Bagaimana Sebaiknya Urang Sunda dan Umat Islam dalam Mengantisipasi Adanya Kemungkinan Monopoli Tafsir Terhadap UU No 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan?

Oleh Chye Retty Isnendes & Gelar Taufiq Kusumawardhana

Standar nilai yang perlu dipahami bahwa Islam dan umat Islam tidak membenci, tidak merendahkan, tidak mengabaikan kebudayaan dan peradaban. Islam dan umat Islam juga tidak membenci, tidak merendahkan, tidak mengabaikan soal kearifan lokal.
Para alim ulama dan intelektual Islam memahami mengenai gagasan Tsaqofah (kebudayaan) dan Al-Hadhoroh (peradaban).

Demikian juga para alim ulama dan intelektual Islam memahami gagasan mengenai adat istiadat (‘Adah) dan kebiasaan (Urf) sepanjang tidak melanggar basis nilai pokok Islam (Iman-Islam-Ihsan/Aqidah-Syariah-Ahlaq).

Demikian juga para alim ulama dan intelektual Islam memahami bahwa sendi-sendi kebangkitan dan pembelaan terhadap Islam juga justru didasari oleh adanya kekuatan fanatisme (At-Ta’ashub) dan kesukuan (Ashobiah) sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun, yang semuanya dalam batas tertentu sangat dianjurkan, berguna, dan bernilai positif terhadap gairah perubahan dan pembangunan.

Apa yang akan menjadi persoalan bukanlah terletak pada poin-poin umum undang-undang tersebut yang secara umum tampak normal dan positif. Yang akan menjadi persoalan adalah mengenai penafsiran dan aspek operasionalisasi praktis dari butir-butir undang-undang tersebut.

Apabila undang-undang tersebut ditafsirkan dengan cara kerja basis ideologi Liberalisme-Kapitalisme atau Sosialisme-Komunisme tentu hasilnya akan menjadi berbeda dengan cara kerja basis ideologi Islam, pada pemisalannya.

Sehingga umat Islam Indonesia dan umat Islam dari masyarakat Sunda harus memahami dengan mendasar dan mendalam mengenai wacana kenegaraan seperti UUD 1945 dan Pancasila sebagaimana yang dalam kedudukan terakhir dikukuhkan kembali oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengenai landasan yang tidak terpisahkan dengan Piagam Djakarta (Syariat Islam) yang menjadi landasan dari tujuan dan tata aturan yang ada.

Sementara Pancasila merupakan Perjanjian Luhur Bapak Bangsa (gentlement agreement) mengenai bahwa perbedaan yang ada dalam spektrum filsafat dan ideologi yang ada, yakni antara masyarakat Islam yang menghendaki basis penegakan Syariat Islam dengan masyarakat yang tidak menghendaki basis penegakan Syariat Islam (sekular) dapat hidup rukun dan membangun negara secara bersama-sama dengan tapal batas kesepakatan umum sepanjang mentaati 5 sila (Pancasila).

Demikian juga dengan adanya Pancasila bukan berarti umat Islam menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologi, karena memang Pancasila dirancang bukan merupakan landasan ideologi, melainkan Landasan Filsafat Dasar Ideologi (Philoshofische Gronslag). Sehingga dengan demikian Islam tetap menjadi jalan hidup (way of life) dan tata aturan yang tetap dianut, diyakini, dan dijalankan oleh seorang muslim bangsa Indonesia.

Sehingga dengan demikian, seorang muslim bangsa Indonesia juga akan memaknai aspek Pemajuan Kebudayaan baik skala Nasional maupun Lokal bukan dalam kerangka yang bersifat sekular apalagi memusuhi perkembangan Islam. Karena itu sama saja berarti melanggar konstitusi dan landasan filsafat dasar ideologi bangsa itu sendiri yakni Pancasila.

Sehingga tidak ada pilihan lain maka umat Islam perlu terjun mengawal dan memandu aspek perkembangan ilmu, kebudayaan dan peradabannya itu sendiri.

ditulis oleh

Varman Institute

Pusat Kajian Sunda - The Varman Institute (TVI) merupakan unit unggulan yang berada di bawah Bidang Pendidikan Pengajaran dan Pelatihan (Department of Education, Teaching, and Training) dari Yayasan Buana Varman Semesta (BVS).