all others, the essential characteristics of a species.

(Jati. 1. Lahir, Keluaran; 2. Kedudukan yang ditetapkan berdasarkan kelahiran; 3. Ras, Keluarga, Garis Keturunan, Martabat; 4. Kasta, Suku, atau Golongan Manusia; 5. Golongan, Kuarga, Kelompok, Jenis; 6. Kepemilikan yang bersifat khusus pada suatu golongan yang membedakannya dari semua yang lain; kepribadian yang pokok dari suatu jenis)

[Bisa dilihat melalui DDSA: The Practical Sanskrit-English Dictionary]

Jati dengan demikian merujuk pada hal-hal sebagai berikut, yakni kelahiran, pembentukkan, keluaran, suatu proses yang membuat sesuatu menjadi ada dari ketidakadaan. Jati dalam hal ini merujuk pada sumber atau asal-usul keberadaan.

Asal-usul keberadaan tersebut melahirkan suatu bentuk keberadaan manusia yang dinilai berdasarkan status atau kedudukannya. Asal-usul kelahiran tersebut akan menentukan siapa keluarganya, siapa golongannya, bagaimana garis silsilahnya, dari ras mana dia berasal, bagaimana kedudukan atau martabat keluarganya.

Asal-usul kelahiran juga akan menentukan suatu kasta atau kelas sosial dalam sistem Sanata Dharma yakni Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra, dan Pariya. Kasta paling pokok dan mendasar dalam Sanata Dharma atau Hindu sebenarnya hanya tiga yakni Brahmana, Ksatria, dan Waisya dimana dua kasta lainnya adalah unsur tambahan yang bersifat rakyat secara umum dan rakyat yang terbuang yang bukan dianggap bagian dari trah penguasa.

Dalam sistem Tri Tangtu di Bumi dalam khazanah kebudayaan Sunda Kuno, Brahmana disebut dengan Resi, Ksatria disebut dengan Prabu atau Raja atau Ratu, dan Waisya disebut dengan Rama; sementara sisanya menjadi rakyat secara umum yang disebut dengan kata Somah atau Cacah.

Jati juga merujuk pada penguasaan suatu gagasan konseptual yang bersifat pengelompokkan atau penggolongan atau pengorganisasian suatu benda-benda atau gagasan berdasarkan cici-ciri yang sama menjadi satu jenis atau kelompok.

Etimologi
Pengertian Jati melalui khazanah Tata Bahasa dan makna Kamus Umum Bahasa Sanskrit sudah kita lihat bersama. Namun demikian kita tidak boleh melupakan pengertian dasar yang bersifat asal yang disebut Etimologi. Pengertian yang bersifat Etimologi adalah basis dari seleuruh perkembangan pengertian kata yang ada dan berkembang kemudian melalui Terminologi, Definisi, dan konteks-konteks dan bidang-bidang teropong lainnya; misalnya Jati dalam konteks Hindu, Budha, Jaina, dan seterunya.

Jati pada dasarnya secara etimologi berarti lahir, atau kelahiran. Kata Jati dalam bahasa Sanskrit setara maknanya dengan kata Yunani γένεσις (Genesis) yang berarti kelahiran, sumber, asal-usul, penciptaan, atau pembentukkan.

Kata Jati dalam bahasa Sanskrit dikenal juga dalam bahasa Pali sebagai tahap lanjut dari bahasa Prakrit Jati. Kata Jati dalam bahasa Sanskrit dikenal juga pengaruhnya ke dalam bahasa Gujarati Jat, Hindi Jati, Laos Sat, Melayu Jati dan Jadi, Nepal Jati, Telugu Jati, Thai Yat dan Chat, dan Sunda Jati. Bahasa Sunda termasuk salah-satu bahasa yang dapat mencerna pengertian dan bunyi otentik dari bahasa Sanskrit secara baik.

Jika disimpulkan pengertian kata Jati secara sistematik maka. Pertama, pengertian awalnya bermakna kelahiran. Kedua, pengertiannya berkembang menjadi Vansa atau Vamsa atau Bangsa yang berarti Keluarga. Ketiga, pengertiannya berkembang menjadi Gotra yang juga berarti Keluarga dalam pengertiannya yang lebih khusus terkait soal Varna atau Warna. Keempat, pengertiannya berkembang menjadi Varna atau Warna dimana prinsipnya terbagi menjadi Brahmana, Ksatria, dan Waisya (yang pokok) dan Sundra dan Pariya (unsur tambahan).

Dan kelima, sebagaimana di dalam tahap kebudayaan Sunda dan Melayu, pengertian Jati di dalam bahasa Sanskrit juga merujuk pada hal-hal lainnya termasuk merujuk terhadap beberapa jenis pepohonan yang kurang bisa dijadikan pegangan penting kecuali dibaca sebagai suatu representasi kualitas yang baik sebagaimana dalam pengertian bahasa Sunda dan Melayu.

Jika kita melihat Sejarah perkembangan kata Sunda di dalam khazanah kebudayaan Sunda dan tahap-tahap perkembangan Sejarahnya, kita akan mengetahui bahwa kata Sunda untuk pertamakalinya digunakan untuk menamai ibukota Kerajaan Tarumanagara yang bernama Sundapura. Tahap selanjutnya ketika Tarumanagara runtuh dan keberlanjutannya diambil alih Tarusbawa sebagai penguasa Kerajaan Sunda Sembawa dan kemudian legitimasinya ditolak oleh Wretikendatun dari Kerajaan Galuh (dengan bantuan Kerajaan Kalingga sebagai Sekutunya); maka Sunda telah berkembang menjadi bekas wilayah Tarumanagara selain dari Galuh dengan tapal batas aliran sungai Ci Tarum. Dapat diduga, Sunda Sembawa adalah tahap lanjut dari kota tua yang sama yang semula bernama Sundapura.

Hubungan Sunda-Galuh kemudian diselesaikan oleh Sanjaya dimana kemudian kedua wilayah tersebut dipersatukan dalam satu genggaman kekuasaan dirinya (sebenarnya termasuk Kalingga dan penaklukan-penakluak wilayah di luar Pulau Jawa berdasarkan Naskah Sunda Kuno Carita Parahyangan). Sanjaya yang mewarisi sebagian wilayah Kalingga (Bumi Mataram) kemudian mampu menyatukan keseluruhan wilayah Kalingga dalam genggamannya (Bumi Mataram dan Bumi Sambara) melalui pernikahan.

Sanjaya juga mengambil alih Galuh dari kekuasaan Purbasora yang sebelumnya mengambil alih kekuasaan ayah Sanjaya, yakni Sana atau Sena atau Bratasenawa. Melalui pernikahan dengan putri atau cucu perempuan Tarusbawa, Sanjaya juga mendapatkan Sunda. Maka Sunda, Galuh, dan Kalingga telah jatuh dalam pangkuan Sanjaya. Sejak masa tersebut, trah penguasa Sunda dan Kalingga yang kemuduan berubah namanya menjadi Mataram telah bergeser menjadi trah Galuh melalui anak-cucu keturunan Sanjaya.

Selepas kepergian Sanjaya, wilayah kekuasaan Sunda dan Galuh khusus dalam konteks ini mengalami pasang-surut hubungan. Terkadang masing-masing berdiri sebagai unit kerajaan yang terpisah dan terkadang bersatu dalam satu federasi atau konfederasi yang sama yang dipimpin oleh Raja pusat yang sama. Ketika bersama tersebut ibukota konfederasi terkadang berada di provinsi atau negara bagian Sunda dan terkadang di provinsi atau negara bagian Galuh. Tapi satu hal yang pasti, ketika berada dalam naungan konfederasi yang sama keduanya menyepakati berdasarkan adat warisan leluhur berdiri atas nama Sunda.

Sunda telah mengembang maknanya dari ibukota Sundapura, Kadipaten Sunda Sembawa, Kerajaan Sunda, dan Kerajaan Konfederasi Sunda (Sunda-Galuh Bersatu) yang kemudian secara tradisional dikenal juga namanya sebagai Pajajaran. Sunda sebagai aspek Administrasi-Politik yang mencakup Sunda di Barat dan Galuh di Timur tampaknya berkembang juga cita rasanya menjadi suatu kesatuan aspek Geografi, Psikologi, Sosiologi, Antropologi, dan Kultural (Kebudayaan) bahkan ketika konfederasi Sunda-Galuh terkadang terputus; maka identitas sebagai Sunda sudah benar-benar terbentuk.

Meskipun secara Geneologi Sunda (dan Galuh) dan Kalingga, yang kemudian menjadi Mataram, dan kemudian menjadi Vilvatikta atau yang secara tradisional disebut dengan Majapahit masih berasal dari keluarga yang sama pada tingkat elit penguasa atau bangsawannya; namun demikian secara tradisional telah disepakati di antara keduanya Sunda bukan Majapahit dan Majapahit bukan Sunda. Secara Administrasi-Politik keduanya menjadi dua negara yang terpisah dan dipersatukan atas dasar asas kekerabatan dan persekutuan. Pulau Jawa kemudian diadministrrasi secara efektif ke dalam dua unit besar, yakni Sunda dan Majapahit yang kemudian secara etnik berkembang menjadi Sunda dan Jawa.

Sunda menempati Pulau Jawa namun tidak mengambil akar penisbatannya terhadap nama Pulau Jawa. Jawa mengambil penisbatannya kepada nama Pulau Jawa karena kemungkinan dapat dilacak bahwa secara Epigrafi, kata Jawa pertama kali muncul dalam Prasasti Canggal yang dibuat oleh Sanjaya itu sendiri di Gunung Wukir (Desa Kadiluwih, Kecamatan Salem, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah). Dan Sanjaya meskipun telah menjadi leluhur bagi bangsawan Sunda (Sunda dan Galuh), namun demikian secara Psikologis dan Kultural lebih cenderung dimiliki oleh tradisi Jawa.

Kembali kepada makna JATI SUNDA, melalui penelaahan data secara seksama dapat diketahui bahwa sangat kecil kemungkinannya jika Jati terasosiasi maknanya dalam konteks tersebut dengan arti Agama. Apa yang lebih tepat dan memadai dalam konteks Naskah Kuno Sunda Carita Parahyangan bahwa JATI SUNDA artinya Warga Negara Sunda, atau Masyarakat Konfederasi Sunda, atau dengan sederhana bisa dikatakan Orang Sunda. Memaknai JATI SUNDA sebagai terhubung dengan konteks agama atau bahwan menjadi nama bagi suatu agama yang berkembang di Tatar Sunda berdasarkan naskah tersebut terlalu memaksakan dan terpelanting dari konteks yang semestinya.

JATI SUNDA, bukan AGAMA SUNDA dan JATI SUNDA bukan AGAMA JATI SUNDA (AGAMA “ORANG SUNDA”); dengan kata lain tidak pas dan bukan sama sekali menyatakan nama suatu agama (proper names). Pertanyaan yang justru jauh lebih bijaksana dan terbuka terhadap segala bentuk kemungkinan adalah: Apakah Agama yang dianut masyarakat Sunda pada masa silam? Sebelum kemudian berpindah Agama menjadi beragama Islam? Apakah Hindu? Ataukah Budha? Ataukah Hindu-Budha (Siwa-Budha)? Ataukah menganut suatu Agama tersendiri dengan suatu sistem dan sumber kepercayaan tertentu dan memiliki suatu kepemilikan nama Agama yang khas dan bersifat tertentu juga!

Ditemukannya kata Sanghyang, tidak boleh terburu-buru untuk untuk menarik kesimpulan dan menyatakan dengan serta-merta bahwa kata Sanghyang benar-benar terminologi yang bersifat khas dan lokal Sunda atau Nusantara dan dengan demikian bukan berakar dari terminologi Hindu dan Budha. Pernyataan sebagaimana demikian perlu diuji lebih cermat, karena umum diketahui bahwa Sanskrit bisa jadi juga masih memperngaruhi pembentukan kata Sanghyang.

Kemudian bahwa gagasan Sanghyang secara konseptual bukan Dewa juga masih tetap harus diuji lebih cermat lagi, karena dengan sangat jelas dalam konteks tersebut Wisnu dinisbatkan dengan gelaran Sanghyang. Sanghyang dengan demikian dalam konteks tersebut bersifat ekivalen dengan Dewa.

Demikian juga dengan kata Kabuyutan yang dalam naskah-naskah lain sinonim dengan Mandala, juga masih harus diuji akar bahasanya dengan kemungkinan Sanskrit. Rama, Resi, Disri, Tarahan, Wiku, Sunda, Darma, Siksa juga dengan sangat jelas justru influence dari bahasa Sanskrit.

Dan menyatakan bahwa adanya Naskah Sanghyang Darma, Naskah Sanghyang Siksa, dan atau di dalam bagian lain naskah Carita Parahyangan terdapat juga Naskah Sanghyang Darmasiksa; tidak serta-merta keterangan Sekunder yang menceritakan adanya naskah-naskah masa silam yang tidak sampai hingga hari ini (kecuali diberitakan oleh naskah-naskah Sunda Kuno seperti Carita Parahyangan, Siksa Kandang Karesian, Amanat Galunggung, dan sebagainya) tersebut dinyatakan sebagai bukti nyata adanya naskah-naskah yang bersifat khas keagamaan di Tatar Sunda yang berlainan dengan sistem keyakinan Hindu-Budha.

Selain bersifat terlalu serampangan, pendapat demikian menunjukkan bahwa argumentasi demikian dibangun oleh penguasaan terhadap keseluruhan lintasan Sejarah Hindu-Budha yang bersifat awam dan minimal. Sistem keyakinan Hindu adalah sistem keyakinan yang kaya dan rumit dan tahap-tahap perkembangannya merentang dengan cukup panjang. Dan lagi seluk-beluk aliran dan pengembangan yang bersifat khas di setiap daerah sepanjang merujuk pada konvensi umum yang ada, masih tetap akan mendapatkan tingkat toleransi yang kuat dalam struktur pengamuan keagaamaan Hindu.

“…Sumbelehan niat tinja beresih suci wasah. Disunat ka tukangna, JATI SUNDA teka.” Sumbelehan dari kata dasar Sumbeleh yang dalam bahasa Melayu kemungkinan adalah Sembelih, jika dihubungkan dengan kalimat selanjutnya maka maksudnya adalah dikerat kuncup alat kelamin laki-laki milik Prabu Ratudewata. Jika jeli maka kata Niat, Tinja, Wasah, dan Sunat adalah kata serapan dari bahasa Arab telah masuk juga ke dalam masa kekuasaan akhir Sunda atau Pajajaran. Niat dari Niat atau Niah, Tinja dari Istinja; Wasah, Wasuh, Basuh dari Masah atau Masih; dan Sunat jelas dari Sunat atau Sunah. Yang men-Sunat atau dalam terminoligi bahasa Arab yang lebih tepat adalah meng-Khitan Prabu Ratudewata adalah JATI SUNDA TEKA, artinya Orang Sunda Sejati (ingat kata Teka yang juga berarti nama pohon Jati pada ulasan sebelumnya).

Dari kenapa perolehannya? Atau konteks sesungguhnya dalam gramatika hari ini Kenapa bisa seberuntung itu? (Ti naha bagina?) Atau barangkali bisa juga dibaca Siapa sih sesungguhnya dia itu? (maksudnya Sang Rakeyan Darmasiksa). Yakni dia itu seorang Wiku, Biku, atau Resi yang membangun dasar-dasar, meletakkan dasar-dasar; memberikan cangkang, tubuh, raga, waruga, aspek material (ngawakan) dari identitas atau kepribadian atau asal-usul (Jati) Sunda.

Sehingga selain meletakkan dasar-dasar pustaka Darma-Siksa atau hal-hal lainnya, prestasi paling monumental dari Raja Resi konfederasi Kerajaan Sunda Rakeyan Darmasiksa adalah meletakkan dasar-dasar identitas, kepribadian, aspek administrasi, geografi, politik, sosial, kebudayaan yang mengarah pada suatu pemahaman unit solidaritas in grup dalam bahasa Sosiologis yang disebut Masyarakat Sunda atau Orang Sunda (JATI SUNDA) yang telah melampaui identitas-identitas primordial pada fase-fase sebelumnya; dan dia lah Darmasiksa yang meletakkan pijakannya. Jadi dalam kedua konteks JATI SUNDA yang ditemukan dalam naskah Carita Parahyangan, sukar untuk menangkap JATI SUNDA dalam pengertiannya sebagai AGAMA SUNDA atau AGAMA JATI SUNDA.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".