Dari pertapaan satu tahun di Gunung Sembung (sekarang Danau Ciharus di kaki Gunung Rakutak) sebagai hulu Citarum Bujangga Manik bergerak ke Utara melalui Gunung Karesi (Gunung Karembi) ke Gunung Langlayang (Gunung Manglayang) ke Gunung Palasari ke Gunung Pala (Gunung Bukit Tunggul) melewati kabuyutan dan menyeberangi Cisanggarung (Cikapundung). Perjalanan dari Selatan ke Utara sudah dilakukan. Petunjuk selanjutnya bergerak ke Barat maka tidak ada jalan lain kecuali bergerak ke arah kota Lembang saat ini melalui jalan Suntenjaya, Maribaya, Gunung Batu karena menerobos ke Utara Gunung Bukittunggul (naskah Bukit Pala) ke arah Bukanagara modern bukan pilihan yang bijaksana.

Dari Kota Lembang tujuan utamanya adalah mencapai Bukit Patenggeng. Sudah dipertimbangkan dengan baik bahwa Bukit Patenggeng dalam naskah sama dengan Gunung Patenggeng saat ini yang terletak di bagian Selatan Purwakarta, di bagian Utara Cikalong Wetan dan Padalarang (Bandung Barat) dan di bagian Timur Kareja di Cikalong Kulon (Cianjur). Di sebelah Barat Gunung Patenggeng tersebut jalur tol membujur Utara Selatan menghubungkan Bandung-Jakarta dan kemudian aliran sungai Citarum yang menjadi bagian Waduk Cirata di Utara dan Waduk Jangari di Selatan. Lebih ke Selatan dari Waduk Jangari adalah Waduk Saguling di kawasan Cipatat hingga Batujajar dan Cililin.

Kita sulit memastikan arah dari Lembang menuju Bukit Patenggeng itu memalui jalur mana apakah lurus menuju Parongpong modern dan lalu menuju ke Padalarang dan kemudian ke Cikalong Wetan, ataukah ke Utara menuju ke Cikole, Ciater, dan kemudian berbelok ke Barat menuju jalur Wanayasa hingga tiba di Cikalong Wetan. Kedua jalur tersebut pada prinsipnya mengarahkan pejalan menuju ke wilayah Barat. Namun meralat interpretasi sebelumnya (qaul qadim oleh qaul jadid), rute yang lebih logis adalah parabol terlebih dahulu ke Utara memutari kaki-kaki Gunung Tangkubanparahu (naskah Tangkuban Parahu; tanpa kata Gunung atau Bukit) dan Gunung Burangrang (naskah Bukit Burangrang) hingga tiba di Gunung Patenggeng (naskah Bukit Patenggeng).

Karena dari arah Bukit Patenggeng ini kemudian Bujangga Manik bergerak lebih ke Selatan dengan menyeberangi Citarum, Cihea, dan Cisokan. Agak kurang bijaksana jika Bujangga Manik bergerak lurus dari Timur ke Barat lalu bergerak ke Utara untuk kemudian kembali lagi ke Selatan. Nama Citarum ada hingga hari ini, demikian juga Cihea dan Cisokan di Kabupaten Cianjur hingga hari ini. Imajinasi pembendungan Citarum dalam Sakakala Sang Kuriang yang urung jadi karena kesiangan, tampaknya sudah terwujud dengan terbentuknya Waduk Cirata, Waduk Jangari, dan Waduk Saguling yang dapat kita saksikan hingga hari ini.

Barangkali dengan logika yang sama imajinasi orang dulu membayangkan untuk bisa membendung dan menundukkan Citarum, mungkin bukan untuk membuat listrik melainkan dengan pendorong kekaryaan yang berbeda. Mungkin untuk dunia pengairan atau mungkin untuk dunia rekreasi berlayar di danaunya. Jika benar titik imajinasi pembendungan ada di sekitar kawasan Cikalong Wetan dan Cikalong Kidul, maka orang masa silam sesungguhnya tidak sedang membayangkan untuk bisa membendung Danau Cekungan Bandung (Situ Hyang) yang terkesan terlalu spektakuler. Mereka hanya membayangkan suatu spot yang cukup realistis pada lembahan di kawasan trianggel Cianjur, Bandung, dan Purwakarta saja.

Dari Kawasan tersebut singkat cerita Bujangga Manik sampai ke Puncak dan lalu menuju sebuah mandala di kaki Gunung Gede (naskah Gunung Ageung), nama kabuyutannya Sanghyang Talaga Wama. Di sana dia tidak melakukan tapa, melaikan bergerak kembali ke arah Selatan setelah dirinya cukup dilema apakah akan meneruskan perjalanan ataukah kembali ke Pakuan untuk kedua kalinya dengan mengingat Ibu Bapak dan Mahapandita.

Awaki(ng) ka Hujung Kulan, ja rea hadanganana. Leu(m)pang aing nyangkidulkeun, ngahusir bukit Bulistir. Eta hulu Cimari(n)jung, sakakala Patanjala, ma(n)ten burung ngadeg ratu.

(Aku pergi ke Ujung Kulon, karena di sana banyak hal yang menunggu. Aku berjalan menyelatan, melanjutkan perjalananku ke Gunung Bulistir. Itu hulu Sungai Cimarinjung, peninggalan Patanjala, ketika ia gagal menjadi raja.)

Di sini sumber referensi terjemahan yang digunakan mengatakan Bujangga Manik memutuskan ke Hujung Kulon karena banyak hal yang dinantikan atau mungkin tersaji. Sementara saya melihatnya Hadanganana lebih dekat untuk diterjemahkan dengan Hambatannya. Dengan terbukti bahwa Bujangga Manik akhirnya memang tidak bergerak ke Barat melainkan ke Selatan. Bujangga Manik harus dibaca membatalkan harapannya untuk pergi ke Hujung Kulon (Ujung Barat) dan berakhir untuk bergerak ke Selatan saja. Di Selatan dari Puncak dia menuju ke Bukit Bilistir yang dikatakan hulu Cimarinjung tempat Sakakala Patanjala urung jadi raja.

Jika ditarik garis ke Selatan dari Puncak tentu akan kembali ke Cipanas (naskah Eronan) hanya tidak bergerak ke Timur ke Cinangsi atau ke Cihea dan menyeberangi Citarum lagi. Melainkan ke arah Cianjur modern dan kemudian bergerak ke jalur Sukabumi. Saya menduga Bukit Bulistir dengan demikian adalah Gunung Padang modern yang dipenuhi oleh pilar-pilar batu columnar jointing. Gunung Padang memang bulistir (Melayu: terbuka) dari tutupan tanah dan vegetasi. Bukit Bulistir tersebut dikatakannya sebagai hulu Cimarinjung dan di sana dia menyempatkan untuk bertapa selama satu tahun. Dari hulu Cimarinjung Bujangga Manik menyeberangi Cimarinjung. Cimarinjung saat ini memang ada di kawasan Sukabumi Selatan menuju ke arah Pelabuhanratu dan kawasan Ciletuh.

Aliran Cimarinjung yang diseberangi sepertinya tidak sampai Selatan sekali melainkan masih bagian wilayah hulu atau tengah yang kemudian bergerak ke arah Timur menyeberangi Cihadea yang saat ini ada indikasi bernama sungai Cisadea. Dari Cihadea menuju ke Cicarencang dan kemudian tiba di Cisanti. Cisanti yang diseberangi Bujangga Manik jelas Cisanti yang kita kenal saat ini, karena selepas menyeberangi Cisanti dia melalui Gunung Wayang yang juga saat ini dikenal dengan Gunung Wayang. Sayangnya di sini Bujangga Manik tidak menisbatkan Cisanti dan Gunung Wayang sebagai hulu Citarum, di kawasan Cisanti dan Gunung Wayang ini pula Bujangga Manik tidak memutuskan untuk bertapa. Selepas Gunung Wayang didapati nama tempat Mandala Betung. Hanya saja tidak diberitakan di sinu Bujangga Manik memutuskan untuk bertapa apakah di Cisanti, Gunung Wayang maupun Mandala Betung.

Sadiri aing ti inya, leu(m)pang aing ngidul wetan, meu(n)tasing di Cimari(n)jung, meu(n)tasing di Cihadea, meu(n)tasing di Cicarengcang, meu(n)tas aing di Cisanti. Sana(n)jak ka Gunung Wayang, sadiri aing ti inya, cu(n)duk ka Mandala Beutung, ngalalar ka Mulah Beunghar, nyanglandeuh ka Tigal Luar, ka tukang Bukit Malabar, kagedeng Bukit Bajoge.

(Sepergi aku dari sana, aku pergi ke baratdaya, menyeberangi Sungai Cimarinjung, menyeberangi Sungai Cihadea, menyeberangi Sungai Carengcang, menyeberangi Sungai Cisanti. Seturun dari Gunung Wayang, dan pergi dari sana, aku sampai di Mandala Beutung, berjalan melewati Mulah Beunghar, turun ke Tigal Luar, dibelakang Gunung Malabar, yang diapit oleh Gunung Bajoge.)

Cisanti, Gunung Wayang, Mandala Betung hanya dijadikan lintasan utama dalam tujuannya menuju Bukit Patuha (sekarang Gunung Patuha). Rutenya sebelum Bukit Patuha adalah Cisanti, Gunung Wayang, Mandala Betung, Mulah Beunghar, Tigal Luar, Bukit Malabar (sekarang Gunung Malabar), Bukit Bajoge, Gunung Guntur (masih sama ada di Garut), Mandala Wangi (antara Bandung dan Garut), Gunung Kendan (antara Garut dan Bandung). Dari Gunung Kendan yang dalam berita naskah lainnya diduga sebagai cikal bakal kerajaan Galuh (Resi Guru Manikmaya) berada kemudian Bujangga Manik bergerak ke Jampang Manggung, Mulah Mada, Tapak Ratu, Bukit Patuha (sekarang Gunung Patuha) dan tuba di mandala yang disebut Sanghyang Ranca Goda. Di sana Bujangga Manik bertapa satu tahun sembari memugar kawasan kabuyutan atau mandala tersebut.

Dari Sanghyang Ranca Goda (barangkali kawasan Rancaupas, Pemandian Cimanggu, dan Kawah Putih modern) Bujangga Manik menuju ke Gunung Ratu yang di sana dianggap hulu sungai Cisokan. Di kawasan hulu Cisokan tersebut didapati kabuyutan atau mandala Sanghiang Karang Carengcang yang dikatakan oleh Bujangga Manik masih bagian dari lembah Bukit Patuha. Jadi Bujangga Manik kemungkinan hanya melipir Gunung Patuha dan berpindah sudut lereng lainnya yang kini menjadi jalur untuk bisa menghantarkan ke kawasan Cianjur Selatan, menuju Naringgul dan Pantai Jayanti atau Cidaun. Tempatnya tidak akan jauh dari logika kenyamanan tempat modern yakni di sekitar kawasan Situ Patenggeng/Situ Patenggang modern atau Kawah Rengganis. Di tempat peetapaan terakhirnya tersebut dikatakan Bujangga Manik diselesaikan dalam waktu 10 tahun lamanya. Sembilan tahun hingga puncak pertapaannya dan satu tahun penyempurnaannya hingga mencapai Moksa.

ditulis oleh

Gelar Taufiq Kusumawardhana

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.

Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).

"Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,

menerbangkan doa dan harapan,

atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia".