KEGIATAN BUJANGGA MANIK GEOTREK II:

MENEMUKAN KEMBALI GUNUNG SEMBUNG DAN MANDALA BEUTUNG

Pada hari Sabtu, 25 Mei 2024 M, Yayasan Buana Varman Semesta (YBVS) telah berhasil menyelenggarakan kegiatan lapangan dengan tajuk “Bujangga Manik Geotrek II: Gunung Sembung, Itu Hulunya Citarum”. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mensosialisasikan temuan ilmiah yang dilakukan oleh YBVS sebelumnya mengenai kedudukan hulu sungai Citarum yang terletak di Gunung Sembung, bersama dengan sumber mata airnya berupa danau, yang sekaligus memiliki fungsi sebagai wilayah kamandalaan (kabuyutan) pada masa silam yang disebut dengan “Mandala Beutung”. Adapun aspek penemuan itu sendiri didasarkan pada naskah Sunda Kuno abad ke-15 M, yang disebut oleh para ahli filologi dengan nama naskah Bujanga Manik.

Kegiatan Bujangga Manik Geotrek II yang dilaksanakan oleh YVBS tersebut, diikuti oleh peserta sebanyak 82 orang, panitia sebanyak 11 orang (lapangan), interpreter sebanyak 3 orang, dan ditambah 3 orang personil militer dari Pusdikbekang (Cimahi) sebagai pengendara truk militer yang mengantarkan dan menunggu hingga pulang di titik base camp (starting point) pendakian. Adapun yang menjadi panitia meliputi Ara Sinatria, Refi Syaeful Firmansyah, Muhammad Rizky, Qudrotul Iqbal, Balebat Tanjung Aruman, Pohaci Puspa Nuwangi, Septiani Puspita, Santi Sukmawati, Erina Shopia S., Ai Sri Winarti, Ai Nopia Sandi, Achmad Anwar Sanusi (non lapangan), dan Derry Maulana Yusuf (non lapangan). Sementara yang menjadi interpreter meliputi Chye Retty Isnendes, Karguna Purnama Harya, dan Gelar Taufiq Kusumawardhana. Selain itu, kegiatan tersebut, juga diberikan sokongan dan apresiasi secara khusus oleh Laksamana (purnawirawan) Dr. Ade Supandi, S.E., M.A.P dengan diberikannya donasi keuangan sebagai penunjang pelaksanaan kegiatan lapangan kepada YBVS, melalui Museum Galeri Bahari (Mugaba) Banuraja, Batujajar, Kabuupaten Bandung Barat, yang dimilikinya.

Perjalanan Bujangga Manik Geotrek II, dimulai dari Villa Isola di kampus UPI pada pukul 7 pagi dengan menggunakan 3 unit truk militer angkatan darat. Kemudian tiba di kaki Gunung Sembung pada pukul 10 pagi, yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Desa Margamukti, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Namun demikian pada wilayah desa tersebut, terdapat wilayah pengelolaan khusus, yakni Star Energy – Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Wayang-Windu dan Perum Perhutani/KPH Bandung Selatan. Setelah melewati pusat Desa Margamukti, jalan terus membentang hingga memasuki kawasan pengelolaan Star Energy dengan pipa-pipa pembangkit listrik yang mengular raksasa dan kemudian akan bertemu ujungnya dengan kawasan pengelolaan Perhutani.

Pada pukul 10 pagi, setelah tiba di titik awal pendakian, seluruh peserta terlebih dahulu melakukan perjalanan menuju ke Dano Aul, atau Dano Cibitung, nama danau yang pada saat ini dikenal oleh masyarakat sekitar. Namun demikian dalam interpretasi yang dilakukan YBVS, yang didasarkan pada naskah Bujangga Manik abad ke-15 M, nama danau dan kawasan penyokong disekitarnya tersebut, dapat diketahui sebenarnya bernama “Mandala Beutung“. Sementara tepat di atas danau tersebut, terlihat permukaan tebing yang mengerucut membentuk segitiga sama kaki namun agak lengkung, yang bersifat vertikal nyaris 90 derajat.

Permukaan  tebing tersebut, hingga mencapai puncaknya, terlihat masih cukup rimbun dan asri oleh tutupan lahan berupa vegetasi khas hutan tropis. Tebing tinggi yang mengkerucut dari kaki Dano Aul/Dano Cibitung itulah, yang sebenarnya merupakan puncak tertinggi dari Gunung Sembung. Gunung Sembung tersebut, pada saat ini lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan nama Gunung Gambungsedaningsih (berdasarkan peta Bakosurtanal tahun 2001), ataupun Gunung Artapela (nama popular saat ini oleh para pendaki Bandung).

Apabila diperhatikan, jalan dilalui dari Desa Margamukti tersebut, sebenarnya tengah bergerak dari arah barat-daya (relatif dari selatan) menuju ke arah timur-laut (relatif ke utara). Jalan tersebut diapit oleh rangkaian Gunung Windu, Gunung Wayang, dan Gunung Bedil di timur, yang ketiganya dalam naskah Bujangga Manik masih disebutkan sebagai kesatuan dengan Gunung Wayang  dan Gunung Malabar di barat, yang namanya juga sama-sama tercatatkan dalam naskah Bujangga Manik. Adapun pada ujung jalan tersebut, yang merupakan ujung kawasan pengelolaan Star Energi dan awal kawasan pengelolaan Perhutani, bentang alamnya membentuk lembahan tertutup membentuk huruf U, yang dibentuk oleh pertemuan antara kaki Gunung Malabar dan Gunung Sembung.

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Gunung Windu, Gunung Wayang, Gunung Bedil, dan Gunung Sembung, berada di sebelah timurnya jika di lihat atau disusuri dari arah selatan menuju ke utara dan Gunung Malabar yang bertubuh besar, lebar, dan menjalar berada di sebelah baratnya. Dari celah di antara kawasan kaki Gunung Malabar dan kaki Gunung Sembung itulah, merpakan rute tidak popular pendakian menuju ke Gunung Sembung secara ideal dapat dilakukan dari arah selatan. Kedudukan Gunung Sembung dan Gunung Malabar dari kaki-kakinya hingga ke puncak yang hanya dipisahkan oleh lembahan-lembahan sempit itulah, yang membuat keduanya sepintas sulit untuk dilihat dan dimaknai sebagai dua karakteristik gunung yang memiliki identitas, atau kepribadian yang berbeda.

Titik-titik pengambilan panas bumi yang dapat ditemukan dalam perjalanan dari Desa Margamukti hingga kawasan Mandala Beutung menunjukan, bahwa rute yang ditempuh melali jalan tersebut, sebenarnya dibangun di atas tubuh Gunung Sembung itu sendiri, yang mengalami dapat diasumsikan telah mengalami deformasi akibat letusan-letusan Gunung Sembung purba pada masa silam. Adapun Mandala Beutung, merupakan bagian utama dari letusan kawah purba yang membuatnya berbentuk cekung dan menjadi wilayah tangkapan air (catchment area) berupa danau. Sementara tebing yang tepat berada di hadapan Mandala Beutung, merupakan sisa dinding Gunung Sembung purba, yang dapat dinilai memiliki stuktur batuan beku paling kuat, yang membuatnya tetap tegak berdiri dan tersisa mejadi dinding vertikal yang curam. Di ujung atas dinding purba itulah puncak tertinggi Gunung Sembung pada saat ini berada.

Menurut keterangan para petani yang berada di kawasan Mandala Beutung, dari Dano Cibitung tersebut keluar wahangan (sungai kecil) yang disebut Cibitung, atau berubah namanya ketika sampai bawah menjadi Cibeureum, yang kemudian akan mengalir tepat di dekat Polsek Kertasari. Di dekat Polsek Kertasari tersebutlah, aliran sungai Cibitung dan aliran sungai “Cisanti” yang keluar dari Dano Cisanti di kaki Gunung Wayang akan bertemu dan menghasilkan hulu sungai yang lebih besar lagi. Sebenarnya, baik “Cisanti” maupun “Gunung Wayang“, sebenarnya sudah dicatatkan juga namanya dalam naskah Bujangga Manik. Hanya saja, dalam naskah tersebut, Cisanti dan Gunung Wayang tidak dijadikan sebagai identitas hulu sungai Citarum yang utama dalam perspektif kosmologi masyarakat Sunda pada abad ke-15 M.

Lain halnya dengan Gunung Sembung dan kawasan Mandala Beutung, yang selain menjadi titik primer hulu Citarum, juga sekaligus menjadi salah-satu titik penting kamandalaan, atau kabuyutan pada masa silam. Adapun pada saat ini, hipotesa kawasan Mandala Beutung sebagai kawasan hulu Citarum yang sebenarnya terletak di kawasan Dano Cibitung, atau Dano Aul, dalam riset tahap akhir YBVS telah mencapai tingkat kepastian teoritik. Hal itu, selain telah disokong oleh studi peta-peta, arsip-arsip naratif akhir abad ke-18 M sampai pertengahan abad ke-19 M, juga terbukti mampu divalidasi melalui salah-satu temuan sketsa era kolonial yang menggambarkan secara presisi visual dinding vertikal Gunung Sembung bersama dengan lembahannya yang dinyatakan sebagai hulu sungai Citarum.Adapun gambaran pada sketsa tersebut, masih dapat diidentifikasi ulang secara mutlak dan meyakinkan masih sama persis dengan situasi dan lanskap Gunung Sembung dan Mandala Beutung yang ada pada hari ini (abad ke-21 M).

Sementara itu, untuk bisa mencapai ke puncak Gunung Sembung, perjalanan sebenarnya tidak bisa ditempuh secara langsung dari arah dinding di kaki Dano Aul tersebut. Melaikan harus melipir, melambung, memutarinya ke arah barat, melalui leuweung rasamala yang tumbuh di celah antara Gunung Malabar dan Gunung Sembung, yang pada akhirnya dapat mengantarkan pejalan tiba di arah hadap kebalikan dari danau tersebut. Yakni, yang semula dari arah hadap Danau Aul ke tebing dengan orientasi arah barat-daya ke timur-laut, menjadi berada dari arah hadap timur-laut ke barat-daya. Dengan tujuan melakukan pengamatan akhir dari atas puncak Gunung Sembung itulah, kemudian pengamatan di Mandala Beutung tidak bisa dilakukan secara lebih lama lagi, yakni hanya dimulai dari pukul 10 pagi sampai 11 pagi. Hal demikian didasarkan pada pertimbangan dan skema perjalanan di lapangan, yang harus mempertimbangkan aspek pergulatan waktu dengan tantangan objektif berupa cuaca yang harus diantisipasi agar tidak diserang kabut dan hujan yang umum turun di puncak-puncak gunung secara tiba-tiba, atau apabila hari terlalu sore, meskipun pada pagi hari sebelumnya cerah.

Peserta selanjutnya meninggalkan Dano Cibitung, yang dalam gambaran peta-peta lama, terlihat masih jauh lebih besar proporsinya dibandingkan dengan Dano Cisanti yang digambarkan secara lebih kecil. Adapun Cisanti, kemungkinan terlihat menjadi lebih besar dalam gambaran peta-peta selanjutnya terutama setelah mengalami revitalisasi tata kelolanya sejak kisaran tahun 2000-an. Penjelasan mengenai Mandala Betung tersebut, dilakukan oleh Chye Retty Isnendes, Karguna Purnama Harya, dan Gelar Taufiq Kusumawardhana.

Pada pukul 11  seluruh peserta, panitia, dan interpreter kemudian melanjutkan perjalanan menuju puncak. Dengan perjalanan yang santai, ringan, dan konstan dapat dilakukan peserta dari pukul 11 pagi sampai pukul 1 siang. Seluruh peserta kegiatan pada akhirnya merasa bahagia, setelah sebelumnya merasa lelah dan kepayahan berjalan. Namun demikian, jerih payah perjalanan tersebut, membuahkan hasil yang tidak sia-sia karena mampu tiba di atas kawasan puncak Gunung Sembung dengan selamat.

Adapun di atas  puncak, struktur atas Gunung Sembung pada kenyataanya dihuni oleh ponclotan-ponclotan, atau pasir-pasir, atau bukit-bukit semi otonom yang majemuk. Sehingga sepintas puncak-puncak tersebut, terlihat mandiri sebagai gunung-gunung yang terpisah. Adapun karena puncak tertinggi dari kawasan Gunung Sembung itu sendiri masih terbilang lebih jauh, lebih melelahkan, dan akan memakan waktu tempuh lebih banyak. Maka kegiatan Bujangga Manik Geotrek II, hanya mencukupkan pengamatan dan pengalamannya dengan cara memilih salah-satu puncak di kawasan Gunung Sembung pada saat ini, yang popular menjadi salah-satu tujuan pendakian di akhir minggu oleh masyarakat Bandung. Puncak gunung tersebut, popular dengan sebutan puncak Sulibra (meskipun dikenal juga dengan nama puncak Artapela dengan logika yang sama karena puncak yang sesungguhnya masih harus ditempuh dalam skema waktu yang lebih khusus lagi). Apabila cuaca di atas puncak Sulibra sedang bagus, maka suasananya akan tampak cerah dan ceria dengan pemandangan hamparan ruput yang menghijau. Sementara puncak-puncak pengunung di utara Bandung seperti Gunung Tangkubanparahu  dan Gunung Manglayang (dalam naskah disebut Bukit Langlayang) dapat terlihat dengan jelas meskipun kecil-kecil. Demikian juga ke arah tenggara, yakni kawasan Tasikmalaya dan Garut gunung-gunung juga masih terlihat dengan baik seperti Gunung Papandayan. Bahkan termasuk pemandangan Gunung Ciremay yang berada di kawasan timur jauh samar-samar masih dapat terlihat dengan baik. Adapun dari puncak Sulibra tersebut, wajah puncak tertinggi Gunung Sembung tampak berbeda dengan karakteristiknya ketika dilihat dari arah Dano Cibitung. Gambarannya pada saat ini bukan merupakan tebing batu yang curam lagi, melainkan puncak gunung yang normal layaknya gunung yang mengkerucut dan bertubuh melandai secara bertahap dengan tutupan tanah yang gembur karena vegetasinya yang pada bagian ini sebagian besar telah habis dan berganti lahan pertanian. Jalur yang ditempuh oleh para pendaki sebenarnya tidak umum dilakukan melalui Dano Cibitung, melainkan melalui Kampung Cirawa, Desa Sukapura, Kecamatan Kertasari dengan rute perjalanan lebih panjang namun gradual dalam menempuh elevasinya. Puncak-puncak Gunung Sembung tersebut, dengan demikian ada yang terbawa ke wilayah administrasi Desa Sukapura Kecamatan Kertasari dan sebagia lagi ke Desa Margamukti Kecamatan Pangalengan.

Setelah tiba di puncak dan diisi dengan istirahat, makan, interpretasi, poto-poto, dan bercengkrama ria dari pukul 1 siang hingga pukul 3 sore, maka tahap selanjutnya seluruh peserta harus kembali menempuh perjalanan pulang. Alhamdulillah cuaca cerah, sedikit rintik-rintik hujan dan kabut turun namun tidak sampai besar dan harus mengeluarkan raincoat yang semuanya sudah dipersiapkan. Perjalanan turun lebih cepat, dari pukul 3 dan tiba pukul 4 sore di kaki Gunung Sembung dekat Dano Cibitung yang kemudian dilanjutkan dengan truk militer menuju masjid di kampung Kertamanah Desa Margamukti. Seluruh peserta kemudian melakukan solat jama takhir untuk Zuhur dan Ashar meskipun, meskipun sebagian ada yang telah melakukan salat Zuhur secara reguler sejak di puncak. Dari Kertamanah perjalanan pulang dilanjutkan kembali dari pukul 5 sore hingga tiba dengan selamat di UPI pada pukul 7 malam. Semoga perjalanan belajar tersebut dapat membuka gambaran mengenai pentingnya aspek pengenalan wilayah, pembinaan wilayah, konservasi alam, konservasi sungai, pulihnya sungai Citarum di wewengkon-wewengkon Tatar Sunda dan sehatnya jiwa dan raga melalui kegiatan lapangan dan kebersamaan (GTK/BVS/26-05-2024).

ditulis oleh

Varman Institute

Pusat Kajian Sunda - The Varman Institute (TVI) merupakan unit unggulan yang berada di bawah Bidang Pendidikan Pengajaran dan Pelatihan (Department of Education, Teaching, and Training) dari Yayasan Buana Varman Semesta (BVS).